• Tidak ada hasil yang ditemukan

ushul fiqh semester 2 PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ushul fiqh semester 2 PENDAHULUAN"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Sumber” dalam bahasan Arab adalah ردصملا yang berarti asal segala sesuatu atau tempat merujuk segala sesuatu. Dalam istilah ulama Ushul Fiqh kontemporer istilah هيعرشلا ماكحلارداصم berarti rujukan utama di dalam menetapkan hukum syar’i atau disebut pula dengan sumber-sumber hukum syar’i.

Sebagaimana pembahasan tentang Pembuat Hukum Syar’i (مكاحلا) pada bab dan satu-satunya sumber hukum. Tidak ada syari’at dalam Islam kecuali Allah, termasuk hukum-hukum baik taklifi maupun wadl’i. Menurut kesepakan ulama semua hukum berasal dari Allah. Dengan demikian, sumber hukum secara hakiki adalah Allah, baik yang diturunkan melalui wahyu berupa al-Qur’an maupun yang berbentuk Sunnah.

Al-Qur’an merupakan ولثم يحو (wahyu yang ditulis) dan Sunnah dianggap sebagai ولثم ريغ يحو (wahyu yang tidak ditulis). Rasulullah hanya berfungsi sebagai penegas dan penjelas (دكؤملاو نيبملا) atas hukum-hukum yang disampaikan Allah melalui wahyu-wahyu tersebut. Walaupun Rasulullah kadang-kadang menetapkan hukum melalui Sunnahnya ketika al-Qur’an tidak diturunkan Allah tetapi ketetapan Rasulullah tersebut tidak terlepas dari bimbingan wahyu.

Metode-metode hukum seperti Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istishlah (Mashlahah Musrsalah), Istishhab, Urf, Syar’u Man Qablana, Fatawa al Shahabah dan Sad al-Dzari’ah tidak dapat disebut sebagai sumber hukum

(2)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkanlatarbelakangtersebut, rumusanmasalah yang

akandibahasadalahsebagaiberikut:

1. ApaPengertian Sumber Dan Dalil Hukum?

2. MengapaAl-Qur’an Sebagai Sumber Dan Dalil Hukum Utama?

3. ApaPengertian Al-Qur’an?

4. ApaKedudukan Al-Qur’an?

5. ApaFungsi Al-Qur’an?

6. ApaPokok-pokok Isi Kandungan Al-Qur’an?

7. Apa saja hukum-hukum yang ada di dalam Al Qur’an

8. Apasajadalalahdari Al-Qur’an?

(3)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Sumber Dan Dalil Hukum

Dalam bahasa Arab, yang dimaksud dengan “sumber” adalah “mashdar”, yaitu asal dari segala sesuatu dan sebagai tempat untuk merujuk sesuatu. Dalam ushul fiqh kata mashdir al-ahkam al-syariyyah berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Al Qur’an dan Sunnah.

Sedangkan kata “dalil” dalam bahasa arab yakni al-dalil, jamaknya al-dallillah, yang artinya petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material ataupun nonmaterial (maknawi).

Sedangkan secara terminologi, dalil mengandung pengertian yakni suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar daqlam memperoleh hhukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qath’I (pasti) maupun zhanni (relatif).1

B. Al-Qur’an Sebagai Sumber Dan Dalil Hukum Utama 1. Pengertian Al-Qur’an

Secara etimologi, Al-quran merupakan bentuk mashdar dari kata

qara’a; timbangan kata (wazan)-nya adalah fu’lan, artinya: bacaan. Lebih lanjut, pengertian kebahasaan Al-quran ialah, yang dibaca, dilihat, dan ditelaah.

Adapun dalam pengertian terminologi, terdapat beberapa definisi Alquran yang dikemukakan ulama. Pada umumnya, ulama ushul fiqh mendefinisikan Al-quran sebagai berikut.

(4)

Alquran ialah firman Allah diturunkan kepada Muhammad berbahasa Arab, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, termaktub di dalam mushhaf, membacanya merupakan ibadah, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.

Sementara itu, menurut Muhammad Ali ash-Shabuni:2

Alquran ialah firman Allah yang merupakan mukjizat, yang ditur kan kepada “Penutup para nabi dan rasul”; (Muhammad) melalui malaikat Jibril, termaktub di dalam mushhaf, yang diriwayat kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibada dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.

Sedangkan Ali Hasbullah mendefinisikan:3

Al-Kitab atau Alquran ialah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad berbahasa Arab yang nyata, sebagai penjelasan untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.

Dari tiga definisi di atas dapat diketahui bahwa pada hakikatnya Alquran itu adalah sebagai berikut.

a. Merupakan wahyu yang difirmankan Allahbaik makna maupun lafalnya. Dengan demikian, wahyu yang disampaikan dalam bentuk

2Muhammad Ali ash-Shabuni, at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an(Jakarta : Dinamika Berkah Utama, t.t.),6.

(5)

maknanya saja, sedang lafalnya berasal dari Nabi Muhammad tidak disebut Alquran, melainkan hadis qudsi atau hadis pada umumnya.

b. Diturunkan kepada Nabi MuhammadArtinya, wahyu Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad seperti: Taurat, Zabur, dan Injil, bukanlah Alquran. Dalam pada itu, Alquran banyak menceritakan kembali dan menyitir wahyu yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul terdahulu.

c. Bahasa Alquran adalah bahasa Arab. Dengan demikian, terjemahan Alquran ke dalam bahasa lain atau tafsirnya tidak disebut Alquran Sebab, baik terjemahan maupun tafsiran Alquran dapat mengandung kesalahan. Oleh karena itu pula, terjemahan Alquran ke dalam bahasa lain atau tafsirnya tidak dapat dijadikan rujukan dan digunakan sebagai dalil untuk menetapkan hukum (istinbath al-ahkam).

d. Diriwayatkan secara mutawatir. Artinya, semua ayat Alquran yang terdapat dalam mushaf Utsmani dijamin kepastian keberadaannya sebagai wahyu Allah dan tidak satu ayat pun yang termaktub di dalam mushaf itu yang bukan wahyu Allah

e. Ditulis dalam mushaf. Hal ini mengandung bahwa apa-apa yang tidak ditulis dalam mushaf meskipun wahyu itu diturunkan kepada Nabi termasuk ayat-ayat yang sudah dinasakh tidaklah disebut al-Qur’an.

f. Beribadah membacanya. Hal ini mengandung arti bahwamembaca ayat-ayat al-Qur’an yang diiringi oleh keikhlasan meskipun tidak mengetahui maknanya akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.

(6)

Sembilan malam kemudian beliau wafat pada hari senin tanggal 3 bulan Rabi ’alawal. Dengan berakhirnya ayat di atas maka berakhirlah turunnya wahyu.4 .

2. Status Kehujjahan Al Qur’an

Kedudukan Al Qur’an merupakan satu-satunya sumber pertama dan yang paling utama dalam hukum Islam, sebelum sumber-sumber hukum yang lain. Sebab Al Qur’an merupakan UU tertinggi bagi umat Islam, sehingga semua hukum dan sumber hukum tidak boleh bertentangan dengan al Qur’an.

Menurut Imam Ghazali, ayat-ayat Al Qur’an yang berisi tentang hukum ada 500 ayat, terbagi jadi dua macam yaitu, ayat-ayat yang bersifat ijmali ( global) dan ayat yang bersifat taafsili (detail). Ayat\ayat Al Qur’an yang berisi hukum disebut dengan ayat-ul ahkam. Dasar kedudukan al Qur’an merupakan satu-satunya sumber yang pertama dan yang paling utama dalam hukum Islam adalah firma Allah dalam QS Al maidah ayat 49 :5





 

































 





 



































 







 



























6

49. Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.7

4SapiudinShidiq, UshulFiqh(Jakarta: Kencana, 2011), 28.

5 Tim Guru MGPK, FIQIH, 111.

6 Aplikasi Qur’an in Word.

(7)

Yang mendasari penggunaan Al Qur’an sebagai dasar pengambilan serta penentuan hukum Islam, yakni seperti yang telah dikemukankan oleh para ulama ushul fiqh :8

a. Al Qur’an.

An Nisa’ [4] ayat 105























































 

9

105. Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat.10

b. Hadits.

Hadits nabi SAW: “Aku tinggalkan diantara kamu semua dua perkara, yang kamu se,ua tidak akan tersesat selama kamu semua berpegang teguh kepada dua perkara itu, yaiutu kotab Allah (Al Qur’an) dan Sunnah Rosul (hadits).” (HR. Muslim).11

Unsur-unsur yang membuat Al-Quran itu menjadi mukjizat yang tidak mampu ditandingi akal manusia, di antaranya adalah:

1. Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya, umpamanya berupa keseimbangan jumlah bilangan kata dengan lawannya, di antaranya seperti: Al-Hayah (hidup) dan Al-Maut (mati), dalam bentuk difinitif sama-sama berjumlah 145 kali; Al-Kufr (kekufuran) dan Al-Imam (iman) sama- sama terulang sebanyak 17 kali.

8 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta : Logos Wacana ilmu, 1997), 27-29.

9 Aplikasi Qur’an in Word.

10 Ibid.

(8)

2. Dari segi pemberitaan-pemberitaan gaib yang dipaparkan Al-Quran. seperti dalam surat Yunus ayat 92 dikatakan bahwa badan Fir’aun akan diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran bagi generasi-generasi berikutnya, yang benar-benar terbukti ketika pada tahun 1896 para arkeolog menemukan mummi yang menurut arkeolog adalah Fir’aun yang mengejar-ngejar Nabi Musa.

3. Isyarat-isyarat ilmiah yang dikandung Al-Quran, seperti dalam surat Yunus ayat 5 dikatakan, "Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari).12

3. Fungsi Al-Qur’an

Al-Quran berfungsi sebagai pedoman bagi kehidupan dan peng-hidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Berikut fungsi al-Qur’an meliputi:

a. Sebagai al-huda (petunjuk) bagi manusia yang bertakwa untuk keselamatan dan kebahagiaannya di dunia dan di akhirat.

b. Sebagai rahmat yang mengantarkan manusia untuk hidup dengan penuh kasih sayang, dan bukti bahwa Tuhan Maha pengasih dan penyayang.

c. Sebagai maw’izhah (bimbingan dan pengajaran) bagi manusia untuk mencapai keluhuran dan kesucian fitrahnya, sebagai tibyan (penjelasan) dan tafshil (pemerinci) atas segala sesuatu yang perlu diketahui manusia untuk kepentingan keselamatannya di dunia dan akhirat.

d. Sebagai furqon (sebagai pembeda antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang berada dalam jalan yang benar dan yang sesat).

e. Sebagai nur (cahaya) yang menerangi kalbu manusia untuk melihat kebenaran dan menjadi benar dalam hidupnya.13

12Chaerul Uman, Dkk, Ushul Fiqih 1(Bandung: Pustaka Setia, 1998),50-52.

(9)

4. Pokok-pokok Isi Kandungan Al-Qur’an

Pokok-pokok isi kandungan Al-Qur’an mencakup beberapa hal. antara lain sebagai berikut.

a. Tauhid, sebagai inti dari seluruh akidah (kepercayaan) karena ada manusia yang menyembah berhala dan ada pula yang menyembah Allah.

b. Ibadah, menghidupkan rasa ketauhidan dalam hati dan menetap-kannya dalam jiwa dengan arti hubungan antara makhluk dengan Khaliknya.

c. Janji baik dan janji buruk, janji baik terhadap orang yan dikehendaki, Allah dan memberi kabar gembira dengan kebaika pahalanya (hasil amalaimya). Janji burak terhadap orang yang tidal berpegang dengan Al-Quran dan diberi berita ketakutan dengai akibat-akibatnya.

d. Menjelaskan jalan kebahagiaan dan cara-cara melaluinya untuk memperoleh kesenangan dunia dan akhirat.

e. Cerita-cerita dan sejarah-sejarah. Sejarah orang yang berpegang kepada peraturan Allah dan hukum-hukum agama, yaitu para Rasul dan orang-orang saleh. Selain itu, sejarah orang-orang yang melampaui peraturan-peraturan Allah dan tidak mengindahkan hukum-hukum agamanya secara zahir, sedangkan Allah memberikan pedoman menurut cara yang baik dan menetapkan peraturan kepada manusia.14

5. Hukum-Hukum yang Ada di Dalam Al Qur’an

Menurut para ahli ushul fiqh, Al Qur’an sebagai petunjuk hidup secara umum mengandung 3 ajaran pokok :

1. Hukum-hukum I’tiqad / Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akidah (keimanan) yang membicarakan tentang hal-hal yang wajib diyakini seperti masalah tauhid, masalah kenabian, mengenai

(10)

Nya, Malikat, hari kemudian dan sebgainya yang berhubungan dengan doktrin akidah.

2. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akhlak, yaitu hal-hal yang harus dijadikan perhiasan diri oleh setiap mukallaf yang berupa sifat-sifat keutamaan dan menghindarkan diri dari hal-hal yang membawa kepada kehinaan (doktrin akhlak).

3. Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuna-ketentuan yagn berhubungan dengan amal perbuatan mukallaf (doktrin Syari’ah / fiqih ). Dari hukum-hukum amaliyah inilah timbul dan berkembangnya ilmu fiqih. Hukum-hukum amaliyah dalam Al Qur’an terdiri dari dua cabang, yaitu hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hukum-hukum mu’amalat yang megnatur hubungan manusia dengan sesamanya.15

Hukum-hukum amaliyah ini dapat pula dibagi menjadi :

a. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah seperti salat, puasa,zakat, haji nazar dan sumpah.

b. Hukum-hukum yang berkaitan dengan mu’amalah seperti transaksi jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, yang dibagi lagi menjadi : 1.) Hukum-hukum perorangan, seperti kawin, talak, waris, wasiat, waqaf 2.) Hukum-hukum perdata, seperti jual beli beli, pinjam meminjam, perserikatan dagang, dan transaksi harta dan hak lainnya.

c. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah pidana,

d. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah peradilan, baik yang bersifat

perdata maupun yang bersifat pidana.

e. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ketatanegaraan. f. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah hubungan antar negara g. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah ekonomi, baik bersifat

(11)

pribadi, masyarakat, maupun Negara.16

6. Dalalah Al Qur’an

Dalil dalam bahasa Arab ad-dalil (ليلدلا) jamaknya al-adillah (ةلدلا), dan secara terminologi berarti: “petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material (maknawi).” 17

Wahbah az-Zuhaili, dalam Ushul al-Fiqh al-Islami, memberikan batasan dengan: “Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qath’I (pasti) maupun zhanni (relatif). 18

Adapun nash-nash al-Qur’an itu dari segi dalalahnya terhadap hukum-hukum yang dikandungnya, maka ia terbagi menjadi dua bagian:

a. Nash yang qath’i (pasti) dalalahnya terhadap hukumnya,

Nash yang memiliki petunjuk hukum pasti adalah nash yang menunjukan makna yang dipahami secara tertentu, tidak memerlukan takwil dan tidak mungkin dipaham dengan makna yang lain. 19

Seperti firman Allah:













































































































































































































 

























16 Nasrun, Ushul Fihh 1, 29-30.

17Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Penerbit Amzah 2009, 54

18Ibid., 54-55

(12)





































Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. An Nissa’ : 12)

Petunjuk hukum diatas adalah pasti, karena bagian suami pada masalah seperti dalam ayat adalah setengah, tidak yang lain. Juga firman Allah tentang hukuman bagi orang laki-laki dan perempuan yang berzina:































































(13)

























Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS. An Nuur : 2)

Petunjuk hukum ayat ini juga pasti, yaitu bahwa hukuman zina adalah seratus kali dera, tidak kurang dan tidak lebih. Begitu juga nash yang menjelaskan bagian waris atau jumlah hukuman dan batas minimal zakat tertentu.

b. Nash yang zhanni (dugaan) dalalahnya terhadap hukumnya.

Nash yang memiliki petunjuk hukum dugaan adalah nash yang menunjukan makna tetapi dimungkinkan adanya takwil dan mungkin untuk dipalingkan dari makna asal kepada makna lain.

Seperti firman Allah:20











































































 









 



































 































Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari

(14)

akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al Baqarah : 228)

Lafal Quru’ dalam bahasa arab memiliki dua makna; suci dan haid. Sedangkan dalam nash diterangkan bahwa wanita-wanita yang ditalak itu hendaknya menunggu tiga kali quru’, sehingga mungkin yang dikehendaki adalah tiga kali suci atau tiga kali haid. Jadi, petunjuk ayat ini belum pasti pada satu makna dari dua makna yang ada. Oleh karena itu para mujtahid berbeda dalam memberikan hukum terhadap wanita-wanita yang ditalak, sebagian berpendapat tiga kali suci dan sebagian lagi berpendapat tiga kali haid.

Juga seperti firman Allah:











































































































 

























































































































(15)

kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Maidah : 3)

Lafal al maytah (bangkai) bersifat umum, sedangkan nash memungkinkan untuk diberi makna semua bangkai dan mungkin dikhususkan, kecuali bangkai binatang laut (air). Maka semua nash yang mempunyai makna ganda, umum atau semisalnya, petunjuk hukumnya adalah dugaan, karena nash itu menunjukkan makna tertentu tetapi mungkin juga menunjukkan makna yang lain.

Adapun kandungan ayat Al Qur’an menurut seorang ahli Tafsir As Tsa’alaby, dapat dibagi atas sembilan bagian:

1. Ayat yang mengenai peringatan (nazirah), 1000 ayat 2. Ayat yang mengenai janji baik (wa’ad), 1000 ayat 3. Ayat yang mengenai janji buruk (wa’id), 1000 ayat 4. Ayat yang mengenai kisah ummat purbakala, 1000 ayat 5. Ayat yang mengenai contoh (i’tibar), 1000 ayat

6. Ayat yang mengenai halal dan haram, 500 ayat 7. Ayat yang mengenai perintah dan larangan, 1000 ayat 8. Ayat yang mengenai tasbih dan tahlil, 100 ayat 9. Ayat yang mengenai nasikh dan mansukh, 60 ayat21

(16)

Dari ayat-ayat yang demikianlah, timbulnya hukum syar’i (hukum Islam), terutama dari ayat-ayat yang mengandung perintah atau larangan, halal dan haram.



























































Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (Q.S. An Nissa’ : 105)

Menentukan hukum syar’i dengan ayat Kitabullah atau Al Qur’an, mengandung dua:

Pertama, Menentukan hukum dengan nash yang syarih (nash ayat), dengan arti bahwa ayat ini tidak diragukan lagi untuk hukum itu.

Kedua, Menentukan hukum dengan mafhum ayat. Yaitu difahamkan dari “perintah” atau dari “larangan” yang terkandung dalam ayat itu. 22

Menentukan hukum dengan nash dan lahir ayat, misalnya sebagai berikut:











































































































 









































































(17)

















































Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al Maidah : 3)

Nash dari ayat ini menunjukan bahwa semuanya yang tersebut itu haram dimakan, karena ada didalamnya kata “hurrimat” (haram), dan tak diragukan lagi untuk hukum yang lain.

Misalnya yang lain adalah ayat Tuhan dibawah ini :















































































(18)

sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (Q.S. Al Maidah : 1)

Nash dari ayat ini menunjukan bahwa binatang ternak itu dihalalkan karena didalamnya terkandung kata “uhillat” (dihalalkan) dan tidak diragukan lagi untuk hukum yang lain.

Menentukan hukum dengan mafhum ayat ialah:

1. Yang difahamkan dari faedah “amru” atau perintah, baik perintah keras, maupun perintah ringan.23 Misalnya Allah berfirman:







































 











Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (Q.S. Thaahaa : 132)

Yang difahamkan dari faedah perintah ini ialah hukum “wajib” sembahyang.

2. Yang difahamkan dari faedah “nahi” atau larangan, baik larangan itu keras maupun ringan. Misalnya Allah berfirman:



























 





Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (Q.S. Al Isra’ : 32)

Yang difahamkan dari “larangan” ini ialah hukum “haram” melakukan zina. Menurut hukum yang asli, bahwa sesuatu perintah menimbulkan dan memfaedahkan hukum “wajib”, kecuali kalau ada suatu hal yang

(19)

menunjukan kepada yang sunnah, mubah, atau suatu hukum yang lain. Begitu juga suatu larangan menurut asalnya menimbulkan hukum “haram”, kecuali kalau ada suatu hal yang menunjukan kepada makruh, mubah atau lainnya.

7. Sifat Al Qur’an dalam Menetapkan Hukum

a. Tidak menyulitkan. QS. Al Baqarah ayat 185

.…

 











 





.…

24

“…. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….”25

b. Tidak memperbanyak tuntutan (beban).26

QS. Al maidah ayat 101





 









 













































 













 









 





27

“101. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”28

24 Aplikasi Qur’an in Word.

25 Tim Guru, FIQIH, 108.

26 Ushul fiqh, (Jakarta : PT Bumirestu, 1987), 105.

27 Aplikasi Qur’an in Word.

(20)

c. Bertahap dalam pelaksanaannya.

Dalam mengharamkan khamr ditetapkan dalam tiga proses.

1. Menjelaskan manfaat khamr lebih kecil dibandingkan dengan akibat buruknya. Pada QS. Al Baqarah ayat 219.

2. Melarang pelaku shalat dalam keadaan mabuk. Pada QS. An Nisa’ ayat 43.

3. Menegakkan hukum haram kepada khamr dan perbuatan buruk lainnya. Pada QS. Al Maidah ayat 90.

d. Membatasi yang mutlak.

Kadang-kadang ayat dating dalam bentuk mutlak, tanpa ada batasan-batasan yang harus dilaksanakan seperti ayat tentang pencurian. QS. Al Maidah ayat 38. Pada ayat tersebut, terdapat istilah tangan yang berarti dari ketiak sampai ibu jari. Maka rosul membatasi dengan ucapan Beliau “Potong tangan pencuri dampai pada pergelangan tangan .” Begitu juga keadaan barang-barang yang dicuri sehingga potong tangan dibatasi minimal seperempat dirham.

e. Mengkhususkan yang umum.

Ayat-ayat Al Qur’an kadang-kadang mengandung hukum yang berlaku umum, maka Nabi SAW menjelaskan pengecualiannya seperti masalah waris.

QS. An Nisa’ ayat 11

 







































 

 























 









 











 





























 













 







 







 











 







(21)





























 



















“ 11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Rosul menjelaskan pengecualian-pengecuaiannya seperti : a. Para Nabi tidak mewarisi.

b. Anak yang membunuh orang tuanya dan anak yang kafir tidak mewarisi.29

8. Penjelasan Al Qur’an terhadap Hukum-Hukum

Para ulama Ushul Fiqh menetapkan bahwa Al Qur’an sebagai sumer utama hukum Islam elah menjelaskan hukum-hukum yang terkandung didalamnya dengan cara :

1. Penjelasan Rinci (juz’i) terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, tanpa memerlukan penjelasan serta dapat dipahami secara langsung,30 seperti yang berkaitan dengan masalah aqidah, hukum waris,

hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana hudud dan kaffarat. Hukum-hukum yang rinci ini, menurut para ahli ushul fiqh, disebut sebagai hukum ta’buddi yang tidak bisa dimasuki logika.

29 Tim Guru, FIQIH, 108-110.

(22)

2. Penjelasan Al Qur’an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu bersifat global (kulli), umum, dan mutlak, seperti masalah shalat yang tidak dirinci berapa kali sehari dilakukan, berapa raka’at dan sebagainya.31 Hal ini

dimaksudkan agar Al Qur’an dapat berinteraksi dalam semua dimensi ruang dan waktu, sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia.32

3. Al Qur’an menjelaskan suatu hukum yang bersifat ibarat dan isyarat. Penjelasan seperti ini dimaksudkan agar dapat dipahami makna dan isyarat yang terkandung didalamnya. Model seperti ini dapat ditemukan dalam syariat haji dan qurban yang secara dzahir mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tetapi makna tersiratnya adalah perintha untuk melakukan perenungan tentang perintah melakukan intropeksi diri, dan membangun solidaritas sosial yang kuat melalui sifat kebersamaan dan pengorbanan.33

9. Ciri Khas Dan Keistimewaan Al-Qur’an

Al-Quran mempunyai ciri-ciri khas dan keistimewaan sebagai berikut:

a. Lafal dan maknanya datang dari Allah dan disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui Malaikat Jibril dengan jalan wahyu Nabi tidak boleh mengubah, baik kalimat ataupun pengertiannya melainkan harus menyampaikan seperti apa yang diterimanya.

b. Al-Quran diturunkan dengan lafal dan gaya bahasa Arab, seperti yang difirmankan Allah SWT. :

Artinya:

“Sesungguhnya Kami jadikan Al-Quran sebagai bacaan yang berbahasa Arab.” (QS. Az-Zukhruf: 3)

Pada surat Fussilat ayat 3:

31 Nasrun, Ushul Fihh 1, 30.

32 Syukri, Filsafat, 64.

(23)

Artinya:

“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. “ (QS. Fussilat: 3)

Pada surat Asy-Syu’ara ayat 194 - 195:

Artinya:

“... agar engkau menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas. (QS. Asy-Syu'ara : 194 - 195)

Pada surat Fussilat ayat 44:

Artinya:

“Dan jika kamu jadikan Al-Quran itu bacaan bukan berbahasa Arab, tentulah mereka berkata, “Mengapa tidak dijelaskan apakah ia berbahasa Arab atau bukan.”(QS.Fussilat:44)

(24)

Sekalipun demikian, kata-kata tersebut sudah dijadikan orang Arab sebagai bahasanya. Sebagaimana halnya juga terdapat dalam segala bahasa, adanya kata-kata dari bahasa asing yang di-Arabkan. Dalam bahasa Indonesia pun terdapat banyak kata dari bahasa asing yang sudah diindonesiakan sehingga menjadi bahasa asli.

Berdasarkan hal tersebut, terjemahan dari Al-Quran ke dalam bahasa-bahasa asing tidak boleh disebut Al-Quran dan sehingga tidak sah shalat dengan terjemahan Al-Quran dan tidak dapat dijadikan sumber hukum. Memang pernah diriwayatkan bahwa Abu Hanifah pernah membolehkan shalat dengan terjemahan bahasa Parsi terhadap sebagian Al-Quran bagi orang yang tidak mampu mengucapkan bahasa Arab. Akan tetapi, di kalangan ulama sudah disahkan bahwa Abu Hanifah menarik fatwanya itu. Para imam selain Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang tidak dapat mengucapkan bahasa Arab dalam bacaan shalatnya cukup diam saja seraya menekuni makna ibadah, taat dan bermunajat sebagaimana halnya orang yang tak mampu shalat berdiri, cukup shalat duduk.

Oleh karena itu, Imam Syafi'i dan lain-lain mewajibkan kaum muslimin untuk mengetahui baca tulis bahasa Arab bagi keperluan membaca Al-Quran serta menghafal bagian yang perlu dibaca dalam shalat.

Sesungguhnya menerjemahkan Al-Quran menurut maknanya yang bersifat sastra adalah mustahil. Yang mungkin hanyalah menerjemahkan secara tafsir/interpretasi sebagai terjemahan menurut perkataan dan pandangan ahli tafsir, bukan sebagai terjemahan Al-Quran itu sendiri, karena kemungkinan adanya kekeliruan pada ahli tafsir dan ahli terjemah.

(25)

dalamnya, baik ayat ataupun susunannya. Allah SWT. menjamin hal tersebut dengan firman-Nya:

Artinya:

“Sesungguhnva Kami turunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami pulalah yang memeliharanya.”(QS. Al-Hijr: 9)

d. Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an itu mendapat pahala dari Allah, baik bacaan itu berasal dari pahala sendiri maupun dibaca langsung dari mushaf Al-Qur’an.

e. Ciri terakhir dari Al-Qur’an yang dianggap sebagai suatu kehati-hatian bagi para ulama untuk membedakan Al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya itu dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.34

(26)

BAB III KESIMPULAN

1. Penggunaan Al Qur’an dalam menentukan hukum-hukum Islam telah didukung oleh penjelasan-penjelasan yang telah terdapat dalam An Nisa’ ayat 105, selain itu dalam hadits pun juga telah dijelaskan bahwa penggunaan Al Qur’an juga sebagai sumber hukum yang pertama dan utama.

Apabila dikaji lebih jauh, maka kandungan hukum-hukum yang berada dalam al Qur’an, sungguhlah banyak dan terperinci, akan tetapi tidak semua ayat-ayat yang mengandung hukum menjelaskan secara terperinci.

3.2 SARAN

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Idris. Dasar-Dasar Hukum Islam dan Aqidah Ahlu Sunnah Wa Jamaah

Jakarta: Pustaka Azam. 1969)

Aplikasi Qur’an in Word.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. Jakarta : Dinamika Berkah Utama. t.t.

Bakri, Nazar. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Rajawali Press. 1993. Dahlan, Abd. Rahman.Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2011.

Efendi, Satria dan M. Zein. USHUL FIQH. Jakarta : Prenada Media Group. 2009. Hasbullah, Ali. Ushul at-Tasyri al-Islami. Mesir: Daral-Ma’arif

Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. (Jakarta : Logos Wacana ilmu, 1997

Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Penerbit Amzah. 2009

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani. 2003

Nasution, Muhammad Syukri Albani. Filsafat Hukum islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2013.

Shidiq,Sapiudin.UshulFiqh. Jakarta: Kencana. 2011.

Tim Guru MGPK Provinsi Jawa Timur. FIQIH – MADRASAH ALIYAH KELAS XI PROGRAM KEAGAMAAN. Mojokerto : Sinar Mulia Mojosari. 2012 Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta:

(28)

Referensi

Dokumen terkait

Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis pada perhitungan beban kerja mental mahasiswa Universitas XYZ Yogyakarta jurusan Teknik Industri

Fitur yang dimiliki dari website ini yaitu menampilkan barang, menampilkan info seputar perusahaan, form untuk pemesanan, mengelola data barang, mengelola

Agar dapat memperoleh respon sistem yang lebih baik lagi, maka dapat dicoba dengan perancangan membership functions yang lebih baik lagi agar parameter yang

Usaha Konfeksi dan Sablon sebagai pemasok Factory Outlet, distro dan clothing untuk daerah Jakarta, terutama daerah Dago (Jl.Ir.H.Juanda) di Kota Bandung. Salah

Al-Qur‟an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. sebagai salah satu mukjizat kerasulannya. Al- Qur‟an merupakan

Adapun program unggulannya adalah Tahfizhul Qur an (Menghafal Al-Qur an 30 juz), Penguasaan kitab kuning, penguasaan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Program

Al-Qur‟an sebagai kitab suci (kitâbun muthahharah) maupun sebagai pedoman hidup (hudan linnas) sangat menghargai adanya pluralitas. Pluralitas oleh al-Qur‟an

Kemudian kitab al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an kitab ini membahas makna lafaz-lafaz yang terdapat dalam al-Qur‟an karya al-Raghib alAsfahani sebagai rujukan utama dalam