• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEAKURATAN LATIHAN DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN ANAEROBIK. Sanusi Hasibuan, Dosen FIK Unimed

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEAKURATAN LATIHAN DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN ANAEROBIK. Sanusi Hasibuan, Dosen FIK Unimed"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Pelangi Pendidikan, Vol. 21 No. 1 Juni 2014 55

KEAKURATAN LATIHAN DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN ANAEROBIK

Sanusi Hasibuan, Dosen FIK Unimed sanusihasibuan@unimed.ac.id

Abstrak

Kemampuan anaerobik adalah kemampuan fungsional tubuh yang dapat dioptimalkan melalui serangkaian program latihan. Kemampuan anaerobik sangat ditentukan oleh daya anaerobik (anaerobic power) dan kapasitas anaerobik (anaerobic capacity.Hampir semua cabang olahraga sangat membutuhkan kemampuan anaerobik dalam pencapaian hasil maksimal. Latihan interval adalah salah satu bentuk latihan yang dapat meningkatkan kemampuan anaerobik seseorang. Latihan umum yang dipergunakan dalam latihan interval adalah dengan melakukan sprin (latihan sprin interval). Latihan sprint interval yang diterapkan di lapangan, umumnya cenderung berpedoman kepada jarak tempuh, baik itu interval kerjanya maupun interval istirahatnya. Dalam pembahasan ini dikaji latihan lari sprint interval yang memperhatikan waktu, baik itu untuk interval kerja maupun interval istirahatnya, yang dikaitkan dengan sistem energi dan masa pemulihan dari sistem energi tersebut. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa latihan sprint interval yang berpatokan pada waktu kerja berdasarkan dengan sistem energi anaerobik (interval kerja) dan waktu istirahat berdasarkan waktu pemulihan pada sistem energi anaerobik (interval istirahat) diyakini akan memberikan keakuratan dalam meningktakkan kemampuan anaerobik seseorang.

Kata Kunci: Keakuratan, Latihan, Kemampuan Anaerobik. Absract

Anaerobic performance is the ability of the body that can be optimized through a series of training programs. Anaerobic performance digestion is determined by anaerobic power and anaerobic capacity. Almost all sport desperately needs the ability to achieve the objectives of anaerobic exercise. Interval training is one form of exercise that can improve anaerobic performance. Common exercise used in interval training is to do sprin (sprin interval training). Exercise sprint intervals applied in the field, generally tend to be guided by the mileage, whether it is work or rest intervals. In this discussion examined sprint interval training that takes into account the time, be it for work interval and rest interval, which is associated with the energy system and a recovery of the energy system. The result of the discussion showed that sprint interval training, which is based on work time by the anaerobic energy system (work interval) and rest periods based on the recovery time of the anaerobic energy system (rest interval) is believed to provide accuracy in improving anaerobic performance.

(2)

Pelangi Pendidikan, Vol. 21 No. 1 Juni 2014 56

A. Pendahuluan

Kondisi fisik, perlu mendapat perhatian yang lebih khusus, guna meningkatkan kemampuan fungsional atlet. Kemampuan anaerobik adalah salah satu bagian dari kemampuan fungsional tubuh. Kemampuan anaerobik adalah kerja yang dilakukan dengan sumber energi anaerobik dalam kecepatan maksimal (Pate, 1984). Kemampuan anaerobik sangat ditentukan oleh daya anaerobik (anaerobic power) dan kapasitas anaerobik (anaerobic

capacity) (McArdle, 1986). Anaerobik

merupakan salah satu sistem untuk menghasilkan energi (ATP) bagi tubuh. Sistem anaerobik terdiri dari dua tahapan yaitu sistem ATP-PC dan sistem glikolisis anaerobik. Oleh karena itu, kemampuan anaerobik sangat ditopang oleh keberadaan kedua sistem ini.

Banyak cabang ataupun nomor olahraga yang membutuhkan kemampuan anaerobik tersebut seperti bola basket, tennis, base ball, soft ball dan lain-lain. Namun menurut pengamatan di lapangan, unsur kemampuan anaerobik belum disentuh secara maksimal. Akibatnya banyak atlet yang punya teknik bagus, tetapi tidak bisa mencapai prestasi yang maksimal, akibat dari rendahnya kemampuan anaerobik yang dimiliki.

Kemampuan anaerobik dapat ditingkatkan dengan latihan. Isu meningkatkan kemapuan anaerobik ini belum segencar jika dibandingkan dengan isu meningkatkan kemampuan aerobik. Fox, (1988) mengajukan beberapa bentuk latihan yang dapat meningkatkan kemampuan anaerobik. Salah satu diantaranya adalah lari interval, yaitu lari yang diselingi dengan istirahat. Penjabaran dari latihan interval ini diantaranya, diwujudkan dalam bentuk latihan sprint interval yang sudah umum

digunakan untuk meningkatkan

kemampuan anaerobik. Namun, latihan sprint interval yang diterapkan di lapangan, umumnya cenderung berpedoman kepada jarak tempuh, baik itu interval kerjanya

maupun interval istirahatnya. Dalam hal ini, patokan waktu yang dikaitkan dengan sumber energi dan masa pemulihan belum menjadi pusat perhatian. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk mengkaji latihan lari sprint interval yang memperhatikan waktu, baik itu untuk kerja maupun istirahatnya, yang dikaitkan dengan sistem energi dan masa pemulihan dari sistem energi tersebut.

Melihat cukup mendesaknya keperluan informasi tentang memaksimalkan kemampuan anaerobik dengan latihan yang memperhatikan waktu, baik itu yang berkaitan dengan sumber energi ATP-PC maupun glikolisis anaerobik, maka perlu kiranya isu ini dikaji lebih fokus.

Dari uraian singkat di atas, maka yang menjadi tema dalam pembahasan ini ini adalah, dampak latihan sprint interval dalam meningkatkan kemampuan anaerobik.

B. Tinjauan Pustaka 1. Latihan Lari Interval

Latihan lari interval adalah satu bentuk latihan kondisi fisik yang sudah sering digunakan di lapangan. Latihan lari interval adalah latihn lari yang diselingi dengan masa istirahat. Istirahat dalam hal ini pengertiannya dimaksudkan dengan memberi waktu bagi tubuh untuk mengalami masa pemulihan (recovery). Latihan lari interval dapat diterapkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Maksudnya adalah bahwa intensitas latihan bisa rendah, sedang ataupun tinggi. Fox dkk, (1988), mengemukakan beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam membuat program latihan lari interval. Faktor-faktor tersebut adalah: (1) Interval kerja (work interval), maksudnya adalah porsi progam latihan interval yang dilakukan dengan kerja berintensitas tinggi. (2) Interval istirahat (relief interval ), merupakan waktu istirahat diantara interval kerja maupun diantara set. Interval istirahat dapat dilakukan dengan berjalan, jogging (work relief) dan kombinasi dari jalan dan jogging. Lama interval istirahat erat kaitannya dengan interval kerja. Rasio

(3)

Pelangi Pendidikan, Vol. 21 No. 1 Juni 2014 57 antara kerja dan istirahat biasanya 1:1/2, 1:1,

1:2, ataupun 1:3. Tetapi untuk dapat dipedomani adalah, jika interval kerja panjang rasionya adalah 1:1/2 atau 1:1. Jika interval kerja sedang rasionya adalah 1:2. Jika interval kerja pendek rasionya adalah 1:3, karena situasi kerjanya di sini adalah berintensitas tinggi. 3). Set, adalah seri dari kerja dan interval istirahat. Contoh, set 1 = lari 10 x 60 meter. 4). Repetisi, adalah jumlah interval kerja dalam satu set. Contoh, 10 - 15 kali. 5). Waktu latihan, adalah batasan kerja yang harus diselesaikan selama interval kerja. 6). Jarak latihan, adalah jarak interval kerja. 7). Frekuensi, adalah jumlah waktu latihan dalam seminggu.

Karena lari interval adalah jenis latihan, maka latihan ini harus menerapkan prinsip penambahan beban. Harsono, (1988) mengemukakan bahwa penambahan beban adalah prinsip yang paling mendasar dan penting. Prinsip ini berlaku baik dalam melatih aspek-aspek fisik, teknik, taktik, maupun mental. Prinsip ini mengatakan bahwa beban latihan yang diberikan haruslah cukup berat dan bengis, serta harus diberikan berulang kali dengan intensitas yang cukup tinggi. Kunci yang harus dipegang adalah, latihan harus sistematis agar tubuh dapat menyesuaikan diri terhadap penambahan beban.

Pada bagian atas telah disinggung, bahwa salah satu pedoman untuk menyusun program latihan interval adalah harus memperhatikan masa istirahat. Hal ini erat sekali kaitannya dengan masalah pemulihan. Pemulihan yang dikaitkan dengan ke tiga jenis sistem energi (ATP-PC, glikolisis anaerobik, dan glikolisis aerobik), mempunyai karakteristik yang berbeda, terutama dalam masalah waktunya.

Pada sistem ATP-PC, setelah pemulihan selama 30 detik, fosfagen akan terbentuk kembali sebanyak 70%. Pemulihan selama 3-5 detik fosfagen kembali seperti semula (100%) (Fox, 1988). Pendapat lain, Bowers (1992) mengemukakan bahwa,

setelah pemulihan 30 detik fosfagen akan terbentuk kembali sebesar 50%, pemulihan 60 detik akan mengembalikan fosfagen sebesar 75%.. Pada sistem glikolisis anaerobik, 50% asam laktat baru dapat dibersihkan setelah pemulihan selama 25 menit, dan 95 % asam laktat dapat dibersihkan setelah pemulihan selama 75 menit (Fox dkk, 1988; Bowers, 1992).

Dengan demikian, maka waktu interval yang harus dipedomani adalah berapa lama ATP-PC dapat kembali dan berapa lama pula asam laktat dapat dibersihkan. Pada sistem ATP-PC interval istirahat yang harus dipakai minimal adalah 30 detik, sebab 50-70 % dari fosfagen pada saat itu telah kembali. Pada sistem glikolisis anaerobik waktu intervalnya adalah relatif singkat, sebab kalau terlalu lama, maka bukan sistem laktat yang dilatih, melainkan sistem ATP-PC, akibat lamanya waktu interval akan mengembalikan ATP-PC seperti semula. Oleh sebab itu, latihan terhadap sistem asam laktat disebet dengan latihan resistensi (toleransi laktat) (Janssen, 1989).

2. Latihan Anaerobik

Latihan Anaerobik adalah latihan yang menggunakan energi dari sistem anaerobik, baik itu dari sistem ATP-PC maupun glikolisis anaerobik. Sesuai dengan karakteristik sistem anaerobik, yaitu sistem yang menyediakan energi (ATP) dalam waktu yang relatif cepat, maka latihan anaerobik umumnya dilakukan dengan mengutamakan kecepatan dan kekuatan yang eksplosif, dan berlangsung dalam waktu yang relatif singkat (Janssen, 1989). Sejalan dengan itu, untuk meningkatkan kecepatan dan daya ledak (eksplosive), harus dilakukan dengan latihan yang melibatkan sistem energi anaerobik (Yessis dan Trubo, 1988). Mengingat mekanisme sistem energi anaerobik yang berlangsung dengan cepat, maka latihan anaerobik dibuat sedemikian rupa, sehingga dalam waktu yang singkat itu, tubuh dapat melakukan kerja

(4)

Pelangi Pendidikan, Vol. 21 No. 1 Juni 2014 58 semaksimalnya. Dalam aktivitas otot yang

memerlukan kerja maksimal, seperti lari sprint, membutuhkan energi dari sistem ATP-PC dan penguraian glikogen otot tanpa menggunakan oksigen (glikolisis anaerobik) (Willmore dan Costill, 1994).

Berdasarkan uraian tersebut, diharapkan latihan anaerobik itu pada gilirannya, akan menimbulkan respon terhadap sistem anaerobik, baik itu sistem ATP-PC, maupun sistem glikolisis anaerobik, dalam menghasilkan ATP dengan jumlah yang semakin besar. Tujuan latihan anaerobik adalah untuk meningkatkan kapasitas anaerobik dan daya anaerobik. Kedua aspek ini adalah faktor penentu terhadap kemampuan anaerobik seseorang. Hal ini dapat diartikan, bahwa kemampuan anaerobik seseorang dikatakan baik jika memiliki kapasitas anaerobik dan daya anaerobik yang relatif besar. Penggunaan energi yang dihasilkan dari sistem anaerobik dalam latihan, sangat ditentukan oleh intensitas latihan. Latihan dengan intensitas tinggi adalah latihan yang umum dipergunakan dalam latihan anaerobik (Pyke, 1991).

Cepat atau lambatnya intensitas tinggi ini dapat dipertahankan, sangat tergantung dengan jumlah ATP yang disediakan oleh sistem ATP-PC maupun sistem glikolisis anaerobik (Green, 1982 dalam Duncan , dkk (1982). Semakin banyak jumlah ATP yang dihasilkan maka semakin lama pula intensitas tinggi itu dapat dipertahankan. Konsep latihan anaerobik ini adalah dasar dalam membuat dan menerapkan metode latihan. Metode latihan yang umum digunakan dalam latihan anaerobik adalah, lari percepatan (acceleration sprint), latihan interval (interval training) dan hollow sprint (Fisher, 1990). Materi yang umum dipergunakan dalam metode-metode di atas adalah aktivitas lari cepat (sprint).

3. Kemampuan Anaerobik

Kemampuan anaerobik adalah upaya

dengan durasi pendek dan dengan intensitas maksimal (Bouchard dkk, 1982). Sementara itu, Pate (1984) mengemukakan bahwa, kemampuan anaerobik adalah kecepatan maksimal dengan kerja yang dilakukan menggunakan sumber energi anaerobik. Upaya dengan durasi pendek dan dengan intenitas maksimal ini sangat tergantung kepada produksi energi secara anaerobik, baik itu dengan sistem ATP-PC maupun sistem asam laktat. Membicarakan masalah kemampuan anerobik, maka yang dibicarakan adalah masalah kapasitas anaerobik (anaerobic capacity) dan daya anaerobik (anaerobic power). Kapasitas anaerobik adalah jumlah total energi untuk melakukan kerja dalam sistem anaerobik. Sedangkan daya anaerobik adalah jumlah energi maksimal yang dapat diberikan selama latihan (kerja) persatuan waktu (Willmore dan Costill, 1994).

Agar lebih jelas dan terperinci, maka konseptual umum dari kemampuan anaerobik secara garis besarnya terdiri dari empat komponen yaitu: (1). Kapasitas anaerobik tanpa laktat, yaitu jumlah total energi yang dikeluarkan selama kerja maksimal 10 15 detik. (2). Kapasitas anaerobik dengan laktat, yaitu jumlah total energi yang dikeluarkan selama kerja maksimal 60-120 detik. (3). Daya anaerobik tanpa laktat, yaitu jumlah energi maksimal yang dipegunakan per satuan waktu dalam upaya maksimal selama 10-15 detik. (4). Daya anaerobik dengan laktat, yaitu jumlah energi maksimal yang dipergunakan persatuan waktu dalam upaya maksimal dimana sumber energinya dipenuhi dari proses glikolisis anaerobik (Bouchard dkk, 1982).

Kemampuan anaerobik sangat dipengaruhi oleh genetika, komposisi tubuh, dan bentuk latihan (Bouchard dkk, 1982). Dari uraian-uraian di atas, maka semakin jelas bahwa kemampuan anaerobik dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun pada bahasan ini, difokuskan kepada faktor latihan. Latihan sprint interval yang digunakan dalam penelitian ini berpedoman

(5)

Pelangi Pendidikan, Vol. 21 No. 1 Juni 2014 59 kepada kerja anaerobik ATP-PC dan

kerja anaerobik glikolisis (laktat). Sementara istirahatnya berpedoman pada proses pemulihan, untuk masing-masing sumber energi.

4. Latihan dan Sistem Energi

Kunci dalam mewujudkan tujuan dari program latihan yang berkualitas adalah energi. Energi merupakan bahan bakar dalam tubuh untuk melakukan segala aktivitas, termasuk latihan. Energi adalah kapasitas untuk melakukan kerja. Kerja adalah gaya yang dilakukan pada jarak tertentu (Fox dkk, 1988). Secara sederhana maka dapat dikatakan bahwa energi dibutuhkan untuk melakukan kerja. Ditinjau dari penyediaan energi selama aktivitas fisik, maka energi dapat dipasok melalui dua cara yaitu: sistem anaerobik dan sistem aerobik. Sistem anaerobik terdiri dari : (1). sistem ATP-PC (fosfagen), (2) sistem asam laktat (glikolisis anaerobik). Sistem aerobik terdiri dari : (1) glikolisis aerobik, (2). Siklus Krebs (The Krebs), dan (3). Sistem Transport Elektron (The Electron transport system) (Rushall dan Pyke,1990). Masing-masing sistem ini mempunyai ciri tertentu dalam membentuk ATP.

Sumber energi yang digunakan untuk aktivitas fisik berasal dari makanan, terutama karbohidrat, lemak, dan protein. Energi yang berasal dari makanan ini harus diubah dahulu kedalam senyawa kimia, yang disebut dengan ATP (Adenosin Trifosfat). Salah satu kegunaan ATP adalah untuk kontraksi otot (Lehninger, 1991). Penggunaan ATP dalam kontraksi otot diawali pada saat sebelum otot berkontraksi, saat itu ATP berikatan dengan kepala myosin (cross bridge). Aktivitas enzim ATPase dari kepala myosin segera memecah ATP dan menghasilkan ADP dan Pi (fosfat inorganik) (Guyton, 1993), maka sejumlah energi akan keluar yang digunakan otot untuk berkontraksi (Janssen, 1989). Namun cadangan ATP dalam otot jumlahnya terbatas dan cadangan ATP ini baru dapat diganti pada

saat pemulihan.

4.1. Latihan Anaerobik Menggunakan Sistem ATP-PC.

Sistem ATP-PC adalah sistem yang paling cepat dibanding sistem yang lain, dalam hal membentuk ATP. Bahan bakar yang digunakan adalah phosphocreatin. Akan tetapi ATP yang dihasilkan relatif sedikit, dan terbatas jumlahnya. Semua energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi tubuh

berasal dari ATP. ATP dan

Phosphocreatine (PC) berisi kelompok fosfat berenergi tinggi. Oleh karenanya sistem ATP-PC ini disebut juga dengan sistem fosfagen (phosphagen system) (Soekarman, 1989). ATP disimpan di dalam sel otot. Persediaan ATP di dalam otot sangat terbatas, jumlahnya kira-kira 4-6 mM/Kg otot (Guyton, 1993). Apabila ATP dipecah, maka sejumlah energi akan dihasilkan untuk kontraksi otot. Secara skematis proses di

maksud dapat dilukiskan sebagai berikut :

ATP (Adenosin Trifosfat) ADP

(Adenosin Difosfat) + P (fosfat inorganik) + energy

Energi ATP yang sudah siap pakai hanya cukup untuk melakukan aktivitas selama 3 detik (McArdle, 1986), 1-4 detik (Janssen, 1989). Karena ATP cepat habis, maka untuk kontraksi otot selanjutnya, ATP dibentuk kembali dengan membutuhkan energi yang berasal dari senyawa PC yang juga terdapat dalam sel otot (Willmore dan Costill, 1994). Secara sederhana rangkaian reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

PC (creatin fosfat)  P + C + energi Energi + ADP + P  ATP

Seperti telah disebut di atas, bahwa sistem ATP-PC adalah penghasil energi yang paling cepat dibanding sistem energi yang lain. Energi dari sistem ATP-PC ini dapat

(6)

Pelangi Pendidikan, Vol. 21 No. 1 Juni 2014 60 mensuplai untuk kegiatan yang sifatnya cepat

dan eksplosif, seperti nomor lari 100 meter, melompat, melempar, dan lain-lain (Bompa, 1990).

Untuk aktivitas seperti contoh di atas, ATP yang tersedia dari pemecahan PC dapat dipakai dalam aktivitas maksimal selama 10-12 detik (Shaver, 1981), 8-10 detik (Bompa 1990), 3-15 detik (Willmore dan Costill, 1994).

Kiranya sudah menjadi pendapat umum, bahwa setiap cabang olahraga dan nomor pertandingan tidak murni menggunakan satu sistem energi saja. Akan dijumpai campuran dari masing-masing sumber energi itu. Oleh karena itu, terdapat sumber energi predominan, baik itu predominan aerobik atau predominan anaerobik (Fox, 1988; Janssen, 1989). Sejalan dengan hal di atas, maka sewajarnya para pelatih, pembina dan atlet mengetahui latihan kondisi fisik yang tepat untuk mengembangkan dan meningkatkan sistem energi untuk nomor atau cabang olahraga yang ditekuni.

4.2. Latihan Anerobik Menggunakan

Sistem Asam Laktat (Glikolisis

Anaerobik).

Sistem asam laktat adalah sistem yang cepat pula dalam membentuk ATP dibanding sistem aerobik. Bahan bakar yang digunakan adalah glikogen. Akan tetapi waktunya tidak lebih cepat dibanding dengan sistem ATP-PC. Selain itu, pada sistem asam laktat, terjadi penumpukan asam laktat. Jika otot terus berkontraksi, sementara suplai ATP dari sistem ATP-PC sudah tidak mencukupi, maka sumber energi untuk membentuk ATP kembali diperoleh dari sistem asam laktat, dengan menguraikan glukosa tanpa menggunakan oksigen.

Sistem asam laktat disebut juga dengan sistem glikolisis anaerobik, terjadi di dalam sarkoplasma otot (Pyke, 1991). Sistem asam laktat lebih rumit dibandingkan dengan sistem ATP-PC, karena prosesnya diperlukan 12 macam reaksi berurutan (Poedjiadi,1994).

Pembentukan energi lewat sistem ini berjalan lebih lambat. Rangkaian reaksi dalam sistem glikolisis anaerobik ini pada akhirnya akan menghasilkan produk akhir yaitu asam laktat. Penumpukan asam laktat ini sangat erat kaitannya dengan kelelahan. Energi yang dikeluarkan pada sistem asam laktat ini, digunakan untuk membentuk kembali ATP, dan menghasilkan 3 mol ATP. Jadi dari 1 mol glikogen (glukosa yang disimpan di dalam hati dan otot) hanya terbentuk 3 mol ATP (Bowers, 1992).

Sementara jika dibantu dengan oksigen (O) akan menghasilkan 39 mol ATP (Willmore dan costill, 1994). Proses glikolisis anaerobik (asam laktat) dapat dikemukakan dengan rangkaian reaksi kimia yang sederhana sebagai berikut :

Glikogen  Asam laktat + Energi Energi + 3 ADP + 3 P  3 ATP

Asam laktat sebagai produk sampingan dari glikolosis anaerobik, akan menurunkan pH cairan tubuh (suasana asam), baik dalam sel otot maupun sel darah. Kondisi seperti ini akan menghambat kerja enzim-enzim dalam rangkaian reaksi pada sel tubuh, terutama sel otot. Akibatnya, maka akan terjadi kelelalahan otot. Apabila penumpukan asam laktat ini terus berlangsung, pH cairan tubuh akan sedemikian rendahnya, maka pada akhirnya, seseorang tidak dapat lagi meneruskan kegiatannya.

Pendapat yang pernah beredar di kalangan dunia olahraga, bahwa asam laktat adalah limbah metabolisme, harus diakhiri. Sebab, tumpukan asam laktat dapat juga berfungsi sebagai sumber energi baku. Jika persediaan oksigen (O) telah mencukupi, seperti pada saat berlangsungnya pemulihan, atau ketika intensitas latihan dikurangi, hidrogen akan terikat kepada asam laktat dan diangkut oleh NAD lalu akhirnya dioksidasi. Akibat dari situasi ini, asam laktat telah siap untuk dikonversi kembali menjadi asam

(7)

Pelangi Pendidikan, Vol. 21 No. 1 Juni 2014 61 piruvat dan selanjutnya dipergunakan

kembali sebagai sumber energi (Martin dan David, 1990. Selain itu, organ jantung yang memiliki lebih banyak enzim laktat dehidrogenase, mampu menggunakan asam laktat sebagai energi dengan cara mengeliminasi laktat secara terus menerus. Akhirnya, maka akan terjadi penurunan asam laktat dalam sirkulasi darah.

4.3. Latihan Menggunakan Sistem Aerobik Pada sistem Aerobik, pembentukan ATP adalah paling efisien. ATP yang terbentuk pada sistem ini lebih banyak dibanding dengan dua sistem lainnya. Dengan menggunakan bahan bakar glikogen, lemak, protein, dan dengan bantuan oksigen maka ATP yang dihasilkan jumlahnya lebih besar. Akan tetapi dalam membentuk ATP tersebut, diperlukan waktu yang relatif lama, dan melalui serangkaian reaksi kimia yang cukup panjang dan rumit. Jika otot digunakan melebihi waktu 2 menit, maka energi yang digunakan untuk kontraksi otot itu diperoleh dari penguraian glikogen degan bantuan oksigen (O2).

Sistem oksigen digunakan pada dua menit pertama ketika melakukan latihan yang terus menerus (Bompa, 1990, Fox, 1988). Glikogen yang diuraikan ini akan terurai menjadi CO+O, dan akan menghasilkan 39 mol ATP (Fox, 1988). Untuk mendapatkan energi yang besar ini diperlukan reaksi kimia yang sangat rumit, dan memerlukan enzim-enzim yang banyak sekali. Satu hal yang mendasar, bahwa sistem ini sangat bergantung kepada oksigen.

5. Adaptasi Latihan Anaerobik Terhadap Sistem Energi

Adaptasi yang terjadi pada otot rangka akibat latihan anaerobik dijelaskan sebagai berikut: 1). Peningkatan kapasitas sistem ATP-PC, terutama terjadi pada perubahan biokimia yan meliputi a). peningkatan persediaan ATP-PC dalam otot, b). peningkatan aktivitas enzim-enzim yang diperlukan dalam mempercepat reaksi pada

sistem ATP-PC. Hasil penelitian Karlsson dkk, (1972), bahwa ATP yang disimpan dalam otot meningkat sebesar 25% ( dari 3,8 menjadi 4,8 mM/kg.otot) akibat dari latihan lari menengah (running distance) selama 7 bulan, dengan 2-3 kali per minggu, Fox dkk,(1988). Sementara hasil penelitian Errikson dkk, (1973) ditemukan, bahwa setelah empat bulan latihan, anak laki-laki usia 11-13 tahun mengalami peningkatan dalam hal konsentrasi ATP-PC di dalam ototnya. Peningkatan itu mencapai 40 % (Fox dkk, 1988). Hasil penelitian Staudle dkk,(1973) dan Thorstensson, (1975) membuktikan bahwa latihan dapat merubah beberapa enzim penting dalam sistem ATP-PC.

Seperti telah disinggung pada bagian awal, bahwa ATP yang berkurang, dapat dibentuk kembali dengan bantuan enzim ATPase. Selain itu, dibantu pula oleh enzim myokinase (MK) dan creatin kinase (CK). Myokinase adalah katalisator pada reaksi pembentukan ATP dari ADP. Sementara, Creatin kinase adalah katalisator pada reaksi pembentukan ATP dari Phospho-creatine (PC). Hasil penelitian Thorstensson, (1975), terlihat bahwa setelah melakukan latihan sprint selama delapan minggu terjadi peningkatan sebesar 30% pada enzim ATPase, 20% pada Myokinase, dan 36% pada enzim creatin kinase (Fox dkk, 1988). Untuk itu , maka semakin jelas terlihat bahwa peningkatan akibat latihan tidak hanya terjadi pada penyimpanan ATP dan PC, tetapi enzimnya juga meningkat. 2). Peningkatan kapasitas glikolitik, adalah meningkatnya aktivitas enzim glikolitik. Enzim glikolitik yang meningkat adalah enzim Phosphorylase, Phosphofruktokinase, dan enzim laktat dehidrogenase Fox dkk, (1998). Kemudian hasil penelitian Costill, D.L, (1979) mengemukakan bahwa dari latihan anaerobik (ekstensi lutut 30 detik) dapat meningkatkan 10-25% terhadap enzim phosphorilase, phosphofruktokinase dan laktat dehidrogenase (Wilmore dan Costill, 1994).

(8)

Pelangi Pendidikan, Vol. 21 No. 1 Juni 2014 62

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Kondisi fisik adalah merupakan faktor penting yang harus dibangun dan dipelihara pada semua cabang olahraga. Untuk mewujudkannya, sangat diperlukan latihan yang berkualitas. Program latihan yang berkualitas harus mencakup hal-hal yang mendukung komponen-komponen fisik, teknik, taktik, dan mental yang diperlukan, pada setiap cabang olahraga.

Untuk mencapai puncak prestasi, latihan kondisi fisik adalah dasar dalam mendukung program latihan lainnya (Bompa, 1990). Dengan memiliki kondisi fisik yang baik, maka atlet tidak mengalami hambatan yang berarti dalam mengikuti program latihan teknik, taktik, maupun mental, yang keadaannya lebih berat.

Hal pokok dalam mewujudkan tujuan program latihan yang berkualitas, adalah energi yang merupakan bahan bakar tubuh dalam melakukan segala aktivitas. Karena latihan adalah aktivitas fisik, maka sudah pasti memerlukan energi yang cukup.

Pada saat melakukan aktivitas anaerobik, energi yang mula-mula dipakai adalah ATP yang sudah tersedia di otot (prosesnya cepat) dan mampu menyediakan energi untuk kegiatan kontraksi otot maksimal selama 1-4 detik.

Jika kontraksi masih terus berlangsung, maka ATP diperoleh dari reaksi kreatin fosfat dengan ADP, (McArdle, 1986). Setelah suplai energi dari ATP-PC habis, sementara otot terus berkontraksi, maka suplai ATP sebagai energi diperoleh dengan cara pembentukan PC kembali melalui pemecahan glukosa tanpa bantuan oksigen (glikolisis anaerobik).. Reaksi anaerob ini, terdiri atas serangkaian reaksi, yang mengubah glukosa menjadi asam laktat (Poedjiadi, 1994). Apabila pada saat terjadi penumpukan asam laktat, dan kontraksi otot tetap berlangsung, akan mengakibatkan penurunan pH darah (asam), yang pada akhirnya akan menghambat kerja otot (terjadi kelelahan).

Sementara itu, jika glikogen habis dan asam laktat menumpuk, maka dengan oksigen yang cukup dimulai pemben-tukan ATP dengan sistem aerobik dengan cara mengoksidasi asam laktat menjadi asam piruvat atau disebut dengan sistem glikolisis aerobik, dan selanjutnya asam piruvat ini dipergunakan sebagai sumber energi dalam pembentukan glikogen kembali.

Membicarakan kemampuan

anaerobik, adalah meliputi hal-hal yang berkaitan dengan daya anaerobik (anaerobic power), dan kapasitas anaerobik anaerobic capacity). Hanya tinggal dibedakan apakah fokusnya berkaitan dengan tanpa asam laktat (alaktasid) atau dengan asam laktat (laktasid). Pelaksanaannya di lapangan, hanya dibedakan atas waktu dari latihan (aktifitas) itu sendiri.

Seperti disebut diatas, sumber energi anaerobik meliputi sistem ATP-PC dan sistem laktat (glikolisis anaerobik). Sistem ATP-PC dan laktat dapat ditingkatkan dengan latihan (Janssen, 1989). Berkaitan dengan itu, Fox dkk,(1988) telah meneliti latihan-latihan yang dapat meningkatkan sumber energi anaerobik. Latihan yang telah ditelitinya antara lain, latihan lari percepatan, yang dapat mengembangkan sistem ATP-PC dan laktat sekitar 90%. Latihan hollow sprint, dapat meningkatkan sistem ATP-PC dan sistem laktat sekitar 85%. Latihan sprint interval, dapat mengembangkan sistem ATP-PC dan asam laktat sekitar 20%.

Khusus untuk latihan sprint interval, terlihat bahwa yang lebih besar peningkatannya bukanlah sistem ATP-PC dan asam laktat, melainkan sistem aerobik (70%). Dari uraian ini, seakan terjadi sesuatu hal yang kontradiksi. Latihannya sprint, tetapi yang meningkat adalah sistem aerobik. Seperti dimaklumi bahwa sprint adalah bentuk latihan yang memerlukan kecepatan dengan menggunakan sistem energi ATP-PC dan glikolisis anaerobik. Hal ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan, bahwa dengan latihan

(9)

Pelangi Pendidikan, Vol. 21 No. 1 Juni 2014 63 yang cepat, maka sistem energi yang

dipergunakan adalah sistem ATP-PC dan sebagian kecil sistem asam laktat (Bowerman, 1991).

Terjadinya hal yang kontradiksi tersebut dapat dijelaskan bahwa, latihan sprint interval di atas adalah berpedoman dengan jarak tertentu (50 yards), dan istirahatnya adalah dengan jogging, juga dengan jarak (60 yards). Pengaruh istirahat dengan jogging inilah yang diduga dapat meningkatkan sistem aerobik tersebut. Berdasarkan hal-hal ini, maka kiranya perlu diketahui peningkatan sistem ATP-PC, dan sistem laktat yang proporsional dengan latihan sprint interval yang berdasarkan waktu, yang disesuaikan dengan sistem energi ATP-PC, maupun sistem laktat beserta konsep pemulihannya (recovery).

Hasil penelitian Coyle dan Costill (1979), yang membandingkan latihan anaerobik ekstensi lutut maksimal selama 6 detik dengan 10 kali ulangan (ATP-PC) dengan 30 detik (glikolisis anaerobik), ternyata peningkatan enzim-enzim glikolisis anaerobik lebih tinggi peningkatannya akibat latihan anaerobik secara maksimal selama 30 detik. Sementara enzim-enzim ATP-PC lebih tinggi peningkatannya akibat latihan 6 detik. Dari hasil ini dapat dilihat, bahwa sumber energi yang dipakai daalam latihan berpengaruh terhadap peningkatan enzim-enzim dalam sistem energi masing-masing (Willmore dan Costill, 1994).

Sistem ATP-PC dan asam laktat (glikolisis anaerobik) dapat ditingkatkan dengan latihan yang menggunakan ledakan tenaga, serta diselang-seling dengan istirahat (Janssen, 1989). Asumsi penulis dari pendapat di atas, berarti dalam melatih sistem ATP-PC dengan lari sprint, dapat dilakukan dengan menggunakan interval. Karakteristik interval istirahat yang dilaksanakan, haruslah berpedoman pada konsep pemulihan dari sistem energi yang akan dikembangkan.

Berdasarkan masa pemulihan ini, maka waktu interval yang dipedomani adalah

berapa lama ATP-PC dapat kembali dan berapa lama pula asam laktat dapat dibersihkan. Untuk sistem ATP-PC waktu interval yang harus dipakai minimal adalah 30 detik, sebab 70 % dari fosfagen pada saat itu telah kembali. Sementara untuk sistem laktat waktu intervalnya adalah relatif singkat, sebab kalau terlalu lama, maka bukan sistem laktat yang dilatih, melainkan sistem ATP-PC. Karena lamanya waktu interval akan mengembalikan ATP-PC seperti semula.

D. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan kajian yang dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa pemahaman tentang sitem bioenergi mutlak harus diktehaui sebelum mendesai program latihan. Kekeliruan dalam penyusun program latihan tidak akan mengembangkan kondisi fisik yang dinginkan.

DAFTAR PUSTAKA

Bompa. O. Tudor. (1990). Theory and Methodology of Training. 2nd.Ed. Iowa: Kendall/ Hunt Publishing . Bouchard, Taylor, and Dulac. (1982).

Testing Maximal Anaerobic Power and Capacity Dalam: Physiological Testing of the Elite Athlete. Mouvement Publication, Inc.

Bowers.W. B. (1992). Sport Physiology. 3rd.ed. USA: Wm. C. Brown Publishers.

Fisher, A. Garth. (1990). Scientific Basis of Athletic Conditioning. London, Philadelphia: Lea and Febiger.

Fox, Edward, L. Bower, R and Foss, M. (1988) The Physiology Basic of Physical Education and Athletics. 4th Ed. Philadelphia: Saunders College Publishing.

Guyton, Arthur. C. (1993). Text Book of Medical Physiology. Alih Bahasa: Ken Ariata Tengadi dkk. WB Saunders Co.

(10)

Pelangi Pendidikan, Vol. 21 No. 1 Juni 2014 64 Harsono. (1988). Coaching dan Aspek-Aspek

Psikologis Dalam Coaching. Jakarta: Tambak Kesuma.

Janssen, P.G.J.M. (1989). Training Lactate Pulse Rate. Alih Bahasa : Peni K.S Mutalib. Jakarta : Pustaka Utama. Grafiti. Lehniger. (1991). Principles of

Biochemistry. Alih Bahasa: Maggy Thenawidjaya. Jakarta: Erlangga. McArdle, D.W, Katch ,I. F, Katch, L.V.

(1986). Exercises Physiology. Energy, Nutrition, and Human Performance. Philadelphia : Lea & Febiger.

Poedjiadi, Anna, (1994). Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI Press.

Pyke. S. Franks. (1991). Better Coaching, Advanched Coach's Manual. Australia: Australian Coaching Council Incorporated.

Soekarman, R. (1989). Dasar-Dasar Olahraga untuk Pembina, Pelatih dan Atlet. Jakarta: Haji MasAgung. Watson, A,W,S. (1983). Physical Fitness

and Athletics Performance. New York, London and Longman.

Willmore, H.Jack dan Costill, L. David. (1994). Physiology of Sport and Exercises. Champaign, IL: Human Kinetics.

Yessis, M. dan Trubo. R. (1993). Secrets of Soviet Sports Fitness & Training. Alih Bahasa: Ardina P. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Referensi

Dokumen terkait