• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR KONDISI KONTINUITAS BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG DI TELUK LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS FAKTOR KONDISI KONTINUITAS BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG DI TELUK LAMPUNG"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Penelitian mengenai faktor-faktor kondisi yang mendukung kontinuitas aktivitas budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) di Teluk Lampung telah dilakukan pada Bulan Agustus 2009. Cakupan wilayah penelitian meliputi Teluk Hurun, Teluk Ringgung, dan Pulau Puhawang di Kawasan Teluk Lampung. Sasaran penelitian adalah pengusaha KJA sebagai key responden yang berada pada kawasan tersebut. Metode penelitian menggunakan metode wawancara mendalam dan pengisian kuisioner oleh key responden. Sebanyak 12 key responden telah ditentukan secara purposif berdasarkan kepemilikan KJA, lama berusaha dalam kurun waktu lebih dari 3–5 tahun dan masih aktif sebagai pengusaha KJA. Analisis data dilakukan secara statistik analisis multivariat dengan pendekatan analisis faktor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 2 faktor utama yang menjadi alasan kontinuitas usaha budidaya KJA bagi para pengusaha. Kedua faktor tersebut merupakan hasil pengelompokkan faktor-faktor yang memiliki kedekatan dalam kuadran, yaitu: 1) infrastruktur fisik dan kondisi pasar, dan 2) sumberdaya manusia dan kebijakan.

KATA KUNCI: keramba jaring apung, analisis faktor, Teluk Lampung PENDAHULUAN

Budidaya keramba jaring apung (KJA) merupakan salah satu usaha budidaya untuk menjawab tantangan kebutuhan global untuk produk perikanan. Budidaya KJA telah berkembang ke arah cluster untuk keberadaan KJA dan pengembangan sistem KJA intensif (Halwart et al., 2007). Budidaya KJA laut di Indonesia khususnya untuk komoditas ikan kerapu berkembang cukup pesat di daerah Bangka, Bengkulu, Kepulauan Seribu, Banten, Jawa, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Lampung. Perkembangan KJA di Lampung menunjukkan hal yang signifikan terutama dalam penyediaan bibit yang berasal dari kegiatan perbenihan (hatchery) (De Silva et al., 2007).

Usaha budidaya KJA laut di Lampung merupakan salah satu aktivitas penting dan menjadi kebijakan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung untuk pengembangan kawasan budidaya laut dan pengembangan usaha budidaya skala kecil untuk penyerapan tenaga kerja (Sugiyatno, 2008).

Pada dasarnya usaha akuabisnis merupakan bagian dan memiliki persamaan dengan usaha agribisnis. Menurut Krisnamurthi & Fausiah (2005) bahwa usaha agribisnis merupakan kegiatan produktif karena mempunyai rentang peluang yang sangat luas yaitu dari penyediaan input hingga pasca panen dan pemasaran. Lebih lanjut dikemukakan bahwa prospektif usaha agribisnis sangat ditentukan oleh kombinasi sumberdaya internal pengusaha dan kondisi pasar yang dijadikan target. Hal ini berkaitan dengan faktor-faktor utama yang mendukung kontinuitas usaha budidaya KJA khususnya komoditas ikan kerapu di Lampung. Budidaya laut di Teluk Lampung sudah menunjukkan eksistensi dan memegang peranan penting dalam kontribusi peningkatan produksi perikanan dan penyerapan tenaga kerja serta peningkatan PAD melalui nilai ekspor ikan kerapu yang umumnya dipasarkan ke luar negeri (Singapura, Hongkong, Taiwan bahkan Amerika Serikat). Berdasarkan hasil pembangunan kelautan dan perikanan Provinsi Lampung 2006–2007, kegiatan budidaya laut menunjukkan peningkatan sebesar 3,32% di mana produksi pada tahun 2006 sebesar 1,692 ton dan pada tahun 2007 mencapai 1,791 ton (Sugiyatno, 2008).

Kegiatan usaha akuabisnis KJA dengan komoditas utama yaitu ikan kerapu tikus (Cromileptes altivelis) dan ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) telah berkembang di Lampung sejak tahun 1999 (Sitepu, 2008). Faktor-faktor apa saja yang menjadi mendukung usaha akuabisnis ini hingga saat ini menjadi dasar pertanyaan penelitian ini. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor utama bagi pengusaha KJA di Teluk Lampung yang mendukung kontinuitas usaha tersebut.

ANALISIS FAKTOR KONDISI KONTINUITAS BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG

DI TELUK LAMPUNG

Andi Indra Jaya Asaad, Makmur, Rachmansyah, Muhammad Chaidir Undu, dan Muawanah Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau

Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129 Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: andi_asaad1@yahoo.com

(2)

METODOLOGI

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 di Teluk Lampung yang secara khusus dilakukan di Teluk Hurun, Teluk RInggung, dan Pulau Puhawang (Gambar 1).

Metode pengumpulan data dilakukan dengan survai pangan yang meliputi kegiatan wawancara dan observasi lapangan serta pengumpulan data sekunder. Penentuan key responden dilakukan secara purposive sampling berdasarkan kepemilikan keramba jaring apung (KJA), lama berusaha dalam kurun waktu lebih dari 3–5 tahun dan masih aktif sebagai pengusaha KJA. Sebanyak 12 key responden telah ditentukan berdasarkan kriteria tersebut dan diminta untuk memberi nilai (skoring) terhadap pilihan faktor-faktor yang diasumsikan mendukung usaha akuabisnis KJA. Faktor-faktor atau variabel-variabel yang dinilai oleh responden adalah: (1) kondisi fisik perairan, (2) ketersediaan sarana budidaya, (3) ketersediaan pakan yang ekonomis, (4) ketersediaan benih unggul, (5) kemudahan akses ke lokasi budidaya, (6) lokasi budidaya yang strategis, (7) kebijakan pemerintah provinsi/daerah, (8) pengalaman usaha budidaya, (9) ketersediaan tenaga kerja, (10) fluktuasi harga yang positif (11) kondisi pasar yang kondusif.

Pemberian nilai berdasarkan skala 1–5 di mana nilai 1 menunjukkan nilai variabel tidak dianggap mendukung sama sekali, sedangkan nilai 5 menunjukkan nilai variabel yang dianggap mendukung usaha akuabisnis KJA. Nilai antara 1 dan 5 merupakan nilai graduasi dari responden.

Analisis data dilakukan secara statistik multivariat khususnya dengan pendekatan analisis faktor. Menurut Supranto (2004) dan Yamin et al. (2009), bahwa analisis faktor merupakan suatu prosedur untuk mereduksi data atau meringkas variabel yang banyak menjadi beberapa variabel dalam dimensi baru tetapi variabel atau dimensi baru yang terbentuk tetap mampu merepresentasikan variabel utama. Prinsip utama dalam analisis faktor adalah variabel-variabel yang dianalisis memiliki keterkaitan dan saling berhubungan satu dengan yang lain karena melalui analisis faktor ini akan dicari kesamaan dimensi yang mendasari variabel-variabel tersebut. Perangkat yang digunakan untuk analisis ini adalah SPSS Ver 13.0.

(3)

HASIL DAN BAHASAN

Keragaan Pembudidaya Keramba Jaring Apung di Teluk Lampung

Lokasi penelitian yaitu Teluk Hurun, Teluk Ringgung, dan Puhawang termasuk dalam wilayah perairan Teluk Lampung. Menurut Aminuddin (2003), bahwa secara administratif, Teluk Lampung berada dalam dua wilayah administrasi yaitu Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Berdasarkan letak geografisnya, Kota Bandar Lampung berada di antara Kabupaten Lampung Selatan dan membentang sepanjang Teluk Lampung. Hal ini dapat diasumsikan bahwa aktivitas pembangunan yang berpengaruh terhadap kualitas lingkungan perairan Teluk Lampung dapat berasal dari Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Teluk Lampung mempunyai kedalaman rata-rata 25 m. Di mulut Teluk kedalaman berkisar antara 35–75 m yang ditemui di Selat Legundi. Menuju kepala teluk, perairan mendangkal sekitar 20 m pada jarak yang relatif dekat dengan garis pantai (Proyek Pesisir,—).

Menurut Yudha (2009), bahwa wilayah pantai barat Teluk Lampung termasuk dalam zona pesisir di Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada yang terdiri dari beberapa teluk dan pulau-pulau kecil. Teluk Hurun, Teluk Ratai, Teluk Punduh, dan Teluk Pidada merupakan rangkaian teluk-teluk kecil yang terletak di pesisir Padang Cermin dan Punduh Pidada. Beberapa pulau kecil yang berada di perairan tersebut, antara lain: Pulau Kelagian, Pulau Maitem, Pulau Tegal, Pulau Kubur, Pulau Tangkil, Pulau Lahu, Pulau Puhawang, Pulau Legundi, Pulau Balak, Pulau Seserot, Pulau Siuncal, dan Pulau Tanjung Putus.

Menurut Sitepu (2008), bahwa secara historis kegiatakan akuabisnis budidaya keramba jaring apung (KJA) mulai di kenal dan dirintis di Lampung untuk pembesaran ikan laut yakni ketika Balai Budidaya Laut Lampung (BBL) berhasil mengembangkan pembenihan ikan kerapu tikus tahun 1999 (Cromileptes altivelis) dan ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Keragaan pembudidaya KJA dapat dilihat pada Tabel 1. Lokasi perairan yang termasuk dalam lokasi penelitian adalah Pulau Hanura, Pulau Ringgung, dan Pulau Puhawang (Gambar 2).

Hal yang menarik dari karakteristik usaha KJA ini adalah bahwa 100% responden berkecimpung sebagai pembudidaya KJA sebagai usaha sekunder. Pada umumnya para responden sudah memiliki usaha primer dan sudah tergolong mapan sehingga dari usaha primer tersebut dapat mendukung usaha sekunder. Jenis usaha primer responden bervariasi mulai dari pengusaha properti, transportasi, dan PNS. Umumnya para pengusaha tersebut hanya menginvestasikan modal yang dimiliki dan teknis di lapangan dikerjakan oleh para pekerja yang digaji bulanan. Hal ini menunjukkan bahwa usaha

Tabel 1. Status pembudidaya KJA di Teluk Lampung

Sumber: Sitepu (2008) Lokasi perairan/perusahaan/petani Jumlah KJA (unit) Jumlah petani Pulau Hanura 10 2 Pulau Pasaran 4 1 Pulau Ringgung 70 16 Pulau Ketapang 19 3 Pulau Puhawang 144 16 Pulau Piabung 33 4

Pulau Tanjung Putus 245 7

Pulau Siuncal 400 1

Pulau Pagar 30 1

Pulau Condong 60 2

(4)

bisnis budidaya KJA memerlukan modal yang cukup besar dengan risiko yang juga besar. Sehingga pelaku usaha menjalankan usaha ini setelah memiliki suatu usaha lain yang sudah mapan dan perputaran modal dianggap mampu mendukung usaha budidaya KJA ini.

Faktor-faktor Utama Kontinuitas Usaha Budidaya KJA

Pemberian skor terhadap sebelas variabel yang dianggap merupakan faktor utama yang mendorong usaha akuabisnis KJA tetap berjalan ternyata dapat direduksi menjadi 7 variabel utama yaitu: (1) ketersediaan sarana budidaya, (2) ketersediaan pakan yang ekonomis, (3) kebijakan pemerintah provinsi/daerah, (4) pengalaman usaha budidaya, (5) ketersediaan tenaga kerja, (6) fluktuasi harga yang positif (7) kondisi pasar yang kondusif. Hal ini didapatkan dari analisis faktor di mana kesebelas variabel tersebut dimasukkan dalam proses perhitungan sehingga didapatkan nilai measure sampling adequacy yang terlihat pada matriks anti image (Gambar 3)

Gambar 2. Situasi KJA di Teluk Hurun dan Ringgung

a Measure sampling adequacy (MSA)

Anti image correlation Pakan .684a .483 -.023 -.551 -.234 -.318 -.134 .607 .065 -.334 .143

Benih .483 .369a .184 -.547 -.149 .259 -.393 .332 -.037 -.179 .525 Kebijakan -.023 .184 .532a .434 .702 .341 -.059 .149 -.724 -.733 .139 Akses -.551 -.547 .434 .325a .656 -.112 .600 -.119 -.415 -.450 -.534 Fisik -.234 -.149 .702 .656 .388a -.107 .225 -.005 -.510 -.658 -.456 Harga -.318 .259 .341 -.112 -.107 .646a -.466 -.041 -.483 .200 .715 Sarana -.134 -.393 .059 .600 .225 -.466 .669a .023 -.207 -.304 -.579 Pengamatan .607 .332 .149 -.119 -.005 -.041 .023 .548a -.278 -.485 .025 Pasar .055 -.067 -.724 -.415 -.510 -.483 -.207 -.278 .665a .486 -.133 Tenaga kerja -.334 -.179 -.733 -.450 -.658 .200 -.304 -.485 .486 .596a .277 Lokasi .143 .525 .139 -.534 -.456 .715 -.579 .025 -.133 .277 422a

(5)

Tabel 2. Nilai KMO dan Bartlett’s Test

Kaiser-meyer-olkin measure of sampling adequacy .653 Bartlett's test of sphericity Approx. chi-square 52.789

df 21

Sig. .000

Pada Gambar 3 terlihat bahwa nilai MSA yang lebih kecil dari 0,5 terdapat pada variabel ketersediaan benih, akses, kondisi fisik, dan lokasi. Menurut Yamin et al. (2009), bahwa jika nilai MSA <0,5 maka variabel dengan nilai tersebut sebaiknya dikeluarkan dari analisis faktor dan dilakukan analisis ulang. Sehingga setelah analisis faktor pertama telah diketahui bahwa terdapat 4 variabel yang memiliki nilai <0,5; maka pada analisis lanjutan, keempat variabel tersebut dihilangkan.

Analisis faktor lanjutan dengan hanya menggunakan 7 variabel yang nilai MSA nya >0,5 menunjukkan nilai Kaiser Meyer Olkin (KMO) yaitu 0,653 yang lebih besar dari 0,5 sehingga analisis faktor dapat diterima (Tabel 2). Menurut Suprayanto (2004), bahwa nilai KMO merupakan suatu indeks untuk menunjukkan ketepatan analisis faktor. Rentang nilai 0,5–1,0 menunjukkan bahwa analisis faktor tergolong tepat, sedangkan rentang nilai di bawah 0,5 menunjukkan bahwa analisis faktor tidak tepat. Dengan demikian nilai KMO dari analisis faktor 7 variabel sudah tergolong tepat. Hal lain ditunjukkan dengan nilai uji Bartlett’s test dengan signifikansi sebesar 0,00 (<0,05) yang menunjukkan bahwa matriks korelasi yang terbentuk bukan merupakan matriks identitas sehingga terdapat kelayakan hubungan korelasi antara variabel. Dengan demikian prasyarat analisis faktor dapat diterima dan model faktor yang terbentuk layak digunakan.

Nilai communalities atau jumlah varian suatu variabel awal yang bisa dijelaskan oleh faktor yang terbentuk. Semakin besar nilai communalities sebuah variabel maka semakin erat hubungan variabel tersebut dengan faktor yang terbentuk. Nilai communalities lebih besar daripada 75%, sehingga ketujuh variabel tersebut mempunyai keterkaitan erat dengan faktor yang terbentuk. Nilai terbesar yaitu pada variabel harga sebesar 0,88 yang berarti bahwa 88% faktor yang terbentuk mampu menerangkan varians dari variabel harga (fluktuasi harga yang positif) (Tabel 3). Hal ini berkaitan dengan penjualan ikan kerapu untuk ekspor dalam satuan US dollar. Sehingga faktor harga merupakan pendorong utama pengusaha KJA untuk tetap menjalankan bisnis budidaya tersebut.

Komponen faktor yang terbentuk adalah 2 faktor, di mana faktor 1 terdiri atas variabel sarana, pakan, harga, dan pasar. Sedangkan faktor 2 terdiri atas variabel tenaga kerja, kebijakan, dan pengalaman. Pengelompokkan ini berdasarkan nilai korelasi masing-masing variabel terhadap komponen/faktor 1 dan 2. Pada variabel sarana terlihat bahwa nilai korelasi sebesar 0,626 terhadap faktor 1 dan 0,599 terhadap faktor 2, sehingga terdapat kecenderungan pengelompokkan variabel sarana termasuk dalam faktor 1 (Tabel 4).

Tabel 3. Nilai communalities Initial Extraction Sarana 1.000 .751 Tenaga kerja 1.000 .796 Pakan 1.000 .829 Kebijakan 1.000 .796 Pengalaman 1.000 .785 Harga 1.000 .885 Pasar 1.000 .866 Extraction method: Principal component analysis

(6)

Terdapat 7 variabel yang memiliki kedekatan satu dengan yang lain. Namun berdasarkan nilai korelasi pada Tabel 4, maka ketujuh variabel tersebut dikelompokkan menjadi 2 faktor yaitu faktor 1: (1) ketersediaan sarana budidaya, (2) ketersediaan pakan yang ekonomis, (3) fluktuasi harga yang positif (4) kondisi pasar yang kondusif. Sedangkan faktor 2 terdiri atas: (5) kebijakan pemerintah provinsi/daerah, (6) pengalaman usaha budidaya, (7) ketersediaan tenaga kerja. Dari pengelompokkan faktor tersebut, maka dapat dikatakan faktor 1 merupakan faktor infrastruktur fisik dan kondisi pasar sedangkan faktor 2 merupakan faktor sumberdaya manusia dan kebijakan (Gambar 4).

Kedua faktor utama tersebut merupakan dasar kontinuitas usaha budidaya KJA di Teluk Lampung. Secara komprehensif terlihat bahwa upaya akuabisnis KJA di Teluk Lampung telah meliputi komponen utama untuk keberhasilan usaha agribisnis yaitu keberadaan sumberdaya manusia (tenaga kerja), infrastruktur sarana budidaya yang memadai termasuk ketersediaan pakan sebagai input utama usaha budidaya, kondisi pasar yang kondusif dan kebijakan pemerintah yang mendukung perikanan budidaya.

Tabel 4. Faktor yang terbentuk

1 2 Sarana .626 .599 Tenaga kerja .499 .740 Pakan .908 .068 Kebijakan .235 .861 Pengalaman -.104 .880 Harga .937 .053 Pasar .775 .515 Komponen

Extraction method: Principal component analysis Rotation method : Varimax with kaiser normalization a Rotation converged in 3 iterations

Gambar 4. Grafik plot komponen/faktor 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 Kompone n 2 Komponen 1 0.0 0.5 -0.5 -1.0 1.0 Pengalaman

KebijakanTenaga kerja

Sarana Pasar

(7)

KESIMPULAN

Faktor utama yang mendukung kontinuitas usaha akuabisnis budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) di Teluk Lampung dapat dikelompokkan menjadi dua faktor. Kedua faktor tersebut adalah faktor infrastruktur fisik dan kondisi pasar yang terdiri atas variabel: (1) ketersediaan sarana budidaya, (2) ketersediaan pakan yang ekonomis, (3) fluktuasi harga yang positif (4) kondisi pasar yang kondusif. Sedangkan faktor sumberdaya manusia dan kebijakan terdiri atas: (5) kebijakan pemerintah provinsi/ daerah, (6) pengalaman usaha budidaya, (7) ketersediaan tenaga kerja.

DAFTAR ACUAN

Aminuddin. 2003. Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Lampung Provinsi Lampung. Tesis Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

De Silva, S.S. & Phillips, M.J. 2007. A review of cage aquaculture: Asia (excluding China). In Halwart, M., Soto, D., & Arthur, J.R. (Eds). Cage aquaculture – Regional reviews and global overview, p. 18– 48. FAO Fisheries Technical Paper. No. 498. Rome, FAO, 241 pp.

Halwart, M., Soto, D., & Arthur, J.R. 2007. Cage aquaculture – Regional reviews and global overview. FAO Fisheries Technical Paper. No. 498. Rome, FAO, 241 pp.

Krisnamurthi, B., & Fausia, L. 2005. Langkah Sukses Memulai Agribisnis. Penerbit Swadaya. Cimanggis Depok, 107 hlm.

Proyek Pesisir Lampung. ————. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung.

Sitepu, B. 2008. Status Budidaya KJA di Lampung. Makalah pada Seminar Sehari Pengembangan Akuakultur Berkelanjutan Bandar Lampung, 7 Juli 2008. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Tidak dipublikasikan.

Sugiyatno, U. 2008. Kebijakan Pengembangan Perikanan Budidaya di Provinsi Lampung. Makalah Seminar Sehari Pengembangan Akuakultur Berkelanjutan Bandar Lampung, 7 Juli 2008. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Tidak dipublikasikan.

Supranto. 2004. Analisis Multivariat: Arti dan Interpretasi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 359 hlm. Yamin, S., & Kurniawan, H. 2009. Teknik Analisis Statistik Terlengkap Dengan Software SPSS. Penerbit

Salemba Infotek., 318 hlm.

Yudha, I.G. 2009. Karakteristik Biofisik Perairan Dan Permasalahan Pengembangan Wilayah Pesisir di Kecamatan Padang Cermin dan Punduh Pidada, Kabupaten Lampung Selatan. Disitir dari http:// www.scribd.com/doc/13333321/Biofisik-Dan-Permasalahan-Pesisir-Kecamatan-Padang-Cermin-Dan-Punduh-Pidada-Lampung-Selatan. (November 2009).

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Tabel 1. Status pembudidaya KJA di Teluk Lampung
Gambar 2. Situasi KJA di Teluk Hurun dan Ringgung
Tabel 2. Nilai KMO dan Bartlett’s Test
+2

Referensi

Dokumen terkait

(Kalau Dah Jodoh Siri 1, episod 8) Contoh (i) merupakan retorik pemerian jenis saintifik yang menunjukkan UKE menerangkan kepada khalayak mengenai sunnah para nabi yakni

(1986), menyebutkan vigor dan kualitas tanaman yang baik merupakan faktor penting dalam siklus hidup kutu kebul, karena itu diperlukan varietas yang mempunyai kualitas baik

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terimakasih

Febri Endra Budi Setyawan, selaku dosen pembimbing I yang selalu memberi dorongan motivasi, bantuan, dan kesediaan waktunya untuk selalu membimbing penulis,

Penyakit Definisi Etiologi Pemeriksaan Penatalaks anaan Prognosis Anemia Hemoliti k Anemia yang disebabkan karena meningkatnya kecepatan destruksi eritrosit Penghancuran

Bagi Saudara/i yang hendak melangsungkan pernikahan bulan Maret-Agustus 2016, maka Bimbingan Pra-Pernikahan untuk Pemberkatan Peneguhan Pernikahan telah diadakan pada hari ini,

Memberikan masukan yang bermanfaat bagi Dinas atau Instasi terkait khususnya Komisi Penanggulangan Aids Kota Semarang dalam penanggulangan tingginya kasus HIV/AIDS