• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

A. Manajemen Sekolah

Sebelum membahas manajemen sekolah, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa istilah manajemen memiliki beragam pengertian, tergantung dari bagaimana orang mengartikannya. Disamping itu ada istilah lain yang sering digunakan untuk mendampingi istilah manajemen yaitu istilah administrasi.

Berkaitan dengan istilah manajemen dan administrasi, terdapat tiga pandangan berbeda ; pertama, mengartikan administrasi lebih luas daripada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi). Kedua, melihat manajemen lebih luas daripada administrasi, dan ketiga, pandangan yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.1

Meskipun terdapat perbedaan pengertian, namun dalam prakteknya istilah manajemen dan administrasi seringkali digunakan secara bergantian dan dipertukarkan untuk menunjukkan maksud yang sama karena fungsi pokok yang dimiliki oleh keduanya pada dasarnya sama, yaitu sama-sama memiliki fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pembinaan. Berdasarkan hal tersebut nampak bahwa perbedaan diantara keduanya tidak terlalu mendasar sehingga disini perbedaan tersebut kiranya tidak perlu dipermasalahkan lagi. Demikian pula antara istilah manajemen sekolah dengan manajemen pendidikan, keduanya pada hakekatnya mempunyai pengertian dan maksud yang sama.

Apa yang dibahas dalam manajemen pendidikan adalah segala sesuatu yang menyangkut kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya dan yang mengenai kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sekolah pada khususnya. Manajemen pendidikan atau manajemen sekolah tidak hanya menyangkut soal-soal tata usaha sekolah, melainkan menyangkut

1 E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 19.

(2)

47 semua kegiatan sekolah, baik yang mengenai materi, personalia, perencanaan, kerjasama, kepemimpinan, kurikulum, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut harus diatur sedemikian rupa sehingga menciptakan suasana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan belajar mengajar yang baik, sehingga mencapai tujuan pendidikan. 2

“Unsur manajemen begitu penting karena manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian upaya anggota, dari proses penggunaan sumber daya organisasi untuk tercapainya tujuan organisasi yang telah ditetapkan”.3 Tanpa adanya manajemen yang baik, maka akan sulit rasanya mendorong laju sekolah dalam menuju tujuan pendidikan yang hendak dicapai.

“Manajemen sekolah adalah upaya mempedulikan untuk mengaplikasikan pada tujuan sekolah atau sasaran sekolah. Manajemen sekolah sebagai kegiatan dengan atau mengarah pada individu atau sekelompok sekolah untuk mencapai tujuan organisasi sekolah”. 4

Made Pidarta dalam buku “Peranan Kepala Sekolah pada Pendidikan Dasar” mencirikan manajemen sekolah sebagai berikut :

1. Manajemen sekolah bermuara pada kesuksesan perkembangan para siswa.

2. Manajemen ini sangat bervariasi sejalan dengan keunikan masing-masing para siswa, kondisi, kebutuhan, dan kebudayaan daerah tempat tinggal mereka yang juga berbeda.

3. Karenanya manajemen sekolah membutuhkan banyak kiat dan strategi.

4. Karena sasaran bertalian dengan psikologi siswa, maka manajemen ini lebih banyak bertindak secara didaktis-metodis dibandingkan dengan melaksanakan peraturan-peraturan secara birokrasi.

5. Pendidikan adalah milik bersama dan untuk kepentingan bersama semua pihak di lingkungan sekolah. Maka manajemen sekolah

2 M. Ngalim P, dkk, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: Mutiara, 1981), Cet. VIII, hlm. 19.

3 James AF Stoner, Manajemen, terj. Wilhelmus W. Bakswatur, (Jakarta: Intermedia, 1989), hlm. 7.

4 Mukhtar dan Widodo Suparto, Manajemen Berbasis Sekolah, (Jakarta: Fifamas, 2001), Cet. II, hlm. 17.

(3)

48 berusaha menggalang kerjasama semua pihak dalam melaksanakan misi pendidikan. 5

Dari ciri-ciri manajemen sekolah di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen sekolah berfungsi untuk memperlancar kegiatan-kegiatan sekolah sehingga tercipta situasi belajar mengajar yang kondusif bagi perkembangan peserta didik. Pelaksanaan manajemen sekolah disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kultur dari sekolah serta selalu melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pendidikan untuk bersama-sama mewujudkan tujuan sekolah.

Agar kegiatan sekolah dapat berjalan dengan lancar dan terarah, maka sekolah harus mengikuti rangkaian dari fungsi-fungsi manajemen yang ada. Fungsi-fungsi manajemen yang dikemukakan oleh banyak ahli memang bervariasi, namun pada pokoknya mempunyai maksud yang hampir sama.

Pada prinsipnya manajemen memiliki fungsi-fungsi pokok seperti fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembinaan. Fungsi-fungsi manajemen tersebut dalam prakteknya merupakan suatu proses yang berkesinambungan, artinya tahap demi tahap harus dilaksanakan secara berurutan dan tidak boleh ada yang terlewatkan, karena fungsi-fungsi tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.

Uraian dari keempat fungsi tersebut adalah sebagai berikut : a. Perencanaan

F.E Kast dan Jim Rosenzweig sebagaimana yang dikutip oleh Inu Kencana Syafi’i dalam bukunya “Al-Quran dan Ilmu Administrasi” mengatakan bahwa:

Perencanaan adalah suatu kegiatan yang terintegrasi, yang bertujuan untuk memaksimalkan efektivitas keseluruhan usaha sebagai suatu sistem sesuai dengan tujuan organisasi yang bersangkutan. Fungsi perencanaan antara lain untuk menetapkan arah dan strategi serta titik awal kegiatan agar dapat membimbing

5 Made Pidarta, Peranan Kepala Sekolah pada Pendidikan Dasar, (Jakarta : Gramedia Widiasarana, 1995), hlm. 1-2.

(4)

49 serta memperoleh ukuran yang dipergunakan dalam pengawasan untuk mencegah pemborosan waktu dan faktor produksi lainnya. 6 Dengan demikian, perencanaan merupakan kegiatan yang harus dilakukan pertama kali sebelum sebuah kegiatan dilaksanakan. Perencanaan disusun dan dirumuskan secara sistematis berdasarkan data-data yang akurat dilengkapi dengan permasalahan-permasalahan yang mungkin dihadapi serta alternatif pemecahannya.

b. Pelaksanaan

Pelaksanaan kerja adalah hal yang sangat penting dalam fungsi manajemen karena merupakan pengupayaan berbagai jenis tindakan itu sendiri, agar semua anggota organisasi mulai dari pimpinan sampai bawahan berusaha mencapai sasaran organisasi sesuai rencana yang ditetapkan sebelumnya dengan sebaik-baiknya. 7

c. Pengawasan

Fungsi pengawasan adalah untuk menjamin bahwa pelaksanaan kerja telah sesuai dengan perencanaan yang ditetapkan. Dengan adanya pengawasan maka akan dapat dilihat sampai sejauhmana terjadi penyimpangan dari rencana semula sehingga bisa dilakukan perbaikan. d. Pembinaan

“Pembinaan merupakan rangkaian pengendalian secara profesional semua unsur organisasi agar berfungsi sebagaimana mestinya sehingga rencana untuk mencapai tujuan dapat terlaksana secara efektif dan efisien”.8

Menurut E. Mulyasa fungsi-fungsi manajemen tersebut harus dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi kedalam pengelolaan kegiatan manajemen sekolah. Hal ini dimaksudkan agar manajemen sekolah dapat terlaksana dengan efektif efisien sehingga akan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan. Oleh

6 Inu Kencana Syafi’i, Al-Quran dan Ilmu Administrasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 61-62.

7 Ibid., hlm. 67. 8 Ibid.

(5)

50 karena itu upaya peningkatan kualitas pendidikan harus dimulai dengan membenahi manajemen sekolah disamping peningkatan kualitas guru dan pengembangan sumber belajar.9

Dewasa ini, manajemen pendidikan diselenggarakan dengan menganut sistem desentralisasi. Sistem desentralisasi di terapkan setelah sistem sentralisasi yang diterapkan sebelumnya terbukti tidak relevan lagi dengan realita yang ada dalam dunia pendidikan yang telah mengalami perubahan dan perkembangan.

Desentralisasi manajemen pendidikan membawa konsekuensi diberikannya kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah kota dan kabupaten untuk mengelola manajemen pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah masing-masing. Desentralisasi manajemen pendidikan di tingkat sekolah/madrasah dilaksanakan dalam kontek manajemen berbasis sekolah/madrasah yang merupakan model pengelolaan manajemen sekolah yang bertumpu pada kemandirian pengelola pendidikan ditingkat sekolah/madrasah.

B. Manajemen Berbasis Sekolah

1. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah

Secara leksikal, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu Manajemen, Berbasis, dan Sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut, maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran dan pembelajaran.10

Menurut Tim kerja MBS adalah “model pengelolaan yang memberikan otonomi atau kemandirian pada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung

9 E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, op.cit., hlm. 21

10 Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah ; Teori, Mode, dan Aplikasi, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), hlm. 1.

(6)

51 semua warga sekolah sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota”.11

Menurut Malen, Ogawa dan Kranz, sebagaimana dikutip oleh Ibtisam Abu Duhou, secara konseptual MBS dapat digambarkan sebagai suatu perubahan formal struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta bertumpu pada redistribusi, kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana penting yang dapat mendorong dan menopang peningkatan mutu pendidikan.12

MBS diterjemahkan dari istilah School Based Management (SBM). Istilah ini pertama kali pada tahun 1970-an di Amerika Serikat sebagai alternatif untuk mereformasi pengelolaan pendidikan atau sekolah”.13 Reformasi tersebut diperlukan untuk meningkatkan kinerja sekolah dan memenuhi tuntutan perubahan lingkungan sekolah, seperti tuntutan terhadap peningkatan mutu pendidikan dan tuntutan terhadap mutu lulusan yang relevan dengan dunia kerja.

Meskipun sebenarnya MBS telah cukup lama berkembang dan diterapkan di manca negara, namun di Indonesia gagasan untuk menerapkan konsep tersebut baru muncul seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah yang juga berarti otonomi dalam hal pengelolaan sekolah.

“Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia menyebut MBS dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)”.14 MPMBS itu pada hakekatnya merupakan otonomi yang diberikan kepada Kepala Sekolah untuk secara aktif serta mandiri

11 Tim Kelompok Kerja MBS, Pedoman Implementasi MBS, (Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat, 2000), hlm. 1.

12 Ibrahim Abu–Duhou, School–Based Management, terj. Noryamin Aini, dkk., (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2002), hlm. 16.

13 Nurkolis, loc. cit. 14 Ibid., hlm. 9.

(7)

52 mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.15

Definisi MPMBS yang dikemukakan oleh Slamet adalah:

Bahwa MPMBS merupakan model pengelolaan sekolah yang mendasarkan pada kekhasan, karakteristik, kebolehan, kemampuan, kebutuhan sekolah, dan bukannya perintah dari atasan. Dengan batasan seperti ini, maka MPMBS menjamin adanya keberbagaian/kebhinekaan/keberagaman dalam mengelola sekolah asal tetap dalam koridor kebijakan pendidikan nasional. Tidak ada lagi penekanan pada keseragaman/kenomotetikan, akan tetapi menjamin keberagaman.16

Sedangkan menurut Sugiyono MPMBS diartikan:

Sebagai pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan sekolah dalam rangka kebijakan nasional.17

MPMBS merupakan model pengelolaan sekolah di era desentralisasi yang memberikan kewenangan yang lebih luas kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang bermutu kepada para peserta didik. Dengan adanya kewenangan tersebut, maka sekolah memiliki kesempatan yang lebih luas pula untuk meningkatkan kinerja para personel sekolah dan melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses perencanaan dan penyelenggaraan pendidikan.

Dalam konteks MBS, sekolah menjadi lebih mandiri dan tidak lagi tergantung pada kebijakan-kebijakan pusat yang bernuansa sentralistik. Atau dengan kata lain sekolah diberi keleluasaan untuk berinisiatif,

15 Ibrahim Bafadal, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 82.

16 Slamet, “Makalah Pembaharuan Pendidikan Nasional Dalam Rangka Peningkatan

Mutu Pendidikan”, dipresentasikan pada seminar dengan tema “Rekonstruksi Pendidikan Nasional

Dalam Rangka Peningkatan Mutu Pendidikan” yang diselenggarkan oleh Dewan Pendidikan Kabupaten Pemalang pada tanggal 13 Mei 2003 di Gedung DPRD Kabupaten Pemalang, hlm. 3.

17 Sugiyono, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, (Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta, 2002), hlm. 1.

(8)

53 berkreasi, dan diharapkan menciptakan inovasi pendidikan, yang nantinya akan memberikan kontribusi positif bagi peningkatan mutu pendidikan dengan melibatkan seluruh stake holder pendidikan.

MBS meniscayakan pentingnya partisipasi para staf sekolah dan orang tua dalam proses penentuan jalannya sekolah. Setiap keputusan dibuat secara kolektif (bersama-sama) oleh stakeholder yaitu kepala sekolah, seluruh staf dan guru, orang tua, tokoh masyarakat, bahkan juga para siswa sendiri. Dengan demikian sekolah akan berjalan sesuai dengan kebutuhan dan kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat.18

2. Prinsip-prinsip MBS

MBS merupakan bentuk alternatif dalam pengelolaan sekolah yang dimaksudkan untuk membangun kemandirian dalam mengelola sumber daya yang ada dan mengikis habis segala bentuk ketergantungan yang menumpulkan kreativitas dan inovasi sekolah.

Menurut Edward Sallis sebagaimana dikutip oleh Nurkolis mengatakan bahwa teori yang digunakan MBS untuk mengelola sekolah didasarkan pada empat prinsip, yaitu prinsip ekuifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip sistem pengelolaan mandiri, dan prinsip inisiatif sumber daya manusia.19

a. Prinsip Ekuifinalitas (Principal of Equifinality)

Prinsip ini didasarkan pada teori manajemen modern yang berpendapat bahwa untuk mencapai suatu tujuan tertentu dapat menggunakan beberapa cara yang berbeda-beda.

Setiap sekolah memiliki tujuan dan karakteristik masing-masing, ditambah dengan kompleksnya pekerjaan-pekerjaan sekolah yang dihadapinya saat ini, semakin menunjukkan adanya perbedaan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya.

Kaitannya dengan ini, hendaknya perlu ditekankan bahwa pengelolaan sekolah harus bersifat fleksibel yaitu selalu menyesuaikan

18 Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru

Pendidikan, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 20.

(9)

54 dengan kondisi sekolah masing-masing karena meskipun masalah yang dihadapi oleh sekolah yang berbeda itu sama, belum tentu bisa dipecahkan dengan cara yang sama pula, masing-masing pasti memiliki cara sendiri untuk menanganinya.

b. Prinsip Desentralisasi (Principal of Decentralization)

Sekolah adalah lembaga yang seluruh aktivitasnya berkaitan dengan masalah pendidikan. Pendidikan itu sendiri merupakan masalah yang rumit dan kompleks karena berada dalam lingkungan masyarakat yang cepat berubah, sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan desentralisasi.

Dalam MBS, prinsip desentralisasi diperlukan untuk memberikan kewenangan yang lebih luas kepada sekolah agar dapat bekerja mengelola sekolah menurut strategi dan gagasan mereka sendiri sehingga pengelolaan sekolah akan berjalan efektif.

Dalam hal ini sekolah perlu keleluasaan dan tanggung jawab untuk menemukan dan memecahkan masalahnya, dengan begitu setiap masalah yang muncul akan dapat terpecahkan secara tepat, cepat, dan efisien.

c. Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri (Principal of Self-Managing System)

Setiap sekolah memiliki tujuan dan untuk mencapainya mereka menetapkan kebijakan-kebijakan tertentu yang berbeda satu sama lain. Untuk itu dalam konsep MBS sekolah diberi kewenangan untuk mengelola sekolahnya secara mandiri berdasarkan kebijakan-kebijakan yang telah ditentukan sebelumnya.

Prinsip ini masih ada hubungannya dengan prinsip sebelumnya, yaitu prinsip ekuilifinalitas dan prinsip desentralisasi. Hubungan ketiga prinsip tersebut jika digambarkan sebagai berikut, ketika suatu masalah dihadapi oleh sekolah, maka sekolah harus dapat memecahkannya dengan caranya sendiri, dan agar sekolah dapat memecahkan masalahnya maka terlebih dahulu harus ada pelimpahan

(10)

55 wewenang dari atasan kepada pihak sekolah. Sehingga dengan adanya kewenangan tersebut pihak sekolah dapat mengelola sekolahnya secara mandiri.

d. Prinsip Inisiatif Manusia (Principal of Human Inisiative)

Prinsip ini memiliki asumsi dasar bahwa manusia adalah sumber daya yang dinamis dan tidak statis. Oleh karena itu, potensi sumber daya manusia harus terus selalu digali, ditemukan, dan dikembangkan.

Manusia adalah sumber daya manajemen yang sangat penting karena dapat mendukung efektivitas sebuah organisasi. Untuk itu MBS menciptakan sebuah kondisi yang memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk bekerja dengan baik dan mengembangkan potensinya.

Sedangkan menurut Tim Kelompok Kerja MBS Propinsi Jawa Barat, ada 6 prinsip umum yang patut menjadi pijakan dalam pelaksanaan MBS, yaitu :

1. Memiliki visi ke arah pencapaian mutu pendidikan, khususnya mutu siswa sesuai dengan jenjang sekolah masing-masing.

2. Berpijak pada power sharing (berbagi kewenangan), yaitu bahwa pengelolaan pendidikan sepatutnya berlandaskan pada adanya saling mengisi dan berbagi kekuasaan/kewenangan sesuai dengan fungsi dan peran masing-masing.

3. Adanya profesionalime semua lini. Maksudnya bahwa implementasi SBM menuntut adanya derajat profesionalisme berbagai komponen, baik para praktisi pendidikan, pengelola, dan manajer pendidikan lainnya, termasuk profesionalisme Dewan Sekolah.

4. Melibatkan partisipasi masyarakat yang kuat. Maksudnya bahwa tanggung jawab pelaksanaan pendidikan, bukan hanya dibebankan kepada sekolah (guru dan kepala sekolah saja), tetapi juga menuntut adanya keterlibatan dan tanggung jawab komponen masyarakat lainnya, termasuk orang tua siswa.

(11)

56 5. Menuju kepada terbentuknya Dewan Sekolah. Artinya dalam

implementasi MBS, setiap sekolah harus membentuk Dewan Sekolah (SD), sebagai institusi yang akan melaksanakan MBS. 6. Adanya transparansi dan akuntabilitas. Yaitu memiliki makna

bahwa prinsip MBS harus berpijak pada transparansi atau keterbukaan dalam pengelolaan sekolah, termasuk di dalamnya masalah fisik dan non fisik. Sedangkan akuntabilitas memberi makna bahwa sekolah beserta Dewan Sekolah merupakan institusi terdepan yang paling bertanggung jawab dalam pengelolaan sekolah.20

3. Tujuan dan manfaat Manajemen Berbasis Sekolah

MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respon pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan.21

Menurut Nanang Fattah, istilah efisiensi menggambarkan hubungan antara input dan output, atau antara masukan dan keluaran. Suatu sistem yang efisien ditunjukkan oleh keluaran yang lebih untuk sumber masukan (resource input). Dan yang dimaksud dengan efisiensi pendidikan adalah adanya keterkaitan antara pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang terbatas jumlahnya sehingga dapat mencapai optimalisasi yang tinggi.22

Senada dengan pendapat di atas, menurut Ace Suryadi dan kawan-kawan, “Efisiensi pendidikan memiliki kaitan langsung dengan pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang terbatas secara optimal sehingga memberikan dampak yang optimal pula.”23 Dengan

20 Tim Kelompok Kerja MBS Prop. Jabar, op. cit. hlm. 3-4. 21 E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, op. cit., hlm. 25.

22 Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 35.

23 Ace Suryadi,dkk., Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, (Bandung:. Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 162.

(12)

57 diterapkannya MBS diharapkan efisiensi pendidikan akan terwujud karena sekolah lebih leluasa dalam mengelola dan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan yang dimilikinya secara tepat guna, artinya tidak ada pemborosan waktu tenaga maupun dana sebab selalu mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan dari sekolah itu sendiri. Efisiensi pendidikan akan diperoleh jika sekolah diberi keleluasaan dalam mengelola sumber-sumber pendidikan tanpa dihadapkan oleh birokrasi yang berbelit-belit.

Mengenai mutu pendidikan di sekolah Simon dan Schuster mengatakan bahwa :

The Shool need to be regularly assessed from the point of view of quality provision. All product features need to be assessed individually. A believe in quality has to permeate the organisation. It my not be possible to achieve excellence in everything of course, but the central product features should be a priority in terms of quality improvement.24

Sekolah secara terus menerus perlu dinilai berdasarkan standar mutunya, oleh karena itu peningkatan mutu pendidikan harus menjadi prioritas utama sehingga akan berimplikasi positif terhadap tumbuhnya kepercayaan masyarakat sebagai konsumen pendidikan terhadap lembaga pendidikan sekolah tersebut.

Untuk mengukur mutu pendidikan, sedikitnya terdapat dua standar utama yang bisa digunakan, yaitu ; (1). Standar hasil dan pelayanan, (2). Standar pelanggan.25

Standar hasil pendidikan mencakup spesifikasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh oleh anak didik, hasil pendidikan itu dapat dimanfaatkan di masyarakat atau di dunia kerja (tingkat kesalahan yang sangat kecil, bekerja benar dari awal, dan benar untuk pekerjaan berikutnya). Sedangkan standar pelanggan mencakup

24 Simon and Schuster, The Tools of Management, (Singapore : Prentice Hall, 1992), hlm. 145

25 Sudarwan Danim, Agenda pembaruan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 79.

(13)

58 terpenuhinya kepuasan, harapan, dan pencerahan hidup bagi kustomer itu.26

“Peningkatan mutu dapat diperoleh, antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem insentif serta disinsentif”.27

Sedangkan untuk meningkatkan pemerataan pendidikan, antara lain dapat diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan sekolah, sehingga pada sebagian masyarakat akan tumbuh rasa kepemilikan dan rasa ikut bertanggung jawab yang tinggi terhadap sekolah. Dengan demikian akan memungkinkan organisasi pemerintahan untuk lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu yang kurang mampu.

Penerapan MBS membawa dampak positif (manfaat) terhadap kemajuan pendidikan di sekolah. Sekolah yang dikelola secara otonom akan dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya sekolah yang ada sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan guru. Guru yang sejahtera akan memiliki konsentrasi penuh terhadap tugasnya.

Keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi mendorong profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah. Dengan diberikannya kesempatan kepada kepala sekolah untuk menyusun kurikulum, guru didorong untuk berinovasi dengan melakukan eksperimentasi-eksperimentasi di lingkungan sekolahnya. Dengan demikian, MBS mendorong profesionalisme guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan.28

Sementara itu, dengan adanya keterlibatan yang lebih luas dari pihak-pihak yang berkompeten terhadap pendidikan seperti para staf dan guru, orang tua, peserta didik, dan masyarakat (stake hoders) dalam

26 Ibid., hlm. 80. 27 E. Mulyasa, loc. cit. 28 Ibid., hlm. 26.

(14)

59 perumusan kebijakan dan keputusan tentang pendidikan maka akan meningkatkan komitmen mereka terhadap sekolah.

Sekolah yang dikelola secara terbuka dan transparan serta selalu mendapatkan kontrol dari masyarakat dan monitoring dari pemerintah akan dapat meningkatkan kinerja para personel sekolah, untuk memperbaiki mutu pendidikan.

C. Manajemen Berbasis Sekolah sebagai Paradigma Baru Penyelenggaraan Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu komponen utama dalam pembangunan nasional. Pendidikanlah yang akan melahirkan dan membentuk sumber daya manusia sebagai aktor pembangunan di negara ini. Oleh karena itu mutu pendidikan menjadi sangat penting untuk diperhatikan dan diprioritaskan terutama dalam menghadapi era globalisasi dan pasar bebas dewasa ini yang semakin kompleks penuh tantangan.

Dengan tingkat pendidikan yang baik dan bermutu maka berbagai program reformasi untuk membangun suatu masyarakat yang sejahtera, masyarakat yang cerdas, yang dapat hidup dalam knowledge society seperti yang cita-citakan dalam pembukaan UUD 45.29

Pendidikan nasional merupakan bagian dari pembangunan nasional. Untuk itu dirancanglah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang bisa dijadikan dasar bagi legalitas pendidikan. Sisdiknas merupakan sebuah proses, oleh karena itu sifatnya tidak statis melainkan dinamis artinya berusaha untuk selalu melakukan perubahan dan harus terus menyempurnakan diri. Sisdiknas haruslah peka terhadap dinamika kehidupan berbangsa yang kini menuntut reformasi di berbagai bidang, serta dinamika dari perubahan dunia yang dikenal sebagai gelombang globalisasi. 30

Undang-undang (UU) No.2 tahun 1989 tentang Sisdiknas yang selama ini dijadikan sebagai landasan hukum bagi pendidikan nasional telah

29 H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, dalam Perspektif

Abad 21, (Magelang: Terra Indonesia, 1999), Cet. II, hlm. 4.

(15)

60 mengalami revisi karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan situasi saat ini yang bisa menjawab tantangan perubahan zaman. Sebagai gantinya ditetapkanlah Undang-undang yang baru, yaitu UU No. 20 tentang Sisdiknas pada tahun 2003.

Kelemahan dari UU Sisdiknas (sebelum mengalami revisi) terletak pada konsekuensi logis dan politis pada penerapannya. Dengan sistem yang demikian, maka sistem pendidikan bersifat sentral atau terpusat dan sistem yang dilandasi oleh tindakan penyeragaman atau uniformitas.31

Mendiknas A. Malik Fadjar, sebagaimana dikutip dari majalah Rindang mengatakan bahwa :

UU No. 2/1989 masih menganut asas sentralisasi, sedangkan UU Sisdiknas yang disahkan pada 11 Juni 2003 telah mengakomodasi prinsip otonomi daerah dan mengantisipasi persaingan global. Salah satu kemajuan mendasar dari prinsip otonomi yang diakomodasi UU Sisdiknas yang baru itu adalah adanya pengakuan terhadap otonomi sekolah Komite sekolah dan dewan pendidikan membatasi ruang bagi pemerintah untuk melakukan intervensi dalam pengelolaan pendidikan.32

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dan bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (UU No. 20 tentang Sisdiknas pasal 3 mengenai fungsi dan tujuan pendidikan nasional).

Dari tujuan pendidikan nasional tersebut di atas, dapat dilihat bahwa sasaran utama dari pendidikan adalah para peserta didik, yang mana peserta didik tersebut merupakan bagian dari masyarakat. Oleh karena itu pendidikan haruslah berasal dari, oleh dan bersama-sama dengan masyarakat.

31 Aulia Reza Bastian, Reformasi Pendidikan, (Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama, 2002), hlm. 33–34.

(16)

61 Pendidikan dari masyarakat berarti bahwa pendidikan haruslah memberikan jawaban kepada kebutuhan (needs) dari masyarakat sendiri. Pendidikan oleh masyarakat artinya bahwa masyarakat bukan merupakan objek pendidikan yang hanya melaksanakan kemauan negara atau suatu kelompok semata-mata tetapi partisipasi yang aktif dari masyarakat, di mana masyarakat mempunyai peranan di dalam setiap langkah program pendidikannya. Pendidikan bersama-sama masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan di dalam program-program pemerintah yang telah mendapatkan persetujuan masyarakat karena lahir dari kebutuhan nyata dari masyarakat itu sendiri.33

Konsumen pendidikan adalah masyarakat. Oleh sebab itu, segala keputusan yang berhubungan dengan pendidikan hendaknya selalu memperhatikan kepentingan serta kebutuhan masyarakat dan hal itu hanya bisa dicapai jika masyarakat dilibatkan secara langsung dalam proses pendidikan mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan keputusan tersebut sampai dengan tanggung jawab yang mesti diemban bersama.

Tanpa melibatkan mereka, maka akan sulit diketahui apa yang sebenarnya mereka butuhkan, sehingga keputusan-keputusan yang diambil bisa jadi lebih bersifat prediksi-prediksi yang belum tentu mengena sasaran, dan bahkan lebih ekstrem lagi akan meleset.

Pada masa orde baru, sistem pendidikan nasional dikelola secara birokratis-sentralistis. Sistem tersebut menjadikan masyarakat hanya sebagai penerima dari apapun yang sudah ditentukan dari pemerintah pusat (top down) sehingga masyarakat seakan-akan kehilangan kebebasan untuk berinisiatif, berpikir secara kreatif dan inovatif demi kemajuan dan peningkatan mutu pendidikan karena terbentuk oleh dinding birokrasi yang tebal.

Era otonomi daerah yang bergulir sejak diterbitkannya UU No. 22 Th. 1999 tentang pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Th. 1999 tentang

33 H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi

(17)

62 perimbangan keuangan antara pusat dan daerah telah membawa perubahan di banyak sektor pemerintahan, termasuk pula sektor pendidikan.

Otonomi daerah dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokratisasi, dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal serta menggali potensi dari keanekaragaman daerah, bukan untuk memindahkan masalah dari pusat ke kabupaten dan kota. Demikian juga otonomi (sistem dan pengelolaan) pendidikan bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan memindahkan atau mengembangkan masalah pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat ke kabupaten dan kota.34

Dalam konteks ini, maka diperlukan strategi pembangunan pendidikan yang efektif. Strategi pendidikan tersebut harus memberdayakan, memberikan kepercayaan dan otonomi yang lebih luas serta mengembalikan urusan pengelolaan pendidikan kepada sekolah sehingga peran pemerintah pusat tidak lagi dominan melainkan lebih bersifat sebagai fasilitator yang menyediakan pelajaran dan dukungan agar proses pendidikan di sekolah dapat berjalan dengan baik, efektif dan efisien. Dengan demikian akan terwujud masyarakat belajar (learning society) yang dituntut untuk selalu belajar dalam rangka mengembangkan potensi diri.

Dengan dasar inilah sebagian besar strategi pembangunan pendidikan dasar dan menengah di lingkungan direktorat jenderal pendidikan dasar dan menengah, saat ini tengah mengalami pergeseran yang mendasar dari sistem pengelolaan terpusat ke sistem pengelolaan pendidikan berbasis sekolah

(school based education) pergeseran ini dilakukan karena sistem terpusat

(sentralistik) terbukti tidak terlalu kondusif bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah.35

Berangkat dari asumsi bahwa penyebab dari keterpurukan sistem pendidikan nasional adalah karena pengelolaannya yang serba sentralistis, maka perlu dilakukan perubahan pengelolaan pendidikan menjadi sistem

34 Indra Djati Sidi, op. cit., hlm. 29–30. 35 Ibid., hlm. 31.

(18)

63 desentralistis. Sekolah perlu menata kembali konsep-konsep lama tentang sekolah dan memperbarui manajemen sekolah dengan merumuskan sebah sistem pendidikan yang dapat merangkul masyarakat dalam pengelolaan sekolah kaitannya dengan peningkatan mutu dari pendidikan itu sendiri.

Untuk menjawab keluhan tentang rendahnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan dewasa ini di Indonesia diterapkan sebuah konsep baru tentang manajemen yang menempatkan sekolah sebagai unit pertama dan utama dalam peningkatan mutu pendidikan. Konsep tersebut dikenal dengan istilah school based management (manajemen berbasis sekolah).

“Konsep tersebut mengacu pada manajemen sumber daya ditingkat sekolah dan bukan di suatu sistem atau tingkat yang sentralistik. Beberapa sumber daya dalam pengertian lebih luas telah didefinisikan mencakup pengetahuan, teknologi, kekuasaan, manusia, waktu dan keuangan”.36

Sekolah dalam konteks Manajemen Berbasis Sekolah memiliki otonomi luas untuk mengelola sumber daya yang ada di sekolah. Otonomi dalam pengelolaan sumber daya merupakan kesempatan emas bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf dan memberikan penawaran kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara langsung. Sekolah juga diperkenankan membuat perencanaan program pendidikan seperti kurikulum dan sistem belajar mengajar yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal sedangkan untuk masalah pendanaan sekolah bebas untuk mengalokasikan dana yang ada kedalam sektor-sektor yang membutuhkannya.

Manajemen Berbasis Sekolah merupakan wahana untuk mendidik sekolah, terutama sekolah yang selama ini memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap pusat, menjadi sekolah yang mandiri, memiliki inisiatif, kreatifitas dan inovasi sendiri serta mampu untuk menggali dan mengembangkan potensi-potensi lokal dalam rangka mencapai tujuan sekolah pada khususnya dan tujuan pendidikan nasional pada umumnya.

(19)

64 Pada hakekatnya, Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu model pengelolaan sekolah yang bertumpu pada potensi sekolah tersebut. Berbagai model serupa bermunculan di berbagai penjuru dunia dan Manajemen Berbasis Sekolah mampu berkembang menjadi suatu bentuk pengelolaan sekolah yang khas dan berpola, berangkat dari latar belakang kondisi dan potensi sekolah yang berbeda, berbagai model pengelolaan dapat diterapkan.37

Pengalaman empiris yang dikumpulkan Bank Dunia tentang penerapan model Manajemen Berbasis Sekolah di 83 negara di seluruh dunia menunjukkan adanya pengaruh positif terhadap pengelolaan pendidikan di berbagai bidang seperti kondisi sekolah, peningkatan proses belajar anak, peningkatan komitmen dan kinerja guru, kinerja kepala sekolah, dan komitmen orang tua terhadap sekolah (dimana anaknya dididik).38

Indonesia dapat belajar banyak dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah di negara lain seperti di Australia, Inggris, Kanada, Amerika Serikat. Dan dari pengalaman-pengalaman sendiri dalam pengelolaan sekolah selama ini untuk menyusun dan merumuskan model Manajemen Berbasis Sekolah yang sesuai dengan kondisi setempat, sehingga dalam pelaksanaannya tidak perlu meniru secara persis model-model Manajemen Berbasis Sekolah yang diterapkan oleh negara lain.

Selama ini sering dikeluhkan oleh para orang tua murid mengenai mahalnya biaya pendidikan yang dirasakan melebihi batas kemampuan mereka, hal ini terutama terdapat pada sekolah-sekolah unggulan atau favorit yang kebanyakan adalah sekolah swasta yang diselenggarakan oleh yayasan tertentu.

Memang harus diakui output (lulusan) dari sekolah-sekolah swasta yang favorit relatif lebih unggul daripada output (lulusan) dari sekolah-sekolah negeri yang notabene merupakan sekolah-sekolah pemerintah. Hal ini mungkin disebabkan karena sekolah-sekolah swasta tersebut mengelola

37Komisi Nasional Pendidikan, Menuju Pendidikan Dasar Bermutu dan Merata, (Departemen Pendidikan Nasional, 2001), hlm. 27.

(20)

65 sekolahnya dengan manajemen yang lebih baik. Kurikulum, GBPP ataupun sistem pendidikan yang diterapkan di kedua sekolah tersebut boleh jadi sama, tetapi jika dikelola secara berbeda maka akan memberikan implikasi yeng berbeda pula.

Sekolah negeri selama ini cenderung selalu menunggu perintah dan menggantungkan diri kepada subsidi pemerintah, sehingga ia menjadi tidak mandiri dan mengalami kemandekan kreatifitas dan inovasi. Sedangkan sekolah swasta sejak awal berdirinya sudah terbiasa mandiri dan selalu mengatasi setiap persoalannya sendiri, sehingga ia selalu berusaha untuk melakukan inovasi pembelajaran dari berpikir kreatif demi kelangsungan hidup dari sekolah tersebut.

Melihat kenyataan ini, maka menjadi suatu tantangan yang patut mendapat respon dari pihak penyelenggara sekolah negeri/pemerintah, agar di era otonomi ini mereka harus dapat mengoptimalkan kinerja mereka tanpa ada ketergantungan kepada pemerintah. Pihak sekolah harus benar-benar menata kembali sistem persekolahan dengan manajemen modern dan profesional, yaitu manajemen yang dikembangkan atas potensi dasar yang dimiliki oleh sekolah.39

Referensi

Dokumen terkait

The objective of this research was to analyze the use of Teams Games Tournament cooperative learning method to improve students’ learning participations and understanding to

Hasil uji statistik sebagaimana dijelaskan tersebut memperlihatkan bahwa dimensi pemerataan dalam sistem informasi manajemen telah memberikan pengaruh yang signifikan

Hasil penelitian terhadap keladi tikus oleh Fakultas Farmasi Universutas Pancasila Jakarta dengan menggunakan bahan koleksi Bidang Botani, Puslit Biologi-LIPI menunjukkan bahwa

Psoriasis adalah penyakit kulit kronik residif dengan lesi yang khas berupa bercak- bercak eritema berbatas tegas, ditutupi oleh skuama yang tebal berlapis-lapis

638/BPBD/2016 tanggal 26 Agustus 2016 tentang Perpanjangan Penetapan Status Siaga Darurat Penanggulangan Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi

Penganjuran Sambutan Bulan Kemerdekaan SK Yamtuan Hitam ini memerlukan kerjasama dan komitmen daripada semua warga sekolah bagi meningkatkan penyertaan murid-murid

Penggunaan media animasi biologi di kelas eksperimen tetap didampingi penjelasan guru karena animasi seharusnya dijelaskan bukan hanya ditunjukkan (Eilks et al.,

1) Secara ilmiah dapat mengetahui pengaruh pemberian dosis solid pada berbagai media tanam galian C terhadap pertumbuhan kelapa sawit varietas tenera di pre nursery. 2)