• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

6 2.1.1.1 Pengertian Matematika

Kata matematika berasal dari perkataan Latin mathematika yang mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike yang berarti mempelajari. Perkataan itu sebenarnya mempunyai asal kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Berdasarkan asal katanya, maka perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan cara berpikir (bernalar). Menurut Russeffendi (1980:148) matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi, matematika terbentuk dari pemikiran manusia, yang berhubungan dengan idea, proses, dan penalaran. Jhonson dan Rising dalam Russeffendi (1972) mengatakan bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis.

Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari Sekolah Dasar. Hal ini dimaksudkan untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Tujuan umum matematika diajarkan pada jenjang pendidikan dasar adalah agar siswa mampu untuk: (a) Melakukan operasi hitung: penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, beserta operasi campurannya termasuk yang melibatkan pecahan; (b) Menentukan sifat dan unsur suatu bangun dasar dan bangun ruang sederhana, termasuk penggunaan sudut, keliling, luas, dan volume; (c) Menentukan sifat simetri, kesebangunan dan sistem koordinat; (d) Menggunakan pengukuran, satuan, kesetaraan antar satuan, dan penaksiran pengukuran; (e) Menentukan dan menafsirkan data sederhana seperti ukuran tertinggi, terendah, rata – rata, modus, serta mengumpulkan dan menyajikan data.

(2)

2.1.1.2 Tujuan Mata Pelajaran Matematika

Penyusunan kurikulum tingkat satuan pedidikan mempertimbangkan kesinambungan tujuan antara jenjang pendidikan yang lebih rendah ke jenjang yang lebih tinggi. Pada mata pelajaran matematika menyajikan tujuan instruksional sebagai berikut.

a) Siswa mampu menggunakan matematika sebagai alat untuk memecahkan masalah atau soal yang mencakup: kemampuan memahami model matematika, operasi penyelesaian model, dan penafsiran solusi model terhadap masalah semula.

b) Menggunakan matematika sebagai cara untuk bernalar dan untuk mengkomunikasikan gagasan secara lisan dan tertulis, misalnya menyajikan masalah ke bentuk model matematika.

Sedangkan tujuan umum matematika pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar adalah sebagai berikut.

a) Siswa mampu melakukan operasi hitung: penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, beserta operasi campurannya termasuk yang melibatkan pecahan.

b) Siswa mampu menentukan sifat dan unsur suatu bangun datar dan bangun ruang sederhana, termasuk penggunaan sudut, keliling, luas, dan volume. c) Siswa mampu menentukan sifat simetri, kesebangunan, dan sistem koordinat. d) Siswa menggunakan pengukuran, satuan, kesetaraan antar satuan, dan

penaksiran pengukuran.

e) Siswa mampu menentukan dan menafsirkan data sederhana seperti ukuran tertinggi, terendah, rata – rata, modus, serta mengumpulkan dan menyajikan data.

Dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006, mata pelajaran Matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.

a) Memahami konsep Matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

(3)

b) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

c) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

d) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

e) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Surayin (2007) menyebutkan ada lima tujuan pembelajaran matematika di SD, diantaranya: a) mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan dalam kehidupan melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efektif; b) mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari – hari dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan; c) menambah dan mengembangkan keterampilan berhitung dengan bilangan sebagai alat dalam kehidupan sehari – hari; d) mengembangkan pengetahuan dasar matematika dasar sebagai bekal untuk melanjutkan ke pendidikan menengah; e) membentuk sikap logis, kritis, kreatif, cermat, dan disiplin.

Tujuan pembelajaran matematika dalam Kurikulum 2004 adalah sebagai berikut.

a) Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan – kegiatan penyelidikan, kegiatan eksplorasi, kegiatan eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonsistensi. b) Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan

penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba – coba.

(4)

d) Mengembangkan kemampuan untuk dapat menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram dalam menjelaskan gagasan.

2.1.1.3 Ruang Lingkup Mata Pelajaran Matematika

Pembelajaran matematika di sekolah diarahkan pada pencapaian standar kompetensi dasar oleh siswa. Kegiatan pembelajaran matematika tidak berorientasi pada penguasaan materi matematika semata, tetapi materi matematika diposisikan sebagai alat dan sarana siswa untuk mencapai komptetensi. Oleh karena itu, ruang lingkup mata pelajaran matematika yang dipelajari di sekolah disesuaikan dengan kompetensi yang harus dicapai siswa.

Standar kompetensi matematika merupakan seperangkat kompetensi matematika yang dibakukan dan harus ditunjukkan oleh siswa sebagai hasil belajarnya dalam mata pelajaran matematika. Standar ini dirinci dalam kompetensi dasar, indikator, dan materi pokok, untuk setiap aspeknya. Pengorganisasian dan pengelompokan materi pada aspek tersebut didasarkan menurut kemahiran atau kecakapan yang hendak ingin di capai.

Menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006 mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan SD/ MI meliputi aspek – aspek sebagai berikut.

1) Bilangan

a. Melakukan dan menggunakan sifat – sifat opersai hitung bilangan dalam pemecahan masalah.

b. Menafsirkan hasil operasi hitung. 2) Geometri dan pengukuran

a. Mengidentifikasi bangun datar dan ruang menurut sifat, unsur, atau kesebangunan.

b. Melakukan operasi hitung yang melibatkan keliling, luas, volume, dan satuan pengukuran.

c. Menaksir ukuran (misal: panjang, luas, volume) dari benda atau bangun geometri.

d. Mengaplikasikan konsep geometri dalam menentukan posisi, jarak, sudut, dan transformasi dalam pemecahan masalah.

(5)

3) Pengolahan data

a. Mengumpulkan, menyajikan, dan menafsirkan data.

b. Menentukan dan menafsirkan peluang suatu kejadian dan ketidakpastian.

2.1.2 Model Pembelajaran Kooperatif

2.1.2.1 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran adalah suatu sarana dimana model ini diciptakan untuk membantu proses kegiatan belajar mengajar menjadi lebih mudah dan lebih efektif. Menurut Agus Suprijono (2009 : 46) model pembelajaran adalah pola yang digunakan dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial. Joyce dalam Agus Suprijono (2009 : 46) mengatakan bahwa fungsi dari model pembelajaran yaitu guru dapat membantu siswa mendapatkan informasi, ide, ketrampilan, cara berpikir, dan mengekspresikan ide – ide.

Berdasarkan uraian singkat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran atau aktivitas belajar siswa secara sistematis serta suatu sarana untuk membantu proses kegiatan belajar mengajar menjadi lebih mudah dan efektif utuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Akibat dari penggunaan model pembelajaran tidak hanya bagaimana siswa tersebut dapat memperoleh pengetahuan tetapi bagaimana siswa juga dapat meningkatkan kemampuannya dalam memahami ilmu pengetahuan yang didapatkannya.

Nurhadi (2003 : 60) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang didasarkan pada alasan bahwa manusia sebagai makhluk individu yang berbeda satu sama lain sehingga konsekuensi logisnya manusia harus menjadi makhluk sosial, makhluk yang berinteraksi dengan sesama. Sedangkan menurut Lie (2002 : 40) pembelajaran Cooperative merupakan model pembelajaran yang menggunakan sistem pengelompokan tim kecil yaitu antara yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku bangsa yang berbeda. Sejalan dengan hal tersebut, pengelompokan heterogenitas merupakan ciri – ciri yang menonjol dalam model pembelajaran kooperatif.

(6)

2.1.2.2 Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif

Tujuan penting dari pembelajaran kooperatif adalah untuk mengajarkan kepada siswa ketrampilan kerja sama dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat dimana banyak kerja orang dewasa sebagian besar dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain dan dimana masyarakat secara budaya semakin beragam (Ibrahim, dkk. 2000 : 9). Menurut Slavin (1994) tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya.

Muslimin Ibrahim memaparkan 3 tujuan instruksional penting yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif, yaitu:

a) Hasil belajar akademik

Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas – tugas akademik. Banyak ahli yang berpendapat bahwa model pembelajaran kooperatif unggul dalam membantu siswa untuk memahami konsep – konsep yang dianggap sulit.

b) Pengakuan adanya keberagaman

Model pembelajaran kooperatif bertujuan agar siswa dapat menerima teman – temannya yang mempunyai berbagai macam perbedaan latar belakang. Perbedaan tersebut antara lain perbedaan suku, agama, kemampuan akademik, dan tingkat sosial.

c) Pengembangan ketrampilan sosial

Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mengembangkan ketrampilan sosial siswa. Ketrampilan sosial yang dimaksudkan adalah berbagi tugas, aktif bertanya, mau menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau gagasan, dan bekerja sama dalam kelompok.

2.1.2.3 Manfaat Model Pembelajaran Kooperatif

Menurut Sadker dan Sadker (Huda, 2011) 4 manfaat model pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut.

(7)

a) Siswa yang diajari dalam struktur – struktur kooperatif akan memperoleh hasil pembelajaran yang lebih tingi khususnya bagi siswa Sekolah Dasar untuk mata pelajaran matematika.

b) Siswa yang berpartisipasi dalam pembelajaran kooperatif akan memiliki sikap harga diri yang lebih tinggi dan motivasi yang besar untuk belajar.

c) Siswa menjadi lebih peduli pada teman – temannya, dan diantara mereka akan terbangun rasa ketergantungan yang positif.

d) Meningkatkan rasa penerimaan siswa terhadap teman – temannya yang berasal dari latar belakang ras dan etnik yang berbeda.

Menurut Linda Lungren (1994 : 120) dalam (Ibrahim, dkk. 2000 : 18) ada beberapa manfaat pembelajaran kooperatif bagi siswa dengan prestasi belajar yang rendah, yaitu:

a) Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas b) Rasa harga diri menjadi lebih tinggi

c) Memperbaiki sikap terhadap ilmu pengetahuan alam dan sekolah d) Memperbaiki kehadiran

e) Angka putus sekolah menjadi rendah

f) Penerimaan terhadap perbedaan individu menjadi lebih besar g) Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil

h) Konflik antar pribadi berkurang i) Sikap apatis berkurang

j) Pemahaman yang lebih mendalam k) Motivasi lebih besar

l) Hasil belajar lebih tinggi m) Retensi lebih lama

n) Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi

Pembelajaran kooperatif mencerminkan pandangan bahwa manusia belajar dari pengalaman mereka dan partisipasi aktif dalam kelompok kecil membantu siswa belajar keterampilan sosial yang penting, sementara itu secara bersamaan mengembangkan sikap demokrasi dan keterampilan berpikir logis.

(8)

2.1.2.4 Unsur – Unsur Model Pembelajaran Kooperatif

Roger dan David Johnson (dalam Agus Suprijono, 2011:58) menyebutkan beberapa unsur – unsur pembelajaran kooperatif diantaranya :

a) Positive interdependence (saling ketergantungan)

Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut.

b) Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan)

Tanggung jawab perseorangan adalah kunci menjamin semua anggota kelompok yang diperkuat oleh kegiatan bersama. Beberapa cara menumbuhkan tanggung jawab perseorangan adalah:

1. kelompok belajar jangan terlalu besar 2. melakukan assesment terhadap semua siswa

3. memberi tugas kepada siswa, kemudian dipilih secara acak / random untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya kepada guru dan seluruh siswa di depan kelas

4. menguasai salah seorang siswa untuk menugasi sebagai pemeriksa dalam kelompoknya

5. menugasi siswa mengajar temannya

c) Face to face promotive interaction (interaksi promotif)

Ciri – ciri interaksi promotif adalah: (1) saling membantu secara efektif dan efisien; (2) saling memberi informasi dan sarana yang diperlukan; (3) memproses informasi bersama secara efektif dan efisien; (4) saling mengingatkan; (5) saling membantu dalam merumuskan dan mengembangkan argumentasi serta meningkatkan kemampuan wawasan terhadap masalah yang dihadapi; (6) saling percaya; (7) saling memotivasi untuk memperoleh keberhasilan bersama.

d) Interpesonal skill (komunikasi antar anggota)

Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada ketersediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan,

(9)

mengenal dan mempercayai, mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius, saling menerima dan mendukung, serta mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif.

e) Group Proccesing ( pemrosesan kelompok)

Pemrosesan disini mengandung arti menilai. Sedangkan tujuan pemrosesan kelompok adalah untuk meningkatkan keefektivitasan anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok.

Lain halnya dengan apa yang dikemukakan Lungdren dalam Isjoni, (2009: 13-14) bahwa unsur – unsur dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut.

a) Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama”.

b) Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.

c) Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.

d) Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab diantara para anggota kelompok.

e) Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.

f) Para siswa saling berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.

g) Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Berdasarkan hal – hal di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran koperatif perlu diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Dengan pembelajaran kooperatif ini setiap anggota kelompok akan mempunyai ketergantungan yang positif. Ketergantungan itulah yang akan memunculkan rasa tanggung jawab individu terhadap kelompok dan keterampilan interpersonal dari

(10)

setiap anggota kelompok. Mereka mempunyai motivasi untuk mencapai tujuan bersama sehingga setiap individu akan memberikan kontribusi yang sama.

2.1.2.5 Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif

a) Melalui pembelajaran kooperatif siswa tidak terlalu menggantungkan pada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa lain.

b) Pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata – kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide – ide orang lain.

c) Pembelajaran kooperatif dapat membantu anak untuk respect pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasan serta menerima segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan.

d) Pembelajaran kooperatif juga dapat membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggungjawab dalam belajar.

e) Pembelajaran kooperatif merupakan suatu strategi yang cukup ampuh untuk meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, termasuk pengembangan rasa harga diri, hubungan interpersonal yang positif dengan yang lain, mengembangkan ketrampilan mengatur waktu, dan sikap positif terhadap sekolah.

f) Pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri, menerima umpan balik. Siswa dapat berpraktik memecahkan masalah tanpa takut membuat kesalahan, karena keputusan yang dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya.

g) Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata.

h) Interaksi selama pembelajaran kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir.

Selain itu Karli dan Yuliariatiningsih (2002 : 72) juga mengemukakan kelebihan model pembelajaran kooperatif, yaitu: 1) Dapat melibatkan siswa secara aktif dalam mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilannya dalam suasana belajar mengajar yang bersifat terbuka dan demokratis. 2) Dapat

(11)

mengembangkan aktualisasi berbagai potensi diri yang telah dimiliki oleh siswa. 3) Dapat mengembangkan dan melatih berbagai sikap, nilai, dan keterampilan – keterampilan sosial untuk diterapkan dalam kehidupan di masyarakat. 4) Siswa tidak hanya sebagai obyek belajar melainkan juga sebagai subyek belajar karena siswa dapat menjadi tutor sebaya bagi siswa lainnya. 5) Siswa dilatih untuk bekerjasama, karena bukan materi saja yang dipelajari tetapi juga tuntutan untuk mengembangkan potensi dirinya secara optimal bagi kesuksesan kelompoknya. 6) Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar memperoleh dan memahami pengetahuan yang dibutuhkan secara langsung, sehingga apa yang dipelajarinya lebih bermakna bagi dirinya.

2.1.2.6 Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif

a) Untuk memahami dan mengerti filosofi dalam pembelajaran kooperatif membutuhkan cukup banyak waktu. Ciri utama pembelajaran kooperatif adalah siswa saling membelajarkan. Oleh karena itu, jika tanpa peer teaching yang efektif, maka dibandingkan dengan pengajaran langsung dari guru, bisa terjadi cara belajar yang demikian apa yang seharusnya dipelajari dan dipahami tidak pernah dicapai oleh siswa.

b) Penilaian yang diberikan dalam pembelajaran kooperatif didasarkan pada hasil kelompok. Namun demikian, guru perlu menyadari bahwa sebenarnya hasil atau prestasi yang diharapkan adalah prestasi setiap individu siswa.

c) Keberhasilan pembelajaran kooperatif dalam upaya mengembangkan kesadaran berkelompok ini juga memerlukan periode waktu yang cukup panjang dan hal ini tidak mungkin tercapai hanya dengan satu kali atau sekali – sekali penerapan strategi ini.

d) Walaupun kemampuan bekerja sama merupakan kemampuan yang sangat penting untuk siswa, akan tetapi banyak aktivitas dalam kehidupan yang hanya didasarkan kepada kemampuan secara individual. Oleh karena itu idealnya melalui pembelajaran kooperatif selain siswa belajar bekerja sama, siswa juga harus belajar bagaimana membangun kepercayaan diri.

Adapun kelemahan dari pembelajaran kooperatif yang diungkapkan oleh Isjoni (2007 : 25) adalah: a) guru harus mempersiapkan pembelajaran secara

(12)

matang, di samping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran, dan waktu; b) agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat, dan biaya yang cukup memadai; c) selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan; dan d) saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.

Kelemahan – kelemahan dalam pembelajaran kooperatif tersebut hendaknya segera diatasi oleh guru. Sebelum pembelajaran dilaksanakan, ada baiknya guru membuat rencana pembelajaran termasuk di dalamnya alokasi waktu, pembatasan masalah yang akan diberikan, bahkan alat peraga atau media pembelajaran yang lainnya. Guru harus dapat mengarahkan siswa agar dapat bertanggungjawab dalam pembagian kerja kelompok dan mengawasi semua anggota terlibat dalam kerja kelompok tersebut. Selain itu, guru juga harus mengetahui tingkat kemampuan siswanya, mau menyediakan waktu khusus untuk mengetahui kemajuan setiap siswanya dengan cara memberikan evaluasi secara individual setelah kegiatan kerja kelompok dilaksanakan. Guru hendaknya dapat merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau bergerak dan bermain sambil belajar, sehingga anak akan senang dan tertarik mengikuti kegiatan belajar mengajar.

2.1.2.7 Langkah – Langkah Model Pembelajaran Kooperatif

Prosedur pembelajaran kooperatif pada dasarnya terdiri dari empat tahap, yaitu:

a) Penjelasan materi

Tahap penjelasan dimaksudkan sebagai proses penyampaian pokok – pokok materi pelajaran sebelum siswa belajar dalam kelompok. Tujuan utama dalam tahap ini adalah pemahaman siswa terhadap pokok materi pelajaran. Pada tahap ini guru memberikan gambaran umum tentang materi pelajaran yang harus dikuasai yang selanjutnya siswa akan memperdalam materi dalam pembelajaran kelompok. Pada tahap ini guru dapat menggunakan metode ceramah, curah pendapat, tanya jawab, bahkan demonstrasi. Di samping itu, guru juga dapat

(13)

menggunakan berbagai media pembelajaran agar proses penyampaiannya dapat menarik perhatian siswa.

b) Belajar dalam kelompok

Setelah guru menjelaskan gambaran umum tentang pokok – pokok materi pelajaran, selanjutnya siswa diminta untuk belajar pada kelompoknya masing – masing yang telah dibentuk sebelumnya. Pengelompokan dalam pembelajaran kooperatif bersifat heterogen, artinya kelompok dibentuk berdasarkan perbedaan – perbedaan setiap kelompoknya, baik perbedaan gender, latar belakang agama, sosial ekonomi dan etnik, serta perbedaan kemampuan akademik.

c) Penilaian

Penilaian dalam pembelajaran kooperatif dapat dilakukan dengan kuis atau tes. Tes atau kuis dilakukan baik secara individual maupun secara kelompok. Tes individual nantinya akan memberikan informasi kemampuan setiap siswa dan tes kelompok akan memberikan informasi kemampuan setiap kelompok. Hasil akhir setiap siswa adalah penggabungan keduanya dan dibagi dua. Nilai setiap kelompok memiliki nilai yang sama dalam kelompoknya. Hal ini disebabkan nilai kelompok adalah nilai bersama dalam kelompoknya yang merupakan hasil kerja sama setiap anggota kelompok.

d) Pengakuan tim

Pengakuan tim adalah penetapan tim yang dianggap paling menonjol atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan atau hadiah. Pengakuan dan penghargaan tersebut diharapkan dapat memotivasi tim untuk terus berprestasi dan juga membangkitkan motivasi tim lain untuk lebih mampu meningkatkan prestasi mereka.

Langkah – langkah pembelajaran cooperative learning juga dapat dituliskan dalam tabel sebagai berikut:

(14)

Tabel 1

Langkah – langkah Pembelajaran Kooperatif

Langkah Indikator Tingkah Laku Guru

Langkah 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa.

Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan

mengkomunikasikan kompetensi dasar yang akan dicapai serta memotivasi siswa

Langkah 2 Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa

Langkah 3 Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok – kelompok belajar

Guru menginformasikan pengelompokan siswa

Langkah 4 Membimbing kelompok belajar

Guru memotivasi serta

memfasilitasi kerja siswa dalam kelompok – kelompok belajar Langkah 5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar

tentang materi pembelajaran yang telah dilaksanakan

Langkah 6 Memberikan penghargaan Guru memberi penghargaan hasil belajar individual dan kelompok

2.1.3 Pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) 2.1.3.1 Pengertian Teams Games Tournament (TGT)

Teams Games Tournaments (TGT) pada mulanya dikembangkan oleh

David DeVries dan Keith Edwards. Dalam TGT, para siswa dikelompokkan dalam tim belajar yang terdiri atas empat orang yang heterogen. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran (Slavin, 2008). Secara umum, pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki prosedur belajar yang terdiri

(15)

atas siklus regular dari aktivitas pembelajaran kooperatif. Games Tournament dimasukkan sebagai tahapan review setelah siswa bekerja dalam tim. Nur & Wikandari (2000) menjelaskan bahwa Teams Games Tournament (TGT) telah digunakan dalam berbagai macam mata pelajaran, dan paling cocok digunakan untuk mengajar tujuan pembelajaran yang dirumuskan dengan tajam dengan satu jawaban benar, seperti perhitungan dan penerapan berciri matematika, dan fakta – fakta serta konsep IPA.

Menurut Slavin (2010), model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games

Turnament (TGT) adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang

mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung permainan dan reinforcement. Teams

Games Turnament (TGT) menggunakan turnamen akademik, dan menggunakan

kuis – kuis dan sistem skor kemajuan individual, di mana siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota tim lain untuk memperoleh skor tertinggi.

Pembelajaran kooperatif sangat beragam jenisnya, salah satunya adalah model pembelajaran TGT (Teams Games Tournament). Menurut Kurniasari (2006), model pembelajaran TGT merupakan model pembelajaran kooperatif dengan membentuk kelompok – kelompok kecil dalam kelas yang terdiri atas 3 – 5 siswa yang heterogen baik dalam hal akademik, jenis kelamin, ras, maupun etnis. Inti dari model ini adalah adanya game dan turnamen akademik.

Model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model Teams Games Tournament (TGT) memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.

2.1.3.2 Pendekatan Kelompok Kecil dalam TGT

Pendekatan yang digunakan dalam Teams Games Tournament adalah pendekatan secara kelompok yaitu dengan membentuk kelompok – kelompok

(16)

kecil dalam pembelajaran. Pembentukan kelompok kecil akan membuat siswa semakin aktif dalam pembelajaran. Ciri dari pendekatan secara berkelompok dapat ditinjau dari segi:

1. Tujuan Pengajaran dalam Kelompok Kecil

Tujuan pembelajaran dalam kelompok kecil yaitu: (a) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah secara rasional, (b) mengembangkan sikap sosial dan semangat bergotong royong (c) mendinamisasikan kegiatan kelompok dalam belajar sehingga setiap kelompok merasa memiliki tanggung jawab, dan (d) mengembangkan kemampuan kepemimpinan dalam kelompok tersebut (Dimyati dan Mundjiono, 2006).

2. Siswa dalam Pembelajaran Kelompok Kecil

Agar kelompok kecil dapat berperan konstruktif dan produktif dalam pembelajaran diharapkan: (a) anggota kelompok sadar diri menjadi anggota kelompok, (b) siswa sebagai anggota kelompok memiliki rasa tanggung jawab, (c) setiap anggota kelompok membina hubungan yang baik dan mendorong timbulnya semangat tim, dan (d) kelompok mewujudkan suatu kerja yang kompak (Dimyati dan Mundjiono, 2006).

3. Guru dalam Pembelajaran Kelompok

Peranan guru dalam pembelajaran kelompok yaitu diantaranya: (a) pembentukan kelompok (c) perencanaan tugas kelompok, (d) pelaksanaan, dan (d) evalusi hasil belajar kelompok.

2.1.3.3 Pelaksanaan Teams Games Tournament (TGT)

Secara teknis Slavin (2008) mengemukakan empat langkah utama dalam pembelajaran dengan teknik TGT yang merupakan siklus regular dari aktivitas pembelajaran, sebagai berikut:

a. Step 1: Pengajaran, pada tahap ini guru menyampaikan materi pelajaran. b. Step 2: Belajar Tim, para siswa mengerjakan lembar kegiatan dalam tim

(17)

c. Step 3: Turnamen, para siswa memainkan game akademik dalam kemampuan yang homogen, dengan meja turnamen tiga peserta (kompetisi dengan tiga peserta).

d. Step 4: Rekognisi Tim, skor tim dihitung berdasarkan skor turnamen anggota tim, dan tim tersebut akan direkognisi apabila mereka berhasil melampaui kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

2.1.3.4 Sintaks Model Pembelajaran TGT

Adapun sintaks pembelajaran model TGT dapat disajikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2

Sintaks Pembelajaran Tipe Teams Games Tournament (TGT)

Tahapan Kegiatan Guru Kegiatan Siswa

Tahap 1

Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran secara umum yang ingin di capai dan memotivasi siswa belajar

Mendengarkan penjelasan yang di sampaikan guru dan mencatat tujuan Tahap 2

Menyajikan materi pembelajaran

Guru menyajikan materi pelajaran secara umum kepada siswa dengan cara demonstrasi lewat bahan bacaan / LKS

Memperhatikan demonstrasi yang di lakukan guru dan mempelajari LKS

Tahap 3 Pembentukan

kelompok heterogen

Guru membagi siswa menjadi kelompok secara heterogen, masing – masing kelompok terdiri dari 4 – 5 orang

Bergabung dengan kelompok yang telah dibagikan oleh guru

Tahap 4 Turnamen

Guru membagi siswa kedalam beberapa meja turnamen Masing – masing kelompok masuk ke meja turnamen Tahap 5 Evaluasi

Guru membagi soal evaluasi kepada masing – masing

Siswa mengerjakan soal evaluasi dan

(18)

kelompok turnamen dalam mengerjakan soal tidak boleh saling membantu

Tahap 6 Penghargaan kelompok

Guru memberikan

penghargan kepada setiap kelompok yang memiliki poin tinggi

Mendengarkan nama kelompok yang berhak mendapatkan penghargaan

2.1.3.5 Implementasi Model Pembelajaran TGT

Dalam pengimplementasian hal yang harus diperhatikan yaitu: a) Pembelajaran terpusat pada siswa

b) Proses pembelajaran dengan suasana berkompetisi

c) Pembelajaran bersifat aktif (siswa berlomba untuk dapat menyelesaikan persoalan)

d) Pembelajaran diterapkan dengan mengelompokkan siswa menjadi tim – tim e) Dalam kompetisi diterapkan system point

f) Dalam kompetisi disesuaikan dengan kemampuan siswa atau dikenal kesetaraan dalam kinerja akademik

g) Kemajuan kelompok dapat diikuti oleh seluruh kelas melalui jurnal kelas yang diterbitkan secara mingguan

h) Dalam pemberian bimbingan guru mengacu pada jurnal

i) Adanya sistem penghargaan bagi siswa yang memperoleh poin banyak

2.1.4 Keaktifan Siswa

2.1.4.1 Pengertian Keaktifan Siswa

Secara harafiah keaktifan berasal dari kata aktif yang berarti sibuk, giat (Kamus Besar Bahasa Indonesia : 17). Aktif mendapat awalan ke- dan akhiran –

an, sehingga menjadi keaktifan yang mempunyai arti kegiatan atau kesibukan.

Jadi, keaktifan belajar adalah kegiatan atau kesibukan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah maupun di luar sekolah yang menunjang keberhasilan belajar siswa. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan menyebabkan interaksi yang tinggi antara guru dengan siswa ataupun dengan

(19)

siswa itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan kondusif, dimana masing – masing siswa dapat melibatkan kemampuannya semaksimal mungkin. Aktivitas yang timbul dari siswa akan mengakibatkan pula terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang akan mengarah pada peningkatan prestasi. Keaktifan siswa selama proses belajar mengajar merupakan salah satu indikator adanya keinginan atau motivasi siswa untuk belajar. Siswa dikatakan memiliki keaktifan apabila ditemukan ciri – ciri perilaku seperti : sering bertanya kepada guru atau siswa lain, mau mengerjakan tugas yang diberikan guru, mampu menjawab pertanyaan yang diberikan, senang diberi tugas belajar, dan lain sebagainya (Rosalia, 2005 : 4).

Keaktifan tersebut tidak hanya keaktifan jasmani saja, melainkan juga keaktifan rohani. Menurut Sriyono, dkk (1992: 75) keaktifan jasmani dan rohani yang dilakukan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar adalah sebagai berikut.

1. Keaktifan indera; pendengaran, penglihatan, peraba, dan sebagainya. Peserta didik harus dirangsang agar dapat menggunakan alat inderanya sebaik mungkin. Mendikte dan menyuruh mereka menulis sepanjang jam pelajaran akan menjemukan. Demikian pula dengan menerangkan terus tanpa menulis sesuatu di papan tulis. Maka pergantian dari membaca ke menulis, menulis ke menerangkan dan seterusnya akan lebih menarik dan menyenangkan.

2. Keaktifan akal; akal peserta didik harus aktif atau diaktifkan untuk memecahkan masalah, menimbang, menyusun pendapat dan mengambil keputusan.

3. Keaktifan ingatan; pada saat proses belajar mengajar peserta didik harus aktif menerima bahan pelajaran yang disampaikan oleh guru, dan menyimpannya dalam otak. Kemudian pada suatu saat ia siap dan mampu mengutarakan kembali.

4. Keaktifan emosi dalam hal ini peserta didik hendaklah senantiasa berusaha mencintai pelajarannya, karena dengan mencintai pelajarannya akan menambah hasil belajar peserta didik itu sendiri.

(20)

Sebenarnya semua proses belajar mengajar peserta didik mengandung unsur keaktifan, tetapi antara peserta didik yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Oleh karena itu, peserta didik harus berpartisipasi aktif secara fisik dan mental dalam kegiatan belajar mengajar. Keaktifan peserta didik dalam proses belajar merupakan upaya peserta didik dalam memperoleh pengalaman belajar, yang mana keaktifan belajar peserta didik dapat ditempuh dengan upaya kegaiatan belajar kelompok maupun belajar secara perseorangan.

2.1.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Keaktifan Belajar

Belajar merupakan aktivitas yang berlangsung melalui proses, tentunya tidak terlepas dari pengaruh baik dari dalam individu yang mengalaminya. Keaktifan belajar peserta didik dalam proses kadang – kadang berjalan lancar, kadang – kadang tidak, kadang – kadang dapat cepat menangkap apa yang dipelajari, dan kadang – kadang terasa amat sulit. Berjalannya proses belajar mengajar tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yang sangat berpengaruh terhadap keaktifan belajar peserta didik.

Menurut Muhibbin Syah (2012 : 146) bahwa faktor yang mempengaruhi keaktifan belajar peserta didik dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu faktor internal (faktor dari dalam peserta didik), faktor eksternal (faktor dari luar peserta didik), dan faktor pendekatan belajar (approach to learning). Secara sederhana faktor – faktor yang dapat mempengaruhi keaktifan belajar peserta didik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Faktor internal peserta didik, merupakan faktor yang berasal dari dalam diri peserta didik itu sendiri, yang meliputi:

a. aspek fisiologis, yaitu kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ – organ tubuh dan sendi – sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas peserta didik dalam mengikuti pelajaran.

b. aspek psikologis, belajar pada hakikatnya adalah proses psikologis. Oleh karena itu, semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja mempengaruhi belajar seseorang. Adapun faktor psikologis peserta didik yang mempengaruhi keaktifan belajarnya adalah sebagai berikut: (1) intelegensi,

(21)

tingkat kecerdasan atau intelegensi (IQ) peserta didik tidak dapat diragukan lagi dalam menentukan keaktifan dan keberhasilan belajar peserta didik. Ini bermakna bahwa semakin tinggi tingkat intelegensinya maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses, begitu juga sebaliknya; (2) sikap, adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif; (3) bakat, adalah potensi atau kecakapan dasar yang dibawa sejak lahir yang berguna untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas masing – masing; (4) minat, adalah kecenderungan atau kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu; dan (5) motivasi, adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi motivasi belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar.

2. Faktor eksternal peserta didik, merupakan faktor dari luar siswa yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa. Adapaun yang termasuk dari faktor eksternal diantaranya adalah: (a) lingkungan sosial, yang meliputi: para guru, para staf administrasi, dan teman – teman sekelas; serta (b) lingkungan non sosial, yang meliputi: gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga peserta didik dan letaknya, alat – alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan peserta didik.

3. Faktor pendekatan belajar, merupakan segala cara atau strategi yang digunakan peserta didik dalam menunjang keefektifan dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu.

2.1.5 Hasil Belajar Siswa

2.1.5.1 Pengertian Hasil Belajar Siswa

Kata hasil belajar sering disebut prestasi belajar. Kata prestasi berasal dari Belanda yaitu “Prestatie” kemudian dalam bahasa Indonesia disebut prestasi yang artinya hasil usaha. Kata prestasi juga berarti kemampuan, ketrampilan, sikap seorang dalam menyelesaikan sesuatu (Arifin, 1999 : 78). Hasil belajar

(22)

merupakan perubahan perilaku yang diperoleh setelah mengalami aktivitas belajar (Anni, 2004 : 4).

Hasil belajar merupakan hal yang sebenarnya dapat dipandang dari dua sisi, yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Menurut Bloom dalam Siregar (2010) tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis – jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Dilihat dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran. Hasil juga bisa diartikan adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar. Hasil belajar tersebut terjadi terutama berkat evaluasi guru. Hasil belajar dapat berupa dampak pengajaran dan dampak pengiring. Kedua dampak tersebut bermanfaat bagi guru dan siswa.

Menurut Woordworth (dalam Ismihyani, 2000) hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari proses belajar. Woordworth juga mengatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan aktual yang diukur secara langsung. Hasil pengukuran belajar inilah akhirnya akan mengetahui seberapa jauh tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah dicapai.

Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa belajar pada hakikatnya adalah proses perubahan perilaku siswa dalam bakat pengalaman dan pelatihan. Artinya tujuan kegiatan belajar mengajar ialah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan, sikap, bahkan meliputi segenap aspek pribadi. Kegiatan belajar mengajar seperti mengorganisasi pengalaman belajar, menilai proses dan hasil belajar, termasuk dalam cakupan tanggung jawab guru dalam pencapaian hasil belajar siswa. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami belajar dengan diiringi oleh perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi.

(23)

2.1.5.2 Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Slameto (2003 : 54 – 72) menyatakan bahwa faktor – faktor yang mempengaruhi hasil belajar digolongkan menjadi dua, yaitu:

1. Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari diri siswa. Faktor internal ini terdiri dari tiga faktor diantaranya:

a. Jasmaniah, misalnya: kesehatan dan cacat tubuh.

b. Psikologis, misalnya: intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan.

c. Kelelahan 2. Faktor Eksternal

a. Keluarga, misalnya: cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan.

b. Sekolah, misalnya: metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, model pembelajaran, metode belajar, dan tugas rumah.

c. Masyarakat, misalnya: kegiatan – kegiatan siswa dalam masyarakat, media massa, teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat.

Dari penjabaran mengenai hasil belajar, sesuai penelitian ini maka guru harus berusaha untuk mencapai suatu hasil belajar siswa dari proses belajar mengajar di sekolah. Sehingga pada akhirnya siswa dapat mencapai hasil belajar yang baik sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.

2.1.6 Hubungan Antara Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) dengan Keaktifan dan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Matematika

Menurut Aqib (2003) salah satu komponen yang berpengaruh dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di sekolah adalah proses belajar mengajar yang meliputi penggunaan metode mengajar oleh guru. Kemampuan siswa menerima materi pembelajaran di kelas sangat tergantung dari usaha guru dalam

(24)

mengkondisikan kegiatan pembelajaran agar dapat menarik minat, perhatian siswa dan memancing kinerja pengetahuan siswa lebih lanjut. Salah satu upaya guru dengan menggunakan model pembelajaran dimana dalam sebuah model pembelajaran, banyak metode mengajar yang biasa digunakan secara bervariasi.

Dengan menerapkan model pembelajaran TGT, siswa akan terlihat lebih aktif, karena siswa akan diberikan permainan oleh guru dan bertanding melawan kelompok lain dengan mengejar skor terbanyak, sehingga siswa yang sebelumnya hanya menerima ceramahan dan catatan, maka dengan menggunakan model pembelajaran TGT siswa akan lebih giat dan aktif dalam belajar. Siswa dituntut untuk dapat memberikan sumbangan skor kepada kelompoknya dengan cara menjawab pertanyaan – pertanyaan yang diberikan. Selain itu, melalui model pembelajaran kooperatif tipe TGT ini, siswa juga dapat belajar tentang rasa tanggung jawab dalam kelompok untuk ikut serta dalam kerja sama selama kegiatan turnamen berlangsung. Penerapan model pembelajaran TGT memungkinkan para siswa tidak akan merasa jenuh dan membuat siswa merasa lebih rileks dalam mengikuti setiap kegiatan pembelajaran. Oleh sebab itu siswa akan termotivasi untuk lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar sehingga prestasi siswa akan lebih meningkat.

2.1.7 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Ada beberapa penelitian yang telah membuktikan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Wini Fitriani dan Suprih Widodo (2012) dengan judul penerapan pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematika siswa sekolah dasar. Penelitian ini mengangkat masalah pembelajaran matematika untuk mengetahui tingkat penalaran siswa dalam upaya memperbaiki hasil belajar sebelum, saat proses pembelajaran dan setelah penerapan pembelajaran kooperatif tipe TGT serta aktivitas siswa selama pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) di kelas 5 SDN Subang yang terdiri dari tiga siklus. Pada setiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi, refleksi dan review plan. Pengumpulan data dilakukan

(25)

dengan cara observasi dan memberikan tes pada setiap siklus. Berdasarkan hasil tes dan observasi yang dilaksanakan dalam tiga siklus diperoleh data yang menunjukkan adanya hasil belajar dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam meningkatkan penalaran matematika terlihat dari nilai rata – rata

post test siswa diperoleh pada siklus I 65,38, pada siklus II 73,64, dan siklus III

79,94. Dapat terlihat adanya peningkatan nilai rata – rata siswa dari tiap siklus, sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematika siswa Sekolah Dasar.

Penelitian yang dilakukan oleh Oktaviana Hadi Mintarwati, Triyono, dan Kartika Chrysti Suryandari (2013) dengan judul penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam peningkatan hasil belajar matematika siswa kelas IV SD N 1 Lembupurwo tahun ajaran 2012 / 2013. Di dalam penelitian ini terdiri dari tiga siklus dengan subyek 22 siswa. Hasil tindakan selama tiga siklus dilihat dari penggunaan langkah – langkah model Teams Games Tournament (TGT) yang sesuai dengan RPP dan skenario pembelajaran serta hasil belajar siswa dari tes evaluasi setelah siswa mengikuti kegiatan pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian dari siklus I sampai dengan siklus III, penggunaan langkah - langkah model Teams Games Tournament (TGT) pada pembelajaran bilangan bulat sudah sesuai dengan RPP dan skenario pembelajaran. Dan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapat hasil penelitian bahwa dengan diterapkannya model pembelajaran TGT dapat: a) meningkatkan perhatian peserta didik dalam proses pembelajaran dengan cara memunculkan persaingan antar tim belajar yang diwujudkan dalam game dan turnamen pembelajaran, b) meningkatkan motivasi dan keaktifan siswa dalam belajar, c) menumbuhkan kepercayaan diri peserta didik dengan cara memberikan tanggungjawab belajar.

Penelitian yang dilakukan oleh Nola Susanti (2008) dengan judul penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dalam pembelajaran matematika SD. Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dipaparkan, peneliti menyimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan aktivitas belajar pada pembelajaran matematika siswa kelas VA SDN 04 Metro Pusat. Rata – rata

(26)

persentase aktivitas belajar siswa pada siklus 1 dan siklus 2 mencapai 53,83% (cukup aktif) dan 66,72% (aktif). Terjadi peningkatan sebesar 12,89% dari siklus 1 ke siklus 2. Kemudian pada siklus 3 rata – rata persentase aktivitas siswa adalah 81,33% (sangat aktif), terjadi peningkatan sebesar 14,61% dari rata – rata persentase aktivitas siswa pada siklus 2.

Berbeda dengan ketiga penelitian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peningkatan keaktifan dan hasil belajar matematika siswa kelas 5. Yang menjadi variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe TGT, sedangkan yang menjadi variabel terikatnya adalah keaktifan dan hasil belajar matematika siswa kelas 5 SD Virgo Maria 1 Ambarawa.

2.1.8 Kerangka Pikir Kondisi Awal Pembelajaran Konvensional 1. ceramah 2. teacher center 3. siswa pasif

Hasil Belajar Siswa Rendah

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT 1. kerjasama

2. siswa aktif 3. turnamen

4. interaksi siswa dan guru Hasil Belajar

Meningkat

Pemantapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT 1. Penguasaan Kelas

2. Pengorganisasian siswa 3. Pelaksanaan turnamen

Hasil Belajar Lebih Meningkat

(27)

2.1.9 Hipotesis Tindakan

Hipotesis dalam penelitian ini adalah melalui model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament diduga dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar matematika siswa kelas 5 di SD Virgo Maria 1 Ambarawa Semester II Tahun Pelajaran 2013 / 2014.

Gambar

Gambar 1. Alur Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Layanan Dial-Up merupakan jasa akses internet yang memanfaatkan jaringan telepon biasa dan modem dial up, pelanggan diharuskan berlangganan ke Internet Service Provider

Banyak kursi pada baris pert ama sebuah gedung pert unjukkan adalah 20 kursi, baris kedua 23 kursi dan set erusnya sehingga banyak kursi berikut nya selalu bert ambah 3 kursi..

(2) Tidak termasuk objek Retribusi Izin Gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah tempat usaha/ kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Daerah..

Hasil pengujian adaptifitas yang dilakukan pada game dengan genre Turn-Based Role Playing Game berdasarkan tiga parameter pengujian yakni efektifitas, efisiensi,

Perguruan tinggi Agama Islam (PTAI) memiliki keunggulan tenaga pengajar yang handal pada penguasaan aspek ilmu-ilmu kesyariahan, sementara perguruan tinggi umum memiliki

matba való belépést kívánja tőlünk. Bármely művet csakis más alkotásokhoz képest  lehet  olvasni. Továbbá  „egy  adott  irodalmi  mű  minősége 

Proses pengecekan atau penginputan data penduduk adalah proses untuk mengecek data penduduk yang sudah ada dalam data base data penduduk di Dinas Pencatatan

secara individual mempunyai hubungan yang signifikan atau tidak terhadap Debt to Assets Ratio.. Berdasarkan hasil pengujian secara parsial pengaruh Return On Assets terhadap