BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Khusus
Pembangunan jalur dan stasiun Light Rail Transit akan dilaksanakan menggunakan jalur tepi di sepanjang jalan tol CAWANG – CIBUBUR dengan jalur layang (Elevated) dengan ketinggian antara ±17 meter di atas permukaan tanah. Untuk jenis track yang akan digunakan pada Light Rail Transit adalah jenis narrow gauge yang mempunyai lebar 1067 mm, kenapa dipilih jenis track
narrow gauge karena track jenis ini sudah tidak asing lagi dalam dunia perkereta
apian karena sering digunakan, seperti pada track KRL (Komuter Line), sedangkan untuk rolling stock sendiri menggunakan power sekitar 750 V DC seperti yang digunakan pada Kereta Rel Listrik yang ada di Indonesia. Untuk panjang satu rangkaian kereta ini sendiri kurang lebih 51600 mm dengan lebar 2650 mm.
Kereta ini direncanakan dapat mengangkut penumpang dengan kapasitas sekitar 400 orang per rangkaian dimana satu rangkaiannya terdiri dari tiga gerbong yang akan menampung penumpang sekitar 816.000 orang per harinya selain itu dalam satu gerbong kereta ringan ini menyediakan sekitar 74 tempat duduk, 6 flip seat dan dapat menampung penumpang yang berdiri sekitar 320 orang.
Kereta api ringan ini akan dibangun menjadi dua tahap, pembangunan tahap pertama akan membangun untuk rute Bekasi Timur – Cawang – Kuningan – Dukuh Atas, dan Cibubur - Cawang. Tahap II akan membangun untuk jalur
Cibubur – Bogor, dan Dukuh Atas – Palmerah – Senayan. Sementara tahap III membangun jalur Palmerah - Grogol.
2.2 Jalan Rel
Jalan rel merupakan suatu system struktur yang menghimpun komponen-komponen seperti rel, bantalan, penambat, lapisan pondasi serta tanah dasar secara terpadu dan disusun dalam system konstruksi dan analisis tertu untuk dapat dilalui kereta api secara aman dan nyaman.
2.2.1 Kriteria Struktur Jalan Rel 1. Kekakuan (Stiffness)
Kekakuan struktur untuk menjaga daformasi vertical dimana deformasi vertical diakibatkan oleh distribusi beban lalu lintas kereta api merupakan indikator utama dari umur, kekuatan dan kualitas jalan rel. deformasi vertical yang berlebihan akan menyebabkan geometric jalan rel tidak baik dan keausan yang besar diantara komponen-komponen struktur jalan rel.
2. Elastisitas (Elastic/Resilience)
Elastisitas diperlukan untuk kenyaman perjalanan kereta api, menjaga patahnya as roda, meredam kejut, impact, getaran vertical. Jika struktur jalan rel terlalu kaku, misalnya pemakaian bantalan beton, maka untuk menjamin keelastikan struktur dapat menggunakan pelat karet (rubber pads) dibawah kaki rel.
3. Ketahanan Terhadap Deformasi Tetap
Deformasi vertical yang berlebihan akan cenderung menjadi deformasi tetap sehingga geometric jalan rel (ketidakrataan vertical, horizontal dan puntir) menjadi tidak baik, yang pada akhirnya kenyamanan dan keamanan terganggu.
4. Stabilitas
Jalan rel yang stabil dapat mempertahankan struktur jalan pada posisi yang tetap atau semula (vertical dan horizontal) setelah pembebanan terjadi. Untuk itu diperlukan balas dengan mutu yang baik dan juga kepadatannya baik pula, bantalan dengan penambat yang selalu terikat dan drainasi yang baik.
5. Kemudahan Untuk Pengaturan dan Pemeliharan
(Adjustability)
Jalan rel mempunyai sifat dan kemudahan dalam pengaturan dan pemeliharaan sehingga dapat dikembalikan ke posisi geometric dan struktur jalan rel yang benar jika terjadi perubahan geometric akibat beban berjalan.
2.2.2 Klasifikasi Jalan Rel Menurut PD.10 Tahun 1986 1. Penggolongan Menurut Lebar Sepur
Lebar sepur merupakan jarak terkecil diantara kedua sisi kepala rel, diukur pada daerah 0 – 14 mm dibawah permukaan teratas kepala rel. Sepur yang digunakan di Indonesia adalah jenis sepur sempit (narrow gauge) yaitu dengan lebar sepur < 1435 mm.
2. Penggolongan Kelas Jalan Rel Menurut Kecepatan Maksimum yang diijinkan untuk Indonesia
Kelas Jalan I : 120 km/jam
Kelas Jalan II : 110 km/jam
Kelas Jalan III : 100 km/jam
Kelas Jalan IV : 90 km/jam
Kelas Jalan V : 80 km/jam
3. Penggolongan Kelas Jalan Rel Menurut Daya Lintas Kereta Api (juta ton/tahun) yang diijinkan untuk Indonesia
Tabel 2.1
Penggolongan kelas jalan rel.
Kelas jalan Daya Angkut Lintas
(dalam 106 x Ton/Tahun) I > 20 II 10 – 20 III 5 – 10 IV 2,5 – 5 V < 2,5
(Sumber: Peraturan Dinas PJKA,1986)
4. Penggolongan Berdasarkan kelandaian (tanjakan) Jalan
Lintas Dasar : 0 – 10 %
Lintas Pegunungan :10 – 40 %
Kelandaian di emplasemen :0 s.d 1,5 % 5. Penggolongan Menurut Jumlah Jalur
Jalur Tunggal : jumlah jalur di lintas bebas hanya satu, diperuntukan untuk melayani arus lalu lintas angkutan jalan rel dari dua arah.
Jalur Ganda : Jumlah jalur di lintas bebas > 1( 2 arah ) dimana masing-masing jalur hanya diperuntukan untuk melayani arus lalu lintas angkutan jalan rel dari satu arah.
2.3 Alinyemen Jalan Rel
Alinyemen jalan rel adalah arah dan posisi dari sumbu jalan rel. selain perencanaan wesel, penambat,dan bantalan, alinyemen jalan rel adalah salah satu bagian penting dalam perencanaan geometric jalan rel, karena dengan perencanaan alinyemenlah kita dapaat mengetahui jenis tikungan yang cocok digunakan untuk daerah dimana jalan rel tersebut akan dibangun, selain itu juga kita dapat mengetahui pelebaran sepur yang terjadi dan juga peninggian rel yang akan terjadi serta yang tetap mengacu pada PJKA (Perencanaan Kontruksi Jalan Rel).
Alinyemen jalan rel yang baik harus memenuhi beberapa factor berikut : 1. Fungsi dari jalan rel
Secara umum, jalan tersebut berfungsi untuk melayani lalu lintas barang maupun orang, baik dengan jarak jauh maupun jarak
dekat selain itu juga sebagai penghubung tempat-tempat pusat kegiatan, baik pusat hiburan maupun pusat perkantoran.
2. Keselamatan (safety)
Jalan rel dirancang dan dibangun dengan mempertimbangkan keselamatan dan kenyamanan pengguna maupun yang berdekatan, terkadang lalu lintas kereta api maupun lalu lintas lainnya yang berinteraksi dengan jalan rel (jalan raya dan penyeberang jalan). Dengan kata lain jalan rel dirancang dan dibangun dengan meminimalisir terjadinya kesalahan-kesalahan sehingga dapat menimbulkan kecelakaan baik dari kesalahan konstruksi maupun human error.
3. Ekonomi
Jalan rel dirancang dan dibangun dengan memperhatikan factor-faktor sebagai berikut yaitu biaya pembangunan, biaya pemeliharaan dan biaya operasi selain itu manfaat dari pembangunan jalan rel harus dapat dirasakan secara makro maupun mikro, jangan sampai pembangunan jalan rel tersebut manfaatnya hanya dapat dirasakan satu kalangan saja sehingga kalangan yang lain tidak merasakan manfaat dari pembangunan tersebut padahal membangunan tersebut dilakukan dengan menggunakan uang rakyat semua kalangan bukan sebagian kalangan.
4. Aspek Lingkungan
Semua bangunan didunia dibangun dengan memperhatikan dampak lingkungan apa yang terjadi jika proyk tersebut jadi terlaksana. Tidak terkecuali proyek pembangunan jalan rel ini, walaupun dalam dalam pembangunan jalan rel tidak memerlukan ruang yang cukup besar namun tetap harus diperhatikan dampak apa yang akan terjadi setelah proyek tersebut terlaksana, dampak yang paling sederhana adlah berkurangnya lahan hijau yang diakibatkan pembangunan jalan rel, rata-rata yang terjadi adalah tidak sesuainya penggantian lahan hijau yang telah dirusak karena pembangunan.
Alinyemen Jalan Rel sendiri terbagi menjadi 2 bagian yaitu alinyemen horizontal yang terdiri dari jalur lurus, lebar sepur dan pelebarannya. selain itu jugaada alinyemen vertikal yang meliputi perubahan kelandaian dan lengkung vertical.
2.3.1 Alinyemen Horizontal
Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan rel pada bidang horizontal. Alinyemen horizontal terdiri dari garis lurus dan juga lengkungan.
Pada perencanaan alinyemen horizontal sendiri ada 3 metode yang sering digunakan yaitu dengan metode full circle (FC), spiral circle spiral (SCS), dan Spiral spiral ( SS ).
1) Full Circle ( FC )
Lengkung full circle (lengkung penuh) yaitu lengkung yang hanya terdiri dari bagian lengkung tanpa adanya peralihan (hanya ada satu jari-jari lingkaran) selain itu lengkung full
circle dapat digunakan jika jari-jari tikungan R yang
direncanakan besar dan nilai superelevasi e lebih kecil dari 3%.
Gambar 2.1 skema lengkung full circle
2) Spiral Circle Spiral ( SCS )
Lengkung spiral circle spiral adalah lengkung yang terdiri atas bagian lengkungan (circle) dengan bagian peralihan
(spiral) untuk menghubungkan dengan bagian yang lurus
spiral. Pada umumnya lengkung ini digunakan jika nilai
superelevasi e ≥ 3% dan panjang lc > 25 meter.
Gambar 2.2 skema lengkung Spiral circle Spiral
3) Spiral Spiral ( SS )
Lengkung spiral spiral adalah lengkung yang hanya terdiri dari spiral-spiral saja tanpa adanya circle. Ini merupakan model SCS tanpa circle. Lengkung ini biasanya terdapat di tikungan dengan kecepatan sangat tinggi pada umumnya digunakan jika nilai superelevasi e ≥ 3% dan panjang lc kurang dari sama dengan 25 meter. Besarnya Ls pada landai relatif minimum yang disyaratkan.
Gambar 2.3 skema lengkung Spiral Spiral
Pada studi kasus untuk perhitungan alinyemen horizontal penulis mencoba menggunakan metode Spiral Circle Spiral (SCS).
a) Lengkung Peralihan
Lengkung peralihan adalah suatu lengkung dengan jari-jari yang berubah beraturan. Lengkung peralihan dipakai sebagai peralihan antara bagian yang lurus dengan bagian lingkaran dan sebagai peralihan antara dua jari-jari lingkaran yang berbeda. Panjang lengkung minimum dari lengkung peralihan ditetapkan dengan rumus berikut :
(2.1) Dimana :
Lh = panjang minimum lengkung peralihan ( m )
h = pertinggian relative antara dua bagian yang dihubungkan ( mm ) v = kecepatan rencana untuk lengkungan peralihan
( km/jam)
Dengan satuan praktis untuk mencari tinggi rel :
(2.2) Dimana :
R = jari-jari lengkung horizontal ( m ) V = kecepatan rencana ( km/jam )
h = peninggian rel dalam lengkung horizontal ( maks= 110 mm )
b) Sudut Spiral
Sudut spiral dibentuk pada titik SC dan CS
(2.3)
Dimana :
Ls = panjang lengkung peralihan ( m ) R = jari-jari lengkung horizontal ( m )
c) Panjang busur lingkaran
Panjang lengkung lingkaran antara titik SC dan CS
(2.4) Dimana :
R = jari-jari lengkung horizontal ( m ) Өs = sudut spiral yang dibentuk
∆ = sudut tikungan
d) Panjang proyeksi titik P
Titik P adalah panjang proyeksi antara garis bantu PI tegak lurus terhadap pusat lingkaran.
(2.5)
Dimana :
R = jari-jari lengkung horizontal ( m ) Өs = sudut spiral yang dibentuk
e) Panjang titik K
Titik K adalah proyeksi datar antara titik TS dan SC
(2.6)
Dimana :
Ls = panjang lengkung peralihan ( m ) R = jari-jari lengkung horizontal ( m ) Өs = sudut spiral yang dibentuk
f) Panjang titik TS
Adalah panjang dari titik TS ke titik PI
(2.7) Dimana :
R = jari-jari lengkung horizontal ( m ) p = panjang proyeksi garis bantu PI ( m ) k = panjang antara titik TS dengan SC ( m ) ∆ = sudut tikungan
g) Panjang titik E
(2.8) Dimana :
R = jari-jari lengkung horizontal ( m ) p = panjang proyeksi garis bantu PI ( m ) ∆ = sudut tikungan
h) Panjang Xs dan Ys
Koordinat peralihan dari circle ke spiral
(2.9)
Dimana :
R = jari-jari lengkung horizontal ( m ) Ls = panjang peralihan ( m )
H = peninggian rel ( m )
V = kecepatan rencana ( km/jam )
2.3.2 Alinyemen Vertikal
Alinyemen vertical adalah perencanaan elevasi sumbu jalan pada setiap titik yang ditinjau. Pada perencanaan alinyemen vertical terdapat kelandaian positif ( tanjakan ) dan kelandaian negative ( turunan ), sehingga kombinasinya berupa lengkung cembung dan lengkung cekung. Disamping kedua lengkung tersebut terdapat pula kelandaian = 0 ( datar ). Persamaan lengkung vertical
Pada umumnya bentuk lengkung vertical yang sering digunakan adalah pola parabola sederhana.
Gambar 2.5 Skema lengkung Vertikal
Keterangan :
R = Jari-jari lengkung vertikal L = panjang lengkung vertical
A = titik pertemuan antara perpanjangan kedua landau/ garis lurus
ᵠ
= perbedaan landau OA = 0,5 LPerhitungan lengkung peralihan vertical dapat dipakai persamaan:
(2.10)
Besar kecepatan rencana mempengaruhi besar jari-jari minimum lengkung vertical. Besar jari-jari minimum lengkung vertical pada table dibawah ini :
Tabel 2.2
Jari-jari minimum lengkung vertikal Kecepatan (km/jam) Jari-jari minimum (m) Vmax < 100 100 < Vmax <140 140 < Vmax < 200 5000 10000 20000
(Sumber : Railways Management and Engineering)
Lengkung vertikal diusahakan tidak terhimpit atau bertumpangan / bersinggungan dengan lengkung horizontal.
2.3.3 Kelandaian
2.3.3.1 Landai penentu
Landau penentu adalah suatu kelandaian (pendakian) yeng terbesar yang ada pada suatu lintas lurus. Besar landau penentu terutama berpengaruh pada kombinasi daya tarik lok dan rangkaian yang dioperasikan. Untuk masing-masing kelas jalan rel, besar landau penentu adalah seperti tercantum dalam tabel dibawah :
Tabel 2.3
Landai penentu maksimum
Kelas jalan rel Landai penentu maksimum
1 2 3 4 5 1 1 2 2,5 2,5 (Sumber : Peraturan Dinas PJKA, 1986)
2.3.3.2 Landai curam
Dalam keadaan yang memaksa kelandaian (pendakian) dari lintas lurus dapat melebihi landau penentu. Kelandaian ini disebut landai curam. Panjang maksimum landau dapat ditentukan melalui rumus pendekatan sebagai berikut :
(2.11)
Dimana :
I = panjang maksimum landai curam (m)
Va = kecepatan minimumyang diijinkan dikaki landai curam (m/detik)
Vb = kecepatan minimum dipuncak landai curam (m/detik) Vb ≥ 0,5 Va
Sk = besar landai curam (%)