• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH USHUL FIQH TENTANG QIYAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH USHUL FIQH TENTANG QIYAS"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH USHUL FIQH TENTANG QIYAS Dr. Baharudin., M. Ag.

disusun oleh :

Rebecca Safayona

NIM : 1174020134

KOMUKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

(2)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.,

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya sehingga Penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kedudukan Qiyas” yang mana pembahasannya meliputi : Pengertian Qiyas, Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas, Penolak dan Penerima Qiyas, Rukun Qiyas serta Macam-macam Qiyas.

Makalah ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi nilai Mata kuliah ushul fiqh di fakultas dakwah dan komunikasi,prodi komunikasi dan penyiaran islam. Tak Luput makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan serta dorongan dari Orangtua, dan Teman-teman seperjuangan, Dalam Penyusunan Makalah penulis mengambil referensi dari buku-buku Ushul Fiqh seperti Karya Muhammad Abu Zahrah, Amir Syarifuddin, Rachmat Syafe’i, Drs. H. Moh Rifa’i serta 5% dari Penelusuran Internet.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta masih terdapat kekurangan, Oleh karena itu semua kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan selanjutnya. Akhirnya Penulis berharap kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.,

Bandung 16 Desember 2017

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI BAB I

PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penulisan BAB II

PEMBAHASAN Pengertian Qiyas

Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas Penolak dan Penerima Qiyas Rukun Qiyas

Macam-Macam Qiyas BAB III

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai Umat Islam dalam kehidupan sehari-hari ada aturan yang mengatur segala aktivitas kita. Semua ada batasan-batasan tertentu serta aturan aturan dalam menjalankannya. Dan semua aturan serta batasan hukum yang mengatur Umat Islam didasarkan pada Alqur’an dan Sunnah.

Banyak peristiwa atau kejadian yang belum jelas hukumnya, Karena di dalam Alqur’an dan Sunnah tidak dijumpai atau ditetapkan secara jelas hukumnya. Oleh sebab itu diperlukanlah sebuah cara atau metode yang dapat menyingkap dan memperjelas bahkan menentukan suatu Hukum.

Dulu ketika masa Rasulullah semua permasalahan yang timbul mudah diatasi karena dapat langsung ditanyakan kepada Rasulullah, tetapi dimasa sekarang jikalau ada permasalahan yang timbul bahkan banyak sekali permasalahan yang timbul yang tidak kita temukan dalam Alqur’an maupun Sunnah. Di sini para Ulama’ melakukan pendekatan yang sah yaitu dengan Ijtihad dan salah satu ijtihad itu adalah dengan Qiyas.

Qiyas merupakan suatu cara penggunaan pendapat untuk menetapkan suatu hukum terhadap suatu peristiwa atau kejadian yang belum jelas atau yang tidak dijelaskan secara jelas dalam Alqur’an dan Sunnah.

Dasar pemikiran Qiyas itu adalah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab. Hampir setiap Hukum di luar bidang ibadah dapat diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum itu oleh Allah. Illat adalah patokan utama dalam menetapkan hukum atau permasalahan, Objek masalah adalah sesuatu yang tidak memiliki Nash. Atas dasar Keyakinan tersebut bahwa tidak ada yang luput dari Hukum Allah, Maka setiap Muslim meyakini setiap peristiwa atau kasus yang terjadi pasti ada hukumnya.

(5)

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Qiyas ?

2. Bagaimana Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas ? 3. Siapa Penolak dan Penerima Qiyas ?

4. Apa Saja Rukun-Rukun Qiyas? 5. Apa Saja Macam-Macam Qiyas ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui secara detail mengenai Qiyas. 2. Untuk mengetahui Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas. 3. Untuk mengetahui Penolak dan Penerima Qiyas. 4. Untuk mengetahui Rukun-Rukun Qiyas.

(6)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiyas

Qiyas menurut Ulama’ Ushul fiqh ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain : Qiyas ialah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan ‘illat hukum.1[1]

Ada beberapa definisi menurut para ulama tentang pengertian qiyas diantaranya yaitu:

1. Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa

Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.

2. Qadhi Abu Bakar

Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya.

3. Ibnu Subkhi dalam Jam’u al-Jawami’

Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannya dalam ‘illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid).

4. Abu Hasan al-Bashri

Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama dalam ‘illat hukum menurut mujtahid.

5. Al-Baidhawi

Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada sesuatu lain yang diketahui karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum menurut pandangan ulama yang menetapkan.

(7)

6. Shaadru al-Syari’ah

Merentangkan (menjangkaukan) hukum dari ashal kepada furu’ karena ada kesatuan ‘illat yang tidak mungkin dikenal dengan pemahaman lughowi semata.

Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum sesuatu kepada sumbernya Alqur’an dan Hadits. Sebab hukum islam, kadang tersurat jelas dalam nash Alqur’an atau Hadits, kadang juga bersifat implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut. Mengenai Qiyas ini Imam Syafi’i mengatakan: “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah Qiyas.”

Jadi Hukum Islam itu ada kalanya dapat diketahui melalui bunyi nash, yakni Hukum-hukum yang secara tegas tersurat dalam Alqur’an dan Hadits, ada kalanya harus digali melalui kejelian memahami makna dan kandungan nash. Yang demikian itu dapat diperoleh melalui pendekatan qiyas.

Sebagaimana di terangkan, bahwa qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan hal lain yang yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat hukum. Dengan demikian qiyas itu hal yang fitri dan ditetapkan berdasarkan penalaran yang jernih, sebab asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan analogis itu menemukan titik persamaan antara sebab-sebab dan sifat-sifat antara dua masalah tersebut, maka konsekuensinya harus sama pula hukum yang ditetapkan.2[3]

B. Kedudukan dan Kehujjahan Qiyas

Sebagian para ulama’ fiqh dan para pengikut madzab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum ajaran islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.

(8)

Hanya sebagian kecil para ulama’ yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzab Dzahiri dan Madzab Syi’ah.

Ulama’ Zahiriyah berpendapat bahwa secara logika qiyas memang boleh tetapi tidak ada satu nashpun dalam ayat Alqur’an yang menyatakan wajib memakai qiyas.

Ulama’ Syi’ah Imamiyah dan An-Nazzam dari Mu’tazilah menyatakan bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan karena mengamalkan qiyas sebagai sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal. Mereka mengambil dalil QS. Al Hujurat: 1

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. “

Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan Al-Hadits serta perbuatan sahabat yaitu:

a. Dalil Alqur’an

 Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana dalam surat Yasin (36), ayat 78-79:

78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata : “ siapakah yang dapat menghidupkan Tulang belulang yang telah hancur luluh?”

79. Katakanlah : “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama dan Dia maha mengetahui tentang segala makhluk.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan dikemudian hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan tulang belulang pertama kali. Hal ini berarti bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang tersebut kepada penciptaan pertama kali.

(9)

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”

Pada ayat di atas terdapat perkataan fa’ tabiru ya ulil abshar (maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.

Firman Allah dalam surat An-Nisa’ (4) ayat 59:

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul

dan ulil amri (orang-orang yang mengurus urusan) di antaramu. Jika kamu berselisih

paham tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul.”

(10)

Perbedaan pendapat di antar umat islam tentang hukum syara’ jarang terjadi pada sesuatu yang telah ditetapkan dengan nash Alqur’an dan Sunnah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang dimaksud perbedaan pendapat dalam ayat di atas adalah tentang hukum yang tidak terdapat dalam nash syara’.arti ayat itu adalah suruhan untuk menghubungkan kepada Alqur’an dan Sunnah dengan cara pemikiran mendalam untuk mencari kesamaannya dengan yang ada pada nash syara’. Kesamaan itu hanya dapat diketahui melalui penggunann nalar (ra’yu).

b. Dalil Sunnah

Di antara dalil sunnah yang dikemukakan Jumhur Ulama’ sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas adalah:

 Hadits mengenai percakapan Nabi dengan Muaz ibn Jabal, saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi penguasa di sana. Nabi bertanya, “dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara? “Muaz menjawab, “Saya menetapkan hukum berdasarkan kitab Allah”. Nabi bertanya lagi, “Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam kitab Allah?” Jawab Muaz, “Dengan sunnah Rasul.” Nabi bertanya lagi, “ kalau dalm Sunah juga engkau tidak menemukannya?” Muaz menjawab, “Saya akan menggunakan ijtihad denga nalar (ra’yu) saya.” Nabi bersabda, “segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq kepada utusan Rasul Allah dengan apa yang diridhoi Rasul Allah.”

Hadits tersebut merupakan dalil sunnah yang kuat, menurut jumhur Ulama’, tentang kekuatan qiyas sebagai dalil Syara’

 Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan membandingkan antara dua hal, kemudian mengambil keputusan atas perbandingan tersebut. Dalam Hadits dari Ibnu ‘Abbas menurut riwayat An-Nasa’i Nabi bersabda: “Bagaimana pendapatmu bila bapakmu berutang, apakah engkau akan membayarnya?” Dijawab oleh si penanya (al-Khatasamiyah), “ya, memang.” Nabi Berkata, “Utang terhadap Allah lebih patut untuk dibayar.”

(11)

Nabi dengan ucapannya, “Bagaimana kalau saya yang menghajikan bapak saya itu?” Keluarlah jawaban Nabi seperti tersebut di atas.

Dalam hadits itu, Nabi memberikan taqrir (pengakuan) kepada sahabatnya yang menyamakan utang kepada Allah, yaitu haji lebih patut untuk dibayar. Dalil ini menurut jumhur ulama’ cukup kuat sebagai alasan penggunaan qiyas.

C. Atsar Shahabi

Adapun argumentasi jumhur ulama’ berdasarkan atsar sahabat dalam penggunaan qiyas, adalah :

 Surat Umar Ibn Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari sewaktu diutus menjadi qodhi di Yaman. Umar berkata :

Putuskanlah Hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak menemukannya, maka putuskan berdasarkan sunnah Rasul. Jika juga kamu peroleh di dalam sunnah, berijtihadlah dengan menggunakan ra’yu.

Pesan Umar dilanjutkan dengan :

Ketahuilah kesamaan dan keserupaan: Qiyas-kanlah segala urusan waktu itu.

Bagian pertama atsar ini menjelaskan suruhan menggunakan ra’yu pada waktu tidak menemukan jawaban dalam Alqur’am maupun Sunnah, sedangkan bagian akhir atsar shahabi itu secara jelas menyuruh titik perbandingan dan kesamaan di antara dua hal dan menggunakan qiyas bila menemukan kesamaan.

(12)

Kedudukan abu bakar sebagai khalifah diqiyas-kan kepada kedudukannya sebagai imam shalat jamaah. Ternyata argumen ini dipahami semua sahabat (yang hadir dalam pertemuan itu), sehingga mereka sepakat untuk mengangkat abu bakar dengan cara tersebut.3[4]

C. Penolak dan Penerima Qiyas

Berhubung qiyas merupakan aktivitas aqal, maka ada beberapa ulama’ yang berselisih paham dengan ulama’ jumhur, yakni mereka tidak mempergunakan qiyas. Di kalangan ahli fiqh dalam hal qiyas ini, terdapat tiga kelompok sebagai berikut :

1. Kelompok Jumhur, yang mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nash baik dalam Alqur’an, Sunnah, Pendapat sahabat maupun ijma’ ulama. Hal itu dilakukan dengan tidak berlebihan dan melampaui batas.

Mereka Menggunakan Dalil :

78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata : “ siapakah yang dapat menghidupkan Tulang belulang yang telah hancur luluh?”

79. Katakanlah : “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama dan Dia maha mengetahui tentang segala makhluk.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuan-Nya menciptakan tulang belulang pertama kali.

Kelompok Zahiriyah menolak argumentasi ini, mereka mengatakan bahwa Allah tidak pernah menyatakan bahwa Ia mengembalikan tulang belulang oleh karena ia menciptakannya pertama kali.

2. Madzab Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah, yang sama sekali tidak mempergunakan qiyas. Madzab zhahiriyah tidak mengakui adanya ‘illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash, termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan ‘illat. Mereka membuang semua itu jauh-jauh dan sebaliknya, mereka menetapkan suatu hukum hanya dari teks nash semata. Dengan demikian

(13)

mereka mempersempit kandungan lafadz, tidak mau memperluas wawasan untuk mengenali tujuan legislasi Islam. Mereka terpaku pada bagian “luar” dari teks semata.

Mereka menggunakan dalil :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. “

Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang

3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas yang berusaha berbagai hal karena persamaan ‘illat. Bahkan dalam kodisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsish dari keumuman dalil Alqur’an dan Sunnah.4[5]

D. Rukun Qiyas

Berdasarkan definisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya karena ‘illat serupa. Maka rukun qiyas ada empat macam, yaitu :

1. Ashl (Pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada Nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan, sedangkan menurut hukum teolog adalah suatu Nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain suatu Nash yang menjadi Dasar Hukum. Ashl disebut Maqis ‘Alaih (yang dijadika tempat mengqiyaskan), Mahmul ‘Alaih (tempat membandingkan) atau Musyabbah bih (tempat menyerupakan).

2. Far’u (Cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya. Far’u itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis (yang dianalogikan) dan musyabbah (yang diserupakan).

3. Hukum Ashl, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu Nash.

4. ‘Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah ashl mempuyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula terdapat cabang sehingga hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.5[6]

4[5] Prof Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2012), hlm 339-340

(14)

E. Macam-Macam Qiyas

1. Qiyas Aulawy

Yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum. Dan antara hukum asal dan hukum yang disamakan (furu’) dan hukum cabang memiliki hukum yang lebih utama daripada hukum yang ada pada al-asal. Misalnya: berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan “uh”, “eh”, “busyet” atau kata-kata lain yang semakna dan menyakitakan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman allah SWT QS. Al-Isra’ (17) : 23.

Artinya:

“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan, supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (lemah lembut)”.

(QS. Al-Isra’ : 23)

2. Qiyas Musawy

Yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum yang ada pada al-ashl maupun hukum yang ada pada al-far’u (cabang). Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman Allah Surat An-Nisa’ (4)

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)".

Dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut.

3. Qiyas Adna

(15)

yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam masalah kasus ini ‘illat hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar. [7]6

(16)

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Qiyas menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.

Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum sesuatu kepada sumbernya Alqur’an dan Hadits. Sebab hukum islam, kadang tersurat jelas dalam nash Alqur’an atau Hadits, kadang juga bersifat implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut.

Sebagian para ulama’ fiqh dan para pengikut madzab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum ajaran islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.

(17)

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. 2012. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus. Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Referensi

Dokumen terkait

Jadi peranan dan kedudukan fiqh dan ushul adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan, sebab keduanya saling membutuhkan dalam sasarannya menerapkan hukum

Dalam islam orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Sebagian besar ulama ushul fiqh berpendapat bahwa dasar

Ketiga asumsi ini menjadi acuan ilmu hukum Islam (Ushul Fiqh), khususnya dalam menentukan hukum halal atau haramnya suatu perbuatan, sebagaimana dilansir Yusuf Qardhawi

Contoh cikal bakal ilmu ushul fiqh yang terdapat pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat, antara lain berkaitan dengan ketentuan urutan penggunaan sumber dan dalil hukum,

kontemporer yang terus berkembang dan semakin kompleks. Kesenjangan antara materi ushul fiqh yang diajarkan dengan kasus-kasus aktual akan membuat ushul fiqh

Qiyas menurut istilah ahli ilmu ushul fiqh adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum

Adapun definisi fiqh yang populer di kalangan ahli ushul adalah definisi menurut al-Syafi’i, yaitu نم بستكلما ةيلمعلا ةيعشرلا ماكحلأاب ملعلا ةيليصفتلا اهتلدأ Pengetahuan tentang

Buku ini dengan judul “Ushul Fiqh, Sumber-sumber dan komponen-komponen Hukum Islam” di bahas secara komprehensif pendapat-pendapat, gagasan-gagasan, dan konsep metodologi istinbath