• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG PENGADAAN BARANG DAN JASA. Aditya Arie Syah Reza Kepolisian Republik Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG PENGADAAN BARANG DAN JASA. Aditya Arie Syah Reza Kepolisian Republik Indonesia"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

VOLUME 5 NOMOR 1, 1 MARET 2021, ISSN PRINT : 2549-1350, Journal Fakultas Hukum Universitas Surakarta,

LOA : 005/NRAU/I/III/2021

https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

KAJIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI BIDANG PENGADAAN BARANG DAN JASA

Aditya Arie Syah Reza Kepolisian Republik Indonesia

Email: aasp1078@gmail.com

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sanksi pidana tambahan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi sebagai pengganti kerugian keuangan negara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Pendekatan masalah yang digunakan, yaitu pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konseptual. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Adapun hasil penelitian ini adalah bahwa uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman (pidana) tambahan dalam perkara korupsi. Uang pengganti merupakan sejumlah uang yang dibayarkan oleh terpidana tindak pidana korupsi yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Kata Kunci: Pidana Tambahan, Uang Pengganti, tindak pidana korupsi. A. PENDAHULUAN

Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak negatif, terutama yang menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang merasahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Korupsi di Indonesia terindikasi terjadi di semua lini, pada lembaga penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah meliputi lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif baik yang ada di pusat maupun di daerah dan swasta.

Korupsi sebagai suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang menimbulkan kerugian keuangan negara dan berdampak pada kerusakan tatanan masyarakat, berbangsa dan bernegara, maka dalam hal pemberantasan penegakkan

(2)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

hukumnya juga harus dilakukan secara luar biasa. Sehingga terhadap para koruptor tidak hanya dijatuhi melalui pidana pokok saja tetapi juga dengan pidana tambahan.

Terkait dengan pidana tambahan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi yang berupa pengembalian uang yang dikorupsi dalam kerangka pengembalian kerugian keuangan negara. UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi (Asset Recovery). Salah satu pidana tambahan untuk pengembalian uang yang dikorupsi adalah berupa pembayaran uang pengganti sebanyak uang yang dikorupsi. Upaya pembayaran uang pengganti ini diharapkan memberikan pemasukan kepada kas atau keuangan negara. Selain itu juga pidana tambahan berupa uang pengganti juga diharapkan untuk memberikan efek jera serta untuk mengembalikan kerugian yang di derita oleh negara akibat adanya korupsi tersebut.

Dengan kata lain bahwa pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dari akibat tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti. Uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman (pidana) tambahan dalam perkara korupsi. Pada hakikatnya baik secara hukum maupun doktrin, hakim tidak diwajibkan selalu menjatuhkan pidana tambahan. Walaupun demikian, khusus untuk perkara korupsi hal tersebut perlu untuk diperhatikan.

Guna mengembalikan kerugian keuangan negara UU No. 31 Tahun 1999 telah mengatur tentang perampasan harta hasil korupsi dan juga Pengembalian uang hasil korupsi atau uang pengganti. Terkait dengan pidana tambahan uang pengganti, Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 mengatur bahwa:

(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :

a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk

membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam

(3)

Undang-NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Berdasarkan Pasal 18 UU No. 31/1999 di atas dapat dipahami bahwa pembayaran uang pengganti merupakan pidana tambahan, maka penjatuhannya tidak mungkin secara mandiri, melainkan selalu mengikuti pidana pokok. Pelaksanaan (eksekusi) pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU No. 31/1999 tersebut hanya dapat dijatuhkan maksimal sebanyak harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tersebut dan waktu pembayarannya paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Pidana tambahan penggantian uang dalam tindak pidana korupsi sangat diperlukan selain untuk memberikan efek jera juga untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh korupsi. Dengan latar belakang tersebut, maka masalah dalam artikel ini adalah bagaiman konsepsi penjatuhan pidana tambahan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.

B. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, penelitian hukum normatif meliputi inventarisasi terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, penelitian terhadap penegakan hukum baik yang berjalan secara operasional oleh institusi maupun dalam hal proses penyelesian hukum dalam praktik, untuk kemudian dilakukan penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum.1 Sehubungan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif maka pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Adapun data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dengan metode analisis deduktif yaitu menarik kesimpulan dari konsepsi uang pengganti tindak pidana korupsi.

C. PEMBAHASAN

1. Kerugian Keuangan Negara Sebagai Unsur Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi tidak dapat dipisahkan dari adanya kerugian keuangan negara. Hal ini terlihat dari unsur tindak pidan korupsi yang terdapat di dalam UU Pemberantasan Tindak pidana korupsi salah satunya adalah adanya unsur kerugian keuangan negara. Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa unsur merugikan keuangan negara terdapat dalam pasal berikut, yaitu:

a. Pasal 3UU No. 31/1999. Pasal tersebut mengatur bahwa:

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling 1 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),

(4)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

(2) Pasal 3 mengatur bahwa: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Menurut Artidjo Alkostar, yang harus dibuktikan dengan adanya kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara yang mempunyai hubungan kausal dengan perbuatan terdakwa. Dalam kacamata teori, hubungan kausal dapat dilihat dari adanya hubungan:

a. dari sebab ke akibat (a priori), misalnya perbuatan bupati yang mempergunakan uang APBD untuk kepentingan pribadi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara;

b. dari akibat ke sebab (a posteriori), misalnya bangunan sekolah ambruk disebabkan oleh perbuatan penanggungjawab pembangunan yang mengambil sebagian anggaran pembangunan sekolah untuk kepentingan pribadi;

c. dari akibat ke akibat, yaitu dengan banyaknya uang negara yang dikorupsi juga mengakibatkan banyak anak usia sekolah tidak dapat melanjutkan sekolah karena biaya sekolah mahal.2

Pendapat yang lain mengenai terminologi kerugian keuangan negara dikemukakan oleh Hernold Ferry Makawimbang. Menurut beliau yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara dengan mengacu pada rumusan Pasal 1 dan Pasal UU No. 17/2003 adalah:

a. hilang atau berkurangnya hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, akibat perbuatan sengaja melawan hukum dalam bentuk: 1) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan

uang, dan melakukan pinjaman;

2) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pajak ketiga;

3) penerimaan negara dan pengeluran negara;

4) kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau perusahaan daerah.

b. hilang atau berkurangnya sesuatu baik berupa uang atau barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban akibat perbuatan sengaja melawan hukum dalam bentuk:

1) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; 2 Artidjo Alkostar, Kerugian Keuangan Negara Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi, Varia

(5)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

2) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.3

2. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Pidana Tambahan Uang Pengganti.

Keberhasilan Negara melalui penegakan hukumnya mengupayakan pengembalian hasil tindak pidana korupsi secara optimal merupakan tanda bekerjanya sistem hukum pengembalian hasil tindak pidana korupsi secara efektif memulihkan berbagai kepentingan dalam masyarakat yang dirugikan akibat tindak pidana korupsi. Terpulihkannya kerugian keuangan Negara dan kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat tindak pidana korupsi merupakan wujud nyata terciptanya kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum sehingga perlindungan hukum terhadap keseimbangan berbagai kepentingan dalam negara hukum Indonesia, yakni kepentingan masyarakat dan kepentingan individu tetap terjaga.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa kerugian keuangan negara harus dikembalikan oleh pelaku tindak pidana korupsi? Untuk itu dapat dianalisis dari pemikiran Utilitarianisme yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, dengan prinsip the principle of utility yang berbunyi the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar). Prinsip kegunaan ini menjadi norma untuk tindakan-tindakan pribadi ataupun kebijakan pemerintah melalui pembentukan hukum. Dengan demikian, undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Karena itu tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Tegasnya memelihara kegunaan.

Pada hakekatnya, pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi sangat penting eksistensinya. Apabila dijabarkan lebih sistematis maka ada beberapa argumentasi sebagai justifikasi teoritis, dan praktis, mengapa pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi tersebut penting eksistensinya dengan titik tolak, yaitu:

Pertama, Justifikasi Filosofis, pada aspek ini maka pengembalian kerugian keuangan negara tindak pidana korupsi dapat terdiri dari benda tetap maupun benda bergerak atau dapat pula berupa uang hasil korupsi baik yang berada di dalam negeri (Indonesia) maupun di luar negeri. Dari dimensi ini, maka aset tersebut hakekatnya (secara ontologi) merupakan uang negara in casu adalah berasal dari dana masyarakat. Dengan menggunakan sarana/cara (secara epistemologi) pembalikan beban pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku maka logikanya pelaku melakukan pengembalian aset hasil korupsi yang diharapkan akan berdampak/manfaat langsung untuk memulihkan keuangan negara atau perekonomian negara yang akhirnya bermuara kepada kesejahteraan masyarakat (secara aksiologi).

Kedua, justifikasi Sosiologis. Dikaji dari perspektif ketentuan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat. Kenyataannya ada perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar sehingga berdampak pada timbulnya krisis di pelbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan 3 Herold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi, Suatu

(6)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Selain itu dengan adanya pemberantasan korupsi yang salah satunya melalui pengembalian keuangan negara maka akan berdampak luas pada masyarakat. Konkretnya, masyarakat akan melihat dan menilai kesungguhan dari penegak hukum tentang pemberantasan korupsi dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (Presumption of innocent), asas kesamaan kedudukan di depan hukum (Equality before the law) dan asas kepastian hukum (legal certainty). Selain itu, justifikasi sosiologis ini merupakan wujud nyata dan peran serta kebijakan legislasi dan aplikasi untuk memberikan ruang gerak lebih luas terhadap adanya kerjasama antara aparat penegak hukum dengan peran serta masyarakat sebagaimana diamanatkan ketentuan Pasal 41 Undang-undang nomor : 31 tahun 1999 (UU 31/1999) jo Undang-undang nomor : 20 tahun 2001 (UU 20/2001). Peran serta masyarakat berkenaan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat diwujudkan dalam bentuk : hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi, hak untuk memperoleh pelayanan, serta hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan, juga hak untuk memperoleh perlindungan hukum.

Ketiga, Justifikasi Yuridis. Keberadaan Ketentuan Undang-undang Pemberantasan Korupsi yang telah ada dan yang akan diberlakukan dikemudian hari hendaknya memberikan ruang gerak dan dimensi lebih luas baik bagi penegak hukum. Masyarakat dan segala lapisan untuk lebih lengkap dalam menanggulangi akibat dan dampak dari perbuatan korupsi. Oleh karena itu kebijakan legislasi memberikan ruang dalam pemberantasan korupsi dapat dilakukan melalui tindakan kepidanaan dan tindakan keperdataan. Pada hakikatnya, aspek pengembalian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi melalui prosedur pidana dapat berupa penjatuhan pidana kepada pelakunya seperti pidana denda maupun terdakwa dihukum untuk membayar uang pengganti, selain anasir itu maka terhadap pengembalian keuangan negara dapat juga melalui gugatan secara perdata di Pengadilan Negeri.4

Oleh sebab itu, kerugian keuangan negara tersebut harus dikembalikan oleh pelaku korupsi karena korupsi merupakan suatu tindakan yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Secara praktek, ada dua cara yang dapat digunakan dalam prosedur pengembalian kerugian negara (asset recovery) yaitu melalui jalur di luar pengadilan dan melalui jalur pengadilan.5 Salah satu cara yang dapat dipakai untuk pengembalian kerugian negara adalah melalui prosedur jalur pidana dengan cara mewajibkan terdakwa yang terbukti dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi untuk mengembalikan kepada negara hasil korupsinya tersebut dalam wujud uang pengganti. Pengenaan pidana tambahan uang pengganti kepada pelaku atau terpidana korupsi merupakan suatu tindakan pemulihan kembali yaitu pemulihan keseimbangan keuangan negara seperti semula sehingga dapat mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Diadopsinya pidana uang pengganti ke dalam sistem hukum pidana yang pada awalnya hanya dikenal dalam instrumen hukum perdata pada dasarnya dilatar-belakangi oleh pemikiran bahwa koruptor harus diancam dengan sanksi pidana seberat mungkin agar mereka jera. Meskipun demikian, tetap harus 4 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya),

Cet. Kedua, Alumni, Bandung, 2011, hal. 103-105.

(7)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

mengedepankan hak asasi pelaku korupsi. Bagaimanapun juga para pelaku korupsi tetaplah manusia yang tidak luput dari kesalahan. Sehingga para pelaku tetap diperlakukan sebagaimana semestinya (memanusiakan manusia).

Pengembalian kerugian keuangan negara tidak saja dapat dilakukan melalui prosedur di pengadilan namun juga dapat dilakukan melalui jalur di luar pengadilan. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara yang memberi peluang agar kerugian keuangan negara yang terkait dengan pengelaolaan keuangan engara diharapkan dilakukan penyelesaiannya tanpa melibatkan lembaga peradilan. Pengembalian kerugian keuangan negara melalui jalur di luar pengadilan dapat dilakukan melalui dua cara berikut, yaitu:

1. tuntutan ganti kerugian.

Ketika negara mengalami kerugian akibat pengelolaan keuangan negara yang tidak benar, maka negara wajib mengenakan tuntutan ganti kerugian kepada pihak yang melakukannya. Pengenaan tuntutan ganti kerugian bertujuan untuk memulihkan keuangan negara yang mengalami kekurangan dan dikembalikan pada keadaan semula sehingga digunakan kembali dalam mencapai tujuan negara. pengenaan tuntutan ganti kerugian tidak boleh dilakukann tanpa didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena negara Indonesia adalah negara hukum.

Terdapat dua hal prinsipl dan saling keterkaitan satu sama lain dalam hal pengenaan tuntutan ganti kerugian, yaitu pihak yang menjatuhkan sanksi berupa ganti kerugian dan pihak yang dikenakan tuntutan ganti kerugian. Pihak yang menjatuhkan ganti kerugian tidak boleh sewenang-wenang membebankan tuntutan ganti kerugian tanpa didasarkan pada bukti-bukti yang diperkenankan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, pihak yang dinakan tuntutan ganti kerugian, wajib melakukan pembayaran sebagai bentuk penggantian kerugian negara ketika cukup bukti bahwa yang bersangkutan terbukti melakukannya.

2. Pembebasan Tuntutan Ganti Kerugian.

Tidak selamanya ganti kerugian harus dikembalikan berdasarkan pengenaan tuntutan ganti kerugian negara. Dalam arti, pihak yang dikenakan tuntutan ganti kerugian bukan tidak bersedia mengganti kerugian negara pada saat melakukan pengelolaan keuangan negara, malainkan UU Perbendaharaan Negara memberikan pembebasan untuk itu. Pembebasan itu boleh terjadi tatkala telah memenuhi persyaratan berupa hak tagih negara berada dalam keadaan kedaluarsaannya sehingga negara tidak boleh melakukan penuntutan ganti kerugian negara.6 Adapun persyaratan yang harus dipenuhi gunak dibebaskan dari tuntutan ganti kerugian negara adalah sebagai berikut:

a. hak negara dinyatakan kedaluarsa dalam jangka waktu lima tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut tidak melakukan penuntutan ganti kerugian; b. hak negara dinyatakan kedaluarsa apabila dalam waktu delapan tahun sejak

terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan;

c. hak negara dinyatakan hapus, ketidak tidak disampaikan oleh pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian negara kepada pengampu bendahara,

(8)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain dalam jangka waktu tiga tahun sejak putusan pengadilan yang menetapkan pengampunan tersebut. Terkait dengan pembebasan tuntutan ganti kerugian tersebut, menurut Muhammad Djafar terjadi karena adanya kealpaan atau kelalaian penyelenggara negara untuk melakukan tuntutan ganti kerugian. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa terjadinya kealpaan untuk melakukan penuntutan ganti kerugian disebabkan karena penyelenggara negara tidak memahami ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.7

Terkait dengan pidana tambahan uang pengganti tersebut, Pasal 18 UU No. 31/1999 mengatur bahwa Pidana tambahan dalam tindak pidana Korupsi dapat berupa:

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana tempat tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana;

e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut;8

Ditetapkannya sanksi pidana tambahan pembayaran uang pengganti kerugian keuangan negara di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi yang dimaksudkan untuk memulihkan keseimbangan yang terganggu agar penghukuman tersebut menjadi efektif. Terkait dengan hal tersebut Jeremy Bentham menyatakan bahwa hukum tanpa adanya ganti rugi ternyata tidak efektif karena masyarakat masih tercekam oleh begitu banyaknya kekhawatiran yang timbul berkaitan dengan tidak terpulihkannya akibat atau kerugian yang diterita oleh korban kejahatan.9

Menurut Pattipeilohy, terdapat persamaan dan perbedaan antara konsep uang pengganti dengan konsep ganti rugi. Persamaan antara uang pengganti dengan ganti rugi yaitu jika ditinjau dari sudut pandang tujuan dan fungsinya adalah sama, yaitu dari sudut pandang tujuannya sebagai suatu pergantian. Artinya bahwa memberikan pergantian terhadap suatu kerugian yang telah terjadi, untuk mencapai keseimbangan seperti semula. Sedangkan dari sudut pandang fungsinya, sama-sama

7 Ibid, hal. 136.

8 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktek dan Masalahnya,

PT. Alumni, Bandung: 2011, hal 314-315.

9 Tanti Adriani Manurung, Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Ketentuan Uang

Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi, Disertasi, Program Pascasarajana, Doktor Ilmu Hukum

(9)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

berfungsi sebagai penghukuman yaitu uang pengganti merupakan suatu hukuman tambahan.

Pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi merupakan pidana tambahan selain pidana terhadap terpidananya sendiri dan pidana denda. Di lain sisi, pidana pembayaran uang pengganti, walaupun ada persamaan sifat dengan pidana denda yakni sama dalam hal nilai uang atau rupiah yang dibebankan atas harta kekayaan si pembuat atau terpidana, namun substansinya sungguh berbeda. Menurut Posner eksistensi pidana denda merupakan semata-mata untuk mencegah seseorang atau orang lain untuk melakukan tindak pidana yang serupa (residive), tetapi adanya biaya sosial yang harus ditanggung oleh pelaku sebagai akibat yang ditimbulkan dari perbuatan jahatnya, bahkan besaran denda harus dikonstruksikan dengan semua pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemerintah yang meliputi kerugian yang ditimbulkan, proses peradilan, dan proses pemenjaraan secara progresif.10

Pengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti. Pidana tambahan uang pengganti dapat dijatuhkan terhadap seluruh tindak pidana korupsi yang diatur dalam Bab II UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 20/2001.11 Artinya bahwa dalam Pasal 17

UU No. 31/1999 disebutkan bahwa tindak pidana yang diatur di dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, selain dapat dijatuhi pidana pokok juga dapat dijatuhi pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 18. Khusus mengenai pembayaran uang pengganti, Pasal 18 ayat (1) huruf b tidak mengatur secara khusus bahwa uang pengganti hanya dapat dijatuhkan terhadap pelanggaran Pasal 2 dan Pasal 3.12 Dengan demikian, pada prinsipnya pidana tambahan pembayaran uang pengganti dapat dijatuhkan terhadap seluruh tindak pidana korupsi yang diatur dalam Bab II UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001.13

Penjatuhan pidana uang pengganti terhadap tindak pidana korupsi selain yang terkait dengan kerugian keuangan negara dapat juga dijatuhkan jika atas perbuatan terdakwa, terdakwa memperoleh hasil korupsi sementara itu tidak semua hasil korupsi tersebut dapat dikenakan perampasan berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf a UU No. 31/1999. Sebagai contoh, dalam perkara penyuapan, harta yang diterima oleh si penerima suap pada dasarnya adalah hasil korupsi. Harta tersebut pada

10 Posner, Economic Analisys of Law, Fourth Edition, Little Brown And Company, Boston, Toronto,

London, 1992, hal. 605.

11 Pasal 3 Perma No. 5/2014.

12 Pasal 2 UU No. 31/1999 menyebutkan bahwa:

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Sedangkan Pasal 3 UU No. 31/1999 menyebutkan bahwa Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

13 Penjelasan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2014 Tentang Uang Pengganti

(10)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

prinsipnya haruslah dirampas menjadi milik negara. Namun sangat mungkin harta tersebut sudah tidak berada di tangan terdakwa baik seluruhnya maupun sebagaian sehingga tidak dapat dikenakan penyitaan pada saat penyidikan dan perampasan. Dalam kasus-kasus seperti itu, maka untuk menghindari terdakwa menikmati hasil korupsi tersebut di kemudian hari maka atas selisih harta hasi korupsi (uang suap) yang belum dikenakan perampasan dapat dikenakan uang pengganti.14

Pidana tambahan uang pengganti mempunyai kaitan dengan proses pengembalian keuangan negara melalui pembayaran uang pengganti dari pelaku korupsi setelah melalui prosedur penghitungan kerugian keuangan negara akibat adanya tindak pidana korupsi. Diadopsinya pidana uang pengganti kedalam sistem hukum pidana yang pada awalnya hanya dikenal dalam instrumen hukum perdata pada dasarnya dilatar belakangi oleh pemikiran bahwa koruptor harus diancam dengan sanksi pidana seberat mungkin agar mereka jera.15

Mengacu pada pendapat Bentham, maka hukuman tanpa ada pidana tambahan uang pengganti ternyata tidak efektif karena masyarakat masih tercekam oleh begitu banyaknya kekhawatiran yang timbul berkaitan dengan tidak terpulihkannya akibat atau kerugian yang diderita oleh korban kejahatan.16 Selama

uang pengganti gagal terpenuhi, maka korupsi tetap berada pada tingkat yang sama tanpa ada pemulihan bagi kerugian keuangan. Hal ini berarti pula bahwa apabila sanksi pidana tambahan uang pengganti untuk mengganti kerugian keuangan negara tidak berhasil ditegakkan, maka tindak pidana korupsi di Indonesia akan tetap tumbuh subur, dan pelakunya tetap mendapatkan kenikmatan dari hasil kejahatan korupsinya, sedangkan keuangan negara dan masyarakat tetap menjadi pihak yang dirugikan.

Uang pengganti terjadi akibat adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) yang dijatuhkan kepada terpidana untuk dibayar/dikembalikan kepada negara, melalui kas negara/kas daerah/BUMN/BUMD atau diganti dengan pidana badan (subsidiair) bila tidak membayar uang pengganti. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 yaitu: jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan di lelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Sementara itu, Pasal 18 ayat (3) UU No. 31/1999 jo UU No. 20/20001 dijelaskan bahwa:

apabila terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Pasal 18 ayat (3) diatas, dipertegas oleh Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2014 Tentang Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur bahwa:

14 Posner, Loc Cit.

15 Ismansyah, Kriminalistik, Universitas Andalas, Padang, 1993, hal. 44

16 Lihat Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, diterjemahkan oleh Nurhadi, Teori

Perundang-undangan (Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), Penerbit

(11)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

(1) lama penjara pengganti yang dapat dijatuhkan adalah setinggi-tingginya ancaman pidana pokok atas pasal yang dinyatakan terbukti.

(2) dalam hal ancaman pidana pokok atas pasal yang dinyatakan terbukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup, maksimum penjara penggantinya adalah 20 (dua puluh) tahun.

(3) ketentuan Pasal 12 ayat (4) KUHP17 tidak mengikat untuk penjatuhan penjara pengganti.

Dengan rumusan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Perma No. 5/2014, maka maksimal lamanya penjara pengganti dari uang pengganti yang dapat dijatuhkan tidak boleh melebihi ancaman pidana pokok atas pasal yang dinyatakan terbukti. Hal ini dikarenakan penjara pengganti atas uang pengganti merupakan pidana tambahan, sehingga pada prinsipnya untuk menambah hukuman selain pidana pokok yang telah dijatuhkan kepada terdakwa. Dengan demikian, maksimal ancaman pidana tidak dihitung dengan cara mengakumulasikan ancaman pidana pokok dengan pidana tambahan. Ancaman pidana pokok hanya dijadikan patokan dalam menentukan maksimal lamanya penjara pengganti yang dapat dijatuhkan. Selanjutnya dalam hal maksimal ancaman pidana pokok adalah penjara seumur hidup, maka maksimum penjara penggantinya adalah selama 20 (dua puluh) tahun.18

Terdakwa perkara korupsi yang telah terbukti dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dapat terbebas dari kewajiban untuk membayar uang pengganti apabila uang pengganti tersebut dapat dikompensasikan dengan kekayaan terdakwa yang dinyatakan dirampas untuk negara atau terdakwa sama sekali tidak menikmati uang tersebut, atau telah ada terdakwa lain yang telah dihukum membayar uang pengganti, atau kerugian negara masih dapat ditagih dari pihak lain. Jumlah uang pengganti menurut ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 adalah sebesar kerugian negara yang secara nyata dinikmati atau memperkaya terdakwa atau karena kausalitas tertentu, sehingga terdakwa bertanggung jawab atas seluruh kerugian negara. Pasal 18 ayat (2) UU No. 31/1999 diperkuat oleh Pasal 1 Perma No. 5/2014 yang menyebutkan bahwa:

dalam hal menentukan jumlah pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi, adalah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan semata-mata sejumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan.

Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan uang pengganti adalah pidana tambahan yang dijatuhkan kepada terpidana pelaku tindak pidana korupsi yang berupa pembayaran sejumlah uang yang jumlahnya sama sebesar harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan bukan sejumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi. Dengan rumusan yang demikian maka, tidak menutup kemungkinan para terpidana korupsi dibebaskan dari pembayaran uang pengganti meskipun telah terjadi kerugian keuangan negara.

Harta benda yang diperoleh dari tindak pidana diartikan tidak hanya sebatas harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi yang masih dikuasai oleh terpidana pada saat majelis hakim memutuskan perkaranya.19 Namun juga

17 Pasal 12 ayat (4) KUHP menyebutkan bahwa Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali

tidak boleh melebihi 20 (dua puluh) tahun.

18 Lihat Penjelasan umum Peraturan Mahkamah Agung Nomor. 5 Tahun 2014 Tentang Uang

Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

(12)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

harus diartikan termasuk harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi yang pada saat majelis hakim memutuskan perkaranya, harta benda tersebut sudah dialihkan kekuasaannya kepada pihak lain.20 Terkait dengan hal ini Pasal 5 Perma

No. 5/2014 menyebutkan bahwa:

Dalam hal harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tidak dinikmati oleh terdakwa dan telah dialihkan kepada pihak lain, uang pengganti dapat dijatuhkan kepada terdakwa sepanjang terhadap pihak lain tersebut tidak dilakukan penuntutan, baik dalam tindak pidana korupsi maupun tindak pidana lainnya, seperti tindak pidana pencucian uang.

Ketentuan dalam Pasal 5 Perma No. 5/2014 diatas dimaksudkan agar tidak terjadi penghukuman ganda dimana terhadap terpidana dikenakan uang pengganti untuk merampas keuntungan yang telah diterima oleh terpidana. Namun di sisi lain atas obyek yang sama perampasan tersebut dilakukan juga dalam perkara lain sehingga negara menjadi diuntungkan.21

D. PENUTUP

Pidana tambahan uang pengganti merupakan konsekuensi dari akibat tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti. Uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman (pidana) tambahan dalam perkara korupsi. Uang pengganti merupakan sejumlah uang yang dibayarkan oleh terpidana tindak pidana korupsi yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Artidjo Alkostar, Kerugian Keuangan Negara Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi, Varia Peradilan No. 275, Oktober 2008.

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta 2010. Herold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana

Korupsi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, 2014. Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, diterjemahkan oleh Nurhadi, Teori

Perundang-undangan (Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung, 2006.

Ismansyah, Kriminalistik, Universitas Andalas, Padang, 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya), Cet. Kedua, Alumni, Bandung, 2011.

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktek dan Masalahnya, PT. Alumni, Bandung: 2011.

Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011.

Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2014 Tentang Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi.

20 Ibid, hal.150.

(13)

NEW RATU ADIL UNSA (NRAU) | https://journalfhunsa.com.index.php/newratuadilunsa

Posner, Economic Analisys of Law, Fourth Edition, Little Brown And Company, Boston, Toronto, London, 1992.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2010.

Tanti Adriani Manurung, Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Ketentuan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi, Disertasi, Program Pascasarajana, Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 2009.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian peneliti nantinya membuat suatu produk berupa media pembelajaran berbasis video animasi powtoon, peneliti memilih menggunakan media video animasi

Atau pemilih pemula ini adalah mereka yang baru akan mempunyai pengalaman pertama kali di dalam berpartisipasi dalam pemilihan umum, khususnya pada tahun 2014

Berdasarkan hasil penelitian tentang penggunaan model pembelajaran inkuiri terbimbing pada mata kuliah IPA terhadap sikap ilmiah dan hasil belajar mahasiswa jurusan

Pada pertemuan pertama terdapat 6 kelompok dimana terdapat 4 hingga 5 siswa dari masing-masing kelompok, pada pertemuan pertama karena masih proses adaptasi

Analisis proses bisnis pendaftaran menggunakan usulan sistem dilakukan oleh pasien melalui website. Tahap pertama pasien membuat akun terlebih dahulu, apabila pasien

Pada tabel 1 menunjukkan beberapa penelitian berkaitan dengan metode yang digunakan untuk memprediksi hambatan pada kapal cepat.. Penelitian ini akan menganalisis

Dalam rangka memberi perhatian terhadap kepentingan korban dan masyarakat, terhadap mereka yang belum bisa diproses melalui sistem peradilan pidana anak karena usia pelaku belum

Yang bertanda tangan dibawah ini saya, Alvien Fajhrin Nata, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : Pengaruh Budaya Organisasi, Lingkungan Kerja Fisik, dan Stres Kerja