• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKTIVITAS ANTI Vibrio parahaemolyticus MANGROVE, Rhizophora mucronata DARI DAERAH BERBEDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AKTIVITAS ANTI Vibrio parahaemolyticus MANGROVE, Rhizophora mucronata DARI DAERAH BERBEDA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS ANTI Vibrio parahaemolyticus MANGROVE, Rhizophora mucronata

DARI DAERAH BERBEDA

Endang Susianingsih, Nurhidayah, dan Bunga Rante Tampangallo Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau JL. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan

E-mail: susianingsihendang@gmail.com

ABSTRAK

Spesies Vibrio merupakan agen penyebab terjadinya penyakit vibriosis pada budidaya udang sehingga diperlukan upaya untuk mengantisipasi serangan penyakit tersebut. Salah satu alternatif pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan bahan antibakteri alalami yang bersifat ramah lingkungan, efektif dalam menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri serta mudah terurai dalam air. Pemanfaatan penggunaan mangrove saat ini telah banyak digunakan sebagai obat-obatan alami. Selain karena jumlahnya yang berlimpah, beberapa jenis mangrove telah dimanfaatkan secara tradisional sebagai bahan insektisida dan pestisida alami. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas anti V. parahaemolyticus mangrove Rhizophora mucronata yang berasal dari daerah yang berbeda. Penelitian dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros dari Februari hingga Mei 2013. Penelitian terdiri atas beberapa tahapan meliputi; 1) pengadaan tanaman; 2) pengeringan tanaman; 3) pembuatan simplisia; 4) ekstraksi herbal; 5) uji bioassay secara kualitatif; dan 6) uji Minimum Inhibition Concentration (MIC). Hasil uji bioassay secara kualitatif menunjukkan bahwa semua bagian tanaman diuji dari mangrove R. mucronata yang diambil dari Kabupaten Bone, Maros, dan Pangkep menunjukkan adanya aktivitas anti V parahaemolyticus. Hasil uji Minimun Inhibition Concentration (MIC) menunjukkan bahwa nilai MIC dari setiap bagian tanaman terhadap V. parahaemolyticus dari semua daerah asal adalah 0,1 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa Rhizophora mucronata memiliki aktivitas anti V. parahaemolyticus yang sangat tinggi sehingga sangat potensial dijadikan sebagai sumber anti V. parahaemolyticus untuk penanggulangan penyakit vibriosis pada udang.

KATA KUNCI: mangrove, Rhizophora mucronata, anti V. parahaemolyticus, penyakit, udang windu

PENDAHULUAN

Penyakit pada dasarnya terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan dari interaksi antara inang, lingkungan yang tidak menguntungkan serta berkembangnya patogen penyebab penyakit tersebut. Penyakit pada budidaya udang dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri atau jamur. Beberapa bakteri yang sering menimbulkan penyakit pada budidaya udang adalah Aeromonas sp., Vibrio sp.,

Pseudomonas sp., dan Mycobacteriumsp.

Bakteri vibrio adalah salah satu penyebab penyakit yang cukup banyak menyerang hewan budidaya seperti udang windu (Karunasagar et al., 1994), beberapa species ikan dan kekerangan (Austin, 2006) bahkan juga karang (Ben-Haim et al., 2003). Beberapa spesies Vibrio berpendar seperti Vibrio cholerae (biotype albensis), V. fischeri, V. harveyi, V. logei, V. splendidus, V. mediterranei (Farmer & Hickman-Brenner, 1992), V. orientalis (Yang et al., 1983), sudah dikenal dan sangat populer sebagai penyebab penyakit vibriosis pada udang penaeid. Infeksi Vibrio harveyi berpendar telah dilaporkan sebagai penyebab kematian dalam pembenihan udang di berbagai belahan dunia. Vibriosis biasanya menyerang saat bulan pertama dalam pertambakan dan menyebabkan kematian 50%. Menurut Saulnier

et al. (2000) bakteri vibrio dapat berperan sebagai bakteri oportunistik dan sebagai patogen murni

namun dapat juga diisolasi dari udang yang sehat.

Upaya penanggulangan terhadap serangan penyakit bakteri tersebut selama ini banyak dilakukan dengan menggunakan obat-obatan dan antibiotik. Akan tetapi penggunaan obat-obatan dan antibiotik secara terus-menerus dengan jumlah dan dosis yang kurang tepat akan menimbulkan permasalahan baru dan efek samping baik terhadap organisme patogen itu sendiri, ikan budidaya maupun terhadap lingkungan. Pemberian antibiotik yang dilakukan secara terus-menerus dapat menyebabkan organisme

(2)

patogen menjadi resisten dan lebih berbahaya. Selain itu, residu yang dihasilkan dari antibiotik tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas air (Nanin, 2011).

Alternatif pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengatasi serangan bakteri tersebut adalah dengan penggunaan bahan antibakterial alami yang ramah lingkungan, efektif dalam menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri serta mudah terurai dalam air. Salah satu bahan aktif antibakteri yang dapat digunakan adalah dari tanaman mangrove. Selain karena kelimpahan jumlahnya, mangrove sejak lama telah banyak dimanfaatkan sebagai obat-obatan alamiah. Beberapa jenis mangrove secara tradisional telah digunakan sebagai bahan insektisida dan pestisida alami (Hery, 2004). Feliatra (2000), melaporkan bahwa beberapa jenis mangrove memiliki sifat anti mikroba khususnya terhadap bakteri Vibrio sp.

Rhizophora sp. Merupakan salah satu jenis tanaman mangrove, yaitu kelompok tanaman tropis

yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam dan memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Ada 3 jenis Rhizophora sp. yaitu R. Mucronata,

R. Apiculata dan R. Stylosa.

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian mengenai potensi antibakteri yang dimiliki tanaman mangrove khususnya dari jenis R. Mucronata terhadap bakteri Vibrio parahaemolyticus perlu dilakukan dengan menggunakan uji-uji secara bioassay. Perbedaan lokasi daerah pengambilan mangrove dimaksudkan untuk mengetahui potensi tanaman mangrove sebagai antibakteri di masing-masing daerah tersebut sehingga diharapkan dapat digunakan secara efektif dengan lokasi sumber bahan baku yang memadai

METODE PENELITIAN

Pengambilan Mangrove, Rhizophoramucronata

Tanaman mangrove, R. mucronata diambil dari daerah pertambakan di Sulawesi Selatan yaitu: Kabupaten Bone, Maros, dan Pangkep. Bagian tanaman yang diambil meliputi daun, bunga, buah, kelopak buah, kulit batang, dan akar. Bagian-bagian tanaman diambil menggunakan gunting tanaman, parang, dan kampak (Gambar 1). Tanaman dimasukkan dalam kantong plastik hitam dan dibawa ke Laboratorium Kesehatan ikan dan Lingkungan BPPBAP untuk proses selanjutnya.

Preparasibahan Herbal

Tanaman yang sudah dikumpulkan dibersihkan dan di pisahkan berdasarkan bagian-bagiannya, seperti, daun, bunga, buah, kelopak buah, kulit batang, dan akar. Bagian tanaman seperti daun, kulit batang, buah terlebih dahulu diris kecil-kecil (Gambar2) sebelum dikeringkan, hal ini untuk mepercepat proses pengeringan.

A

B

Gambar 1. Tanaman Rhizophoramucronata (A) dan pengambilan kulit batang mangrove dengan kapak (B)

(3)

Pengeringan Bahan Herbal

Bagian tanaman yang telah dipisahkan diletakkan pada baki palstik dan diberi kode (nomor secara berurut). Selanjutnya dikering-anginkan selama 2 minggu atau hingga kering tergantung jenis sampelnya. Biasanya bagian daun lebih cepat kering dibanding bagian lainnya, seperti buah, dankulit batang.

Pembuatan Simplisia

Setelah bahan herbal kering selanjuntnya dihaluskan menggunakan blender, dan diayak menggunakan ayakan/saringan santan selanjutnya dimasukkan dalam kantong plastik klip. Selanjutnya diberi label atau kode seusai nomor urut tanaman pada saat pertama dikoleksi.

Ekstraksi Bahan Herbal

Simplisia yang sudah tersedia ditimbang sebanyak 5 g, dimasukkan dalam gelas Erlenmeyer atau botol duran. Selanjutnya diberi larutan methanol 80% dan diaduk dengan batang pengaduk sehingga seluruh permukaan simplisia terendam. Rendaman tersebut ditutup dengan aluminium foil dan didiamkan selama 24 jam, selanjutnya disaring dengan kain saringan sehingga semua ampasnya tertahan dan yang lolos hanya cairan metanol yang sudah membawa bahan-bahan yang terlarut. Perendaman dilakukan selama selama 3 kali 24 jam dan setiap 24 jam dilakukan penyaringan atau tergantung tingkat kekeruhan rendaman, jika rendaman sudah terlihat jernih maka perendaman dihentikan. Hal ini dimaksudkan untuk memaksimalkan penarikan bahan-bahan aktif tanaman oleh metanol. Hasil penyaringan tersebut kemudian ditampung dalam botol sampel atau botol duran.

Pengkisatan

Hasil ekstraksi herbal mangrove, R. mucronata dalam larutan metanol selanjutnya dikisatkan dengan menggunakan Rotatory evaporator. Larutan metanol diuapkan hingga tersisa bahan padatan dari biaoktif yang terkandung dalam tanaman. Jika pada saat dikeluarkan dari labu evaporator, masih tersisa larutan metanol (belum terlalu kering) maka penguapan dilanjutkan secara manual yaitu dengan cara botol yang berisi bahan aktif dengan ditutup dengan tissu, sehingga masih ada rongga udara dan metanol dapat menguap secara otomatis. Hal ini dilakukan hingga hasil pengkisatan benar-benar kering dan tidak ada lagi larutan metanol.

Uji bioassay terhadapV. parahaemolyticus

- Uji Bioassay denganmetodemikrowellplate

Aktivitas antibakteri dari ekstrak metanol tanaman mangrove, R. mucronata dilakukan dengan teknik “High Throughput Screening” (Mishra et al., 2008; Karuppusamy & Rajasekaran, 2009). Ekstrak metanol dari herbal mangrove, R mucronata ditimbang sebanyak 10 mg, selanjutnya dilarutkan dalam DMSO 10%. Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode microwell plate assay yaitu dengan

Gambar 2. Pengirisan buah mangrove, R. mucronata sebelum dikeringkan

(4)

menggunakan mikroplate 96 well. (Kasanah & Isnansetyo, 2013). Metode microwell plate assay dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: (1) Masukkan media tumbuh bakteri, Triptyc Soy Broth (TSB) steril sebanyak 40 µL pada setiap lubang microplate well yang akan digunakan, (2) tambahkan ekstrak mangrove 40 µL (setara 10 mg/mL) kecuali untuk kontrol media dan kontrol antibiotik, (3) tambahkan 20 µL bakteri Aeromonas sp. (sebagai bioindikator) kecuali pada kontrol media dan kontrol antibiotik, (4) inkubasi semalam, (5) amati perubahan warna yang terjadi, jika terjadi perubahan warna menjadi ungu menandakan pada ekstrak mangrove tersebut tidak memiliki aktivitas antibakteri sedang sebaliknya jika tidak terjadi perubahan warna maka ekstrak mangrove tersebut memiliki aktivitas antibakteri.

Uji Minimum Inhibition Concentration (MIC)

Bagian tanaman yang memiliki aktivitas antibakteri V. parahaemolyticus berdasarkan uji bioassay dilanjutkan dengan uji MIC menggunakan metode microwell plate assay yaitu dengan menggunakan mikroplate 96 well (Kasanah & Isnansetyo, 2013).

HASIL DAN BAHASAN

Hasil uji bioassay secara kualitatif untuk mengetahui aktivitas antibakteri yang dimiliki mangrove

R. Mucronata terhadap V. Parahaemolyticus dilakukan dengan teknik “High Throughput Screening”

menggunakan mikroplate 96 well. Hasil uji yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.

Pada Tabel 1 terlihat bahwa dari hasil uji sediaan simplisia dari bagian daun, bunga, buah, kelopak buah, kulit batang dan akar tanaman mangrove R. Mucronata yang dikoleksi dari Maros, Pangkep dan Bone menunjukkan adanya aktivitas antibakteri yang dimiliki oleh tanaman mangrove tersebut terhadap pertumbuhan bakteri V. parahaemolitycus. Aktivitas tersebut ditandai dengan tidak adanya (tidak terjadinya) perubahan warna pada kultur hasil sampel (hasil sediaan simplisia ditambah bakteri

V. parahaemolyticus) yang ditanam pada microplate well setelah diinkubasi semalam pada suhu ruangan

dengan menggunakan indikator pertumbuhan mikroba -3(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide (MTT). Hasil ini mengindikasikan bahwa semua bagian tanaman dari mangrove R. Mucronata baik yang dikoleksi dari Maros, Pangkep maupun Bone memiliki antibakteri yang positive terhadap V. parahaemolyticus. Hasil yang demikian sesuaidengan yang diperoleh Suciati (2012), yang melakukan uji in vitro untuk menentukan jenis sampel ekstrak daun mangrove yang paling efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri A.salmonicida dan V. harveyi, dimana bahan aktif dari daun mangrove R. mucronata memiliki aktivitas penghambatan terhadap V. harveyi tetapi tidak terhadap A. Salmonicide.Kemampuan ekstrak mangrove sebagai bahan antibakteri terhadap bakteri V. parahaemolyticus pada media lumpur dan air laut juga dilaporkan oleh Yasmon (2000).

Untuk mengetahui konsentrasi minimum yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri maka uji bioassay ini dilanjutkan dengan uji MIC dengan metode microplate well assay menggunakan mikroplate 96 well menurut Khasanah & Isnansetyo (2013). Hasil uji MIC dapat dilihat pada Tabel 2.

Kab. Bone Kab. Maros Kab. Pangkep

1 Daun Positif Positif Positif

2 Bunga Positif -

-3 Buah Positif Positif Positif

4 Kelopakbuah Positif Positif Positif

5 KulitBatang Positif Positif Positif

6 Akar Positif Positif Positif

Keterangan: (-) Tidakterdeteksi

Daerah Asal

No. BagianTanaman

Tabel 1. Hasiluji bioassay secara kuantitatif mangrove Rhizophora mucronata yang diambil dari daerah yang berbeda terhadap V. parahaemolyticus

(5)

Pada Tabel 2 terlihat bahwa nilai MIC yang dimiliki oleh bagian daun, bunga, buah, kelopak buah, kulit batang dan akar mangrove R. Mucronata adalah sebesar 0,1 mg/L pada semua daerah koleksi asal mangrove. Hasil ini diindikasikan dari tidak adanya perubahan warna menjadi biru ungu pada koleksi sampel hasil kultur bakteri dan sediaan simplisia bagian tanaman mangrove dengan menggunakan microplate well assay. Semakin rendah nilai MIC ekstrak mangrove yang dihasilkan semakin tinggi antibakteri yang dimiliki oleh mangrove tersebut yang berarti bahwa kemampuan mangrove tersebut untuk menghambat pertumbuhan ataupun untuk mematikan bakteri semakin besar. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh irianto (2007) bahwa sifat antimikroba suatu senyawa dikatakan memiliki aktivitas yang tinggi terhadap bakteri apabila memiliki nilai konsentrasi penghambatan bakteri yang terendah (MIC) kecil, tetapi mempunyai diameter penghambatannya besar.

Senyawa antibakteri adalah zat yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan dapat digunakan untuk pengobatan infeksi pada manusia, hewan dan tanaman. Berdasarkan cara kerjanya antibakteri dibedakan menjadi bakteriostatik dan bakterisida. Bakteriostatik adalah antibakteri yang bekerja dengan cara menghambat perbanyakan populasi dan tidak mematikan bakteri yang dapat bekerja pada konsentrasi minimum tertentu dan jika bahan antimikrobial dihilangkan, perkembangan bakteri berjalan kembali seperti semula (Noiborhu et al., 1999), sedangkan bakterisida bekerja sebagai antibakteri dengan cara mematikan bakteri tersebut.

Kemampuan antibakteri yang dimiliki oleh mangrove R. mucronata berdasarkan pada bahan aktif yang dimiliki oleh mangrove tersebut. Menurut Correl et al. (1955 dalam Suciati, 2012) kandungan senyawa dalam daun mangrove adalah golongan fenolik, alkaloid, saponin dan beberapa senyawa lainnya yang terkait dengan industri dan obat-obatan. Perbedaan pelarut yang digunakan akan membedakan kandungan senyawa dari ekstraksi yang dihasilkan. Pelarut metanol yang digunakan, menurut Harbonne (1987 dalam Suciati, 2012) mampu mengekstraksi senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karetenoid dan tanin. Senyawa alkaloid bersifat toksik terhadap mikroba, sehingga efektif untuk membunuh bakteri dan virus, sedangkan tanin merupakan senyawa fenolik kompleks yang dapat menghambat aktivitas bakteri.

Secara umum daun mangrove mengandung senyawa steroid, saponin, flavonoid dan tannin. Senyawa flavonoid merupakan senyawa yang berpotensi sebagai senyawa antibiotik dan antibakteri. Senyawa ini disintesis oleh tanaman sebagai sistem pertahanan dalam responnya terhadap infeksi oleh mikroorganisme, sehingga senyawa ini efektif sebagai senyawa antimikroba terhadap sejumlah mikroorganisme (Parubak, 2013).

Penghambatan aktivitas mikroba oleh komponen bioaktif tanaman dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, peningkatan permeabilitas membran sel yang menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, menginaktifkan enzim metabolik dan destruksi atau kerusakan 13 material genetik (Sari, 2008). Sedangkan Cahyadi (2008),

Kab. Bone Kab. Maros Kab. Pangkep

1. Daun 0,1 0,1 0,1 2. Bunga 0,1 - -3. Buah 0,1 0,1 0,1 4. KelopakBuah 0,1 0,1 0,1 5. KulitBatang 0,1 0,1 0,1 6. Akar 0,1 0,1 0,1

Keterangan: (-) Tidak terdeteksi

No. BagianTanaman MIC (mg/L)

Tabel 2. Hasil uji Minimun Inhibition Concentraion (MIC) (mg/L) mangrove

Rhizophora mucronata yang diambil dari daerah yang berbeda terhadap V. parahaemolyticus

(6)

mengatakan mekanisme kerja antimikroba secara umum menghambat keutuhan permeabilitas dinding sel, menghambat sistem genetik, menghambat kerja enzim serta peningkatan nutrien esensial.

Ciri-ciri antibakteri yang baik menurut Pelczar & Chan (2005) adalah mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri, substansi itu harus dapat larut dalam air atau pelarut-pelarut lain sampai pada taraf yang diperlukan, perubahan yang terjadi pada substansi itu bila dibiarkan beberapa lama harus seminimal mungkin dan tidak boleh mengakibatkan kehilangan sifat antimikrobialnya dengan nyata, tidak bersifat racun bagi manusia maupun hewan lain, komposisinya harus seragam sehingga bahan aktifnya selalu terdapat pada setiap aplikasi, tidak bergabung dengan bahan organik, aktivitas antimikrobial pada suhu akamar atau pada suhu tubuh, kemampuan untuk menembus dinding sel, tidak menimbulkan karat dan warna serta memiliki kemampuan menghilangkan bau yang kurang sedap.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa mangrove Rhizophora mucronata memiliki aktivitas antibakteri terhadap Vibrio parahaemolyticus pada semua bagian bunga, daun, buah, kelopak buah, kulit batang dan akar baik yang dikoleksi dari Maros, Pangkep dan Bone dengan nilai MIC sebesar 0,1 mg/L.

DAFTAR ACUAN

Saulnier, D., Haffner, P., Goarant, C., Levy, P., &Ansquer, D. (2000). Experimental infection model for shrimp vibriosis studies: review. Aquaculture (191: 133-144).

Suciati, A., Wardiyanto, &Sumino. (2012). Efektifitas Ekstrak Daun Rhizophora mucronata Dalam Menghambat Pertumbuhan Aeromonas salmonicida dan Vibrio harveyi. Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. Volume 1 No. 1.

Feliatra. (2000). Studi Awal Tumbuhan Mangrove sebagai Antimikroba. Lembaga Penelitian Universitas Riau.

Hery, P. (2004). Potensi Mangrove sebagai Tanaman Obat. Universitas Airlangga Surabaya Irianto, K. (2007). Mikrobiologi: Menguak Dunia Mikroorganisme. CV. Yrama Widya. Bandung. Nanin. (2011). Daya Antibakteri Tumbuhan Majapahit (Cresentia cujete L.) Terhadap Bakteri Vibrio

alginolyticus. Institut teknologi Surabaya

Parubak, A.S. (2013). Senyawa Flavonoid yang Bersifat Antibakteri dari Akway (Drimysbecariana.gibbs). Jurnal. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Papua, (6 (1): 34-37).

Yasmon, A. (2000). Sensitifitas Vibrio parahaemolyticus terhadap Ekstrak Mangrove Rhizophora apiculata di Dalam Lumpur dan Air Laut. Skripsi Sarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.

(7)

DISKUSI

Nama Penanya:

Shofihar Sinansari

Pertanyaan:

Model aplikasinya gimana? Zat aktif yang terkandungnya seperti apa ?

Tanggapan:

Masih dalam penelitian yang mana hasilnya akan ditinjau kembali. Bahan aktifnya flavonoid.

Nama Penanya:

Tauhid

Pertanyaan:

Parahaemolyticus identik dengan EMS. Golongan B1 antibiotik sudah dapat digunakan untuk bakteri gram (-), EMC 0,1 ppm dapat mensubstitusi antibiotik di zat aditive pakan.

Tanggapan:

Masih merupakan penelitian awal dan tidak ada rencana untuk membuat analognya. Tingkat pengenceran terendah hanya 0,1 ppm jadi semua hasilnya = 0,1 ppm. Kemungkinan masih bisa dibawahnya. Bahan-bahan seharusnya ada kontrol negatif dan crude ekstraknya.

(8)

Gambar

Gambar  1. Tanaman  Rhizophoramucronata  (A)  dan  pengambilan  kulit  batang  mangrove dengan kapak  (B)
Gambar  2. Pengirisan  buah  mangrove,  R.  mucronata sebelum  dikeringkan
Tabel 1. Hasiluji  bioassay  secara  kuantitatif  mangrove  Rhizophora  mucronata  yang diambil  dari  daerah  yang  berbeda  terhadap  V
Tabel 2. Hasil  uji  Minimun  Inhibition  Concentraion  (MIC)  (mg/L)  mangrove Rhizophora mucronata yang diambil dari daerah yang berbeda terhadap V

Referensi

Dokumen terkait

Melalui suatu proses mengenal sebagai meta analisis, Kavale dan Matson (1983) melakukan penelitian terhadap 180 hasil penelitian ilmiah mengenai program persepsi

(Asli/Endemik) KABUPATEN/ KOTA 4.576,13 Biawan, Lais, Tapah, Toman, Entukan, Bauk, Baung, Gabus, Kaloi, Patik KABUPATEN KAPUAS HULU.. Nanga Palin Embaloh Hilir KABUPATEN

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penilitian tentang “Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Nyeri Pasien Operasi

Untuk menentukan sikap bahasa responden, kajian ini mengukur tujuh jenis sikap dalam tujuh kategori, iaitu sikap terhadap masyarakat antarabangsa (Kategori 1),

Variasi non genetik dapat terjadi karena adanya variasi umur, variasi musiman pada suatu individu, variasi musiman pada beberapa keturunan, variasi sosial, variasi

Harga jual fillet salai Patin dijual dengan harga Rp 45.000,- per kg, sehingga margin penjualan yang diperoleh cukup besar, dan bila dibanding dengan ikan salai

Berdasarkan Penelitian sebelumnya oleh Gerry Segal, Dan Borgia, Jerry Schoenfeld (2005) dalam Aditya Dion Mahesa(2012) yang menguatkan bahwa faktor-faktor yang

Temuan penelitian tentang faktor penghambat negosiasi bisnis adalah pengetahuan wanita pengusaha mengenai negosiasi bisnis secara teoritis masih terbatas, antara lain: