69
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Model Hidrodinamik Perairan Teluk Lampung 4.1.1 Pola Sebaran Arus
Hasil simulasi model hidrodinamika untuk pola sebaran arus horizontal disajikan pada Lampiran 4 – 9, sedangkan pola sebaran arus vertikal disajikan pada Lampiran 10 dan Lampiran 11. Hasil simulasi pola sirkulasi arus di Teluk Lampung pada saat pasang purnama menunjukkan bahwa pada kondisi pasang tertinggi arus dominan bergerak dari arah selatan menuju utara atau arus bergerak masuk dari mulut teluk menuju ke kepala teluk. Sebaliknya pada saat kondisi surut terendah arus cenderung bergerak dari utara ke selatan atau keluar dari teluk.
Pola arus vertikal lebih didominasi oleh arus longitudinal (komponen arus v) dan arus meridional (Komponen arus u) dari pada pergerakan arus vertikalnya sendiri (komponen arus w), sehingga resultan vektor arusnya (komponen arus u-w dan komponen arus v-w) lebih dominan bergerak ke arah barat-timur atau utara-selatan daripada ke arah dasar-permukaan kolom air. Magnitudo arus maksimum terjadi pada bulan Januari sedangkan magnitudo arus minimum terjadi pada bulan Mei. Secara umum arus memasuki wilayah teluk di bagian barat teluk di sekitar daerah Tanjung Tikus dan sebagian keluar lagi dari bagian timur di sekitar daerah Canti. Sebagian arus juga masuk dan keluar melalui bagian tengah mulut teluk, dan cenderung berputar berlawanan arah jarum jam ketika mendekati kepala teluk di sekitar Pulau Tegal. Pola arus ini menyebabkan sebagian besar material daratan yang terbawa aliran sungai yang berada di kepala teluk cenderung berputar-putar disekitar kepala teluk, sedangkan material dari daratan di sekitar Pelabuhan Panjang akan terbawa keluar teluk sepanjang sisi timur teluk.
Hasil simulasi oleh Koropitan (2003) menunjukkan bahwa magnitudo arus pasut pada saat menuju surut mencapai ~0.1 m/s pada pasang purnama dan ~0.06 m/s pada saat pasang perbani, sedangkan hasil simulasi yang dilakukan oleh Mihardja dkk. (1995) menujukan pola arus yang sama dengan magnitudo
maksimum mencapai 0.05 m/s untuk semua kondisi pasut. Perbedaan magnitudo dengan hasil simulasi yang dilakukan Mihardja dkk. (1995) diduga karena adanya
perbedaan luasan daerah model. Daerah model penelitian ini hampir mencapai mulut teluk, sedangkan model Mihardja dkk. (1995) memiliki daerah model hanya mencapai daerah tengah teluk. Perbedaan dengan hasil simulasi yang dilakukan Koropitan (2003) diduga karena adanya perbedaan metode yang digunakan. Metode numerik yang digunakan oleh Koropitan (2003) adalah metode leap-frog dengan perata-rataan kedalaman atau model 2-dimensi, sedangkan metode pada penelitian ini adalah model 3 dimensi dengan metode semi implisit dua langkah.
Magnitudo arus menunjukkan adanya perbedaan antara arus pada saat pasang tertinggi dan pada saat terendah serta berbeda antara setiap bulannya. Perbedaan manitudo arus tersebut disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Kisaran magnitudo arus di perairan Lampung pada kondisi pasang purnama
Bulan Kecepatan Maksimum
(m/s)
Kecepatan Minimum (m/s)
Arah yang Dominan (o) Januari 0.51 0.02 32 - 354 Februari 0.55 0.01 42 - 270 April 0.52 0.01 47 - 262 Mei 0.39 0.01 50 - 235 Juli 0.52 0.02 81 - 270 Agustus 0.53 0.03 88 - 272
Sumber : Hasil penelitian diolah
4.1.2 Pola Sebaran Temperatur
Pola sebaran temperatur horisontal hasil simulasi disajikan pada Lampiran 12, sedangkan pola sebaran vertikal melintang dan membujur disajikan pada Lampiran 13. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pola sebaran horisontal memiliki kisaran yang relatif homogen, dan terjadi adanya peningkatan temperatur mulai bulan Mei hingga Agustus, hal ini berkaitan dengan adanya peningkatan intesitas radiasi matahari, penurunan curah hujan dan tingkat
penutupan awan. Pola ini juga berkaitan dengan perubahan musiman dari musim penghujan dan memasuki musim kemarau. Secara umum kisaran temperatur hasil simulasi lebih rendah dibandingkan dengan hasil observasi, hal ini diduga
berkaitan dengan ketesediaan data secara spasial yang kurang untuk asupan data model yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan data lapangan sehingga model mengasumsikan nilai spasialnya pada nilai nol.
Pola sebaran vertikal menunjukan adanya pelapisan temperatur, walaupun Wiryawan et al. (1999) menyatakan bahwa kolom air di periran Teluk Lampung relatif homogen secara vertikal atau lapisan tercampurnya dapat ditentukan pada seluruh kedalaman. Pelapisan atau stratifikasi temperatur ini terjadi pada kisaran
temperatur yang cukup kecil antara 0.1 - 0,2oC, sehingga kisaran temperatur
antara lapisan permukaan dan lapisan dibawahnya tidak begitu signifikan.
Temperatur dilapisan permukaan (kurang dari 10 m) memiliki kisaran yang lebih tinggi dibandingkan lapisan dibawahnya, hal ini diduga karena proses
percampuran yang dipengaruhi aktivitas manusia (transportasi) ataupun percampuran karena pengaruh angin dan gelombang. Keseluruhan kisaran temperatur yang lebih tinggi terdapat pada bagian tepi dari teluk yang dekat daratan, hal ini disebabkan karena kedalam perairan yang relatif dangkal.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pola sebaran temperatur berkaitan erat dengan pengaruh musiman dimana pada musim penghujan kisaran temperatur akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan musim kemarau.
Validasi data hasil model dengan data hasil observasi dilakukan pada waktu yang sama antara data pengambilan sampel dan data luaran model. Hasil validasi terlihat bahwa profil menegak suhu memiliki kesamaan dengan nilai hasil
simulasi yang cenderung lebih rendah. Pola stratifikasi temperatur terhadap kedalaman dari berbagai stasiun disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Perbandingan profil vertikal temperatur hasil simulasi (garis putus-putus) dan hasil observasi (garis kontinyu) di berbagai stasiun.
Model temperatur merupakan model yang dibangun dengan masukan data radiasi matahari, temperatur udara, tingkat keawanan dan kelembaban relatif maka fluktuasinya akan mengikuti pola data masukan. Secara umum data masukan yang digunakan memliki kisaran nilai yang lebih kecil dari data sebenarnya, hal inilah yang kemungkinan menyebabkan hasil simulasi memiliki kisaran nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan data observasi.
Pola sebaran temperatur hasil model dan hasil observasi menunjukan pola yang mirip dengan nilai hasil observasi yang cenderung lebih besar dari data hasil simulasi. Hal ini berkaitan dengan nilai masukan model yang juga cenderung lebih rendah. Secara umum nilai temperatur rata rata bulanan cenderung menurun pada bulan ke 1 - 3 (Januari - April) dan mulai meningkat pada bulan ke 3 - 5 (Mei - Agustus) yang diduga berhubungan dengan pengaruh musiman.
Perbandingan antara data observasi dan hasil simulasi rata-rata keseluruhan stasiun disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15 Perbandingan data rata-rata bulanan Temperatur (oC) hasil simulasi
() dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal
menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus).
Korelasi antara hasil simulasi dan hasil observasi menunjukkan adanya kaitan yang cukup erat, hal ini dapat dilihat dari nilai korelasi tiap stasiun yang berkisar antara 0.8724 - 0.8944. Nilai ini mengindiksikan bahwa nilai hasil simulasi model cukup untuk mewakili kondisi sebenarnya, sehingga bisa disimpulkan bahwa model dapat digunakan sebagai penduga kondisi lapangan
27.8 28 28.2 28.4 28.6 28.8 0 1 2 3 4 5 6 7 8 oC Bulan Temperatur
yang sebenarnya. Hasil validasi dan analisis hubungan antara model dan observasi tiap stasiun selengkapnya disajikan pada Lampiran 14 dan persamaan garis
korelasi disajikan pada Lampiran 15. 4.1.3 Pola Sebaran Salinitas
Pola sebaran horisontal salinitas hasil simulasi (Lampiran 16) menunjukkan adanya perubahan atau gradien salinitas antara bagian dalam teluk dan bagian luar teluk. Gradien salinitas ini dipengaruhi oleh adanya asupan air tawar yang
bermuara dari kedua sungai yang ada di kepala teluk. Kisaran salinitas secara temporal cenderung meningkat hal ini berkaitan dengan perubahan musim. Peningkatan tingkat radiasi matahari, temperatur udara, penurunan curah hujan dan penutupan awan akan meningkatkan tingkat evaporasi sehingga akat
meningkatkan salinitas perairan. Kisaran nilai salinitas hasil simulasi dengan hasil observasi secara konsisten menunjukan nilai yang lebih rendah hal ini
dikarenakan data asupan model memiliki kisaran yang relatif lebih rendah. Pola distribusi salinitas secara horisontal memiliki kemiripan pola antara data observasi dan data hasil simulasi model.
Pola sebara vertikal salinitas hasil simulasi (Lampiran 17) memiliki nilai yang lebih rendah dilapisan permukaan hal ini berkaitan dengan kisaran
temperatur yang juga lebih tinggi sehingga densitas massa airnya lebih rendah dibandingkan pada lapisan kedalaman. Perbedaan ini membentuk stratifikasi salinitas walaupun dalam kisaran yang sempit antara 0.01 - 0.05 psu. Pola sebaran vertikall hasil simulasi jika dibandingkan dengan data hasil observasi menunjukan pola yang mirip (Gambar 16), akan tetapi nilai hasil simulasi menunjukan kisaran yang lebih kecil daripada data lapangan. Perbedaan ini disebabkan nilai simulasi yang merupakan model termodinamika permukaan dibangun dengan masukan data meteorologis yang nilainya cenderung lebih rendah dibandingkan data sebenarnya.
Perbandingan antara data hasil observasi dan data hasil simulasi (Gambar 17) menunjukan bahwa kisaran data hasil simulasi memiliki nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan data observasi yang disebabkan model
permukaan yang sangat dipengaruhi oleh hasil simulasi temperatur. Perbandingan antara hasil simulasi dan hasil observasi disajikan pada Lampiran 18.
Gambar 16 Perbandingan profil vertikal salinitas hasil simulasi (garis putus-putus) dan hasil observasi (garis kontinyu) di berbagai stasiun.
Gambar 17 Perbandingan data rata-rata bulanan salinitas (psu) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus).
Korelasi antara hasil simulasi dan hasil observasi menunjukan adanya kaitan
yang cukup erat dengan nilai korelasi untuk tiap stasiun berkisar antara 0.8997 -
0.8458 (Lampiran 19). Nilai ini menunjukan bahwa model cukup relevan untuk menduga nilai lapangan yang sederhana, sedangkan kisaran nilai model yang relatif lebih kecil disebabkan karena nilai masukan model yang digunakan dalam
31.65 31.7 31.75 31.8 31.85 31.9 31.95 32 32.05 32.1 32.15 32.2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 p su Bulan Salinitas
sub model termodinamika permukaan berupa data meteorologis memiliki kisaran yang lebih rendah dibandingkan data sebenarnya.
Kesimpulan yang dapat diperoleh adalah pola sebaran horisontal dan vertikal salinitas sangat dipengaruhi oleh pola sebaran temperatur perairan yang keduanya berkaitan dengan pengaruh musim. Tingkat radiasi matahari yang cenderung lebih tinggi pada musim kemarau akan mengakibatkan peningkatan temperatur air yang diikuti peningkatan salinitas karena terjadinya proses evaporasi.
4.1.4 Verifikasi Data meteorologi
Kecepatan angin masukan model memiliki nilai maksimum pada bulan Januari sebesar 9.622 m/detik dengan arah menuju barat daya dan nilai minimum pada bulan Mei sebesar 0.713 dengan arah menuju Barat Daya. Data arah dan kecepatan angin diverifikasi dengan data yang bersumber dari BMG Lampung stasiun pengamatan Raden Inten II yang hasilnya disajikan dalam Tabel 9. Hasil data pengukuran dari BMG didapatkan bahwa nilai rata-rata bulanan memiliki kisaran lebih besar dibandingkan data masukan model.
Tabel 9 Verifikasi data masukan model untuk kecepatan angin Tahun 2007
Bulan Rata-rata kecepatan angin
Data Masukan Model a) (m/s) Data Insitu b) (m/s)
Januari 2.491839 3.5433 Februari 2.166643 3.5433 Maret 2.150871 3.0288 April 2.099613 3.0288 Mei 1.767167 3.0288 Juni 2.4715 3.5433 Juli 2.215677 3.5533 Agustus 2.290323 3.6433 Sumber : a) www.ecmwf.int.
b) BMG Bandar Lampung dalam Lampung dalam angka, 2008
ELCOM juga membutuhkan masukan data meteorologi yang lain yaitu curah hujan, suhu udara, tekanan atmosfer, curah hujan, tingkat penutupan awan dan kelembaban relatif. Perbandingan nilai data meteorologis masukan model dan data pengamatan dari BMKG disajikan pada Tabel 10. Nilai pengamatan
menunjukan kisaran yang relatif lebih besar dibandingkan dengan data masukan model.
Tabel 10 Perbandingan nilai rata-rata bulanan data meteorologis masukan model dan data BMKG Tahun 2007
Curah Hujan (m) Tekanan Udara (mbar) Suhu Maksimum (oC) Suhu Minimum (oC) Kelembaban Udara (%) a b a b a b a b a b Januari 0.05 0.0744 1003.8 1011.8 28.3 32 22 23.4 90.4 97 Februari 0.006 0.0103 1001.7 1011.4 28.1 31.5 22.1 23.6 91.9 99 Maret 0.02 0.0302 1001.8 1010.3 28.3 31.9 22.0 23.5 91.6 98 April 0.02 0.0303 1001.6 1010.1 28.7 32.2 22.2 23.7 92.5 93 Mei 0 0.0115 1002.3 1010.9 29.3 32.4 23 23.9 92.1 99 Juni 0.01 0.0223 1002.4 1010.3 28.2 31.5 22 22.9 93.4 91 Juli 0.01 0.0182 1002.7 1010.9 28.4 31.9 21.8 22.2 91.5 98 Agustus 0.03 0.039 1003.8 1011.7 28.8 33.6 23.1 23.3 90.1 96 Sumber : a) Masukan Model www.ecmwf.int.
b) BMKG Bandar Lampung dalam Lampung dalam angka, 2008
Arah angin masukan model pada bulan Januari angin bertiup dominan dari arah barat, bulan Februari – Mei dominan dari arah barat laut, sedangkan pada bulan Juli dan Agustus angin dominan dari arah tenggara. Pola angin dominan di Teluk lampung menurut Oldeman (1978) dalam Damai (2003) adalah dari Barat (Nopember- Januari), dari Utara (Maret-Mei), Timur (Juni – Agustus), dan Selatan (September – Oktober). Pariwono (1998) menyebutkan arah angin dominan pada Bulan Desember – Februari adalah dari Barat – Barat laut – Utara, pada Bulan Maret Mei dari Barat Laut, Bulan Juni – Agustus dari Tenggara dan Bulan September – Nopember dari Tenggara hingga ke Timur.
4.1.5 Validasi Pasang surut
Analisis data pasang surut dilakukan dari hasil pengamatan selama 15 hari yang berlokasi di Pelabuhan Panjang dilakukan menggunakan metode analisis harmonik. Dari hasil analisis data pasang surut didapatkan komponen pasang surut yang disajikan dalam Tabel 11. Komponen pasang surut yang telah didapatkan digunakan untuk mengetahui tipe pasang surut yang terjadi dengan menghitung bilangan Formzahl. Dengan nilai bilangan Formzahl tersebut maka tipe pasang surut di perairan Teluk Lampung masuk dalam kisaran 0.25 < F < 1.5, maka dikategorikan memiliki tipe pasang surut Campuran dominan Ganda.
Tabel 11 Komponen Pasang Surut
Parameter M2 S2 N2 K1 O1
Amplitudo 0.305 0.119 0.065 0.214 0.093
Fase 158.07 289.92 32.23 261.23 209.63
Frekuensi 1.9323 2.000 1.8960 1.0027 0.9295
Sumber: Hasil penelitian diolah
Verifikasi terhadap hasil luaran model dengan data lapangan disajikan pada Gambar 18. Untuk mengetahui tingkat keakuratan antara hasil simulasi dan data hasil pengamatan dilakukan validasi dengan metode Standard Error dan metode
Root Means Square Error (RMSE). Hasil verifikasi elevasi pasut dapat dilihat
bahwa pola elevasi dan amplitudo pasang surut hasil simulasi mempuyai kemiripan dengan pola elevasi hasil pengamatan.
Gambar 18 Verifikasi pola elevasi pasang surut antara hasil simulasi dan hasil pengamatan.
Amplitudo hasil simulasi memiliki nilai yang lebih besar dari hasil
pengamatan, sedangkan fase gelombang pasut secara umum memiliki nilai yang berhimpitan antara data hasil pengamatan dan hasil simulasi. Tingkat keakuratan kedua data yang divalidasi diperoleh hasil nilai Standar Error (SE) 0.004030 dan nilai Root Mean Square Error (RMSE) 0.099. Nilai SE dan akar kuadrat tengah galat (RMSE) menyatakan bahwa semakin kecil nilai yang diperoleh maka semakin besar keakuratan atau kemiripan dari kedua data tersebut.
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 1/1 /07 0: 00 1/2 /07 0: 00 1/3 /07 0: 00 1/4 /07 0: 00 1/5 /07 0: 00 1/6 /07 0: 00 1/7 /07 0: 00 1/8 /07 0: 00 1/9 /07 0: 00 1/1 0/07 0 :00 1/1 1/07 0 :00 1/1 2/07 0 :00 1/1 3/07 0 :00 1/1 4/07 0 :00 1/1 5/07 0 :00 1/1 6/07 0 :00 m eter Waktu
4.2 Model Ekosistem Teluk Lampung 4.2.1 Pola Sebaran Komponen Ekosistem 4.2.1.1 Oksigen Terlarut
Pola sebaran horisontal oksigen terlarut memiliki kesamaan dengan pola sebaran horisontal hasil observasi lapangan (Lampiran 20). Secara spasial nilai konsentrasi oksigen terlarut lebih rendah dibagian kepala teluk dibandingkan daerah tengah teluk atau daerah mulut teluk. Hal ini berkaitan dengan keberadaan asupan bahan organik yang tinggi sehingga konsentrasi oksigen terlarut digunakan dalam proses mineralisasi bahan-bahan organik. Secara temporal kisaran oksigen terlarut cenderung menurun, hal ini berkaitan dengan adanya peningkatan
konsentrasi bahan organik yang masuk keperairan.
Pola sebaran vertikal oksigen terlarut pada Lampiran 21 menunjukan adanya stratifikasi mulai pada kedalaman lebih dari 20 meter. Konsentrasi oksigen terlarut yang lebih tinggi dilapisan permukaan disebabkan adanya pegaruh percampuran antara atmosfer dan kolom air. Ketebalan lapisan konsentrasi oksigen terlarut sangat tergantung dari seberapa kuat pengaruh turbulensi yang dihasilkan oleh angin, pasang surut maupun pengaruh aktivitas manusia (transportasi)
4.2.1.2 Nitrogen
Sebaran ammonium (Lampiran 24) di perairan Teluk Lampung hasil simulasi dan data pengamatan lapangan menunjukkan pola sebaran yang mirip, dimana konsentrasi tertinggi berada pada bagian kepala teluk dan terus menurun ke arah luar teluk. Kondisi ini menunjukkan bahwa peran masukan sumber material dari daratan lebih dominan dibandingkan dengan sumber dari perairan terbuka. Wattayakorn (1988) menyatakan bahwa kandungan nutrien yang tinggi selain berasal dari perairan itu sendiri juga tergantung pada kondisi sekelilingnya antara lain, sumbangan dari daratan melalui sungai yang bermuara ke perairan
tersebut. Pola sebaran ammonium (NH4) baik hasil simulasi atau dari data
pengamatan lapangan memperlihatkan kecenderungan sebaran konsentrasinya
mengikuti pola arus di perairan Teluk Lampung. Sebaran konsentrasi NH4 yang
buangan limbah rumah tangga yang dialirkan melalui dua buah sungai yaitu sungai Way Kahuripan dan sungai Way Lunik yang bermuara di bagian kepala teluk. Limbah domestik ini berisi material organik yang tinggi yang akan
menyebabkan kehilangan oksigen dan pembentukan amonium, khususnya selama musim kemarau pada saat pertukaran air sangat rendah.
Konsentrasi NH4 yang tinggi juga terdapat di bagian barat sisi teluk yang
berada pada teluk-teluk kecil yang cenderung tertutup. Hal ini disebabkan selain adanya input dari daratan melalui sungai, juga dipengaruhi oleh pergerakan pola arus di daerah tersebut yang membentuk pusaran, sehingga seolah-olah
keberadaan material terlarut di daerah tersebut terjebak dan tidak terjadi
pertukaran dengan perairan sekitarnya. Secara temporal pola sebaran konsentrasi
NH4 juga menunjukkan kecenderungan yang sama antara hasil simulasi dan data
lapangan, yaitu secara konsisten nilai konsentrasi data lapangan lebih besar dari
nilai hasil simulasi. Konsentrasi NH4 menunjukkan adanya peningkatan dari bulan
Januari sampai bulan Mei, menurun pada bulan Juli dan meningkat lagi pada bulan Agustus.
Sebaran vertikal NH4 (Lampiran 25) secara spasial cenderung lebih tinggi
pada bagian dasar perairan dibandingkan dengan permukaan, baik pada potongan membujur barat-timur maupun pada potongan melintang utara-selatan. Pada potongan barat-timur konsentrasi lebih tinggi berada pada bagian timur dibandingkan bagian barat, hal ini berkaitan dengan pola arus yang cenderung
bergerak ke arah timur. Pada potongan utara-selatan konsentrasi NH4 cenderung
lebih tinggi di bagian utara, hal ini berkaitan dengan sumber masukan nutrien
yang lebih dominan di sisi utara teluk. Secara temporal konsentrasi NH4 pada
bulan Januari lebih tinggi pada lapisan permukaan dan menurun pada bulan Februari. Selanjutnya terjadi peningkatan konsentrasi yang signifikan pada bagian permukaan dari bulan April hingga Agustus yang diduga berasal dari dasar
perairan sebagai akibat dari proses percampuran yang terjadi.
Pola sebaran horizontal NO3 (Lampiran 28) hasil simulasi secara spasial
memiliki kemiripan dengan data hasil pengamatan yang secara umum
menunjukkan konsentrasi yang lebih rendah di daerah mulut teluk dan konsentrasi lebih tinggi di daerah kepala teluk. Hal ini menunjukkan bahwa sumber utama
NO3 lebih dominan berasal dari daratan dibandingkan dari perairan terbuka.
Konsentrasi NO3 terlarut hasil simulasi secara spasial maupun temporal secara
konsisten memiliki kecenderungan nilai yang lebih rendah dari nilai pengamatan.
Secara temporal konsentrasi NO3 memiliki nilai yang rendah pada bulan Januari
dan terus meningkat pada bulan berikutnya.
Distribusi vertikal NO3 (Lampiran 29) secara spasial dan temporal
menunjukkan bahwa konsentrasi tertinggi terdapat pada lapisan permukaan hingga kedalaman <30 m, baik pada sebaran melintang utara-selatan dan pada
sebaran membujur barat-timur. Konsentrasi NO3 pada sebaran membujur barat
timur menunjukkan pada bagian barat konsentrasi lebih tinggi dari pada bagian timur, hal ini diduga berkaitan dengan sumber masukan material dari daratan yan lebih dominan dibagian barat yang mana terdapat sungai Way Kahuripan.
Konsentrasi NO3 pada sebaran melintang utara-selatan cenderung lebih tinggi
pada bagian selatan dibandingkan pada bagian utara walaupun pada bagian utara juga terdapat masukan dari daratan melalui sungai Way Lunik, hal ini diduga karena pengaruh pola arus yang cenderung bergerak ke arah selatan atau menuju ke luar teluk.
Gambaran umumnya dapat disimpulkan bahwa pola sebaran spasial dan
temporal konsentrasi NO3 dan NH4 sangat dipengaruhi oleh sumber masukan
nutrien tersebut yang berasal dari sungai dan perairan Selat Sunda. Pada bagian kepala teluk sangat dipengaruhi oleh masukan dari daratan melalui sungai, sedangkan bagian tengah dan mulut teluk lebih banyak pengaruh dari perairan Selat Sunda.
4.2.1.3 Fosfat
Fosfat di perairan juga memiliki peran yang penting sebagai nutrien yang berperan dalam penentuan tingkat kesuburan perairan. Pola sebaran horizontal
fosfat (PO4) di perairan Teluk Lampung (Lampiran 32) secara spasial
menunjukkan pola yang mirip antara hasil simulasi dan hasil pengamatan, yaitu cenderung lebih tinggi di bagian kepala teluk dibandingkan dengan bagian mulut teluk. Hal ini menunjukkan pengaruh masukan dari daratan lebih dominan jika
tinggi di bagian timur teluk hal ini berkaitan dengan pola arus yang cenderung bergerak ke sisi timur teluk menuju ke mulut teluk.
Selain sumber dari masukan sungai, nutrien di bagian kepala Teluk
Lampung juga berasal dari berbagai sumber yang tersebar sepanjang pantai seperti pelabuhan, kawasan industri, lahan pertanian, lahan budidaya perikanan (keramba dan tambak udang). Pada bagian kepala teluk tingginya konsentrasi diduga berasal dari buangan limbah rumah tangga terutama sisa detergen yang tinggi kandungan fosfatnya. Kontribusi limbah dari kawasan industri yang berada dibagian timur kepala teluk juga berperan dalam menentukan pola distribusi fosfat. Pada bagian barat teluk konsentrasi fosfat diduga berasal dari aktivitas pelabuhan perikanan, limbah buangan dari tambak udang dan dari aktivitas pertanian.
Sebaran konsentrasi fosfat yang tinggi di bagian kepala teluk akan menurun dengan cepat di bagian tengah teluk, hal ini diduga karena pengaruh pelarutan air laut juga pengambilan yang cepat untuk pertumbuhan fitoplankton. Pada bagian mulut teluk dimana pengaruh aktivitas manusia sudah berkurang konsentrasi fosfat cenderung dipengaruhi olah aliran massa air dari perairan Selat Sunda. Selama musim kemarau aliran massa air dari Laut Jawa yang kaya nutrien mengalir menuju Lautan Hindia, yang sebagian masuk ke Teluk Lampung. Sebaliknya pada musim hujan massa air yang rendah nutrien dari Lautan Hindia menuju ke Laut Jawa akan mempengaruhi perairan Teluk Lampung (Hendiarti et
al, 2002).
Pola sebaran vertikal PO4 (Lampiran 33), secara umum lebih tinggi di
lapisan permukaan. Secara temporal konsentrasi dilapisan permukaan yang lebih tinggi terjadi pada bulan Januari dan meningkat dengan puncaknya pada bulan
April. Konsentrasi PO4 pada lapisan permukaan menurun pada bulan berikutnya
yang diikuti oleh peningkatan konsentrasi pada bagian dasar perairan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola sebaran fosfat pengaruh sumber masukan dari daratan sangat dominan di bagian kepala hingga bagian tengah teluk, sebaliknya pada bagian mulut teluk pola sebaran fosfat mendapat pengaruh dari aliran massa air dari Laut Jawa dan Lautan Hindia yang melalui perairan Selat Sunda.
4.2.1.4 Total Karbon Organik
Pola sebaran horisontal total karbon organik disajikan pada Lampiran 36. Perbandingan hasil simulasi dan hasil observasi dapat dilihat bahwa terdapat kemiripan pola sebaran hasil simulasi dan pola sebaran hasil observasi. Secara spasial konsentrasi total karbon organik memiliki kisaran yang lebih tinggi pada bagian kepala teluk dan sepanjang garis pantainya. Hal ini disebabkan karena pengaruh aktivitas manusia yang cenderung lebih tinggi dibagian kepala teluk. Sumber karbon diperairan yang dominan berasal dari atmosfer, sehingga aktivitas manusia berupa pembakaran bahan bakar untuk kendaraan dan pabrik diduga berperan dalam peningkatan konsentrasi karbon di perairan. Pada bagian timur teluk terdapat pelabuhan bongkar muat batubara, sehingga diduga juga berperan sebagai sumber karbon di perairan. Secara temporal juga terjadi adanya
peningkatan konsentrasi karbon mulai pada bulan Mei, hal ini diduga berkaitan dengan pengaruh musiman yang memasuki musim kemarau dengan intensitas hujan yang berkurang mengakibatkan konsentrasi karbon di atmosfer juga meningkat. Pada bulan sebelumnya (Januari - April) konsentrasi karbon lebih rendah karena curah hujan yang cukup tinggi akan mengurangi konsentrasi karbon di atmosfer.
Pola sebaran vertikal total karbon organik (Lampiran 37) menunjukan bahwa secara spasial konsentrasi karbon yang lebih berada pada lapisan dalam dibandingkan dengan lapisan permukaan. Pada potongan membujur barat-timur konsentrasi yang tinggi lebih dominan di sisi timur, selain karena pengaruh pola arus yang memang bergerak ke bagian sisi timur hal ini yang berperan adalah sumber karbon di bagian sisi timur lebih besar, ditandai dengan banyaknya aktivitas industri dan juga hasil pembakaran bahan bakar minyak. Pada potongan melintang utara selatan, konsentrasi karbon lebih dominan dibagian selatan, diduga berkaitan dengan aktivitas biologis yang berasal dari hasil respirasi zooplankton yang cenderung lebih tinggi dibagian selatan.
Kesimpulan yang dapat diperoleh adalah pola sebaran total karbon organik cenderung mengikuti pola sebaran nutrien yang lain diduga berkaitan dengan sumber masukan yang sama. Pengaruh musiman juga berperan dalam menentukan
konsentrasi karbon di perairan, karena konsentrasi karbon di perairan akan tergantung dari konsentrasi karbon di atmosfer.
4.2.1.5 Fitoplankton
Untuk menggambarkan pola sebaran biomasa fitoplankton di perairan diwakili dengan pola sebaran klorofil-a (Lampiran 40 dan 41). Pola sebaran horizontal fitoplankton hasil simulasi secara spasial menyerupai dengan data hasil pengamatan. Konsentrasi klorofil-a memiliki nilai yang lebih tinggi pada bagian kepala teluk, dibandingkan dengan daerah dekat dengan mulut teluk. Hasil
simulasi secara konsisten memiliki nilai yang lebih rendah dari hasil pengamatan. Secara temporal pola sebaran klorofil-a memiliki konsentrasi terrendah di bulan Januari dan nilainya cenderung meningkat di bulan berikutnya. Secara
umum pola sebaran spasial dan temporal cenderung mengikuti pola sebaran NH4
dan PO4, hal ini diduga selain berkaitan dengan pola arus yang dominan juga
berhubungan dengan ketersediaan nutrien di perairan.
Sebaran vertikal klorofil-a (Lampiran 41) menunjukkan konsentrasi yang tinggi di lapisan permukaan yang berhubungan dengan ketersediaan cahaya. Secara temporal sebaran vertikal klorofil-a ini meningkat konsentrasinya pada bulan April dibandingkan dengan bulan sebelumnya, kemudian menurun pada bulan mei dan meningkat dengan tajam pada bulan Juni hingga Agustus.
Secara umum dari pola sebaran horizontal dan vertikal konsentrasi klorofil-a sebagai representasi kehadiran fitoplankton di perairan yang tinggi di sekitar kepala teluk disebabkan adanya pengaruh dari daratan melalui sungai yang membawa zat hara. Nontji (2005) menyatakan bahwa fitoplankton yang subur di perairan umumnya terdapat di perairan di dekat muara sungai yang disebabkan oleh adanya penyuburan karena masuknya zat hara ke dalam lingkungan tersebut, baik yang datang dari daratan dan dialirkan oleh sungai ke laut maupun yang berasal dari lapisan dalam dan terangkat ke permukaan.
Dapat disimpulkan bahwa pola sebaran dan dinamika biomasa fitoplankton yang digambarkan dengan pola sebaran klorofil-a sangat dipengaruhi oleh
dinamika konsentrasi nutrien di perairan. Pola sebaaran klorofil-a memiliki
4.2.1.6 Zooplankton
Pola sebaran horizontal zooplankton disajikan pada Lampiran 44. Pola sebaran spasial menunjukkan bahwa nilai konsentrasi biomassa zooplankton lebih rendah di bagian kepala teluk dibandingkan dengan daerah di dekat mulut teluk. Pola sebaran zooplankton tidak mengikuti pola sebaran nutrien hal ini diduga karena zooplankton memiliki kemampuan untuk bergerak melawan arus, sehingga distribusinya tidak dapat digambarkan melalui proses adveksi dan difusi. Sebaran spasial yang cenderung lebih rendah di bagian kepala teluk diduga berkaitan dengan kondisi perairan yang cenderung dangkal, sehingga terjadi pengadukan yang mengakibatkan tingkat kekeruhan yang tinggi. Selain itu pengaruh dari aliran air tawar melalui sungai akan menyebabkan salinitas di bagian kepala teluk cenderung lebih rendah, sedangkan beberapa spesies zooplankton cenderung sulit beradaptasi pada kisaran salinitas yang rendah. Faktor lain adalah adanya
masukan nutrien yang tinggi di bagian kepala teluk mengakibatkan tingginya proses dekomposisi material organik, proses dekomposisi ini akan mengakibatkan penurunan kandungan oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh zooplankton untuk respirasi.
Pola sebaran vertikal zooplankton hasil simulasi (Lampiran 45) menunjukkan kecenderungan distribusi zooplankton berada pada lapisan permukaan, hal ini berkaitan dengan keberadaan sumber makanan utama zooplankton, yaitu fitoplankton yang cenderung lebih berada pada lapisan permukaan, walaupun zooplankton memiliki kemampuan migrasi vertikal hanya terbatas pada kedalaman < 30 m. Pola sebaran zooplankton dapat disimpulkan sangat dipengaruhi oleh faktor keberadaan fitoplankton sebagai sumber makanan. Faktor fisika dan kimia perairan yang berfluktuasi secara temporal dan
kemampuan migrasi vertikal zooplankton juga akan mempengaruhi pola sebarannya.
4.2.2 Validasi Parameter Model Ekosistem 4.2.2.1 Parameter Kimia
Perbandingan antara data hasil simulasi dan data observasi NH4 (Gambar
19) menunjukkan bahwa data observasi memiliki kisaran nilai yang lebih tinggi dari hasil simulasi walaupun menunjukan pola yang mirip. Nilai hasil simulasi yang lebih rendah diduga karena faktor fisik yang mempengaruhi reaksi kimia seperti temperatur dan salinitas memiliki kisaran yang juga relatif lebih rendah. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa hubungan antara model dengan hasil observasi cukup erat yang ditandai dengan kisaran nilai korelasi yang mendekati nilai satu, yaitu berkisar antara 0.8289 - 0.9831. Validasi antara hasil model dan hasil observasi selengkapnya disajikan pada Lampiran 26, sedangkan hasil perhitungan korelasi antara model dan observasi dsajikan pada Lampiran 27.
Gambar 19 Perbandingan data rata-rata bulanan NH4 (mg/L) hasil simulasi ()
dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus). Perbandingan nilai hasil observasi dan hasil simulasi untuk variabel oksigen
terlarut (Gambar 20a), NO3 (Gambar 20b), PO4 (Gambar 20c), dan total karbon
organik (Gambar 20d) menunjukkan bahwa nilai hasil observasi memiliki kisaran nilai yang lebih besar dari hasil simulasi, walaupun pola yang terbentuk terdapat kemiripan. Kisaran nilai hasil simulasi yang lebih rendah ini berkaitan dengan
0.05 0.07 0.09 0.11 0.13 0.15 0.17 0 1 2 3 4 5 6 7 8 m gN /L Bulan Ke- NH4
hasil simulasi pada submodel termodinamika pada model hidrodinamik ELCOM yang menghasilkan variabel temperatur dan salinitas dengan nilai yang lebih rendah sehingga berpengaruh pada proses yang terlibat dalam model CAEDYM. Hasil validasi untuk setiap stasiun selengkapnya disajikan pada Lampiran 22, 30, 34, dan 37.
Kisaran data hasil simulasi masih dalam rentang nilai standard error dari data observasi kecuali pada total karbon organik, dimana kisaran nilai hasil simulasi jauh di bawah kisaran data observasi. Hal ini terjadi karena nilai total karbon organik hanya menghitung karbon dalam fraksi organiknya saja, sedangkan nilai hasil observasi adalah nilai karbon organik partikulat yang dihitung dengan pendekatan dari nilai total padatan tersuspensi, sehingga dimungkinkan konsentrasi unsur selain karbon yang terdapat dalam padatan tersuspensi tersebut dianggap sebagai karbon yang akan mempengaruhi nilai konsentrasinya.
Gambar 20 Perbandingan data rata-rata bulanan Oksigen terlarut (mg/L (a), NO3
(mgN/L) (b), PO4 (mgP/L), (c)) dan (d) Karbon organik partikulat
(mgC/L) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus).
3 4 5 6 7 0 1 2 3 4 5 6 7 8 m g/L Bulan DO 0.1 0.15 0.2 0.25 0 1 2 3 4 5 6 7 8 m gN /L Bulan NO3 0 0.2 0.4 0.6 0.8 0 1 2 3 4 5 6 7 8 m gP/L Bulan PO4 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 m gC /L Bulan POC (a) (b) (c) (d)
Hubungan antara model dan observasi menunjukkan adanya korelasi yang signifikan, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil model dapat dipakai sebagai acuan untuk memprediksi kondisi lapangan yang sebenarnya. Kisaran nilai
korelasi untuk NO3 adalah 0.8732 - 0.9739, untuk PO4 0.8773 - 0.9493, untuk
oksigen terlarut 0.8402 - 0. 9452 dan untuk total karbon organik 0.8290 - 0.9320. hasil analisis korelasi antara hasil simulasi model dan hasil observasi
selengkapnya disajikan pada Lampiran 23, 31, 35, dan 39. 4.2.2.2 Parameter Biologi
Perbandingan nilai hasil simulasi dan hasil observasi disajikan pada Gambar 21. Kisaran nilai hasil simulasi yang lebih rendah dari nilai observasi sebagai akibat dari kisaran nilai hasil simulasi variabel temperatur dan salinitas pada sub model termodinamika permukaan dalam model ELCOM sebagai penggerak model ekosistem CAEDYM. Kisaran nilai temperatur dan salinitas yang lebih rendah mengakibatkan kisaran nilai variabel kimia dan nutrien juga menjadi lebih rendah sehngga akan berpengaruh pada kisaran nilai fitoplankton dan kemudian nilai zooplankton. Hasil validasi antara model dan observasi di tiap stasiun disajikan pada Lampiran 42 dan 46.
Gambar 21 Perbandingan data rata-rata bulanan (a) Klorofil-a (mgC/L) dan (b) Zooplankton (mgC/L) hasil simulasi () dan data hasil observasi lapangan (), garis vertikal menunjukkan standar error bulanan (keterangan: 1= Januari, 2 = Februari, 3 = Maret, 4 = April, 5 = Mei, 6 = Juni, 7 = Juli dan 8 = Agustus).
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0 1 2 3 4 5 6 7 8 m gC /L Bulan Fitoplankton 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0 1 2 3 4 5 6 7 8 m gC /L Bulan Zooplankton (b) (a)
Walaupun kisaran nilai hasil simulasi memiliki nilai yang lebih rendah dari hasil observasi akan tetapi hubungan antara model dan observasi menunjukkan korelasi yang erat dengan nilai korelasi untuk fitoplankton berkisar antara 0.9387- 0.9485 dan untuk zooplankton berkisar antara 0.9420 - 0.9486. Nilai korelasi yang mendekati 1 (satu) ini menunjukkan bahwa model memberikan hasil prediksi yang kuat terhadap kondisi lapangan yang sebenarnya. Hasil analisi korelasi antara model dan observasi disajikan pada Lampiran 43 dan 47.
4.3 Analisis Model Ekosistem Teluk Lampung 4.3.1 Analisis Kuantitatif Kecocokan Model
Perhitungan nilai normalisasi rata-rata kesalahan mutlak disajikan dalam Tabel 12. Nilai NMAE merupakan nilai simpangan absolut antara hasil simulasi dan data observasi. Untuk mendapatkan kecocokan model, maka nilai NMAE dibandingkan dengan nilai standar deviasi (SD) diperoleh dari nilai rata-rata standar deviasi bulanan data observasi yang kemudian dinormalisasi dengan rata-rata nilai observasi.
Tabel 12 Hasil Normalisasi rata-rata kesalahan mutlak (NMAE) perbandingan antara hasil simulasi dan data lapangan
Variabel NMAE (SD/Rerata)
NH4 0.104215 0.0934341
NO3 0.080969 0.070537
PO4 0.130522 0.1210153
Total Karbon Organik 0.253809 0.0934341
Oksigen Telarut 0.114812 0.1211578 Salinitas 0.002403 0.002262 Temperatur 0.005482 0.0077017 Klorofil-a 0.186213 0.2131769 Zooplankton 0.1206 0.1355729 Rerata 0.111003 0.0953658
Sumber: Hasil penelitian diolah
Semua nilai NMAE memiliki kecenderungan mendekati dengan standar
deviasi per rata-rata kecuali untuk NH4, temperatur dan klorofil-a. Nilai NMAE
untuk total karbon organik cenderung lebih besar dari nilai standar deviasi yang dirata-rata, hal ini disebabkan karena nilai total karbon organik hasil observasi digunakan pendekatan dari nilai total padatan tersuspensi yang semua
komponennya dianggap sebagai karbon sedangkan nilai model sudah
mempertimbangkan komponen refraktori, sehingga selisih antara data observasi dan data model cukup besar. Nilai NMAE yang cenderung mendekati atau sama dengan nilai standar deviasi yang dirata-rata mengindikasikan bahwa secara umum model menyediakan prediksi yang kuat terhadap data observasi.
Simulasi yang dilakukan menggunakan beberapa parameter yang diuraikan pada Lampiran 1 - 3. Penggunaan parameter didasarkan pada studi literatur untuk mendapatkan nilai yang memungkinkan sesuai atau sama dengan daerah model. Nilai parameter yang digunakan sebagian merupakan nilai yang diperoleh dari pengujian model atau nilai yang didapatkan dari verifikasi model. Nilai-nilai tersebut sebagian berbeda dengan nilai yang diperoleh dari literatur.
Beberapa nilai yang berbeda tersebut adalah koefisien atenuasi spesifik terhadap DOC yang nilainya lebih rendah dari nilai literatur. Hal ini
mengindikasikan bahwa karbon organik terlarut di daerah model memiliki karakteristik yang lebih mudah untuk ditembus cahaya, sehingga memungkinkan cahaya mudah masuk ke perairan yang lebih dalam. Parameter yang lain yang juga berbeda dengan nilai literatur adalah temperatur pengganda yang memiliki nilai lebih tinggi dari nilai literatur. Nilai tersebut berarti bahwa ketika terjadi perubahan temperatur maka lebih cepat mengalami perubahan baik secara fisik atau kimia. Laju dekomposisi dan laju denitrifikasi yang lebih tinggi memiliki arti bahwa senyawa kimia lebih mudah diuraikan yang biasanya tergantung dari nilai pH, temperatur, oksigen terlarut dan organisme pengurainya.
Nilai Konstanta setengah jenuh untuk uptake juga memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai literatur, hal ini berarti bahwa kemampuan uptake untuk mencapai setengah nilai maksimum dari material yang di-uptake akan lebih mudah tercapai. Nilai rasio internal nitrogen yang lebih besar menunjukkan bahwa organisme fitoplankton membutuhkan nitrogen dalam jumlah yang lebih sedikit, sebaliknya nilai rasio internal fosfor yang lebih kecil menunjukkan bahwa fitoplankton membutuhkan unsur P dalam jumlah yang lebih besar jika dibandingkan dengan nilai dari literatur.
Pada variabel zooplankton nilai laju respirasi lebih besar dari nilai literatur yang berarti bahwa zooplankton pada daerah model membutuhkan energi yang
lebih banyak untuk respirasinya. Nilai preferensi atau kesukaan zooplankton terhadap jenis zooplankton yang lain diatur pada nilai nol yang berbeda dengan nilai literatur, hal ini disebabkan karena dalam simulasi ini hanya menggunakan satu kelopok zooplankton sehingga tidak terdapat kemungkinan pemangsaan satu jenis zooplankton terhadap jenis zooplankton yang lain.
Nilai parameter memiliki peran yang sensitif terhadap perubahan variabel ekosistem, sehingga untuk mendapatkan variabel yang mendekati dengan kondisi lapangan perlu dilakukan analisis untuk mengetahui parameter yang signifikan
berpengaruh terhadap perubahan variabel. Koefisien sensitivitas (Sij) (ukuran
sensitivitas relatif dari luaran yang dihubungkan dengan perubahan parameter) dihitung untuk tiap variabel utama disajikan pada Tabel 13.
(Fasham et al., 1990; Chen et al., 2002; Bruce et al., 2006) mendefinisikan
bahwa parameter dinilai sensitif jika nilai Sij>0.5. Dengan menggunakan definisi
tersebut maka persentase parameter sensitif di sajikan dalam angka yang dicetak
tebal dan dirangkum pada akhir baris tabel. Dari 6 variabel utama, variabel NO3
dan POC memiliki <10% parameter yang sensitif, variabel NH4 dan Fitoplankton
memiliki <40% parameter sensitif, dan >60% parameter yang sensitif terhadap
perubahan variabel PO4 dan zooplankton. Nilai Sij yang lebih besar dari 1 (satu)
berarti bahwa persentase variabel yang berubah dalam simulasi adalah lebih besar dari persentase perubahan parameternya, atau dengan kata lain perubahan
parameter ditingkatkan melalui model.
Jumlah parameter sensitif terbesar adalah pada variabel PO4 dan
zooplankton. Parameter yang memiliki indeks sensitivitas terbesar dari keseluruhan rata-rata semua variabel adalah laju grazing, efisiensi grazing, temperatur standar, temperatur maksimum dan konstanta setengah jenuh untuk
grazing dari variabel zooplankton dan variabel fitoplankton, yang berarti bahwa
parameter-parameter tersebut sangat berperan dalam perubahan konsentrasi fitoplankton maupun zooplankton. Parameter lain yang sangat sensitif adalah densitas POM yang secara langsung berpengaruh terhadap kehilangan atau penenggelaman POC, POP, dan PON dari kolom air.
Tabel 13 Hasil analisis sensitivitas model pada parameter yang digunakan dalam CAEDYM untuk simulasi di Teluk Lampung
Parameter
Variabel
NH4 NO3 PO4 POC Fitoplankton Zooplankton
Kd -0.31 -0.12 0.33 0.00 -0.45 -1.51 KeDOC -0.34 -0.09 0.12 -0.02 -0.44 -0.98 KePOC -0.65 -0.29 -0.87 -0.01 0.10 -0.76 KSOD -0.32 -0.05 -0.16 -0.02 -0.24 -0.49 KDOSOD -0.37 -0.14 -0.64 -0.07 -0.49 -0.77 SOD -0.34 -0.11 -0.67 -0.03 -0.38 -0.91 dPOM -0.89 -0.12 1.10 0.04 -2.76 -2.20 ρPOM -4.47 -0.31 3.87 -0.11 -5.83 -5.68 µDECPOC -0.50 -0.12 -0.18 -0.04 -0.13 -0.53 µDECPOP -0.55 -0.38 2.10 0.07 0.09 0.89 µDECPON -0.47 -0.39 -0.73 -0.14 -0.17 -0.67 den -0.51 -0.22 -0.86 -0.03 0.51 -1.10 nit -0.29 0.06 -3.11 -0.15 -0.37 -0.41 Kden -0.88 -0.49 0.23 -0.12 -0.34 -1.19 Knit -0.76 -0.24 -3.41 -0.07 -0.03 -0.95 S -0.37 -0.13 0.54 -0.16 -0.21 -0.31 SFRP -0.32 -0.19 1.26 -0.06 0.31 -2.37 KDOFRP -0.72 -0.18 -0.97 -0.32 -0.50 -0.92 SNH4 -0.24 -0.14 -0.85 -0.11 0.09 -1.11 KDONH4 -0.42 -0.19 -1.19 -0.23 -0.37 -0.98 SNO3 -0.42 -0.35 -0.23 -0.03 -0.05 -0.79 KDONO3 -0.65 -0.41 -0.31 -0.13 -0.11 -0.34 SDOC -0.33 -0.11 -0.19 -0.04 -0.09 -0.43 KDODOC -0.46 -0.17 -0.27 -0.21 -0.14 -0.21 µMAX -0.23 -0.09 -0.15 1.03 0.12 -0.21 IS 0.06 0.01 0.24 -0.21 -0.71 -1.13 KeA 0.14 0.10 1.32 0.07 -0.03 0.03 Kp -0.07 -0.13 0.37 0.39 1.11 0.27 KN -0.38 -0.25 0.23 -0.10 0.03 -0.78 INMIN -0.12 -0.13 0.79 -0.26 -0.09 -0.09 INMAX -0.43 -0.24 0.76 -0.05 -0.05 -0.54 UNMAX -0.72 -0.12 -2.19 0.02 -0.43 -0.66 IPMIN -0.12 0.01 1.03 0.04 -0.09 -3.01 IPMAX -0.87 -0.01 -0.79 -0.02 -0.13 -1.29 UPMAX -0.92 0.05 -0.64 0.51 1.21 0.23 ϑAg 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -1.12 TSTDA -0.21 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 TOPTA 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.01 0.00 TMAXA -0.43 0.00 0.26 0.00 3.01 0.00 kr 0.42 0.23 1.32 0.00 -3.27 0.73 ϑAr -0.50 -0.17 -1.12 0.17 -1.01 -1.09
Tabel 13 (Lanjutan) Hasil analisis sensitivitas model pada parameter yang digunakan dalam CAEDYM untuk simulasi di Teluk Lampung
Parameter
Variabel
NH4 NO3 PO4 POC Fitoplankton Zooplankton
fres -0.54 -0.12 0.39 -0.11 -0.65 -1.33 fDOM -0.30 -0.52 0.21 0.09 0.12 -0.92 VSA -0.76 0.00 2.31 0.00 0.00 0.00 gMAX -0.05 -0.13 -4.69 0.91 -9.02 31.26 kmf 0.05 0.33 -4.07 0.59 -8.11 33.52 kZr -0.66 -0.02 -3.39 0.01 -4.39 8.24 kZm -0.54 0.31 -0.92 0.00 0.71 -3.11 kZf -0.77 -0.26 -1.15 -0.02 0.73 -2.19 kZe -0.13 0.11 -2.98 0.01 1.32 -3.09 ffSED -0.25 0.09 0.00 -0.01 0.01 0.01 Zg -0.43 -0.01 -1.01 -0.01 0.63 -3.21 TSTDZ -0.34 -0.17 -4.01 0.00 -6.11 25.86 TOPTZ -0.23 0.03 1.31 0.00 3.09 -4.21 TMAXZ -0.32 -0.01 -3.63 0.00 -5.11 18.73 Zr -0.84 0.07 1.37 0.00 -1.97 -3.20 kZ -0.92 -0.02 -3.48 -0.64 -8.09 33.19 kZIN 0.31 0.12 0.79 0.00 0.21 -0.67 kZIP -0.54 -0.12 1.42 0.03 0.32 -2.49 >5% 37 2 63 9 39 73
Sumber: Hasil penelitian diolah
4.3.2 Dinamika Nutrien
Hasil simulasi dapat dengan kuat memberikan gambaran dinamika nutrien
yang terjadi. Gambar 22(a) dan (c) menunjukkan hubungan antara NO3 dan NH4
dengan fitoplankton. Terdapat perbedaan pola antara NO3 dan NH4 dengan
fitoplankton dimana pola variasi temporal fitoplankton cenderung mengikuti pola
NH4. Hal ini berkaitan dengan kesukaan fitoplankton terhadap jenis nutrien. Nitrit
memiliki tingkat oksidasi yang lebih rendah daripada nitrat, maka proses perubahan menjadi bentuk organik membutuhkan energi yang lebih sedikit, bahkan untuk amonium dan urea energi yang diperlukan lebih sedikit lagi dibandingkan nitrit. Karena itu amonium dan urea terlarut dimanfaatkan terlebih dahulu dibandingkan nitrit dan nitrat dalam mekanisme pemanfaatan DIN oleh
fitoplankton. Secara umum peningkatan nutrien baik NO3 dan NH4 dikuti oleh
bertanggung jawab pada laju produksi baru, sedangkan amonia dan urea bertanggung jawab untuk menyediakan bahan produksi regenerasi sehingga urutan preferensi penyerapan oleh fitoplankton berdasarkan tingkat kebutuhan energinya dari yang terrendah adalah amonia, urea, nitrit, dan nitrat.
Gambar 22 Hubungan antara nutrien dan fitoplankton. Gambar 22(e) menunjukan adanya hubungan antara pertumbuhan
fitoplankton dengan PO4, dimana terlihat bahwa walaupun porsi ketersediaan
unsur P diperairan relatif kecil tetapi pola hubungan yang terbentuk menunjukan adanya keterkaitan antara pertumbuhan fitoplankton dan fosfor. Spesies
fitoplankton seperti diatom akan megkonsumsi unsur P lebih banyak
dibandingkan dengan unsur N, sehingga dapat dikatakan bahwa terjadi dominasi spesies tertentu di perairan. Pola ini juga menggambarkan adanya pembatasan unsur N oleh unsur P sehingga terjadi adanya penurunan rasio N:P. Penurunan
(a) (b) (c) (d) (f) (e)
rasio N:P ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan fitoplankton dibatasi oleh peningkatan unsur P di perairan. Hubungan antara nutrien dan fitoplankton
menunjukan adanya korelasi yang cukup erat (Gambar 21b, d, dan f) dengan nilai
korelasi 0.8438 dan 0.9612 (NO3 dan NH4), 0.7987 (PO4).
Lima komponen utama yang berpengaruh terhadap fluks karbon telah diekstraksi dari model antara lain : (1) produktivitas primer kotor, (2) pemangsaan fitoplankton oleh zooplankton, (3) pemangsaan POC oleh zooplankton, (4) kontribusi dari ekskresi dan mortalitas fitoplankton terhadap POC, dan (5) kontribusi engesti dan mortalitas zooplankton terhadap POC. Fluks dihitung secara harian sebagai nilai volumetrik terintregrasi dari lapisan ELCOM dan kemudian dirata-rata secara bulanan.
Gambar 23 Fluks karbon (mgC/L/hari) untuk total produksi (Total Prod), Pemangsaan fitoplankton (Phy2Zoop) dan pemangsaan POC oleh zooplankton (POC2Zoop), engesti dan mortalitas fitoplankton (Phy2POC) dan ekskresi dan mortalitas zooplankton (Zoop2POC). Dalam Gambar 23 produktivitas primer diekspresikan sebagai fluks positif dan mewakili sumber dari karbon, sementara fluks yang lain diekspresikan sebagai negatif mewakili siklus internal karbon (tidak dianggap sebagai sink). Selama periode simulasi grazing fitoplankton oleh zooplankton diwakili 51 – 76% (rata-rata 65%) dari karbon yang diasimilasi bulanan dalam produktivitas primer, sementara pemangsaan POC oleh zooplankton rata-rata: 4%. Fluks karbon yang
-0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0 0.1 0.2 0.3 0.4
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus
m gC /L/h ar i Bulan Zoop2POC Phy2POC POC2Zoop Phy2Zoop Total Prod
diasimilasi dari fitoplankton dan zooplankton pada total POC berturut turut berkisar antara 14 sampai 37% (rata-rata 22%) dan dari 6 sampai 12% (rata-rata 9%) dari karbon yang diasimilasi dari produktivitas primer.
Fluktuasi dinamika karbon hasil simulai menunjukkan adanya variasi, dimana pada bulan Januari hingga Maret terjadi penurunan total produksi yang kemungkinan disebabkan tingkat radiasi yang rendah serta peningkatan tekanan pemangsaan oleh zooplankton. peningkatan terjadi pada bulan April - Juni yang berkaitan dengan peningkatan tingkat radiasi matahari, sehingga akan memicu peningkatan fotosintesis dan pengambilan karbon dari perairan. Penurunan total produksi terjadi kembali pada bulan Juli yang disebabkan adanya peningkatan tekanan pemangsaan oleh zooplankton.
Gambar 24 menjelaskan bahwa dari total karbon yang di-uptake oleh fitoplankton 2.2% ditransfer ke bentuk karbon organik terlarut melalui respirasi dan 8.7% ditransfer sebagai karbon organik partikulat ketika fitoplankton mengalami mortalitas. Total produksi primer dari karbon yang diasimilasi oleh fitoplankton melalui proses fotosintesis 72.6% ditransfer ke produksi sekuder melalui pemangsaan oleh zooplankton, dan sekitar 16.5% kemungkinan ditransfer melalui pemangsaan mikrozooplankton (mikroflagelata) atau organisme bentik
filter feeder yang lain. Hasil produksi sekunder pada zooplankton 31.3% kemabli
sebagai karbon partikulat pada saat zooplankton mengalami mortalitas, sedangkan 7.5% langsung tenggelam ke sedimen dalam bentuk faecal pellet, sisanya 61, 2% diduga ditransfer ke tingkat trofik yang lebih tinggi. Karbon partikulat yang berasal dari mortalitas fitoplankton, mortalitas zooplankton dan fluks dari sedimen 82.8% didekomposisi menjadi bentuk terlarut dan hanya 4.9% yang dimangsa kembali oleh zooplankton. Perbedaan pemangsaan zooplankton terhadap fitoplankton dan karbon organik partikulat adalah komponen karbon organik partikulat di dalamnya tidak termasuk fitoplankton, tetapi komponen yang lain seperti mikrozooplankton atau zooplankton lain, sehingga bisa disimpulkan zooplankton yang memangsa karbon organik partikulat didefinisikan sebagai zooplankton predator atau karnivora. Karbon organik partikulat yang kemudian didekomposisi menjadi bentuk terlarut kemudian mengalami mineralisasi menjadi bentuk anorganik dalam kisaran 95.5% dati keseluruhan karbon organik terlarut.
96
Gambar 24 Neraca fluks karbon (mgC/L/hari) di Teluk Lampung. Skema siklus nutrien diadaptasi dari Hipsey et al. (2009).
Empat fluks utama nitrogen dan fosfor dari nutrien terlarut telah diekstraksi dari model untuk memperoleh kontribusi dari zooplankton terhadap siklus nutrien. Fluks yang ditunjukkan dalam Gambar 25 dan 27 termasuk diantaranya adalah: (1) pengambilan oleh fitoplankton; (2) mortalitas fitoplankton; (3) ekskresi oleh zooplankton; (4) pertukaran sedimen dan air; dan (5) Perubahan karena pengaruh hidrodinamika (pertukaran antara kolom air dan atmosfer). Fluks digambarkan sebagai perubahan massa nutrien per hari dengan mempertimbangkan ke seluruh area. Fluks negatif (sink) diwakili oleh kehilangan nutrien terlarut dari kolom air (seperti uptake oleh fitoplankton) dan fluks positif (source) diwakili ekskresi zooplankton.
Gambar 25 Fluks Nitrogen (mgN/L/hari) untuk total uptake fitoplankton (PhyUp), Fluks sedimen (SedFlux), mortalitas fitoplankton
(PhyMor), mortalitas dan ekskresi zooplankton (ZoopEX) dan total perubahan karena faktor hidrodinamika (HydroFlux).
Pola siklus nutrien eksternal dan internal untuk fluks nitrogen dari hasil simulasi secara umum menunjukkan pengaruh perubahan musiman. Kontribusi remineralisasi material partikulat dari mortalitas fitoplankton memberi kontribusi terendah dari total sumber (source) nitrogen dengan kisaran 2.93 – 14.76% (Gambar 25). Fluks nitrogen dari hasil perubahan faktor hidrodinamika memiliki kisaran nilai yang berbanding terbalik dengan nilai fluks sedimen terhadap keseluruhan fluks nitrogen dalam kolom air. Kontribusi dari perubahan faktor hidrodinamika memiliki nilai maksimum pada bulan Januari (69.59%) dan nilai minimum pada bulan Agustus (15.51%), sebaliknya fluks nitrogen dari pertukaran
-0.08 -0.06 -0.04 -0.02 0 0.02 0.04 0.06 0.08
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus
m gN /L/h ar i Bulan HydroFlux SedRes ZoopEx PhyMor PhyUp
sedimen dan kolom air memiliki nilai maksimum pada bulan Agustus (54.27%) dan nilai minimum pada bulan Januari (20.37%). Zooplankton berperan dalam menyumbang fluks nitrogen di kolom air dari hasil ekskresinya dalam kisaran 7.1 – 30.34% terhadap total sumber nitrogen di kolom air.
Pola dinamika nitrogen menunjukan adanya kemiripan dengan pola
dinamika karbon, hal ini disebabkan laju pengambilan nitrogen oleh fitoplankton akan mengikuti pola intensitas fotosintesis yang sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan cahaya. Intensitas cahaya akan berubah seiring dengan perubahan musim, dimana pada bulan Januari-April cenderung lebih rendah dibandingkan bulan Mei-Agustus. Eksresi N oleh zooplankton mengikuti pola pemangsaan terhadap fitoplankton.
Neraca aliran nitrogen di Teluk Lampung hasil simulasi disajikan pada Gambar 26, dengan asumsi nilai perubahan antar kompartemen yang berbeda tidak mempertimbangkan volume domain model karena adanya perbedaan nilai
antara lapisan kedalaman yang berbeda. Total NH4 dalam bentuk anorganik yang
di-uptake oleh fitoplankton berada dalam kisaran 30 kali dari konsentrasi NO3
anorganik, hal ini menunjukkan bahwa fitoplankton cenderung menkonsumsi NH4
yang memiliki tingkat kebutuhan energi yang rendah untuk mengasimilasinya
dibanding NO3. Mortalitas fitoplankton memberikan sumbangan 8.08% terhadap
nitrogen organik terlarut jika dibandingkan dengan total uptake nitrogen,
sedangkan mortalitas zooplankton menyumbang 7.40% terhadap nitrogen organik terlarut melalui eksresinya dan 32.03% terhadap nitrogen organik partikulat ketika mengalami mortalitas.
NH4 yang dinitrifikasi menjadi NO3 berada dalama kisaran 53,6% jika
dibandingkan dengan mineralisasi NH4 dari nitrogen organik terlarut diduga
sebagai faktor yang mempercepat penurunan kadar oksigen terlarut diperairan, sedangkan proses mineralisasi memerlukan 96.64% nitrogen organik terlarut dari
total hasil dekompisisi nutrien organik partikulat. Walaupun laju uptake NH4 lebih
tinggi dari NO3 dan lebih dari setengahnya dinitrifikasi tetapi sumber asupan NH4
tetap tinggi bahkan meningkat terus yang diduga berasal dari asupan dari daratan yang telah mengalami mineralisasi telebih dahulu sebelum mencapai laut atau berasal dari limbah pertanian sisa pemakaian pupuk anorganik.
99
Hasil Gambar 27 menunjukkan bahwa kontribusi yang terhadap fluks fosfor melalui proses remineralisasi dan daur ulang ekskresi zooplankton (kisaran 7.08 – 38.48%, rata-rata 20.52%). Proses remineralisasi partikel tersuspensi dari sisa mortalitas fitoplankton memiliki kontribusi minimum pada bulan Januari (5.63%) dan maksimum 26.08% pada bulan Mei. Kontribusi pertukaran sedimen dan kolom air rata-rata 21.42% yang lebih rendah dibandingkan kontribusi faktor hidrodinamika yang memiliki kisaran antara 11.33 - 72.75%, dengan nilai maksimum pada bulan Januari.
Gambar 27 Fluks Fosfor (PO4) (mgP/L/hari) untuk total uptake fitoplankton (PhyUp), Fluks sedimen (SedFlux), mortalitas fitoplankton (PhyMor), mortalitas dan ekskresi zooplankton (ZoopEX) dan total perubahan karena faktor hidrodinamika (HydroFlux)
Rasio N:P pada penelitian ini dari rata-rata simulasi diperoleh 13.93 dan rasio N:P pada ekskresi zooplankton adalah 26.21. Hal ini menunjukan bahwa di perairan Teluk Lampung terjadi pembatasan unsur N pada fitoplankton atau terjadi peningkatan unsur P dan penurunan unsur N di perairan, sehingga pertumbuhan fitoplankton kemungkinan sangat kuat dibatasi oleh unsur P.
Hasil studi Urabe et al. (1995) menemukan bahwa rata-rata fraksi nitrogen yang diregenerasikan oleh zooplankton selama proses stratifikasi adalah 50% dari total produktivitas primer, dan 15% untuk fosfor, perbandingan yang rendah dari kontribusi zooplankton dikarenakan pembatasan oleh fosfor. Hasil studi yang lain yang dilakukan oleh Damar (2003) juga menunjukan adanya rasio yang rendah
-0.003 -0.002 -0.001 0 0.001 0.002 0.003
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus
m gP/L/h ar i Bulan HydroFlux SedRes ZoopEx PhyMor PhyUp
antara DIN dan P yang mengindikasikan adanya pembatasan N terhadap pertumbuhan fitoplankton. Alasan utama nilai ekskresi diekspresikan sebagai persentasi dari uptake fitoplankton adalah karena tidak ada perbedaan yang besar antara kenyataan bahwa percampuran N yang diregenerasikan tidak memberikan perbandingan kontribusi yang lebih besar terhadap ketersediaan nitrogen di perairan. Sebagai kesimpulan bahwa pengaruh grazing dan ekskresi zooplankton tidak terlihat secara signifikan mengubah keseimbangan elemen nutrien di perairan.
Gambar 28 merupakan ringkasan neraca harian fosfor hasil simulasi model yang terjadi di Teluk Lampung. Fosfor yang dikembalikan ke kolom air dari hasil mortalitas fitoplankton berada dalam kisaran 5.69% jika dibandingkan fosfor yang di uptake, sedangkan perubahan dari mortalitas fitoplankton ke fosfor organik partikulat sebesar 27.69% serta jumlah fosfor yang diasimilasi zooplankton dari proses pemangsaan sebesar 52.30%. Mortalitas dan eksresi zooplankton
menyumbang 38.46% fosfor dalam bentuk organik partikulat jika dibandingkan dengan total fosfor yang diuptake fitoplankton.
Proses adsorpsi desorpsi dari fosfor anorganik terlarut menjadi fosfor terfilter yang mudah diserap oleh fitoplankton sebanyak 94.71% dari hasil mineralisasi fosfor organik partikulat yang 87.14% merupakan dekomposisi dari fosfor organik partikulat menjadi terlarut. Jika dibandingkan dengan dekomposisi fosfor organik partikulat maka proses adsorpsi desorpsi fosfor reaktif sebesar 82.52%, hal ini menunjukan bahwa sebagian besar fosfor yang digunakan oleh fitoplankton merupakan forfor hasil regenerasi. Kontribusi fluks hidrodinamik yang membawa asupan fosfor dari daratan dengan konsentrasi yang tinggi lebih banyak menyumbang pada fosfor organik baik terlarut atau partikulat.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa neraca aliran nutrien (C, N dan P) lebih besar peran fluks hidrodinamik dalam bentuk terlarut maupun partikulat dibandingkan peran zooplankton melalui ekskresi maupun mortalitasnya, tetapi sumbangan terbesar nutrien yang dimanfaatkan oleh fitoplankton adalah nutrien regenerasi yang berasal dari ekskresi dan mortalitas fitoplankton maupun zooplankton.
102
Gambar 28 Neraca fluks fosfor (mgP/L/hari) di Teluk Lampung. Skema siklus nutrien diadaptasi dari Hipsey et al. (2009).
Kontribusi asupan nutrien dari daratan yang dibawa aliran Sungai Way Kahuripan, Way Lunik dan Way Ratai ke Teluk Lampung menunjukkan bahwa kontribusi terbesar berasal dari sungai Way Lunik, hal ini disebabkan selain faktor debit sungai yang lebih besar juga dsebabkan konsentrasi nutrien dari sungai juga cenderung lebih besar, karena selain melintasi daerah padat penduduk juga
melewati daerah kawasan industri. Sungai Way Ratai memiliki kontribusi terkecil terhadap asupan nutrien ke teluk yang disebabkan faktor debit sungai yang relatif kecil, juga konsentrasi nutrien yang kecil yang lebih banyak didominasi dari hasil limbah pertanian. Konsentrasi nutrien yang tinggi terutama di bagian kepala teluk tidak hanya bersumber dari sungai saja, keberadaan pelabuhan, kawasan industri, daerah pertanian, tambak udang yang tersebar sepanjang garis pantai juga
memiliki kontribusi terhadap dinamika nutrien di Teluk Lampung. Nilai asupan nutrien dari daratan disajikan pada Tabel 14.
Table 14. Nilai asupan nutrien dari daratan
Bulan Total Asupan Nutrien (Ton/Bulan)
NO3 NH4 PO4
Sungai Way Kahuripan
Januari 94.09 52.90 23.34 Februari 89.52 48.91 22.89 April 101.22 55.86 31.96 Mei 86.64 48.51 29.84 Juli 91.39 48.21 28.71 Agustus 93.77 56.73 26.51 Rata-Rata 92.77 51.85 27.21
Sungai Way Lunik
Januari 121.71 65.14 27.68 Februari 111.72 60.02 26.21 April 102.91 50.08 30.47 Mei 105.30 51.81 30.51 Juli 98.33 49.66 29.17 Agustus 105.69 59.81 27.47 Rata-Rata 107.61 56.09 28.59
Sungai Way Ratai
Januari 44.25 32.31 12.79 Februari 44.62 28.01 13.28 April 40.56 28.02 15.78 Mei 29.64 19.17 11.62 Juli 21.75 16.09 9.69 Agustus 22.16 17.36 8.35 Rata-Rata 33.83 23.49 11.92
Asupan nutrien yang masuk ke teluk melalui ketiga sungai menunjukkan
bahwa NH4 dan NO3 merupakan nutrien yang paling penting yang dihasilkan dari
limbah perkotaan. Sumber NH4 diduga berasal dari emisi limbah domestik yang
terbawa aliran sungai. Limbah domestik ini mengandung banyak bahan organik yang dekomposisinya akan menghasilkan pengurangan oksigen terlarut terutama jika terjadi pada musim kemarau. Permukiman penduduk yang berada di bantaran
sungai juga berkontribusi terhadap sumber limbah domestik. Sebaliknya NO3
lebih banyak bersumber dari limbah pertanian. Jika dibandingkan ketiga jenis
nutrien yang masuk ke teluk maka PO4 memiliki nilai terrendah, hal ini berkaitan
dengan sumber PO4 yang terbatas dari limbah rumah tangga terutama deterjen dan
limbah pertanian. 4.3.3 Dinamika Trofik
Total massa karbon hasil simulasi model umumnya dibandingkan dengan baik dengan data lapangan walaupun total biomassa simulasi model lebih rendah dari data lapangan (Gambar 29(a) dan (b)). Hal ini terutama terjadi karena data observasi POC diestimasi dengan mengkonversi TSS ke TOC dan dikurangi dengan data fitoplankton, sedangkan data observasi yang didalamnya termasuk komponen refraktori tidak termasuk dalam data hasil model.
(a)
(b) Gambar 29 Biomassa karbon data observasi (a), data simulasi (b) yang
digambarkan sebagai rata-rata bulanan untuk material detritus, fitoplankton, dan zooplankaton (catatan skala aksis vertikal berbeda).
Hasil observasi dan simulasi menunjukkan bahwa dari total massa karbon yang ada di perairan 50% diasimilasi menjadi produksi primer oleh fitoplankton, selanjutnya dari total karbon yang diasimilasi dalam bentuk produktivitas primer oleh fitoplankton 30% karbon atau energi ditransfer melalui pemangsaan
zooplankton ke produktivitas sekunder. Perbedaan jumlah karbon yang diasimilasi dari perairan oleh fitoplankton dan jumlah karbon yang diasimilasi oleh zooplankton disebabkan karena adanya perbedaan antara siklus C dan N yang memberikan kemungkinan bahwa permulaan pembatasaan N pada pertumbuhan fitoplankton berpengaruh pada rasio C:N partikel tersuspensi dimana pertambahan rasio C:N pada fitoplankton akan berhubungan dengan pertambahan komposisi rasio C:N pada zooplankton.
Hasil penelitian lain diperoleh bahwa transfer produktivitas primer ke produktivitas sekunder melalui zooplankton berkisar antara > 20% (Small et al., 1989), 50% (Laws et al., 2000; Bruce et al., 2006), sementara Scavia et al. (1988) mengestimasi transfer melalui zooplankton sekitar 62%. Walaupun terdapat ketidak pastian dalam perkiraan jumlah persentase produktivitas primer yang ditransfer ke produktivitas sekunder berkaitan dengan adanya perbedaan tipe perairan dan metode analisisnya. Transfer produktivitas primer ke tingkat trofik yang lebih tinggi sangat penting dalam memahami dinamika trofik sehingga akan dengan jelas dan terpercaya untuk mengkuantifikasi peran dari produktivitas sekundernya. Copping and Lorenzen (1980) menambahkan bahwa rata-rata hubungan karbon yang masuk ke dalam tubuh Copepoda adalah 45% dari karbon yang tersedia di fitoplankton, selebihnya akan dilepas sebagai karbon organik terlarut 27%, karbon anorganik terlarut 24% dan hilang dalam bentuk fecal pellet 3-4%.
Secara umum antara hasil simulasi model dan hasil observasi dari Gambar 29(a) dan (b) menunjukan pola yang sama, yaitu terjadi adanya penurunan jumlah total karbon yang diasimilasi ke dalam produktivitas primer oleh fitoplankton dari bulan Januari hingga bulan Maret kemudian meningkat lagi pada bulan April hingga Juni. Penurunan kembali terjadi pada bulan Juli dan meningkat lagi pada Bulan Agustus. Hal yang sama terjadi pada perubahan total karbon yang
pada bulan Agustus dimana masih menunjukan kecenderungan menurun.
Perubahan pola ini diduga berkaitan dengan perubahan musiman, dimana terjadi adanya tingkat intensitas cahaya yang rendah pada bulan Januari hingga Maret dan mulai terjadi peningkatan intensitas cahaya pada bulan April.
Pertumbuhan zooplankton mengikuti pertumbuhan fitoplankton walaupun tidak mengikuti pola total organik karbon (Gambar 30). Ketersediaan karbon yang tinggi akan memacu pertumbuhan fitoplankton seiring dengan peningkatan
intensitas cahaya untuk fotosintesis. Pertumbuhan fitoplankton ini akan menurun seiring dengan pertambahan populasi zooplankton.
Gambar 30 Hubungan tingkat radiasi matahari, total organik karbon (a) dan biomassa fitoplankton (b) biomassa fitoplankton dan zooplankton (c).
Striebel (2008) menjelaskan bahwa fitoplankton yang mendukung
pertumbuhan zooplankton adalah fitoplankton yang memiliki kualitas yang baik yang tergantung dari edibilitas dan komponen kimianya. Edibilitas merupakan fungsi dari ingestibilitas (ukuran dan bentuk), dan digestibilitas (efisiensi
0 50 100 150 200 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 01/01/07 02/10/07 03/22/07 05/01/07 06/10/07 07/20/07 08/29/07 R ad ias i M at ah ar i W /m 2 To tal O rg an ik Kar bo n m gC /L Waktu (hari)
Radiasi Matahari Total Organik Karbon
(a) 0 50 100 150 200 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 01/01/07 02/10/07 03/22/07 05/01/07 06/10/07 07/20/07 08/29/07 R ad ias i M at ah ar i W/ m 2 B io m as a Fi to pl an kt o n m gC /L Waktu (Hari)
Radiasi Matahari Fitoplankton
(b 0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0 0.1 0.2 0.3 0.4 01/01/07 02/10/07 03/22/07 05/01/07 06/10/07 07/20/07 08/29/07 B io m as sa Z o o pl an kt o n m gC /L B io m as sa Fi to pl an kt o n m gC /L Waktu (hari) Fitoplankton Zooplankton (c
asimilasi). Ketika terjadi peningkatan intensitas cahaya akan meningkatkan
produktivitas primer dari fitoplankton yang diikuti dengan laju pengambilan unsur C yang tinggi sehingga akan meningkatkan biomassa. Ketika konsentrasi unsur N dan P rendah maka peningkatan intensitas cahaya akan menyebabkan rasio C:N atau C:P dalam fitoplankton akan tinggi. Pada rasio C:N dan C:P yang tinggi maka unsur C akan diletakkan dalam struktur sel dalam bentuk selulosa yang tidak dapat diasimilasi dengan efisiensi tinggi.
Khusus pada bulan Agustus walaupun total karbon yang diasimilasi oleh fitoplankton meningkat tetapi yang diasimilasi oleh zooplankton menurun diduga karena laju ingesti nutrien oleh zooplankton menurun karena telah mencapai kejenuhan, selain itu intensitas cahaya yang tinggi pada bulan tersebut mengakibatkan rasio C:N:P pada fitoplankton akan tinggi. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa peningkatan intensitas cahaya akan meningkatkan produksi biomassa fitoplankton tetapi mungkin dapat mengurangi pertumbuhan
zooplankton karena peningkatan kuantitas makanan akan menurunkan kandungan nutrien dari makanan tersebut. Ketidaksamaan rasio unsur C pada biomassa fitoplankton dan zooplankton karena pengaruh efisiensi transfer energi yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan zooplankton lebih dibatasi oleh kandungan nutrien dibandingkan dengan kandungan karbon dalam fitoplankton.