• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAKWAH MEMBANGUN PERADABAN ISLAM; SOLUSI BERBAGAI KRISIS UMAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAKWAH MEMBANGUN PERADABAN ISLAM; SOLUSI BERBAGAI KRISIS UMAT"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

DAKWAH MEMBANGUN PERADABAN ISLAM; SOLUSI BERBAGAI KRISIS UMAT

Mashud

Dosen STAI Luqman al-Hakim Surabaya

Abstrak

Jika mencermati kondisi umat Islam belakangan ini, betapa tantangan internal (insider) dan eksternal (outsider) umat Islam perlu mendapat perhatian para da’i dan lembaga dakwah Islam. Krisis soliditas insider umat Islam sampai saat ini belum bisa dibanggakan, kondisi outsider Islam masih ada oknum masyarakat yang membangun sitgma negatif pada Islam. Krisis dan kesulitan umat Islam adalah betapa berat membangun soliditas, mempertahankan komitmen (iltizam), keteguhan (tsabat), kesabaran, serta konsistensi (istiqamah) dalam menjalankan syariat Islam di tengah-tengah berbagai tantangan insider dan outsider tersebut.

Di sisi lain insider umat Islam patut bangga dengan maraknya kebangkitan ummat Islam (nahdhatul ummah). Fenomena kesadaran beragama para mahasiswa, intelektual, kaum perkotaan semakin menggeliat.

Sementara outsider, sebagian mereka berusaha secara maksimal untuk membendung gejala kesadaran kembali ke Islam. Nampaknya kebangkitan Islam itu tidak bisa diredam dan diredupkan, usaha mereka hanya sia-sia belaka. Jadi tidak kita saja yang menderita kesulitan, mereka juga merasakan kesulitan dalam menghadapi banyaknya kaum terpelajar, bangsa-bangsa di negara maju yang ingin kembali kepada ajaran yang sesuai dengan fithrah mereka. Tulisan ini mencoba untuk mengurai dakwah membangun peradaban Islam solusi berbagai krisis umat Islam, diawali dengan uraian mengenal berbagai krisis umat Islam lalu uraian tentang bagaimana solusinya dengan dakwah membangun peradaban Islam.

Key Word : dakwah, peradaban Islam, solusi, krisis umat

A. Pendahuluan

Berbagai krisis yang menimpa kaum muslim sekarang ini merupakan akumulasi dari berbagai krisis sebelumnya, yang dimulai sejak format ketatanegaraan berbentuk kepemimpinan islami berubah menjadi format muluk (kerajaan, jahili). Al-Quran menjelaskan secara global bahwa krisis multidimensi itu terjadi karena berpaling dari ketentuan Allah.1 Makna ayat ini, barangsiapa yang berpaling dari syariat dan hukum-hukum Allah maka akan menemui kehidupan yang serba-sulit (ma’isyatan dhonkaa) di dunia, sangat menderita, sekalipun secara lahiriyah sejahtera.2

Ibnu Katsir menjelaskan lebih jauh tentang firman Allah, “Barangsiapa berpaling dari ketetapan Allah dan melupakannya, maka baginya kehidupan yang sempit di dunia (ma’isyatan dhonkaa), tiada ketenangan maupun kelapangan dada, bahkan merasakan

1

QS Thaha : 124.

(2)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

kesempitan hidup disebabkan kesesatannya sekalipun secara lahiriyah makmur, bisa berpakaian, makan, bertempat tinggal sesuka hatinya. Tetapi jiwanya goncang, bingung dan diliputi keragu-raguan.3 Ada yang berpendapat disempitkan liang lahatnya nanti sehingga tulang rusuknya berselisih.

Dalam hadits riwayat Imam ath-Thabrani dari Ibnu Abbas dijelaskan bahwa penyebab terjadinya berbagai krisis, adalah diawali oleh krisis kepribadian dengan mudah mengobral janji, krisis keimanan dengan menolak ber-tahkim dengan hukum Allah, krisis moral ditandai dengan merajalelanya praktek perzinaan, perkosaan, pergaulan bebas, pornografi, praktek aborsi, dan gaya hidup materialistik yang berindikasi dengan mental hedonistik, meghalalkan segala cara ketika memperoleh kekayaan serta keengganan untuk berzakat. Kemudian Allah menurunkan musibah penguasa yang zhalim, harga-harga kebutuhan pokok membumbung tinggi, musi-bah kemiskinan struktural, penyakit AIDS mewabah, manusia menjadi individualis, terjadi bencana alam di mana-mana.

Para pembaharu mengidentifikasi penyebab krisis integritas ummat tersebut, diawali dari kesempitan batin (azmat al-masya’ir), kemudian melahirkan kesempitan dalam berbagai bidang kehidupan; kemudian menawarkan alternatif-alternatif pemecahannya secara fundamental dan menyeluruh.

Pertama, krisis perasaan terhadap keagungan Islam (azmat al-masya’ir ‘an ‘azhamatil Islam).

Umat Islam sekarang tidak meyakini secara bulat bahwa Islam adalah solusi mendasar dalam mengantisipasi persoalan individu, keluarga dan masyarakat. Berbagai bentuk penyelesaian yang ditawarkan oleh syariat sekalipun baru pada tataran wacana cenderung disalahpahami. Mereka masih ragu bahwa Islam adalah ketetapan dari Allah Yang Maha „Alim yang bisa mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik, yakni yang memberi gairah dan arti hidup,4 yakni seruan kepada iman yang bisa menghidupkan jiwa.5 Imam Qatadah mengatakan, yaitu ajakan kepada al-Quran yang mengandung pedoman kehidupan, kejujuran, keselamatan, kesucian di dunia dan akhirat6 dan menjamin kebahagiaan hidup di akhirat.7

Dalam berinteraksi dengan Islam, umat Islam lebih mendahulukan akal daripada hati. Karena merasa memiliki keunggulan lebih daripada Allah. Persis sikap Iblis ketika memperoleh perintah dari Allah untuk memberi hormat kepada Adam, ia berargumen

3

Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir II, hal. 497. 4 QS al-Anfal : 24.

5 Shafwatut Tafasir I, hal. 500. 6

Tafsir ath-Thabari, juz 13, hal. 468. 7 QS Yunus : 64.

(3)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

bahwa perintah Allah tersebut tidak logis, tekstual (literal) dan normatif. Dia enggan mentaati-Nya, seraya menyombongkan diri dengan cara membanggakan asal-usul.8 Pasca suksesi di surga, syetan memohon izin kepada Allah untuk menggoda anak cucu Adam dari arah belakang, muka, kanan dan kiri, sehingga manusia menjadi makhluk yang tidak pandai bersyukur.9

Imam ath-Thabari10 ketika menafsirkan ayat ini menerangkan bahwa godaan “dari muka” adalah godaan tentang persepsi dunia, agar manusia menjadi serakah, mencari dunia dengan menghalalkan segala cara, akhirnya menjadi hamba materi bukan hamba Allah. Godaan “dari belakang” adalah godaan tentang kehidupan akhirat, agar melupakannya. Godaan “dari sebelah kanan” adalah godaan terhadap kebenaran, agar manusia ragu-ragu kepadanya. Godaan “dari arah kiri” berupa godaan kebatilan agar manusia cenderung kepadanya; kecuali hamba-Nya yang masih ikhlas, hanya berorientasi ke bawah (sujud) dan atas (Allah). Arah “bawah” dan “atas” ini tidak bisa dimasuki oleh syetan.11 Kemudian Nabi shalla-llahu „alaihi wa sallam mengajarkan doa untuk menghadapi dua godaan terakhir.

لَّ هُيلَّل اَ ااَنِراَأ لَّ اَ لْ اًّ قاَح ااَنلْقهُس لْر اًَ هُواَاااَثتِّذ ااَنِراَأاًَ اَ ِاااَثلْ ًّ ِاااَت ااَنلْقهُس لْر اًَ بااَنِرلْج

“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami al haq itu yang benar dan karuniakanlah kepada kami (kekuatan) untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami kebatilan itu kebatilan, dan berilah (kekuatan) kepada kami untuk menjauhinya” Persepsi ummat Islam terhadap Islam telah terkontaminasi oleh paham feodalisme pada abad pertengahan dengan menampilkan kesombongan; kapitalisme yang melahirkan keserakahan; dan sosialisme yang membuah-kan kedengkian.

لْ هُاالَِّّ اَزلْثِ لْ اًَ لَّ ِ اَ اَ لِْْللْتِ هُواَلاَ اَح هُزلْثِ لْ لَّ اَأ اَ هُ لْ اَّ اَ اَلآٓ ِ لْ هُاالَِّّ اًَ اَ لْزِ لْ اًَ لَّ ِ اَ اَ اَلآ هُواَلاَ اَح هُ لْزِ لْ َاَلاَا لْ اَأ اَ اَا اَجاَزاَ اَل لْ هُاالَِّّ اًَ اَ اَ اَ لْ اًَ لَّ ِ اَ اَِاَنلْت اَ اَلآ اَ اَراَق ااَ هُىهُ اَحاَأ اَزاَلآٓلْ ًّ اَ اَح لَّ هُى هُ لْ اَأ تِّ هُا ةٍحاَ لِْْ اَلآ ( ه ًر ت زاا ا ا ت لآٌع م ِضر الله ونا )

“Waspada dan jauhi kibr (sombong), karena sesungguhnya Iblis terbawa sifat al-kibr sehingga menolak perintah Allah subhanahu wa ta‟ala agar bersujud (menghormati) kepada Adam „alaihis salam. Waspada dan jauhi al-hirsh (serakah), karena sesungguhnya Adam „alaihis salam terbawa sifat al-hirsh sehingga makan dari pohon yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta‟ala. Waspada serta jauhi al-hasad (dengki), karena sesungguhnya kedua putra Adam „alaihis salam salah seorang dari keduanya membunuh saudaranya hanya karena al-hasad. Ketiga sifat tercela itulah asal segala kesalahan (di dunia ini).” (HR Ibnu Asakir dari Ibnu Masud,

dalam Mukhtaru al-Ahadits).

8 QS al-A’raf : 11, Shaad : 76. 9 QS al-A’raf : 17.

10

Tafsir ath-Thabari, juz 5, hal. 446.

(4)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

Sangat kontradiktif dengan sikap para salafus shalih, ketika berinteraksi dengan firman Allah maka sikap yang menonjol adalah tashdiq (membenarkan) dan taslim (berserah diri), kepatuhan (submission), ketaatan (obedience).12

Mereka memahami bahwa Islam adalah manhaj al-hayat, acuan dan kerangka tata kehidupan. Mencakup kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bernegara dan hubungan intenasional. Islam tidak sekedar landasan etis, tetapi ajaran yang aplikatif dalam berbagai aspek kehidupan. Islam bukan ajaran yang teoritis yang memadati pikiran, tidak mengajarkan hal-hal yang tak bisa dicapai manusia, tapi menerima manusia sebagaimana adanya dan mendorongnya untuk mencapai sesuatu yang bisa digapai.13

Mereka laksana prajurit yang menerima perintah dan tugas harian dari panglimanya. Tidak ada sikap yang didahulukan kecuali sami‟na wa atha‟na (kami mendengar dan kami siap mematuhinya).14

Dalam menyikapi ayat-ayat yang mutasyabihat (belum jelas maknanya) saja mereka menyerahkan penafsirannya kepada Allah, apalagi berinteraksi dengan ayat-ayat yang muhkamat (jelas maknanya).15 Hal ini sangat bertolak belakang dengan paradigma berfikir yang dikembangkan oleh kalangan tertentu, dimana ayat yang muhkamat saja perlu ditafsirkan supaya lebih kontekstual, lebih-lebih yang mutasyabihat.

Kedua, krisis kebanggaan dalam ber-Islam („azmatu al-i'tizaz bid-diin).

Di tengah keberagaman simbol, aliran pemikiran dan isme di era globalisasi saat ini, ditambah dengan semakin gencarnya peperangan pemikiran (al-ghazwu al-fikri), telah terjadi tasykik (proses peraguan), taghrib (pembarat-an), tajhil (pembodohan) pada diri muslim terhadap dien-nya sendiri. Pema-kaian kalimat „ghazw‟ disini menunjukkan salah satu pihak yang aktif, lain-nya pasif. Al-ghazw al-fikri, peperangan pemikiran, ditandai dengan gencar-nya serangan dari luar tanpa perimbangan perlawanan dari dalam kaum muslimin. Sedang kalimat „harb‟ bermakna kedua belah pihak yang bertikai sama-sama aktif bergerak.

Jatidiri islami yang telah mengakar dalam jiwa kaum muslimin mengalami degradasi. Misalnya di Indonesia saja kosa kata sirri (Makassar) dari kata sarirah (jati diri), carok (Madura) dari kata ghirah (cemburu), yang semula inhern dengan simbol

12

QS al-Hujurat : 14-15; al-Anfal : 2. Lihat: Hamudah Abdalati, Islam in Focus, diterbitkan oleh WAMY.

13 Abul A’la al-Maududi, Prinsip-prinsip Islam. 14

QS al-Baqarah : 285; an-Nuur : 51. Lihat : Sayid Quthb, Ma’alim fith-Thariq. 15 QS Ali Imran : 7. Lihat: al-‘Aqaid, Hasan al-Banna.

(5)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

Islaman berangsur-angsur hilang, bahkan kemudian cenderung mengalami pembelokan makna.16

Dahulu, kaum muslimin Indonesia rela kehilangan nyawa, dan merasa bangga karena membela kehormatan diri („iffah) sekali pun beresiko, sekarang dihinggapi penyakit dayatsah, banci – meminjam sabda Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam – yaitu, seseorang yang mendiamkan kemunkaran yang dilakukan oleh keluarganya dengan orang lain. Kaum muslimin sedang dijangkiti virus wahn (cinta dunia dan takut menghadapi kematian).

Mereka kurang percaya diri, malu menunjukkan bahwa kemuliaan adalah milik Allah, Nabi-Nya dan orang beriman.17 Mereka tenggelam, terpesona dengan kebesaran negeri-negeri Eropa dengan paham materialismenya. Mereka lupa bahwa kaum muslimin lebih unggul dalam persepsi, budaya, adat istiadat, nilai-nilai di hadapa Allah dari bangsa lain.18

Sejarah mencatat bahwa dunia ini didominasi oleh mereka yang memiliki keyakinan. Paham materialisme begitu cepat berkembang, karena pembawa ideologi itu yakin akan keistimewaannya, dan harapan akan jaminan masa depan. Kini, baru terbukti perkembangan sains dan teknologi yang merupakan produk paham kebendaan gagal dalam membawa manusia modern menuju hidup bahagia.19 Tanpa keyakinan dan kebanggaan, muslim modern (al-muslim al-mu‟ashir) akan lemah dalam mempengaruhi dirinya apalagi merespon tantangan eksternal.

Ketiga, kehilangan harapan akan datangnya pertolongan Allah (‘adamu al-amal bi-ta’yidillah).

Seringkali kaum muslimin dalam memecahkan persoalan lebih mengede-pankan pendekatan pada aspek organisasi, planning, management, efficiency, dan teknologi modern. Semua itu baik, tetapi lupa bahwa di balik rekayasa manusia ada kekuatan transenden yang mendominasi kehidupan ini, yaitu intervensi Tuhan (tadakhul rabbani), manajemen Ilahi.

Ketika terjadi Perang Badar antara muslim dan kafir, kekuatan material dua pasukan yang saling berkonfrontasi itu tidak sepadan. Kaum muslimin dalam posisi lemah, terdiri dari kalangan masyarakat akar rumput, lapar (berpuasa Ramadhan),

16

Hamka, Ghirah dan Tantangan Islam. 17 QS al-Munafiqun : 28.

18 QS Ali Imran :139. Lihat: Ru’yatun Islamiyah li Ahwaali al-‘Alami al-Mu’ashir, karya Muhammad Quthb.

(6)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

peralatan perang seadanya. Semula kaum muslimin hanya ingin mengambil kembali hak-haknya yang dirampas oleh orang kafir, setelah pulang dari kafilah dagang. Tetapi Abu Sufyan memilih jalan lain menuju ke Makkah dan memprovokasi kabilah Quraisy untuk berperang melawan kaum muslimin. Dengan kelebihan yang melekat pada dari tokoh kafir Makah itu, yakni orator (pandai berceramah tanpa teks, khuthbah murtajalah), semua elemen masyarakat Quraisy, tersulut amarahnya kepada komunitas Islam yang sedang dirintis oleh Rasulullah shalla-llahu „alaihi wa sallam. Dalam waktu singkat bisa terkumpul pasukan 4 kali lipat dari jumlah pasukan Islam.20

Rasulullah shalla-llahu „alaihi wa sallam sendiri sempat mengkhawatirkan keberlangsungan eksistensi mereka, umat beliau, seperti terlukis dalam doa yang beliau panjatkan:

“Ya Allah, kabulkanlah doaku. Ya Allah sekiranya pasukan ini hancur terkalahkan, niscaya Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi setelah hari ini”.

Rasulullah shalla-llahu „alaihi wa sallam terus berdoa hingga selendangnya terjatuh dari pundaknya, hingga Abu Bakar radhiyallahu „anhu berkata kepada beliau, “Demi Allah, wahai Rasulullah, Allah pasti akan menolong dan mengabulkan doa Anda”. Allah subhanahu wa ta‟ala pun berkenan menolong kaum muslimin dengan kemenangan yang sangat gemilang.21

Berbeda jauh saat kaum muslimin berperang pada Perang Hunain. Ketika itu mereka membanggakan SDM unggul dan peralatan perang. Karena peperangan dikomando langsung oleh Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam diikuti oleh para Sahabat senior. Begitu kepercayaan diri tertanam secara berlebihan, hampir saja kaum muslimin mengalami kekalahan telak. Kebanggaan material terbukti tidak berhasil menolong dari kepungan musuh dan merapatkan barisan kaum muslim.22

Thalut dan ummatnya yang hanya minum seteguk air, sekedar untuk me-lepas dahaga, terbukti memiliki kekuatan mental untuk melanjutkan pepe-rangan, dan dengan izin-Nya, Jalut dan pasukannya berhasil dipukul mun-dur. Sedangkan prajuritnya yang minum air sungai secara berlebihan hingga kekenyangan, ternyata tidak memiliki kesanggupan untuk berperang.23

Demikian pula kekalahan yang sama dialami ummat Islam pada Perang Uhud, ketika pasukan pemanah tidak disiplin karena terpesona dengan kekayaan dunia.

20 Fiqh as-Sirah, Syekh Muhammad al-Ghazali. 21 QS Ali Imran : 123.

22

QS at-Taubah : 25. 23 QS al-Baqarah : 249.

(7)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata, „Dari mana datangnya (kekalahan) ini?‟ Katakanlah, „Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri‟.” (QS Ali Imran : 165).

B. Solusi Atas Berbagai Krisis Umat

Mengantisipasi krisis psikologis ummat sebagaimana yang telah dipaparkan pada awal maudhu‟ (tema) ini, perlu diambil langkah-langkah diagnosis berikut.

Pertama, memahami syariat Islam secara terperinci (al-ma’rifah ad-daqiq ‘an syari’atil Islam)

Dengan mengilmui syariat Islam, Allah akan memberikan „ilmu kasbi (ilmu yang diperoleh melalui usaha yang tekun) dan „ilmu ladunni (ilmu baru yang didapatkan atas kemurahan Allah). Dengan ilmu yang luas akan mengantarkan seseorang mampu mengidentifikasi permasalahan kehidupan ummat dan mencari solusi alternatif. Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu.24 Posisi manusia lebih tinggi dari makhluk lain, termasuk malaikat, karena interaksinya dengan ilmu.25

Allah mencela orang yang menuruti hawa nafsu dan tidak mau menggali potensi-potensi sama‟, bashar dan fuad-nya secara maksimal.26 Ibnu Taimiyah mengatakan kebodohan adalah musibah kematian sebelum meninggal. Allah akan meminta pertanggungjawaban manusia atas peng-gunaan sama‟, bashar dan fuad-nya.27

Doa yang seringkali dipanjatkan oleh Rasulullah pada awal-awal perlangkahan Islam adalah doa agar dianugerahi SDM unggul, “Ya Allah, jayakanlah Islam ini dengan masuk Islamnya salah satu dari dua Umar.” Dengan ilmu syariat akan menambah pemiliknya takut kepada Allah,28 dan akan menyimpulkan bahwa semua ciptaan-Nya tidaklah sia-sia.29

Bangsa-bangsa yang memiliki komitmen peningkatan SDM, maka akan memiliki keunggulan dalam berbagai aspek kehidupan, sosial, politik, ideologi, ekonomi, keamanan, dll. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa perintah mencari ilmu

24 QS al-Mujadilah : 11. 25 QS al-Baqarah : 31; al-‘Alaq : 5. 26 QS al-A’raf : 178. 27 QS al-Isra’ : 36. 28 QS Fathir : 28. 29 QS Ali Imran : 191.

(8)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

menggunakan kalimat faridhatun, dimana “ta‟ marbuthah” dalam kata ini mempunyai arti superlatif (mubalaghah), alias sangat diwajibkan.

Kedua, membangun iman secara mendalam (al-iman al-‘amiiq)

Iman akan melahirkan kesadaran untuk hidup Islami secara total dan menyeluruh,30 menerima Islam sebagai minhajul hayat (sistem hidup), tak terjebak pada parsialisasi Islam (juz‟iyyatul Islam), atau ber-Islam karena dorongan intres pribadi.31

Iman yang benar akan melahirkan sikap sami‟na wa atha‟na (kami mendengar dan kami tunduk) pada ketentuan Allah.32 Mukmin sejati memiliki kesiapan lahir dan batin untuk diatur oleh Allah dengan suka rela.33

Dengan iman akan melahirkan loyalitas pada kebenaran mutlak, keadilan, kejujuran, kedamaian, kedisiplinan, keindahan dan sifat-sifat utama yang lain. Kemenangan iman bukan hadiah ummat Islam semata, tetapi kemenangan kemanusiaan atas kezaliman, ketidakadilan hukum dan ekonomi dan sikap represif lainnya. Karena Islam adalah untuk semua manusia (kaffatan lin-naas) dan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil-„alamin).34

Iman yang tidak melahirkan gerakan penegakan syariat dalam kehidupan sama jeleknya dengan amal yang tidak berlandaskan iman. Setelah mengikrarkan syahadat, konsekuensinya adalah menegakkan syariat shalat.35 Syariat shalat merupakan penye-garan ulang tentang kesiapan muslim dalam mengatur segala aspek kehidupan dengan syariat, demikian kata Al-Maududi.

Ketiga, membangun solidaritas dan soliditas sesama ummat (ittishal al-watsiiq)

Terapi yang ketiga adalah terampil dalam menjalin hubungan interpersonal dan intrapersonal (shidqun fil mu‟amalah). Ada dua komponen penting sebagai pilar dalam bergaul (rukn al-mukhalathah). Pertama, minimal kita tidak memiliki sikap berburuk sangka, dengki, benci kepada sudara muslim. Kedua, maksimal kita mampu menunjukkan sikap itsar (mengutamakan orang lain melebihi dirinya sendiri).

30 QS al-Baqarah : 208. 31 QS al-Baqarah : 85; al-Hajj : 11. 32 QS an-Nuur : 51. 33 QS an-Nisa’ : 65. 34 QS al-Anbiya’ : 107. 35 QS Thaha : 12, 14.

(9)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

Berbeda dengan paham barat yang mengatakan, “Kalian bebas berbuat apa saja asal tidak melanggar batas-batas kebebasan kami.” Islam mengajarkan sejauh mana Anda mengorbankan kebebasan Anda untuk kepentingan orang lain.36

Bertolak dari shidqun fil mu‟amalah akan melahirkan ukhuwah Islamiyah. Sejarah menunjukkan bahwa dengan jalinan ukhuwah yang solid maka berbagai kesulitan maupun tantangan yang dihadapi ummat akan mudah diselesaikan.

Jika ketiga diagnosa krisis yang dipaparkan pada awal tema ini, diuji secara shahih pada realitas kehidupan ummat, insya-Allah berbagai krisis yang bersifat konsepsional dan teknis akan segera berakhir.

Dengan sumber daya manusia yang beriman, berilmu dan dirakit dalam bangunan organisasi yang kokoh maka akan men-zhahir-kan Islam diatas agama-agama yang lain, semuanya.37

C. Tahapan Turunnya Wahyu Sebagai Jawaban

Argumentasi orisinalitas tekstual (hujjatu ashaalati an-nash)

Sesungguhnya program dasar Allah subhanahu wa ta‟ala menciptakan manusia adalah, pertama, sebagai hamba-Nya. Maka, langkah pertama dan utama seorang hamba Allah adalah berusaha mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah).

ااَماًَ هُدلْقاَلاَلآ لَّ ِ لْ اَ لْنِ لْ اًَ لَّ ِ ِ لًْهُ هُثلْعاَِْ ( خاّر ذ : 56 )

“Tidaklah Aku menciptakan Jin dan manusia kecuali supaya mereka (ujung-ujungnya) beribadah kepada-Ku.” (QS adz-Dzariyat : 56).

Kesan (atsar) yang diperoleh lewat media pendekatan (‘ibadah mahdhah) ini akan mendapat curahan 1% dari 100% salah satu sifat-Nya yang baik (al-asma‟ al-husna), diantaranya sifat ar-Rahman ar-Rahim. Satu rahmat saja bumi dan seisinya berjalan dengan harmonis, seluruh makhluk hidup dengan damai, ibu bisa mengasihi anaknya, binatang-binatang buas tak berebutan dalam satu lokasi minuman.

لٌْهُقلَّلاَخاَذ ِ اَ لْلآاَ ِت ِالله لْ اَم اَ لَّلاَخاَذ ًّ ِح اًَ هُولْنِم اَ اَلآاَلآ اَحلَّناَ لْ - ثّ

“Berakhlaklah dengan akhlak Allah subhanahu wa ta‟ala barangsiapa yang berakhlak dengan salah satu akhlak-Nya, niscaya ia masuk surga.” (al-hadits)

36 QS al-Hasyr : 9.

37 QS ash-Shaff : 9. Lihat: Nahnu wal Hadharah al-Gharbiyyah, Abul A’la al-Maududi. Ketiga solusi mendasar di atas – menurut kajian Sistematika Nuzulnya Wahyu – dinamakan Prinsip Dasar Aqidah, Syari’ah dan Imamah-Jamaah.

(10)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019 اَاااَق يُِِّثلَّن  : هُا لٌْهُقاَّ هُالله لَّشاَا لَّ اَجاًَ : ااَناَأ اَ لْنِا تِّ اَ لُِْ لْثاَا لِِْت اًَ ااَناَأ هُواَعاَم اَ لِْْح لِِْنهُزهُالْذاَّ اَذِ اَ لِِْناَزاَااَذ َِ ِوِ لْ اَن هُوهُذ لْزاَااَذ َِ لِِْ لْ اَن اَ ِ اًَ لِِْناَزاَااَذ َِ ةٍ اَ اَم هُوهُذ لْزاَااَذ َِ ةٍ اَ اَم رٌزلْْاَلآ هُولْنِم ِ ِ اَ اَباَزاَرلْق لَِّاَ ِ ًّزلْثِش هُدلْتاَزاَرلْقِ ِولْْاَ ِ اًّا اَرِذ ِ ِ اًَ اَباَزاَرلْق لَِّاَ ِ اًّا اَرِذ هُدلْتاَزاَرلْقِ هُولْنِم اًّاااَت لْ ِ اًَ لِِْنااَذ اًّْلْلاَم هُوهُرلْْاَذ ًّحاَ اًَلْزاَى ( ه ًر اخْل )

“Nabi shalla-llahu „alaihi wa sallam bersabda, “Allah „azza wa jalla berfirman (dalam hadits qudsi) : „Aku dalam sangkaan hamba-Ku, dan Aku akan selalu bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Kemudian apabila ia ingat Aku dalam dirinya, Aku pun mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika ia ingat kepada-Ku dalam satu kaum, maka Aku akan mengingatnya dalam kaum yang lebih banyak dari pada kaum itu. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatinya sehasta. Jika ia mendekat-Ku satu hasta, Aku akan mendekatinya sedepa. Dan jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan kaki, aku akan datang kepadanya dengan berlari-lari kecil.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Ketika seorang hamba mendekat Allah subhanahu wa ta‟ala dan telah terbangun cinta secara timbal balik antara dia dengan Allah, maka Allah akan menjadikannya sebagai kekasih-Nya (waliyyuhu), hamba-Nya („abduhu) atau Rasul-Nya (rasuluhu), untuk membantu 1% dari tugas-tugas-Nya dalam mengatur alam semesta (rabbul „alamin), sehingga semua aktifitas kehidupannya adalah implementasi dari kehendak-Nya.

لْ اَا َِتاَأ اَجاَزلّْاَزهُى  اَاااَق : اَاااَق هُا لٌْهُ اَر ِالله  : لْ اَم ٍاَلآااَا لِِْ اًّ ِْ اًَ لْ اَقاَ هُوهُرلْناَذ ِبلْزاَ لْ اِت ااَماًَ اَبلَّزاَقاَذ لَِّاَ ِ لُِْ لْثاَا ةٍ لِْاَلِت لَّةاَحاَأ لَِّاَ ِ الَّ ِم هُد لْضاَزاَرلْ ِولْْاَلاَا ااَماًَ هُا اَشاَّ لُِْ لْثاَا هُبلَّزاَقاَراَّ لَِّاَ ِ ِ ِ اٌَلَّن اِت لََّراَح هُولَّثاَحاَأ اَذِ اَ هُوهُرلْثاَثلْحاَأ هُدلْنهُا هُواَعلْ اَ لُِْذلَّ هُ اَ لْ اَّ ِوِت هُهاَزاَ اَتاًَ لُِْذلَّ هُزِ لْثهُّ ِوِت هُهاَ اَّاًَ لُِْذلَّ هُ ِ لْثاَّ ااَيِت هُواَل لْجِراًَ َِرلَّ لِِْللْ اَّ ااَيِت لْ ِ اًَ لِِْناَ اَ اَ هُولَّناَِْ لْا اَ هُ اَ ِ ِ اَ اًَ لِِْناَذااَعاَراَ هُولَّناَذلِْْاهُ اَ ( ه ًر ُراخث )

Dari Abu Hurairah radhiyallahu „anhu berkata : Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam bersabda : Bahwa Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman : “Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Kuizinkan ia (yang memusuhi itu) diperangi. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amal lebih Kusukai daripada jika ia mengerjakan amal yang Kuwajibkan kepadanya. Hamba-Ku selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengaran yang ia mendengar dengannya, menjadi penglihatan yang ia melihat dengannya, sebagai tangan yang ia memukul dengannya, sebagai kaki yang ia berjalan dengannya. Jika ia meminta kepada-Ku pasti Kuberi dan jika ia minta perlindungan kepada-Ku pasti Kulindungi.” (HR al-Bukhari).

Maka tugas yang kedua, manusia adalah sebagai wakil Allah (khalifah-Nya), untuk mengatur alam semesta (rabbul „alamin). Dalam usaha memakmurkan alam ini (i‟mara), ada makhluk yang memiliki potensi untuk mengurus dirinya dan mengelola alam, ada makhluk yang bisa mengurus dirinya sendiri dan ada makhluk yang menjadi urusan orang lain. Orang yang memiliki kapasitas mengurus sesama dan sekelilingnya itulah yang dikategorikan oleh hadits sebagai penggembala (ra‟in), yang kepadanya Allah menye-rahkan mandat khilafah-Nya di muka bumi ini.

اٌَهُى لُِْذلَّ لْ هُااَ اَللْناَأ اَ ِم ِ لْراَ لْ لْ هُااَزاَ لْعاَرلْ اًَ ااَيلِْْ ( لآٌى : 61 )

(11)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (QS Huud : 61). لِْتِّنِ رٌ ِاااَج َِ ِ لْراَ لْ ًّحاَ لِْْلاَلآ ( جزقث : 30 )

“Sesunggunya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS al-Baqarah : 30).

Tugas kehambaan dan kekhalifahan ini harus berjalan secara seimbang. Apabila kedua tugas itu tidak berjalan secara sinergis, maka dalam diri manusia akan terjadi perkembangan yang tidak utuh (split personality). Di satu aspek kuat dalam potensialisasi diri, tetapi pada aspek yang lain lemah dalam aktualisasi diri. Keimanan yang tidak melahirkan kepekaan dan tanggung jawab sosial, sama jeleknya dengan amal yang tidak dilandasi oleh iman. Dan manusia model ini termasuk pendusta agama. Shalih secara ritual tetapi tidak shalih sosial. Sosok yang baik untuk dirinya sendiri (shalih li nafsihi), tidak shalih bagi orang lain.

Dalam memakmurkan alam sebagai tugas kekhalifahan, Allah subhanahu wa ta‟ala telah membuat paket aturan yang mengandung kebenaran mutlak, maka dijamin sukses dalam menjalankan fungsi sebagai wakil-Nya. Aturan itu disebut diinul haq (dien yang benar). Tujuan (al-hadaf) penegakan aturan ini agar diunggulkan-Nya atas agama yang lain. اٌَهُى لُِْذلَّ اَ اَ لْراَأ هُواَ لٌْهُ اَر ٍاَ هُيلْ اِت ِ لِّْلآاًَ تِّ اَ لْ يُ رَ لِ ظْ يُ لِ َاَلاَا ِ لّْتِّ ِوتِّلهُا لٌْاَ اًَ اَهِزاَا اَ لٌْهُاِزلْلهُ لْ ( حتٌر : 32 -33 .)

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur‟an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS at-Taubah : 32-33).

Argumentasi kontekstual (hujjah al-kayfiyyah aw al-manhaj)

Standar kebenaran konsep di samping orisinil, steril dari campur tangan manusia, diukur pula tingkat kemampuannya dalam melahirkan pelakunya (al-Qur‟anu yahtaaju ila rajulin Qur‟ani). Nilai-nilai al-Qur‟an yang ideal harus membumi, dibuktikan dengan perilaku pemeluknya.

Jika kita mengkaji perjalanan Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam dalam membumikan al-Qur‟an, dalam jangka waktu 23 tahun, gurun Jazirah Arab terbukti dipadati manusia-manusia besar yang siap memimpin dunia. Manusia yang telah tertata ulang persepsi (tashawwur) dan bashirah-nya (mata hati) tentang dirinya, pandangan terhadap alam sekitarnya, wawasan tentang Tuhannya dan misi kehadirannya di dunia. Dari sinilah awal perubahan besar itu terjadi.

(12)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

Dari masyarakat yang nomaden (badawah), lahirlah pemikir dan ilmuwan besar seperti Umar bin al-Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas‟ud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka‟ab. Bahkan, menurut catatan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, jumlah sahabat yang ditinggalkan Rasulullah shalla-llahu „alaihi wa sallam saat beliau wafat berjumlah 16.000 orang, dimana sekitar 100 sampai 110 orang diantara mereka adalah ulama.

Dari masyarakat yang buta aksara itu lahirlah pemimpin-pemimpin besar. Pemimpin negara seperti Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Pemimpin militer seperti Khalid bin Walid, Abu Ubaidah Jarrah, al-Mutsanna bin al-Haritsah, Sa‟ad bin Abi Waqqash, „Amr bin al-„Ash, dll.

Dari masyarakat yang tidak terstruktur itu muncul puluhan entrepreneur ulung seperti Abu Bakar, Ustman bin Affan, Abdurrahman bin Auf. Bahkan 9 dari 10 sahabat yang dijanjikan masuk surga adalah pebisnis. Dan lebih banyak lagi keahlian yang dimiliki dari kalangan shahabiyat Rasulullah shalla-llahu „alaihi wa sallam.

Dari masyarakat yang buta budaya itu muncul kelompok profesional dalam berbagai bidang. Bidang hukum (Ali bin Abi Thalib, Syuraih al-Qadhi), administrasi (Abu Ubaidah), intelijen (shahibus sirr) seperti Hudzaifah bin al-Yaman dan al-Abbas, atau aspek bahasa seperti Zaid bin Tsabit.

Dari masyarakat yang tidak diperhitungkan dalam percaturan peradaban dunia saat itu, lahir dari kalangan grass root yang memiliki komitmen keagamaan yang kuat seperti Bilal bin Rabah, Shuhaib bin Sinan ar-Rumi, atau keluarga „Ammar bin Yasir. Akidah bagi mereka lebih berharga dari nyawanya, sekalipun secara ekonomi mereka kekurangan. Dari mereka lahir pula pemuda dari keturunan budak yang menjadi panglima perang, misalnya Usamah bin Zaid.

Kualitas ilmu dan iman para sahabat melebihi dari manusia pada masanya. Kualitas seorang dari mereka melebihi 1000 orang biasa. Rajulun ka-alfin. Sungguh, suara Abu Thalhah al-Anshari lebih baik daripada sekelompok orang (lashawtu Abi Thalhata khairun min fi-atin). Ketika sebagian sahabat ada yang mentertawakan fisik Ibnu Mas‟ud yang kurus, Rasulullah membela dengan ungkapannya yang terkenal, “Sungguh kaki Ibnu Mas‟ud lebih berat dari gunung Uhud di surga kelak, karena komitmen perjuangannya”.

Demikianlah profil generasi pertama kaum muslimin. Sejarah menceritakan kepada kita tentang kemampuan al-Qur‟an untuk melahirkan orang-orang besar. Tinta emas sejarah tidak pernah kering dari sosok manusia yang kematangan pemikirannya

(13)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

melebihi usianya, kedewasaannya melampaui masanya, kehadirannya menggoncangkan dunia dan mengagumkan bagi yang mengenalnya dengan jujur.

Kini kaum muslimin berada pada titik nadir kelemahannya, memerlukan kehadiran model manusia seperti mereka untuk memandu mereka keluar dari keterpurukannya. Bagaimanakah langkah metodologis supaya menjadi manusia muslim ideal? Hanya konsep orisinil dan diterapkan secara sistematis dari al-Qur‟an yang bisa menjawabnya. لٌْاَ ااَنلْ اَشلْناَأ اَذاَى اَ لْزهُقلْ َاَلاَا ةٍ اَثاَج هُواَرلّْاَأاَزاَ اًّعِشااَلآ اًّاتِّ اَ اَرهُم لْ ِم ِحاَْلْلاَلآ ِالله ( زل : 21 )

“Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur‟an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah.” (QS al-Hasyr : 21).

D. Dakwah Membangun Peradaban Islam

Cara yang cukup memadai untuk mendapatkan makna peradaban ialah dengan melacak secara leksikal. Pertama: Peradaban dirujuk dari kata addaba, yang berarti memperbaiki dan meluruskan (ashlahahu wa qawwamahu). Secara terminologis, menurut Muhammad Qutb memiliki makna seni membentuk orang secara konstan menuju kesempurnaan (fannu tasykilil insan tadrijiyyan ilal kamal). Sebagaimana sabda Nabi saw:

Addabani Rabbi fa ahsana taadiibi (Tuhanku telah mendidikku dan Ia telah mendidikku

dengan sebaik-baiknya).

Kedua, secara semantic peradaban Islam berasal dari akar kata Al-hadharah al-islamiyah.” Hadhara bermakna hadir dengan membawa pesan spiritual yang diekspresikan

dalam format ideologi, politik, sosial, budaya dan dimensi kehidupan yang lain. Jadi tidak sekedar ada. Kebalikannya adalah badawah (nomaden), belum bisa mengungkap, mengklasifikasikan dan mengkomunikasikan isi hatinya dalam konsep yang baik. Dalam kamus Lisanul Arab, kata hadhara memiliki arti syahida (menyaksikan). Dari akar kata ini kemudian berkembang menjadi syahadat (menyaksikan Allah), syahid (mati sebagai syahid), dan syuhada ‘alaa an nasi (sebagai saksi atas manusia).

Dengan metode yang sama kita pun akhirnya bisa mendefinisikan secara lebih baik tentang apa itu peradaban dan apa yang dimaksudkan dengan peradaban Islam. Peradaban, secara definitif, adalah manifestasi keyakinan dalam kehidupan manusia. Definisi ini bisa diperluas lagi, bahwa peradaban adalah manifestasi keyakinan dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dengan demikian peradaban Islam juga dapat

(14)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

didefinisikan, yakni manifestasi keyakinan Islam (tawhid) dalam setiap aspek kehidupan Muslim.

Jika seluruh aspek kehidupan manusia, seperti ekonomi, politik, hukum, seni, teknologi, sosial dan lain-lain dapat dianalogikan sebagai titik-titik dengan membentuk lingkaran, maka keyakinan adalah titik pusatnya. Bagaimana lingkaran itu akan terbentuk dan meluas, sangat tergantung pada intensitas pancaran titik pusatnya. Keyakinan membentuk lingkar spiritual, intelektual, prilaku, sikap, interaksi sosial bahkan sampai model-model bangunan dan artefak serta infrastruktur lainnya. Bangunan-bangunan megah yang berasal dari peradaban Islam, tercermin pada masjid-masjid yang merupakan tempat peribadatan umat Islam dalam mengembangkan spiritualitasnya. Sebaliknya, peradaban-peradaban berbasis materialisme dan atau sekulerisme dicerminkan oleh bangunan-bangunan besar, yang seluruhnya didekasikan untuk aktivitas bisnis atau materi, seperti pabrik, pasar dan rumah-rumah mewah. Begitu juga ketika pusat keyakinan bertumpu „kehidupan dan kematian‟ raja-raja, seperti terjadi di Mesir masa para Fir‟aun, maka bangunan-bangunan megahnya adalah kuburan raksasa atau piramid.

Dengan perspektif inilah kita dapat menyaksikan, bagaimana kelahiran peradaban Islam yang berawal dari “satu titik,” kemudian berkembang pesat, mempengaruhi gaya berpikir, wacana, prilaku dan akhlaq masyakarat dan mencapai puncaknya dengan Madinah sebagai pusatnya. Awalnya adalah kehadiran Rasulullah saw, setelah menerima wahyu pertama kali (al-‘Alaq: 1-5), kemudian dari seorang diri itu menyebar ke rumah tangga beliau, dengan titik tekan keyakinan yang sama, tawhid. Ada transmisi keyakinan yang kuat, disertai dengan peningkatan spiritualitas dan aktivitas intelektual dalam pembelajaran di rumah Arqam bin Arqam.

Membangun Peradaban Islam: Mungkinkah?

Pertanyaan besar ini kita ajukan, karena situasi yang melingkupi dunia Islam adalah sedemikian rupa, sehingga setiap niat baik, apalagi cita-cita besar untuk mewujudkan peradaban Islam di masa depan. Dengan pertanyaan itu setidaknya kita akan berpikir dan menganalisis seberapa besar tantangan yang kita hadapi, potensi yang kita miliki didasarkan atas asumsi-asumsi dan keyakinan-keyakinan yang kita miliki. Kemampuan kita dalam memberikan analisa inilah yang secara relatif memberikan “rasa” optimis atau pesimis, meskipun secara doktrinatif tentu kita juga harus memiliki perasaan optimis.

(15)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

Sebagaimana diuraikan di depan bahwa semua aspek kehidupan umat Islam secara riil telah dideterminasi oleh nilai-nilai peradaban materialisme. Bagaimanakah ekonomi, politik, hukum, hankam, seni dan entertainment kita, pada kenyataannya adalah hasil imitasi konsep dan peniruan dari Barat. Artinya, tak ada satu aspek realitas keumatan pun yang siap untuk berbenturan dengan realitas kehidupan yang ada dalam peradaban materialisme Barat. Tetapi jika kita bertanya pada diri sendiri dan mengukur keyakinan kita; sebenarnya mana yang lebih kredible antara ajaran Islam, Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah saw., dibandingkan dengan ajaran hidup yang dimiliki peradaban Barat. Kita akan mendapatkan jawaban yang sangat optimis; ajaran Islamlah yang lebih unggul dan kredible. Ada perasaan superior di hati kita dan tentu umat Islam umumnya, berkenaan dengan keunggulan ajaran yang dimilikinya, bila dibandingkan dengan ajaran lain, baik berupa kitab suci agama lain maupun falsafah hidup buatan manusia lainnya. Titik awal dalam membangun peradaban Islam yang kita cita-citakan haruslah berawal dari domain, di mana kita sendiri memiliki perasaan superior itu sendiri. Karena rasa superior itulah yang akan mendorong kita untuk bersifat ekspansif dalam membangun peradaban.

Pada satu sisi dapat dikatakan bahwa superioritas dan atau inferioritas suatu peradaban itu sepenuhnya tergantung pada dua hal. Pertama, ajaran-ajaran atau nilai-nilai

kehidupan yang terdapat dalam peradaban yang bersangkutan. Misalnya, seberapa sahihkan pandangan yang berasal dari ajaran peradaban tersebut memberikan pernyataan tentang sesuatu, termasuk pandangan tentang masa depan umat manusia. Bagaimana ajaran itu merespons pikiran-pikiran manusia, dari persoalan sehari-hari sampai dengan hal-hal yang bersifat substantive dan transendensi. Apakah pernyataan-pernyataan dari ajaran itu bisa dibuktikan dalam kehidupan. Artinya, apakah jika seseorang mengikuti secara penuh ajaran yang diyakininya akan memperoleh kesuksesan hidup dan sebagainya.

Kedua, terletak pada kemampuan interpretasi sumberdaya insani yang terdapat

dan menjadi pendukung dalam peradaban tersebut, sehingga ajaran-ajarannya memiliki kontekstualisasi dengan problem-problem kemanusiaan pada masanya, dan tentunya dengan konsistensi logis yang memadai. Artinya, apakah sumberdaya insani yang menjadi penyangga peradaban tersebut itu terdiri atas manusia-manusia yang cerdas, tercerahkan dan mampu membangun konsep tentang berbagai aspek kehidupan yang diturunkan dari ajaran tersebut atau tidak.

Realitas peradaban Islam sekarang ini berada dalam posisi superior, jika ditinjau dari perspektif ajaran. Sebaliknya Islam adalah peradaban yang inferiror, jika ditinjau dari

(16)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

sumber daya insani. Islam, seperti dinyatakan dalam kata-kata bijak adalah ajaran yang tertinggi dan tidak ada yang menyamainya (al-islaamu ya’luu wa laa yu’laa ‘alayhi). Tetapi sebaliknya juga Islam tertutupi [pancaran dan superioritasnya] oleh kebodohan umat Islam sendiri.

Peradaban yang merasa superior, secara fenomenal, akan mengemukakan pandangan-pandangan dan interpretasinya untuk menjawab persoalan-persoalan kehidupan dan kemanusiaan. Lebih dari itu, mereka akan mengajak pihak lain bahkan memaksanya untuk mengikuti apa yang dianggapnya baik tersebut, dan biasanya tanpa memberikan empaty untuk melihat ajaran peradaban yang menjadi pilihan pihak lain. Peradaban Barat, yang diklaim oleh sejumlah opini dominan sebagai peradaban yang „paling maju‟ dan akan membawa umat manusia pada kemajuan dan kemakmuran (materi), kini merasa mendapatkan saingan baru setelah musuh bebuyutannya (Komunisme) tumbang. Dan, saingan baru itu, yang tidak hanya merupakan rival tetapi berpotensi menghasilkan benturan peradaban yang amat dahsyat, adalah Islam. Karena ajaran Islam, siapapun mengetahui, adalah yang paling kredible dan handal untuk menyelamatkan manusia, di dunia ini dan akherat kelak. Itulah mengapa, peradaban Barat yang direpresentasikan oleh Amerika, Inggris, Perancis dan sejumlah negara Eropa lain, lebih suka menjadikan orang-orang Muslim sebagai sasaran tembak ketimbang terhadap ajaran Islam. Karena sumberdaya insani Islam (Muslim), saat ini adalah titik lemah kebangkitan peradaban Islam. Masalahnya, menjadi berbeda, jika Barat berani membidik ajaran Islam itu sendiri untuk dibenturkan dengan ajaran sekuler. Karena bila ajaran Islam diangkat ke permukaan, menjadi wacana global, dengan sendirinya akan memberikan penetrasi dan menginfiltrasi setiap manusia, tak peduli dari manapun latar belakang peradabannya, selama memiliki integritas intelektual.

Dengan demikian, kunci utama membangun peradaban Islam pada masa kita sekarang ini adalah dengan dakwah dan mengembangkan superioritas, terutama bagi mereka yang merasa “terpanggil” sebagai da‟i untuk urusan besar ini. Hal ini sangat penting, agar kesempurnaan ajaran Islam, dalam semua aspek kehidupan manusia, mendapatkan orang-orang terpilih dan sekaligus representatif untuk mempresentasikannya di hadapan seluruh umat manusia. Bila tidak demikian, maka kebesaran ajaran Islam diselubungi oleh kebodohan kaum Muslim, yang pada gilirannya komunitas yang berasal dari peradaban lain, karena interaksinya dengan orang-orang Muslim yang seperti itu, akan meremehkan ajaran Islam itu sendiri, tanpa mengkajinya secara obyektif.

(17)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

Kesimpulan

Superioritas itu, seperti tercermin dalam ajaran Al-Qur‟an, terletak pada kesempurnaan spirirtual dan intelektual seseorang, yang tentunya akan memanifestasikan pada akhlaq dan prilaku, serta sikap hidup yang Islami. Seseorang yang memiliki spiritualitas memadai akan tetap superior dan determinan bila berinteraksi dengan para penguasa, begitu juga ketika berinteraksi dengan orang-orang kaya. Tetapi superioritas spiritual, yang hanya didukung oleh ritualisme tidaklah cukup. Perlu ada intelektualisasi yang memadai dan itu berarti mengharuskan kita untuk berani berbenturan dengan berbagai wacana dan pemikiran yang berkembang. Dalam kebijakan taktis dan strategisnya kita perlu kegiatan dakwah membangun peradaban Islam lewat basis kaderisasi yang handal di kampus-kampus sehingga mampu menjadi juru bicara (da‟i) yang kompeten tentang peradaban Islam yang kita harapkan. Wallahu a’lam

(18)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Shafwatut Tafasir. Tanpa tahun. Darul Kutub Al Islamiyah, Jakarta.

Ahjad, Ustadz Najih, At-Tibyan Fi Al-Ahkam Al-‘Amaliyah, Ponpes Maskumambang, Gresik.

Ahmad Karzun, Dr. Anis. Adab Thalibil ‘Ilmi, Dar Nurul Maktabah, Jeddah. Al-Ghazali, Syekh Muhammad. ‘Aqidatu Al-Muslim. Al-Maktabah Al-Faishaliyah. Al-Ghazali, Syekh Muhammad. Jaddid Hayatak, Darul Fikr, Beirut.

Al-Jazairi, Syekh Abu Bakar Jabir. ‘Aqidatul Mukmin, Darul Fikr, Beirut. Al-Jazairi, Syekh Abu Bakar Jabir. Minhajul Muslim, Darul Fikr, Beirut.

Al-Maqdisi, Al-Hasani, Fathurrahman Li Thalibi Ayat Al-Qur’an. Maktabah Dahlan, Indonesia.

Al-Qardhawi, Dr. Yusuf. Madkhal Li Dirasati Asy-Syari’ati Al-Islamiyyah, Maktabah Wahbah, Kairo.

Al-Qardhawi, Dr. Yusuf. Tarbiyah Hasan Al-Banna dalam Jama’ah Al-Ikhwan Al-Muslimun, Rabbani Press.

Al-Qaththan, Manna‟ Khalil. Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an. Mansyurat Al-„Ashr Al-Hadits. Beirut.

Al-Wasyli, „Abdullah bin Qasim, Syarah Ushul ‘Isyrin, Menyelami Samudera 20 Prinsip Hasan

Al-Banna, Era Intermedia, Solo.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir. Darul Fikr. Beirut, Libanon. Az-Zubi, Mahmud. Hal Satasquthu Amrika Kama Saqathat As Suviyeti.

Bin Hasan bin „Aqil bin „Aqil Syarif, Shalih Tak Berdayaguna, Rabbani Press. Jakarta. Bin Muhammad Al-Buraikan Abdullah Al Buraikan, Dr. Ibrahim. Al-Madkhal Li Dirasati

Al-‘Aqidah Al-Islamiyah ‘ala Madzhabi Ahlis Sunnah Wal Jama’ah.

HAMKA, Prof. Dr. Pelajaran Agama Islam. Bulan Bintang, Jakarta. HAMKA, Prof. Dr. Tafsir Al-Azhar. Pustaka Panjimas. Jakarta.

Izzah Darwazah, Muhammad, At-Tafsiru Al-Hadits, Assuwaru Murattabah Hasban Nuzul. Darul Ihya Lil Kutubi Al-„Arabiyyah, Isa Al-Babi Al-Halabi wa syirkaahu.

Qardhawi, Syekh Dr. Yusuf. Al-Mubasysyirat Bi-ntishari Al-Muslimin. Quthub, Sayyid. Ma’alim Fi Ath-Thariq.

Rasyid, MA, Dr. Daud. Islam Dalam Berbagai Dimensi. Gema Insani Press. Jakarta. Sabiq, Sayid. Fiqh As-Sunnah. Darul Fikr, Beirut

(19)

Volume VIII Nomor 2 Maret – Agustus 2019

Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Oktober 2003. Sya‟ban 1424 H. Penerbit Lentera Hati.

Suar, Marwan bin Nuruddin. Mukhtashar Tafsir ath-Thabari. Darul Fikr. Beirut, Libanon Tahmid, Lc, Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Menuju Jama’atul Muslimin, Telaah Sistem Jama’ah

dalam Gerakan Islam, Rabbani Press.

Team Penulis, Panduan BerIslam, Departemen Dakwah, Dewan Eksekutif Hidayatullah. Thanthawi, Syekh Ali. Ta’rif ‘Am Bid Din Al-Islam. Darul Fikr, Beirut.

Yahya, Harun, Moralitas Al-Quran Solusi Atas Segala Persoalan Umat Manusia, Rabbani Press. Jakarta.

Yahya, Harun, Pernahkah Anda Merenung Tentang Kebenaran, Robbani Press. Jakarta.

Yahya, Harun. Membongkar Kesalahan Faham Materialisme, Mengenal Allah Lewat Akal. Rabbani Press. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan sumber informasi pada tabel 4 menunjukkan bahwa kecemasan preoperatif lebih banyak pada pasien yang telah mendapatkan informasi seputar prosedur operasi SC

Sedangkan bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh developer dan bank kepada konsumen dalam proses jual beli rumah susun meliputi: (1) Developer menjual rumah

Berdasarkan permasalahan yang terjadi di Hotel Mercure Resort Sanur, fenomena gapdanresearch gap yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penelitian ini diberi judul “Analisis

Recursive simultaneous equation con- structs three main factors –earnings power, growth opportunities and discount rate– which associate consecutively with earnings, book value,

Sedangkan penelitian dari Rahmalia (2015), tentang faktor-faktor yang mempengaruhi minat mahasiswa jurusan akuntansi untuk berkarir dibidang perpajakan menunjukkan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penampilan berahi sapi Jawa yang meliputi lama berahi, perubahan vulva, keberadaan lendir yang serviks, dan tingkah laku yang

Islam dalam kitab Manhajut Tarbiyatil Islamiyah karya Syaikh

Kecurangan yang di lakukan oleh masyarakat dan pemimpin melainkan allah mengharamkan surga atasnya, Itu juga berkenaan dengan kehidupan orang di tengah