• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI EKONOMI LAUT SAWAH DAN PRODUKSI M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RELASI EKONOMI LAUT SAWAH DAN PRODUKSI M"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI EKONOMI : LAUT, SAWAH, DAN PRODUKSI Model Adaptasi Sosial-Budaya

Masyarakat Upang terhadap Perubahan Lingkungan1

Amilda2

Abtract:Environmental changes that occurred largely on the East Coast region of South Sumatra, not only the ecological impact of the physical environment but also the impact on the public area of the dwelling, as experienced by the Upang peoples, when the delta Upang swamp forests turned into residential and agricultural areas for transmigration. These changes are forcing people to adapt to the limitations of Upang's going to be able to sustain their lives. This research will discuss the form of adaptations made by the Upang peoples as the impact of the loss of forest resources and their agricultural land. These results indicated that the limited availability of land planted with rice that does not mean they will leave this activity, rice farming remains the mainstay for their subsistence, through intensive farming systems. On the other hand, they began to innovate on their economic activities to become fishermen. Choice to be a strategy to anticipated fishing season paddy fields which could not be planted. Uncertainty to guarantee their subsistence from the sea, pushing the Upang Peoples into the production sector to produce salted fish and prawn crackers for sale by utilizing the fish and shrimp that did not sell at the market. Model adaptation is inseparable from the principle of their lives 'mencari lokak' that reflected their ability to exploit the limitations of the environment into economic value to guarantee their subsistence.

Keyword:adaptation, ecologi, subsistent, inovation, culture

Pendahuluan

Kehidupan manusia sangat tergantung dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya, semakin baik lingkungan tempat tinggalnya maka akan semakin baik pula kualitas hidup individunya. Pada dasarnya, lingkungan akan selalu berubah, baik perubahan yang sifatnya alami maupun akibat aktivitas manusia terhadap lingkungan tersebut. Perubahan tersebut akan memaksa individu-individu yang ada didalamnya menyesuaikan diri atau beradaptasi. Proses penyesuaian diri ini menjadi penting sebagai usaha mempertahankan kehidupannya. Perubahan tersebut berdampak pada keterbatasan manusia memperoleh sumber daya alam dari lingkungannya. Berbagai variasi bentuk adaptasi manusia terhadap lingkungan ini memunculkan berbagai varian budaya sebagai bentuk adaptasi budaya suatu masyarakat.

1Makalah disampaikan pada Simposium Kebudayaan Indonesia Malaysia, Universitas Padjajaran, Jatinangor

Jawa Barat, 13-14 November 2013.

(2)

Perubahan budaya merupakan bentuk adaptasi manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.

Salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan lingkungan yang cepat dan massif adalah dibukanya kawasan hutan untuk pemukiman transmigrasi (lihat Secrett, 1986). Program nasional ini, sejak tahun 1905-2011, telah membuka lahan kawasan hutan di Indonesia seluas 4.537.034 ha untuk dijadikan kawasan pemukiman bagi 2.268.517 KK atau 8,8 juta jiwa (Kementerian Tenaga Kerja & Transmigrasi, 2012). Pembukaan kawasan transmigrasi ini dilakukan pada kawasan hutan yang berfungsi sebagai wilayah pencarian hasil hutan masyarakat lokal setempat, akibatnya mereka harus beradaptasi terhadap perubahan lingkungan ini.

Kehadiran program transmigrasi ini secara langsung maupun tidak langsung memutuskan akses masyarakat lokal terhadap hutan mereka, terkait dengan hak kepemilikan dan pemanfaatan hasil hutan tersebut. Kondisi ini memunculkan konflik kepemilikan dan hak untuk mengakses lahan hutan (Abdulkadir-Sunito, 2004; Abdulkadir-Sunito & Sitorus, 2007) serta terjadinya perebutan terhadap sumberdaya lahan dan hutan (Angelsen, 1995; CIFOR, 1997).

Berbagai kajian tentang transmigrasi dan dampaknya, lebih banyak menyoroti dari aspek kerusakan yang ditimbulkan oleh program ini (Charras, 1999; Davis, 1988; Fearnside, 1997; Whitten, 1987; Secrett, 1986; Levang, 2003). Kesemua penelitian tersebut menunjukkan bahwa transmigrasi menjadi penyebab terjadinya deforestasi di Indonesia dengan tujuan pemerataan penduduk dan mengurangi penduduk miskin di Jawa; serta mempercepat pembangunan di luar Jawa dengan mengabaikan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, maka tulisan ini akan fokus adaptasi budaya yang dilakukan oleh masyarakat setempat sebagai akibat dari perubahan lingkungan yang terjadi. Bentuk adaptasi acapkali memaksa masyarakat mengganti fokus aktivitas kehidupan mereka berdasarkan sumber daya alam lain yang masih tersisa, sebagai strategi dan kejelian mensiasati kelangkaan sumber daya alam, dalam usaha mempertahankan hidupnya. Perubahan lingkungan tersebut juga berdampak pada relasi ekonomi yang terjadi dalam masyarakat sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Culture as an Adaptive Systems

(3)

bentuk perubahan tersebut. Respon tersebut disebut adaptasi, yaitu strategi yang digunakan oleh manusia untuk menghadapi perubahan lingkungan dan budaya (Sutton, 2010, Harris, 1968; Rappaport, 1971; Cohen, 1974). Proses adaptasi ini merupakan bentuk dari mekanisme budaya (lihat juga Geertz, 1963; Cohen, 1974; Rambo, 1983). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebudayaan sebagai sistem adaptasi manusia (White, 1975; Harris, 1968; Keesing, 1974).

Asumsi yang dibangun oleh pendekatan ekologi budaya ini adalah kebudayaan sebagai sistem dari pola-pola perilaku sosial, yang menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungannya. Sistem dari perilaku sosial komunitas tersebut meliputi teknologi dan model organisasi ekonomi, pola pemukiman, model kelompok sosial dan organisasi politik, kepercayaan dan praktek-prakteknya, dan lain-lain. Menurut Harris (1968), konsep kebudayaan berasal dari pola-pola perilaku yang diasosiasikan dengan kelompok dari masyarakat tertentu, yang menjadi adat-istiadat atau cara hidup dari masyarakat tersebut. Kebudayaan berubah melalui proses adaptasi dan seleksi alam. Karena kebudayaan sebagai sistem adaptif maka perubahan kebudayaan akan selalu terjadi seiring dengan perubahan ekosistem.

Bagian dari unsur kebudayaan yang paling adaptif dalam menerima perubahan adalah teknologi, ekonomi subsistensi, dan elemen dari organisasi sosial. Bobot terpenting dalam adaptasi manusia dengan lingkungan terletak pada teknologi (White, 1975; Steward, 1955; Harris, 1979). Harris (1979) menempatkan kegiatan ekonomi dan hubungan sosial dalam kegiatan ekonomi menjadi hal yang utama dan ia sebut dengan demo-techno-econ-environmental conditions, dimana semua aspek kebudayaan akan dipengaruhi oleh hubungan antara teknologi dan lingkungan. Ia menempatkan teknologi dan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengembangkan atau membatasi produksi dalam usaha mempertahankan subsistensi sebagai pondasi dasar yaitu infrastruktur. Perubahan pada infrastruktur akan membawa perubahan pada struktur, meliputi organisasi sosial, perubahan pada struktur akan berdampak pada superstruktur yaitu ritual dan ideologi (Harris, 1979).

Perubahan Kawasan Delta Upang

(4)

masyarakat sekitarnya, terutama ketersediaan udang dan ikan melalui aktivitas bekarang 3.

Kawasan ini kaya dengan batang nibung dan nipah, kedua jenis tanaman yang menjadi bahan baku utama masyarakat untuk membuat rumah. Batang nibung digunakan sebagai penyangga rumah dan pemukiman mereka4. Daun-daun nipah sangat berguna untuk membuat atap nipah. Selain memiliki sumber daya yang penting, kawasan ini juga merupakan hamparan rawa pasang-surung yang subur untuk pertanian padi. Areal rawa yang luas memungkinkan masyarakat melakukan penanaman padi secara berpindah untuk memberakan tanah agar kembali subur. Hasil pertanian padi ini memberikan mereka jaminan subsistensi keluarga sepanjang tahun.

Perubahan besar terhadap kawasan delta Upang terjadi pada akhir tahun 1970-an, ketika kawasan ini dialihfungsikan menjadi kawasan pemukiman transmigrasi yang membentang di sepanjang Pantai Timur Sumatera Selatan. Perubahan ini mendorong terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat di delta Upang. Kawasan pencaharian mereka menjadi berkurang. Pemukiman dan persawahan transmigrasi menggantikan hamparan hutan nipah dan nibung mereka.

Mulai berkurangnya ketersediaan pohon nipah membuat perempuan Upang kehilangan sumber penghasilan mereka dari membuat atap nipah karena batang-batang nipah sangat sulit ditemukan, kalaupun ada, jaraknya sangat jauh dari pemukiman mereka. Bagi perempuan Upang, kegiatan membuat atap nipah merupakan pekerjaan mereka ketika masa bersawah belum tiba. Atap-atap nipah yang mereka hasilkan kemudian akan dibawa ke Palembang oleh para pengepul di desa mereka. Dengan kegiatan ini, perempuan-perempuan Upang memiliki kesempatan untuk menabung dan membeli kebutuhan mereka sendiri tanpa harus meminta kepada suami atau orang tua mereka. Ketiadaan bahan baku membuat kegiatan ini semakin ditinggalkan, hanya beberapa keluarga saja yang masih melakukannya, melalui sistem borong, para pengepul yang menyediakan bahan baku, mereka hanya menerima upah membuatkan, dengan konsekuensi penghasilan yang lebih rendah.

Selain kehilangan sumber daya yang dapat menjadi sumber penghasilan alternatif bagi masyarakat Upang; mereka juga mengalami keterbatasan lahan yang dapat digunakan untuk dijadikan lahan persawahan. Situasi ini memaksa mereka untuk mengintensifkan lahan persawahan mereka dengan menggunakan teknologi seperti traktor dan pupuk. Perubahan

(5)

sistem pertanian ini menuntut ketersediaan modal yang lebih besar untuk membeli pupuk, sewa traktor, dan bahan bakarnya. Penggunaan pupuk sangat dibutuhkan karena lahan pasang-surut tersebut tidak cukup lama untuk diberakan akan menjadi lahan persawahan tidak subur, sehingga memaksa petani menjadi sangat tergantung kepada pupuk jika ingin mendapatkan hasil panen yang cukup.

Secara ekologis, hilangnya kawasan rawa sebagai wilayah penyimpan air membuat desa-desa di delta Upang terancam abrasi akibat air pasang tidak lagi tertampung di rawa-rawa tersebut, namun langsung kembali ke sungai, sehingga air pasang menjadi lebih tinggi dan sering, kemudian menggerus tebing-tebing di sepanjang sungai tempat dimana pemukiman mereka dibangun. Abrasi tersebut memaksa masyarakat Upang memodifikasikan pemukiman mereka dengan membangun pemukiman di atas sungai dengan disanggah oleh batang-batang nibung. Pilihan memodifikasi ini diambil karena lahan daratan yang mereka miliki terbatas, dan lebih diperuntukan bagi lahan persawahan yang memberikan jaminan subsistensi bagi mereka. Namun keterbatasan hutan rawa membuat mereka kesulitan untuk mendapatkan batang-batang nibung tersebut, kalaupun ada harganya menjadi sangat mahal.

Perubahan lingkungan yang terjadi memaksa masyarakat Upang melakukan adaptasi terhadap sistem perekonomian mereka dengan lebih memfokuskan pada sistem pertanian sawah dan meninggalkan kegiatan mencari hasil hutan. Situasi ini memaksa mereka menggunakan teknoloagi pertanian intensifikasi yang padat modal serta menghilangkan sistem bera lahan akibat keterbatasan ketersediaan lahan.

Adaptasi Sosial terhadap perubahan lingkungan

Keterbatasan ketersediaan lahan untuk persawahan serta sistem pertanian intensif yang bersifat padat modal, serta hilangnya alternatif penghasilan keluarga dari membuat nipah dan mencari ikan bekarang memaksa masyarakat Upang mencari sumber penghidupan lain dalam rangka mempertahankan subsistensi mereka. Alternatif kegiatan perkonomian yang mungkin dilakukan adalah mencari hasil laut sebagai nelayan. Intensifikasi pertanian menghilangkan peran laki-laki dalam pembukaan dan pengolahan lahan persawahan, karena pembukaan lahan persawahan tidak lagi dilakukan, sistem pengolahan lahan telah menggunakan traktor, maka peran laki-laki dalam sistem pertanian pun tergeser. Pilihan yang mungkin dilakukan adalah para laki-laki Upang harus mencari alternatif perekonomian lain, yaitu menjadi nelayan.

(6)

laki-laki tua yang tidak kuat lagi untuk membuka lahan; sebagai pekerjaan sambilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan tidak untuk di jual; dan hanya dilakukan di sungai-sungai kecil sekitar pemukiman mereka. Masyarakat Upang tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan untuk mencari ikan di laut lepas. Menjadi nelayan juga membawa konsekuensi mereka harus hidup di laut dan meninggalkan keluarga mereka untuk waktu yang lama.

Pengetahuan melaut mereka peroleh dari masyarakat Sungsang5 dimana mayoritas

penduduknya adalah nelayan dan perdagangan hasil laut lainnya. Pada awalnya mereka belajar melaut dengan menjadi anak buah kapal orang Sungsang atau orang Bugis di Sungsang. Pengetahuan menjadi nelayan, sekarang telah umum dimiliki oleh masyarakat Upang, dan masyarakat Upang 75% menggantungkan kehidupan mereka dari kegiatan mencari ikan dan mengolah hasil laut lainnya dan hanya 25% saja yang masih mengandalkan perekonomian keluarganya dari pertanian, mereka ini adalah keluarga-keluarga yang memiliki tanah daratan yang cukup luas.

Perubahan ini juga menuntut terjadinya perubahan pada relasi sosial masyarakat Upang. Ketika mereka menjadi petani, relasi kekeluargaan menjadi modal yang penting dalam mengolah lahan mereka, semua dilakukan dalam ikatan keluarga dan hasilnya pun dinikmati oleh seluruh keluarga yang berkontribusi dalam kegiatan tersebut. Kehidupan nelayan, relasi yang terbangun menjadi sangat terbuka dan bersifat ekonomi, mereka diikat oleh kepentingan ekonomi, relasi yang terbangun adalah hubungan sesaat, selama masa mencari ikan tersebut. Hasil yang diperoleh pun dibagi berdasarkan kesepakatan diantara mereka. Kebutuhan subsistensi keluarga mereka di darat sangat tergantung kepada juragan mereka, bila hasil laut yang mereka peroleh sedikit maka mereka pun harus berhutang kepada juragan. Berbeda dengan kegiatan pertanian yang lebih memberikan kepastian terhadap jaminan subsistensi keluarga, maka kehidupan sebagai nelayan menempatkan kehidupan subsistensi mereka dalam ketidakpastian.

Relasi Ekonomi: Laut, Sawah, dan Produksi

(7)

memanfaatkan sumber ekonomi yang mereka miliki. Ketika musim angin barat, dimana kondisi cuaca tidak baik untuk melaut, namun menjadi waktu yang tepat untuk bertanam padi, maka kegiatan pertanian dilakukan oleh masyarakat Upang. Ketika musim kemarau tiba, lahan-lahan pertanian menjadi kering, maka kegiatan melaut menjadi andalan mereka.

Tidak semua hasil tangkapan nelayan, laku dijual sehingga harus dibawa pulang atau dijual murah untuk dijadikan ikan asin. Kegiatan memproduksi ikan asin merupakan pekerjan perempuan Upang. Hasil produksi ikan asin tersebut kemudian dibeli oleh pedagang pengepul dari Sungsang yang datang ke desa mereka. Selain memanfaatkan ikan-ikan yang tidak laku di jual, perempuan Upang juga memanfaatkan udang-udang kecil dari hasil tangkapan nelayan, yang tidak laku di jual juga dimanfaatkan oleh para perempuan Upang untuk diproduksi menjadi kerupuk udang, kemudian akan dibeli oleh pedagang pengepul dari Palembang.

Sistem ekonomi yang dihasilkan oleh masyarakat Upang tidak dapat terlepas dari konsep mencari lokak atau mencari kesempatan. Prinsip ini mendorong masyarakat Upang mencari berbagai kesempatan yang mungkin mereka peroleh untuk mendapatkan penghasilan. Keterbatasan yang dihadapi mendorong mereka melakukan inovasi terhadap sistem perekonomian mereka sehingga mereka memiliki alternatif ekonomi yang adaptif dengan kondisi lingkungan mereka.

Prinsip mencari lokak ini juga menjadikan mereka jeli untuk melihat peluang ekonomi yang mungkin mereka lakukan. Dengan terbukanya kawasan rawa di pesisir, memungkinkan lalu lintas perairan di Sungai Musi, dari hulu ke hilir menjadi ramai, posisi desa mereka berada tepat di tengah lintasan antara hilir dan Palembang. Potensi geografis ini dipandang menguntungkan dimana desa mereka menjadi tempat persinggahan kapal sebelum ke atau dari Palembang untuk mengisi bahan bakar. Maraknya alur perlayaran ini mendorong munculnya warung-warung kecil dan pusat penjualan bahan bakar di sepanjang desa Upang. Potensi yang dimiliki serta posisi geografisnya yang bagus menjadikan desa Upang sebagai desa penting bagi pendukung perdagangan di kawasan Sungsang, sehingga desa ini pun mulai banyak didatangi oleh para pendatang yang mencari penghidupan.

(8)

Upang dapat mempertahankan subsistensi padi mereka. Ketika mereka kehilangan sumber daya hutan sebagai tempat untuk mengumpulkan hasil hutan untuk memperoleh tambahan penghasilan, maka masyarakat Upang mengadopsi pengetahuan melaut yang dimiliki oleh masyarakat Sungsang, dengan mengubah jenis produk pencarian mereka, dari daun nipah dan nibung menjadi hasil laut, terutama udang. Selain itu, mereka juga tetap memelihara hubungan mereka dengan pasar, dengan tetap menghasilkan produk walau dengan jenis yang berbeda, bukan lagi atap nipah namun ikan asin dan kerupuk udang. Varian ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat Upang merupakan hasil adaptasi budaya mereka dengan kondisi lingkungan yang mereka hadapi serta kemampuan mereka menyerap budaya dari masyarakat lain, seperti budaya Jawa dengan tradisi pertanian sawah intensif, dari orang Bugis di Sungsang, sebagai nelayan, serta dari masyarakat asli Sungsang untuk mengolah hasil laut menjadi ikan asin dan kerupuk udang.

Simpulan

Perubahan lingkungan yang cepat, akan selalu mendorong masyarakat yang hidup didalamnya untuk beradaptasi. Kemampuan suatu masyarakat beradaptasi sangat tergantung pada kemampuan budaya mereka menerima dan mengolah unsur-unsur yang datang dari luar budaya mereka. Unsur budaya yang paling cepat beradaptasi adalah sistem ekonomi, ditandai dengan kemampuan menyerap teknologi baru yang dihasilkan sebagai bentuk penyesuaian terhadap perubahan tersebut. Kemampuan teknologi memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki suatu masyarakat kembali ditentukan oleh kemampuan budaya masyarakat tersebut menyerap sumber-sumber ekonomi yang tersedia sehingga mendorong masyarakat tersebut memiliki sumberl alternatif lain bagi subsistensi mereka. Alternatif subsistensi tersebut sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan. Lingkaran ini menunjukkan hubungan interrelasi antara manusia dan lingkungan.

(9)

miliki, mencari lokak . Nilai ini menjadikan masyarakat Upang dipacu untuk selalu melihat peluang yang memungkinkan mereka tetap dapat melihat peluang untuk memperoleh pendapatan dari setiap perubahan yang terjadi.

Pustaka

Abdulkadir-Sunito, Melani. 2004. Orang Kampung dan Pendatang Analysis of Demographyc Structure and Migration in Two Forest-Margin Villages Central Sulawesi dalam Gerhard Gerold.Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rain Forest Margins in Southeast Asia.Berlin [u.a]: Springer.

Abdulkadir-Sunito, Melani & M.T.F. Sitorus. 2007. From Ecological to Political Bufferzone:Ethnic Politics and Forest Encroachmen in Upland Central Selawesi dalam Tscharntke T, Leuschner C, Zeller M , Guhardja E, Bidin A (eds.). The Stability of Tropical Rain Forest Margins: Linking Ecological, Economic, and Social Constraints of Land Use Conservation.Berlin: Spinger Verlag. pp.167-180.

Amilda. 2010. Gambaran Beberapa Desa di Muara Sungai Musi dan Selat Bangka .

Ekspedisi Sriwijaya: Mencari Jalur yang Hilang. Palembang: Balai Arkeologi Palembang.

Angelsen. 1995. Shifting Cultivation and Deforestation A Study from Indonesia . World Development23 (10): 1713-1729.

Charras, Muriel & Marc Pain (ed.). 1993. Spontaneous Settlement in Indonesi Agricultural Pioneers in Southern Sumatra. Jakarta: Departemen Transmigrasi PI & ORSTOM CNRS.

Cohen, Yehudi A. 1974.Man in Adaptation: the Culture Present.Chicago: Aldine Pub. Co. Davis, Gloria. 1988. The Indonesia Transmigrants dalam Julie Sloan Denslow & Chistine

Padock.People of the Tropical Rain Forest. Berkeley: Univesity of California.

Fearnside, Philip M. 1997. Transmigration in Indonesia: Lessons from Its Environmental and Social Impacts.Environmental Management Vol 21 No. 4. Spinger-Verlag. New York. pp. 553-570.

Geertz, Clifford. 1963. Agricultural Involution the Processes of Ecological Change in Indonesia.Berkeley & Los Angeles, California: University of California Press.

Harris, Marvin, 1979. Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture. New York: Random House.

Harris, Marvin. 1968.The Rise of Anthropological Theory.New York: Thomas Y. Crowell. Keesing, Roger M. 1974. Theories of Culture dalam Annual Review of Anthropology.

Vol.3. pp. 73-97.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. 2012. Tahun 2011 Kawasan Transmigrasi Sumbang 5,87 juta ton Beran .www. Indonesia.go.id(diakses 2 September 2013). Rambo, Terry. 1983. Conceptual Approaches to Human Ecology. Honolulu: East West

Center.

Rappaport, Roy A. 1971. Nature, Culture, and Ecological Anthropology dalam H.L. Shapiro (ed.).Man, Culture, and Society.London: Oxford University.

(10)

Sunderline, William D. & Ida Aju Pradnja Resosudarma. 1997. Laju dan Penyebab Deforstasi di Indonesia: Penelaah Kerancuan dan Penyelesaiannya.Jakarta: CIFOR. Sutton, Mark Q. & E.N. Anderson. 2010. Introduction Cultural Ecology Second Edition.

Maryland: AltaMira Press

Steward, Julian H. 1955. Theory of Culture Change: The Methodology of Multilinear Evolution.Urbana : University of Illinois Press.

White, Leslie A. 1975.The Evolution of Culture.New York: Mc Graw-Hill

Referensi

Dokumen terkait

pembuangan dan itu mengakibatkan dampak bagi lingkungan di sekitar tetapi sekarang banyak ditemukan cara atau solusi untuk menangani dampak-dampak yang dihasilkan oleh limbah,

Fungsi ragi (yeast) dalam pembuatan roti adalah untuk proses aerasi adonan dengan mengubah gula menjadi gas karbondioksida, sehingga mematangkan dan mengempukan gluten dalam

Menurut Kotler dan Keller (2009:4) produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar untuk memuaskan suatu keinginan atau kebutuhan, termasuk barang fisik, jasa,

Dataset sebagai input yang digunakan dalam makalah ini adalah data potensi desa tahun 2011 dengan 205 fitur (variabel numerik) dan class desa tertinggal atau tidak

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan

Bata merah dibuat dari tanah liat atau lempung dengan atau tanpa campuran bahan lain, yang dibakar pada suhu yang tinggi sehingga tidak hancur lagi bila direndam air.. Material

Bale Seni Barli Kota Baru Parahyangan sebagai destinasi wisata seni yang. bermuatan edukasi dan menyenangkan dengan mengembangkan

Penelitian pada organisasi sektor publik misalnya Refikha (2009) yang melakukan penelitian tentang pengaruh partisipasi anggaran dan komitmen organisasi terhadap kinerja