• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL) KABUPATEN WAJO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL) KABUPATEN WAJO"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (M-KRPL)

KABUPATEN WAJO

Andi Ella, dkk

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Membangun kemandirian dan ketahanan pangan nasional harus dilandasi dengan sistem dan kebijakan pangan yang menekankan pada upaya swasembada pangan yang kokoh dan sustain, serta pengelolaan program yang terencana, bertahap dan profesional dengan keberpihakan kepada rakyat. Terciptanya ketahanan pangan dalam suatu Negara akan mampu menciptakan kedaulatan pangan bagi masyarakatnya yang memberi rasa aman dan tenteram karena akses terhadap bahan pangan dari sisi jumlah, mutu, harga, dan lokasi yang dengan mudah dijangkau, sehingga tidak ada lagi rasa takut dan khawatir akan kekurangan pangan. Upaya mencapai ketahanan pangan di Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya.

Peningkatan kebutuhan pangan berjalan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kesempatan dan kemampuan memperoleh pendapatan yang layak agar akses terhadap pangan. Dalam UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan ditegaskan bahwa pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Guna mewujudkan cadangan pangan nasional, salah satu upaya pemerintah adalah mengembangkan, membina, dan atau membantu penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat. Melalui Kementerian Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian mengembangkan suatu Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) untuk optimalisasi pemanfaatan

(2)

2 lahan pekarangan, utamanya melalui pemanfaatan berbagai inovasi yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian dan lembaga penelitian lainnya.

Sesuai dengan Bapak Presiden RI dan Bapak Menteri Pertanian, maka Kepala Badan Litbang Pertanian, Dr. Ir. Haryono, M.Sc menghimbau agar pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) harus menjadi gerakan bersama yang diinisiasi oleh BPTP pada setiap Provinsi dengan menerapkan 6 (enam) konsep, yaitu : (1) kemandirian pangan rumah tangga pada suatu kawasan, (2) diversifikasi pangan yang berbasis sumber daya lokal, (3) konservasi tanaman-tanaman pangan maupun pakan termasuk perkebunan, hortikultura untuk masa yang akan datang, (4) kesejahteraan petani dan masyarakat yang memanfaatkan kawasan rumah pangan lestari, (5) pemanfaatan kebun bibit desa agar menjamin kebutuhan masyarakat akan bibit terpenuhi, baik bibit tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, termasuk ternak, unggas, ikan dan lainnya, (6) antisipasi dampak perubahan iklim.

1.2. Tujuan

1. Memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari dalam suatu kawasan;

2. Meningkatkan keterampilan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pekarangan di perkotaan maupun pedesaan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan, pengolahan hasil serta pengolahan limbah rumah tangga menjadi kompos;

3. Mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan; dan

4. Mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri.

1.3. Sasaran

Sasaran yang ingin dicapai dari Model KRPL ini adalah berkembangnya kemampuan keluarga dan masyarakat secara ekonomi dan

(3)

3 sosial, dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi secara lestari, menuju keluarga dan masyarakat yang mandiri dan sejahtera.

1.4. Keluaran

Ditemukannya satu model rumah pangan lestari pada satu kawasan yang melibatkan Keluarga dan Kelompok Wanita Tani/Kelompok Masyarakat 1.5. Manfaat

a. Menjamin kesinambungan persediaan pangan dan gizi keluarga dengan pemeliharaan, peningkatan kualitas, nilai dan penganekaragaman pemanfaatan pekarangan melalui pengelolaan sumberdaya lokal secara bijaksana.

b. Keluarga dan Kelompok Wanita Tani/Kelompok Masyarakat yang mampu secara eknomi dan sosial untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi secara lestari menuju keluarga dan kelompok masyarakat yang mandiri dan sejahtera.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Rumah Pangan Lestari

Kementerian Pertanian menyusun suatu konsep yang disebut dengan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) yang merupakan himpunan dari Rumah Pangan Lestari (RPL) yaitu rumah tangga dengan prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan dan dirancang untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan, serta peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk menjaga keberlanjutannya, pemanfaatan pekarangan dalam konsep Model KRPL dilengkapi dengan kelembagaan Kebun Bibit Desa, unit pengolahan serta pemasaran untuk penyelamatan hasil yang melimpah.

Makna dari Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) adalah alat untuk mewujudkan kedaulatan pangan di tingkat lokal melalui pengembangan kawasan-kawasan yang mempraktekkan pertanian agroekologi berkelanjutan berbasis keluarga tani, yang juga dapat dimaknai sebagai peningkatan

(4)

4 kemampuan keluarga dan masyarakat secara ekonomi dan sosial, dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi secara lestari, menuju keluarga dan masyarakat yang mandiri dan sejahtera. Selain itu juga dapat memberdayakan unit-unit usaha kecil mandiri yang berprinsip pada keadilan perdagangan yang pada satu sisi memberikan harga yang pantas bagi biaya produksi dan keuntungan petani sebagai produsen, dan di sisi lain tetap tidak memberatkan konsumen.

Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) bertujuan antara lain : (1) memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat melalui optimalisasi pemanfaatan pekarangan secara lestari dalam suatu kawasan; (2) meningkatkan keterampilan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pekarangan di perkotaan maupun pedesaan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan, pengolahan hasil serta pengolahan limbah rumah tangga menjadi kompos; (3) Mengembangkan sumber benih/bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfatan pekarangan dan melakukan pelestarian tanaman pangan lokal untuk masa depan; dan (4) mengembangkan kegiatan ekonomi produktif keluarga dan menciptakan lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri.

MKRPL ini berangkat dari upaya meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat secara ekonomi dan sosial dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi secara lestari, menuju keluarga dan masyarakat yang sejahtera, dengan menerapkan prinsip yaitu : (1) pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan dan dirancang untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga; (2) diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal; (3) pelestarian tanaman pangan untuk masa depan, serta (4) peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (Model KRPL), diwujudkan dalam satu dusun (kampung) yang telah menerapkan prinsip RPL dengan menambahkan intensifikasi pemanfaatan pagar hidup, jalan desa, dan fasilitas umum lainnya (sekolah, rumah ibadah, dll), lahan terbuka hijau, serta mengembangkan pengolahan dan pemasaran hasil. Suatu kawasan harus

(5)

5 menentukan komoditas pilihan yang dapat dikembangkan secara komersial, dilengkapi dengan kebun bibit.

2.2. Pemanfaatan Pekarangan

Rumah Pangan Lestari adalah rumah yang memanfaatkan pekarangan secara intensif melalui pengelolaan sumberdaya alam lokal secara bijaksana, yang menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas, nilai dan keanekaragamannya. Sedangkan penataan pekarangan ditujukan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya melalui pengelolaan lahan pekarangan secara intensif dengan tata letak sesuai dengan pemilihan komoditas.

Menurut arti katanya, pekarangan berasal ari kata “karang” yang berarti halaman rumah (Poerwodarminto, 1976). Sedang secara luas, Terra (1948) memberikan batasan pengertian sebagai berikut: Pekarangan adalah tanah di sekitar perumahan, kebanyakan berpagar keliling, dan biasanya ditanami padat dengan beraneka macam tanaman semusim maupun tanaman tahunan untuk keperluan sendiri sehari-hari dan untuk diperdangkan. Pekarangan kebanyakan slng berdekaan, dan besama-sama membentuk kampung, dukuh, atau desa.

Batasan pengertian ini, di dalam praktek masih terus dipergunakan sampai sekitar dua puluh tahun kemudian. Terbukti dari tulisan-tlisan Soeparma (1969), maupun Danoesastro (1973), masih juga menggunakan definisi tersebut. Baru setelah Soemarwoto (1975) yang melihatnya sebagai suatu ekosistem, berhasil memberikan definisi yang lebih lengkap dengan mengatakan bahwa: Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas batas-batasannya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan dan/atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan. Hubungan fungsional yang dimaksudkan di sini adalah meliputi hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi, serta hubungan biofisika. (Danoesastro, 1978).

(6)

6 Pengelompokan lahan pekarangan dibedakan atas pekarangan perkotaan dan perdesaan, masing-masing memiliki spesifikasi baik untuk menetapkan komoditas yang akan ditanam, besarnya skala usaha pekarangan, maupun cara menata tanaman, ternak, dan ikan. Pekarangan Perkotaan dikelompokkan menjadi 4, yaitu: (1) Perumahan Tipe 21, dengan total luas lahan sekitar 36 m2; (2) Perumahan Tipe 36, luas lahan sekitar 72 m2; (3) Perumahan Tipe 45, luas lahan sekitar 90 m2; dan (4) Perumahan Tipe 54 atau 60, luas lahan sekitar 120 m2. Sementara pekarangan perdesaan dikelompkkan menjadi 4, yaitu (1) pekarangan sangat sempit (tanpa halaman), (2) pekarangan sempit (<120 m2), (3) pekarangan sedang (120-400 m2), dan (4) pekarangan luas (>400 m2).

Pemilihan komoditas ditentukan dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga serta kemungkinan pengembangannya secara komersial berbasis kawasan. Komoditas untuk pekarangan antara lain: sayuran, tanaman rempah dan obat, serta buah (pepaya, belimbing, jambu biji, srikaya, sirsak). Pada pekarangan yang lebih luas dapat ditambahkan kolam ikan dan ternak.

Prinsip M-KRPL tersebut mencakup beberapa elemen penting dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan cara pencapaiannya, antara lain : (1) budidaya aneka tanaman pangan untuk kebutuhan lokal dan pasar lokal; (2) Harga yang adil (memperhitungkan biaya produksi, pendapatan petani secara bermartabat); (3) Kebutuhan dasar manusia, makanya harus terjangkau dalam jumlah cukup, sesuai budaya lokal dan diproduksi lokal; (4) diproduksi dan dikontrol oleh komunitas lokal; dan (5) penerapan sistem pertanian berkelanjutan. Berpijak pada elemen-elemen di atas, terlihat bahwa kedaulatan pangan bergerak melampaui kebutuhan dasar (bahkan masuk ke hak-hak sosial, ekonomi dan budaya, yakni hak berproduksi), dengan target petani kecil, menuntut kebijakan alternatif, dan menghendaki peran aktif pemerintah sebagai pelindung utama petani.

2.3. Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan diartikan sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup

(7)

7 sehat (FAO, 1992) kemudian dikembangkan dengan memasukan komponen persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat. Sementara itu, berdasar Undang-undang No.7 tahun 1996 tentang pangan, mengartikan ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pemaknaan lain atas ketahanan pangan yaitu kemampuan untuk memenuhi pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup sehat, dan atau kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari produksi sendiri, dan atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup dan kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat.

Ketahanan pangan diwujudkan oleh hasil kerja sistem ekonomi pangan yang terdiri dari subsistem ketersediaan meliput produksi , pasca panen dan pengolahan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan. Ketiga subsistem tersebut merupakan satu kesatuan yang didukung oleh adanya berbagai input sumberdaya alam, kelembagaan, budaya, dan teknologi. Proses ini akan hanya akan berjalan dengan efisien oleh adanya partisipasi masyarakat dan fasilitasi pemerintah.

Ketersediaan bahan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran untuk mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok di pedesaan, biasanya dilihat dengan mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya. Perbedaan jenis makanan pokok yang dikonsumsi antara dua daerah juga membawa implikasi pada penggunaan ukuran yang berbeda.

Ukuran ketersediaan pangan yang mengacu pada jarak waktu antara satu musim panen dengan musim panen berikutnya hanya berlaku pada rumah tangga dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian pokok. Dengan kata lain, ukuran ketersediaan makanan pokok tersebut

(8)

8 memiliki kelemahan jika diterapkan pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor non-pertanian.

Masih terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, yaitu belum terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi syarat gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, masih ketergantungan yang tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum efisiensiennya proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima petani, masih ketergantungan terhadap import pangan.

Data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan, menunjukkan bahwa hampir dua-pertiga dari penduduk Indonesia masih berada di bawah asupan kalori sebanyak 2200 kalori/kapita/hari. Hal ini menunjukan bahwa permasalahan kecukupan kalori, di samping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga dialami oleh kelompok masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh di atas garis kemiskinan.

2.4. Peran Perempuan dalam Ketahanan Pangan

Menurut Aida Hubeis, 1993 Pelaksanaan pembangunan pertanian ini akan berhasil jika semua sumberdaya manusia dalam hal ini tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan yang jumlahnya sekitar 78% dari seluruh penduduk perempuan Indonesia yang tinggal dipedesaan dan lebih dari setengahnya memperoleh nafkah hidup dari sektor pertanian. Upaya yang dilakukan oleh kaum perempuan dalam meningkatkan perannya dalam membangun pertanian dengan memberdayakan lahan yang ada baik lahan pekarangan maupun lahan kebun lainnya untuk meningkatkan gizi keluarga maupun meningkatkan pendapatan keluarganya. Semakin luas lahan pekarangan yang dimiliki seseorang, semakin tinggi keinginan untuk mengadopsi teknologi pertanian yang diintroduksikan.

Program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) untuk optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan/pertanian, yang terdiri dari kegiatan persiapan dan pengelolaan lahan. Kegiatan persiapan terdiri dari penentuan lokasi, penentuan peserta, dan pembentukan kelompok tani

(9)

9 perempuan/wanita tani. Kegiatan pelaksanaan pengelolaan lahan terdiri dari pengadaan paket, distribusi paket, pelaksanaan paket bergulir dan pemanfaatan hasil. melalui pemanfaatan berbagai inovasi yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian dan lembaga penelitian lainnya.

Pelaksanaan M-KRPL melibatkan kaum perempuan yang tergabung dalam satu kelompok agar kekuatan kelembagaan yang merupakan milik kaum perempuan (Kelompok Wanita Tani) dapat berjalan dengan baik. Peran ini akan menciptakan keuntungan ganda karena disatu sisi kaum perempuan dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan ikut membantu meringankan keluarganya dalam menambahkan pendapatan keluarga juga disisi lain ikut membangun pembangunan pertanian di daerahnya.

Pemberdayaan pekarangan dengan sistem ini sebagai salah satu upaya kaum perempuan untuk meningkatkan perannya dalam pembangunan pertanian, dan ini merupakan langkah yang sangat strategis untuk memperbaiki kondisi masyarakat kita yang sebahagian besar masih kekurangan gizi. Peranan kaum perempuan dalam memanfaatkan pekarangan untuk ditamani dengan berbagai tanaman sayuran, dan tanaman obat maupun buah-buahan untuk meningkatkan pangan dan gizi keluarga, termasuk memelihara ternak.

III. PROSEDUR PELAKSANAAN 3.1. Waktu dan Tempat

Kegiatan rencananya akan dilakukan di Desa Tadangpalie, Kecamatan Sabbangparu, Kabupaten Wajo, berlangsung mulai bulan Maret sampai Desember 2012.

3.2. Tahapan Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan pembangunan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari terdiri dari beberapa tahapan, yakni :

a. Persiapan meliputi : pengumpulan informasi mengenai potensi sumberdaya wilayah dan kelompok sasaran, kordinasi dengan dinas terkait untuk membuat kesepakan tentang calon kelompok sasaran dan lokasi, pembuatan Proposal kegiatan.

(10)

10 b. Pembentukan Kelompok sasaran : yakni kelompok rumah tangga dalam satu Rukun Tetangga atau Rukun warga atau dalam satu dusun/kampung. Direncanakan pada setiap kelompok sasaran akan dilibatkan 25 rumah tangga. Klasifikasi kegiatan menurut strata luas kepemilikan lahan akan ditentukan berdasarkan keragaman luasan lahan yang ada.

c. Sosialisasi : dilakukan untuk menyampaikan maksud dan tujuan kegiatan terhadap kelompok sasaran, pemuka masyarakat, serta instansi pelaksana terkait.

d. Membuat rancang bangun pemanfaatan pekarangan dengan menanam berbagai jenis tanaman pangan, sayuran,tanaman obat, ikan, ternak, dan pengelolaan limbah rumah tangga.

e. Pelatihan : dilakukan sebelum pelaksanaan , meliputi : teknik budidaya, pengelolaan limbah, dan penguatan kelembagaan kelompok.

f. Pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh anggota kelompok sasaran dibawah bimbingan peneliti, penyuluh, dan petani andalan.

g. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui perkembangan kegiatan, menilai kesesuai pelaksanaan dengan rencana kegiatan.

h. Pelaporan dilakukan pada akhir kegiatan yang dipertanggung jawabkan memalui pemaparan pada seminar hasil.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi M-KRPL

Kabupaten wajo dengan ibu kotanya Sengkang, terletak dibagian tengah Provinsi Sulawesi Selatan dengan jarak 242 km dari ibukota provinsi, memanjang pada arah laut Tenggara dan terakhir merupakan selat, dengan posisi geografis antara 3º 39º - 4º 16º LS dan 119º 53º-120º 27 BT. Batas wilayah Kabupaten Wajo sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidrap Sebelah Selatan : Kabupaten Bone dan Soppeng, Sebelah Timur : Teluk Bone

(11)

11 Luas wilayahnya adalah 2.506,19 Km² atau 4,01% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan dengan rincian penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah 86.297 Ha (34,43%) dan lahan kering 164.322 Ha (65,57%). Pada tahun 2007 Kabupaten Wajo telah terbagi menjadi 14 wilayah Kecamatan, selanjutnya dari keempat-belas wilayah Kecamatan di dalamnya terbentuk wilayah-wilayah yang lebih kecil, yaitu secara keseluruhan terbentuk 44 wilayah yang berstatus Kelurahan dan 132 wilayah yang berstatus Desa.

Masing-masing wilayah kecamatan tersebut mempunyai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berbeda meskipun perbedaan itu relatif kecil, sehingga pemanfaatan sumber-sumber yang ada relatif sama untuk menunjang pertumbuhan pembangunan di wilayahnya.

Topografi di Kabupaten Wajo mempunyai kemiringan lahan cukup bervariasi mulai dari datar, bergelombang hingga berbukit. Sebagian besar wilayahnya tergolong datar dengan kemiringan lahan/lereng 0 – 2 % luasnya mencapai 212,341 Ha atau sekitar 84 %, sedangkan lahan datar hingga bergelombang dengan kemiringan/ lereng 3 – 15 % luas 21,116 Ha (8,43%), lahan yang berbukit dengan kemiringan/lereng diatas 16 – 40 % luas 13,752 Ha (5,50 %) dan kemiringan lahan diatas 40 % (bergunung) hanya memiliki luas 3,316 Ha (1,32%).

Secara morfologi, Kabupaten Wajo mempunyai ketinggian lahan di atas permukaan laut (dpl) dengan perincian sebagai berikut :

1) 0 – 7 meter, luas 57,263 Ha atau sekitar 22,85 % 2) 8 – 25 meter, luas 94,539 Ha atau sekitar 37,72 % 3) 26 – 100 meter, luas 87,419 Ha atau sekitar 34,90 %

4) 101 – 500 meter, luas 11,231 Ha atau sekitar 4,50 % dan ketinggian di atas 500 meter luasnya hanya 167 Ha atau sekitar 0,66 %.

Kabupaten Wajo berada pada ketinggian antara 0.s.d. 500 meter dari atas permukaan daerah 3 dimensi yang memiliki sumberdaya alam dengan yang terbagi atas:

1) Tanah berbukit/pegunungan (ketinggian 25 s.d 100 meter dpi seluas 7.378 Ha) berjejer dari selatan yang di mulai dari Kecamatan Tempe ke Utara memasuki Wilayah kecamatan Maniangpajo, Gilireng, Keera, dan Pitumpanua. Hamparan luas yang merupakan sumber daya hutan

(12)

12 berfungsi sebagai konservasi dan pengamanan tat guna air yang berkesinambungan.

2) Tanah daratan rendah (0. s/d 25 meter dpi seluas 205.588 Ha) merupakan hamparan lahan persawahan, perkebunan/tegalan pada wilayah Timur, Tengah dan Barat,

3) Danau Tempe yang merupakan danau terluas di Provinsi Sulawesi Selatan berada di kawasan, Tengah dan Barat, sedangkan sebelah Timur terbentang pantai pesisir sepanjang 103 km termasuk kawasan Teluk Bone. Kawasan ini merupakan wilayah untuk pengembangan perikanan dan budidaya tambak.

Secara administrasi Kabupaten Wajo terbagi dalam 14 kecamatan dengan luas (tabel 1) sebagai berikut :

Tabel 1.

Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kab. Wajo, 2012

No Kecamatan Luas % 1. Sabbangparu 132.75 5.30 2. Tempe 38.27 1.53 3. Pammana 162.10 6.47 4. Bola 220.76 8.78 5. Takkalalla 179.76 7.17 6. Sajoanging 167.01 6.66 7. Majauleng 225.92 9.01 8. Tanasitolo 154.60 6.17 9. Belawa 172.30 6.88 10. Maniangpajo 175.96 7.02 11. Keera 368.36 14.70 12. Pitumpanua 207.13 8.26 13. Penrang 154.90 6.18 14. Gilireng 147.00 5.87

Sumber : BPS Kab. Wajo, 2010.

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa luas wilayah Kecamatan Sabbangparu yang menjadi lokasi M-KRPL adalah 132,75 Km² dan merupakan wilayah yang berada pada urutan kedua terkecil di Kabupaten Wajo, Kecamatan Sabbangparu dengan ibukota Kota Baru terdiri dari 15 Desa dan Kelurahan, salah satunya adalah Desa Tadangpalie yang berjarak kurang lebih

(13)

13 10 km dari ibukota kecamatan dan akses ke ibukota kabupaten juga kurang lebih 21 km.

Jumlah penduduk di Kabupaten Wajo yang tersebar di 14 Kecamatan. Sementara Jumlah penduduk di Kecamatan Sabbangparu sebanyak 25.702 jiwa dengan tingkat kepadatan 193,61 yang menggambarkan bahwa di setiap 1 km2 didiami oleh 193 jiwa, dan jumlah rumah tangga sebanyak 7.077 RT dengan rata-rata anggota keluarga 4 jiwa/KK,

Produksi tanaman pangan antara lain padi, jagung, kacang tanah dan kacang hijau dan lainnya di kabupaten wajo dalam kurun waktu tiga tahun terakhir terus meningkat akan diuraikan dalam tabel berikut :

Tabel 2.

Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten Wajo (tahun 2009-2011)

No Jenis Komoditi Tahun

2009 2010 2011

1. Padi (ton) 439.016 443.763 623.777

2. Jagung (ton) 58.149 29.039 84.850

3. Kacang Kedelai (ton) 3.973 4.678 5.924

4. Kacang Tanah (ton) 353 474 643

5. Kacang Hijau (ton) 3.463 12.775 12.130

6. Ubi kayu (ton) 14.418 14.120 17.806

7. Ubi Jalar (ton) 2.519 2.950 2.937

Sumber : Dinas Pertanian dan Peternakan kab. Wajo, 2012.

Sementara untuk kecamatan Sabbangparu luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas tanaman pangan yang ada yaitu padi dengan produktivitas 4.635 ton/ha dan jagung 22,98 kwintal/ha. Sementara untuk tanaman lainnya adalah kakao dengan produktivitas 0,32 ton/ha.

Ketersediaan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan suatu wilayah. Jawa Timur merupakan salah satu propinsi yang berperan sangat vital dalam menjaga ketersediaan pangan nasional. Kondisi dapat terlihat dari tingkat produktivitas masing-masing komoditi yang cederung menunjukkan trend meningkat dalam kurun waktu enam tahun terakhir.

(14)

14 4.2. Sosialisasi

Kegiatan ini untuk menyampaikan maksud dan tujuan kegiatan dan membuat kesepakatan awal untuk rencana tindak lanjut yang akan dilakukan. Kegiatan sosialisasi dilakukan terhadap kelompok sasaran dan pemuka masyarakat serta petugas pelaksana instansi terkait. Pelaksanaan sosialisasi dihadiri oleh 50 orang petani dan 2 orang penyuluh pertanian Kecamatan Sabbangparu, Kepala Desa Tadangpalie, Sekdes Tadangpalie Tim Pelaksana Kegiatan M-KRPL Kabupaten Wajo.

Dalam sosialisasi tersebut disampaikan bahwa pelaksanaan M-KRPL merupakan suatu konsep model rumah pangan yang dibangun dalam suatu kawasan (dusun, desa, kecamatan dst) dengan prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Respon dan animo petani terhadap kegiatan M-KRPL yang disosialisasikan berkembang dalam diskusi yang dipandu oleh Kepala Desa Tadangpalie. Setelah kegiatan sosialisasi ini akan dilakukan pembentukan kelompok wanita tani pelaksana M-KRPL Kab. Wajo

4.3. Pembentukan Kelompok

Peran aktif perempuan dalam kegiatan M-KRPL di Kabupaten Wajo mencerminkan kemandirian perempuan dalam pranata ekonomi dan sosial, yang dilakukan dengan meningkatkan usaha pemberdayaan perempuan melalui dua pendekatan. Pertama, di kalangannya sendiri secara individu, secara kelompok atau bersama-sama untuk saling memberdayakan, baik dalam kelompok atau dalam organisasi perempuan. Kedua, perempuan sebagai mitra sejajar kaum laki-laki, saling menghormati dan menghargai guna menimbulkan usaha saling mendukung dan mendorong, dalam mengembangkan potensinya sehingga menjadi makhluk manusia yang mandiri tetapi tetap pada kepribadiannya, tidak ada tekanan, paksaan, dan pilihan.

Kegiatan M-KRPL bertujuan agar dapat meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat secara ekonomi dan sosial, dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi secara lestari, menuju keluarga dan masyarakat yang mandiri dan sejahtera. Untuk mencapai hal tersebut diatas maka

(15)

15 dibentuk kelompok wanita tani pelaksana M-KRPL yaitu KWT “Mandala II“ yang merupakan hasil kesepakatan antara tim BPTP Sul Sel, Penyuluh Pendamping dan Kepala Desa Tadangpalie

Pembentukan KWT ini dilakukan karena pelaksana awal yaitu KWT “Mandala” merupakan pelaksana P2KP sehingga untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan maka perlu dibentuk KWT pelaksana yang khusus untuk M-KRPL. KWT “Mandala II“ memiliki anggota sebanyak 25 RT yang berada dalam kawasan Desa Tadangpalie, Kecamatan Sabbangparu, Kabupaten Wajo. Komposisi KWT “ Mandala II “ terdiri dari Tamira (Ketua), Muliati (Sekretaris), Asma (Bendahara) dan 22 lainnya adalah anggota.

Peserta M-KRPL Kabupaten Wajo adalah kelompok wanita tani “Mandala II” yang memiliki 25 anggota, kelompok ini dibentuk sejalan dengan pelaksanaan kegiatan ini. Kelompok ini merupakan pemekaran dari kelompok wanita tani “Mandala” yang telah melaksanakan kegiatan desa mandiri pangan di Desa Tadangpalie, Kecamatan Sabbangparu, Kabupaten Wajo. Usia kelompok ini masih sangat muda dan masih dalam taraf perintisan dan pembinaan. Adapun kondisi umum anggota kelompok wanita tani “Mandala II” akan diuraikan dalam tabel berikut :

(16)

16 Tabel 3.

Karakteristik Kelompok Wanita Tani “Mandala II” di Kabupaten Wajo, 2012

No Uraian Peserta N = 25

1. Umur (thn) 40

2. Pendidikan (thn) 6

3. Jumlah Anggota Kel. (org) 4

4. Pengalaman (thn) 1

5. Luas Pekarangan (m2)

6. Status Tempat Tinggal Milik

7. Jarak rumah – ibukota kecamatan

(km) 10

8. Jarak rumah – ibukota kabupaten (km) 21 9. Jarak rumah – pasar input (km) 21 10. Jarak rumah – pasar output (km) 10

11. Jarak rumah – BPP (km) 15

12. Kondisi Jalan (km) Rusak

13. Kondisi sarana transportasi Tidak tersedia saran transportasi umum Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2012.

Tabel di atas menunjukkan bahwa usia peserta masih sangat produktif karena rata-rata usia 40 tahun. Namun karena usia kelompok yang dibentuk masih sangat muda dan keterbatasan pemahaman tentang bagaimana mengelola kelompok dan bekerja dalam kelompok, sehingga kurang mampu melakukan sinkronisasi energi untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Untuk membuat kegiatan M-KRPl ini menjadi bagian dari tanggungjawab bersama pelu didukung dengan ketrampilan mengelola usahataninya secara teknis maupun ekonomis melalui intervensi berbagai teknologi manajemen maupun produksi sesuai dengan yang mereka butuhkan, untuk mengembangkannya sebagai usaha agribisnis ke depan.

Kemampuan akses peserta dalam kegiatan ini, sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang mereka miliki, karena dengan tingkat pendidikan menengah sudah dapat mengolah hasil kerja pikir untuk melakukan aktivitas,

(17)

17 namun karena ini merupakan suatu hal yang baru sehingga masih dibutuhkan upaya memberi pemahaman dan pembelajaran sehingga teknologi yang mereka terapkan dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan.

Tingkat pendidikan peserta dalam wilayah binaan pada umumnya masih pada tingkat dasar, hal tersebut disebabkan karena kodrat sebagai perempuan pedesaan masih menjadi tradisi bahwa perempuan tidak mutlak harus berpendidikan yang layak, dan keterjangkauan masyarakat yang rendah terhadap dunia pendidikan yang pada era 20 tahun terakhir masih berpusat di ibukota Kabupaten. Jarak ibukota kabupaten ± 21 km. Kondisi jalan yang rusak dan tidak tersedianya sarana transportasi umum memperparah kemampuan akses peserta M-KRPL terhadap pasar input maupun ouput. Oleh karena itu lokasi ini cenderung akan mengalami kerawanan pangan karena keterbatasan akses.

Gambaran jarak, kondisi jalan dan transportasi menunjukkan aksesibiltas yang relatif kurang baik bagi peserta M-KRPL untuk berinteraksi dengan berbagai kelembagaan yang ada di sekitar wilayah tempat tinggalnya. Salah satunya akses ke Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang berada di ibukota Kecamatan Sabbangparu. Hal tersebut menunjukkan bahwa akses petani terhadap ketersediaan informasi teknologi dalam berbagai jenis media kurang baik.

Pemilihan lokasi ini sebagai tempat pelaksanaan M-KRPL sangat strategis karena tepat pada sasaran, namun demikian butuh kerja keras untuk memperkenalkan, mengajak dan menyadarkan masyarakatnya untuk berpartisipasi dalam setiap aktivitas dalam kegiatan MKRPL. Meskipun demikian tetap dilakukan pembinaan dalam berbagai metode untuk dapat memberikan pembelajaran efektif melalui MKRPL untuk imencapai ketahanan pangan.

4.4. Pelatihan

Pelaksanaan pelatihan dihadiri oleh 50 orang petani dan 2 orang penyuluh pertanian Kecamatan Sabbangparu, Kepala Desa Tadangpalie, Sekdes Tadangpalie Tim Pelaksana Kegiatan M-KRPL Kabupaten Wajo. Pembuatan pupuk organik dipilih menjadi materi dalam pelatihan yang

(18)

18 dilakukan mengingat kebutuhan yang paling besar dalam pengembangan M-KRPL adalah pupuk organik, sehingga dipandang perlu diseminasi informasi tentang pembuatan pupuk organik. Dalam kegiatan ini juga disebar informasi pembuatan pupuk organik yang dibuat dalam bentuk leaflet.

4.5. Pembuatan Desain Pekarangan

Kegiatan ini ditujukan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya melalui pengelolaan lahan pekarangan secara intensif dengan tata letak sesuai dengan pemilihan komoditas. Kegiatan yang dilakukan adalah perencanaan/rancang bangun pemanfaatan lahan pekarangan dengan menanam berbagai tanaman pangan, sayuran dan obat keluarga, ikan dan ternak, diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan, kebun bibit desa, serta pengelolaan limbah rumah tangga. Selain itu dilakukan penyusunan rencana kerja untuk satu tahun. Kegiatan tersebut dilakukan bersama-sama dengan kelompok dan dinas instansi terkait.

4.6. Bimbingan Teknis

Sayuran yang dibibitkan pada KBD adalah Cabai Besar, Cabai Rawit, Tomat, Terong, Kangkung, Bayam, Caisin, Mentimun, Kacang Panjang, Pepaya, merupakan sumber vitamin dan mineral, serta serat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Beberapa jenis sayuran yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia, diantaranya adalah Cabai dan Tomat. Keberhasilan dalam usahatani sayuran dapat memberikan sumbangan yang besar bagi kesejahteraan petani.

Penyiapan benih dilakukan dengan menggunakan benih berkualitas (berlabel). Penggunaan Varietas Unggul: Cabai (Tanjung 2, Lembang 1, Hot Chilli), Tomat ( Pithaloka, Mirah, Opal, Zamrud), Terong ungu. Keperluan benih per hektar: Cabai (300-400 g), tomat (300-500 g) dan terong (200-500 g). Dalam kegiatan ini juga disebar informassi teknologi budidaya sayuran yang dibuat dalam bentuk leaflet.

(19)

19 4.7. Kebun Bibit Desa (KBD)

Pengembangan KBD dilakukan pada areal sekitar rumah KWT “Mandala II” dan tepat berada di samping rumah ketua KWT “Mandala II”. Petugas lapangan atas nama Suryani ketua kelompok dan kepala desa dilibatkan sejak awal secara aktif dalam pelaksanaan, dan pengembangan KBD KWT “Mandala II”. Pembenahan KBD meliputi pembersihan tanaman jagung yang sebelumnya ada dalam areal lahan calon KBD. Selanjutnya lahan diolah untuk kemudian ditaburi pupuk kandang secara merata setelah dibuat bedengan-bedengan Setelah pengolahan lahan diselesaikan oleh partisipan KWT “Mandala II” kemudian dipagari dan aktivitas pembibitan pun dimulai. 4.8. Analisis Ekonomi

Dari kegiatan yang dilaksanakan, tanaman sayuran yang telah dipanen antara lain : kangkung, bayam, pare, terung dan ketimun. Hasil yang diperoleh dari pengelolaan kebun bibit desa seluas 4 m X 5 m diperoleh 50 ikat kangkung, 45 ikat bayam, 50 buah pare dan 100 buah terung. Untuk panen perdana yang dilakukan saat sebelum lokasi tergenang air hanya untuk konsumsi para anggota kelompok wanita tani dan perangkat desa.

Nilai ekonomi produksi sesuai dengan harga pasar dapat dirinci sebagai berikut :

50 ikat kangkung x Rp. 1.000/ikat = Rp. 50.000,- 45 ikat bayam x Rp. 1.000 = Rp. 45.000,-

50 buah pare x Rp. 1.000 = Rp. 50.000,- 100 buah terung x Rp. 500 = Rp. 50.000,- 50 ikat buncis x Rp. 500 = Rp. 25.000,-

100 buah ketimun x Rp. 1.500 = Rp. 150.000,-

Secara ekonomi dengan keberadaan M-KRPL dapat mengurangi pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi sebesar Rp. 2.000,-/hari sehingga dalam sebulan dapat mereduksi biaya konsumsi rumah tangga sebesar Rp. 60.000,-. Jika diasumsikan setiap rumah tangga dalam kelompok wanita tani

(20)

20 “Mandala II” maka dari 25 anggota dapat menghemat pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi sebanyak Rp. 1.500.000,-/bulan.

4.9. Ketersedian Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH)

Secara konseptual penganekaragaman pangan dapat dilihat dari komponen-komponen sistem pangan, yaitu penganekaragaman produksi, distribusi dan penyediaan pangan serta konsumsi pangan. Penyediaan dan konsumsi pangan penduduk membutuhkan suatu parameter. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH).

Kualitas ketersediaan pangan penduduk untuk konsumsi pangan secara umum rata-rata total skor PPH ketersediaan pangan adalah 100, yang dikelompokkan dalam Sembilan kelompok pangan berdasarkan kebutuhan normatif penyediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi penduduk di Kabupaten Wajo.

Dalam hal konsumsi pangan, permasalahan yang dihadapi tidak hanya mencakup keseimbangan komposisi, namun juga masih belum terpenuhinya kecukupan gizi. Selama ini pangan yang tersedia baru mencukupi dari segi jumlah dan belum memenuhi keseimbangan yang sesuai dengan norma gizi. Penerapan konsep PPH sebagai pendekatan perencanaan kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan dalam pembangunan pangan guna mewujudkan ketersediaan pangan. Pola Pangan Harapan mencerminkan susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup sehat, aktif dan produktif. PPH juga memberikan patokan bagi perencanaan dibidang pangan dan pertanian untuk mengetahui kelompok pangan yang harus ditingkatkan produksinya atau keragaman pangan sesuai keadaan ekologi dan ekonomi suatu wilayah. Susunan pola pangan harapan (PPH) secara nasional akan diuraikan pada tabel 4 berikut :

(21)

21 Tabel 4

Ketersediaan Pangan Aktual dan Ideal Di Kabupaten Wajo Kelompok Pangan Ketersediaan Pangan

(gram/kap/hari) (gram/kap/hari) Ideal

Padi-padian 635,8 320,0

Umbi-umbian 120,0 100,0

Pangan hewani 123 150,0

Minyak dan Lemak 10,0 25,0

Buah/Biji Berminyak 11,0 10,0

Kacang-kacangan 26,0 35,0

Gula 25,0 30,0

Sayur dan Buah 185,0 300,00

Lain-lain 0,0 86,5

Total 1.143,8 1.056,5

Sumber : NBM dan Hasil Olahan Data Sekunder, 2012.

Data yang digunakan untuk menganalisis PPH adalah data jumlah konsumsi energi per kelompok pangan serta jumlah peserta. Dari tabel di atas menunjukkan bahwa tingkat ketersediaan pangan untuk konsumsi cukup baik karena melebihi jumlah ketersediaan pangan ideal. Namun demikian komposisi ketersediaannya yang kurang proporsional, dimana ketersediaan sumber karbohidrat berupa beras dan umbi-umbian melebihi tingkat ketersediaan pangan yang ideal. Untuk lebih memperjelas tentang pencapaian skor PPH dan perbandingan skor PPH nasional, PPH Provinsi dan PPH Kabupaten secara rinci akan diuraikan pada tabel 5 berikut.

Konsumsi energi berdasarkan ketersediaan pangan di Kabupaten Wajo sebesar 2.239 kkal/kap/hari dan tidak berimbang, karena kontribusi energi yang berasal dari padi-padian cukup tinggi sementara kontribusi energi yang bersumber dari pangan hewani berada dibawah nilai yang seharusnya, demikian juga dengan sumber pangan lainnya. Secara rinci tentang konsumsi energi akan disajikan pada tabel 6 berikut ini.

(22)

22 Tabel 5

Konsumsi Energi di Kabupaten Wajo Komoditas

Pangan Energi Ideal Konsumsi (Kkal/kap/hari) Konsumsi Energi Kab. Wajo (Kkal/kap/hari) (%)* Bobot* Padi-padian 1.100 1.500 67,0 0,5 Umbi-umbian 132 185 8,3 0,5 Pangan hewani 264 190 8,5 2,0 Minyak dan Lemak 220 115 5,1 0,5 Buah/Biji Berminyak 66 24 1,1 0,5 Kacang-kacangan 110 75 3,3 2,0 Gula 110 65 2,9 0,5 Sayur dan Buah 132 85 3,8 5,0 Lain-lain 66 - - - Total 2.200 2.239 100 *) : FAO-RAPA 1989

Sumber : NBM dan Hasil Olahan Data Primer, 2012.

Rating disempurnakan atau dimodifikasi sesuai pola pangan harapan berdasarkan anjuran FAO-RAPA (1989) dan prinsip penerapan sistim skor untuk penilaian konsumsi pangan, yaitu setiap kelompok pangan utama (tiga kelompok pangan utama) diberikan skor maksimum yang relatif sama, yaitu 33.3 bagi setiap kelompok pangan utama (berasal dari 100 dibagi 3). Kelompok pangan utama tsb adalah 1) pangan sumber karbohidrat dan energy (serealia, umbi-umbian, minyak dan lemak, dan buah/biji berminyak) dengan kontribusi energi 74%; 2) pangan sumber protein/lauk-pauk (kacang-kacangan dan pangan hewani) dengan kontribusi 17%; 3) zat pengatur/sayur dan buah dengan kontribusi energi 6%; dan pangan lainnya (minuman dan bumbu) kontribusi energi 3%. Bobot 0,5 berasal dari 33,3 dibagi 74, bobot 2,0

(23)

23 berasal dari 33,3 dibagi 17%, dan bobot 5,0 berasal dari 33,3 dibagi 6 (Hardinsyah, N., Sinulingga, dan D. Martianto (2001) dalam Baliwati (2007).

Pada umumnya konsumsi energi di perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan, Fenomena tersebut dijelaskan oleh Regmi dan Dyck (2001), terdapatnya perbedaan kebutuhan energi antara perdesaan dan perkotaan diantaranya karena perbedaan gaya hidup, ketersediaan pangan dan kemampuan untuk membeli pangan.

Masyarakat perkotaan cenderung bergaya hidup sedentary sehingga memerlukan energi yang lebih sedikit, sedangkan aktivitas penduduk di perdesaan umumnya membutuhkan energi yang lebih besar. Pada umumnya beragam jenis pangan lebih banyak tersedia di perkotaan serta daya beli masyarakatnya lebih tinggi. Konsumsi di perdesaan diduga berkaitan dengan kemampuan daya beli yang dicerminkan oleh rata-rata pendapatan di perdesaan yang lebih kecil daripada perkotaan.

Sebagaimana diutarakan oleh Martianto, Ariani, dan Hardinsyah (2003), pada tingkat pendapatan yang terbatas, seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa ataupun prestise. Oleh karena itu mereka cenderung mengalokasikan pendapatannya untuk membeli pangan yang murah dan memberi rasa kenyang. Pada penelitian ini terlihat bahwa alokasi pengeluaran untuk pangan di perdesaan lebih besar daripada untuk bukan pangan.

Penjelasan tentang perbandingan skor PPH antara PPH nasional, PPH Provinsi Sulawesi Selatan dan PPH Kabupaten Wajo akan diuraikan pada tabel 6 berikut ini :

(24)

24 Tabel 6

Ketersediaan Energi Berdasarkan Skor PPH di Kabupaten Wajo Komoditas Pangan Skor PPH

Nasional Skor PPH Sul Sel Skor PPH Wajo

Padi-padian 25,00 25,00 33.50

Umbi-umbian 2,50 2,50 4,13

Pangan hewani 12,09 18,45 16,97

Minyak dan Lemak 5,00 2,95 2,57

Buah/Biji Berminyak 1,00 0,61 0,54

Kacang-kacangan 10,00 10,00 6,70

Gula 2,50 2,50 1,45

Sayur dan Buah 30,00 23,41 18,98

Lain-lain 0,00 0,00 0,00

Total 88,09 85,42 84,84

Sumber : Susenas 2011 dan Widya Karya Pangan dan Gizi VIII, 2004 Dan Hasil Olahan Data Primer, 2012

Skor PPH kabupaten wajo menurut hasil survey yang telah dilakukan secara umum menunjukkan bahwa masih berada di bawah skor PPH Provinsi Sulawesi Selatan dan skor PPH Nasional menurut susenas 2011. Sebagian besar penduduk di Kecamatan Sabbangparu adalah bekerja sebagai petani, dari hasil survei pendapatan keluarga di Desa Tadangpalie Kecamatan Sabbangparu rata-rata sebesar Rp. 650.000,-/bulan. Berdasarkan rekapitulasi konsumsi energi diperoleh skor PPH Kabupaten Wajo sebesar 84,84 yang dihitung berdasarkan data konsumsi energi 2.239 kkal dikalikan dengan rating dan bobot. Kualitas ketersediaan pangan penduduk untuk konsumsi pangan secara umum rata-rata total skor PPH ketersediaan pangan sebesar 84,84 (skor PPH Ideal = 100), yang dikelompokkan dalam Sembilan kelompok pangan berdasarkan kebutuhan normatif penyediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi penduduk.

(25)

25 V. KESIMPULAN SEMENTARA

5.1. Kesimpulan

1. M-KRPL sebagai sebuah konsep dalam program ketahanan pangan membutuhkan kebijakan yang tidak hanya diukur dari seberapa tepat secara teori atau arahan normatif namun juga bagaimana program tersebut dijalankan dan memberikan dampak bagi perubahan sosial yang diinginkan dalam masyarakat. Hal tersebut menuntut kesiapan kelembagaan yang efisien dalam menjalankan kebijakan secara konsisten dan mengedepankan proses pembelajaran bukan pemaksaan.

2. Inti dari kegiatan M-KRPL adalah Pemberdayaan dengan tujuan untuk pengembangan masyarakat, yang berarti menyediakan sumber-sumber, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan kepada warga masyarakat untuk meningkatkan kapasitasnya dalam waktu yang relatif cukup dan dukungan kebijakan yang tidak hanya menuntut hasil yang sempurna tetapi lebih mengedepankan proses untuk keberlanjutan program.

3. Secara umum kegiatan M-KRPL memberikan kontribusi positif bagi ketahanan pangan penduduk, melalui pengelolaan lahan pekarangan secara intensif, namun membutuhkan pendekatan dan komunikasi yang bijaksana karena berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya yang berada diluar kendali pendamping kegiatan. Oleh karena itu untuk harapan keberlanjutan kegiatan membutuhkan waktu yang relatif cukup agar dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

4. Rata-rata ketersediaan energi dan protein untuk konsumsi penduduk di Kabupaten Wajo berdasarkan hasil evaluasi Neraca Bahan Makanan (NBM) sebesar 2.239 kkal/kap/hari. Angka tersebut berada diatas standar (2.200 kkal/kap/hari), sedangkan rata-rata skor PPH sebesar 84,84, ini menunjukkan masih dibawah ideal (PPH=100). Jika dilihat ketersediaan energi dan protein dalam ketersediaan pangan baik jumlah maupun mutunya berfluktuasi dan rata-rata kontribusi energi dalam

(26)

26 kelompok pangan didominasi oleh kelompok padi-padian. Ketersediaan pangan untuk konsumsi penduduk di Kabupaten wajo termasuk kelebihan/surplus.

5.2. Saran-saran

1. Ketika pengembangan masyarakat hendak dipacu, maka pemberdayaan masyarakat mutlak dilakukan karena akan membuat masyarakat tahu dan mengerti bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhannya.

2. Langkah-langkah kongkrit yang harus dilakukan dalam pemberdayaan adalah melakukan analisa kebutuhan komunitas yang harus memperhatikan pemenuhan kebutuhan dan bukan sekedar pemenuhan keinginan yang bersifat pemenuhan sesaat saja. Analisa harus dilakukan secara mendalam agar dapat mengggali kebutuhan yang sesungguhnya.

3. Evaluasi dampak menjadi suatu keharusan, dan tentu saja harus dengan indikator yang jelas bagaimana mengukur pencapaiannya.

VI. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Pedoman Umum Pengembangan Konsumsi Pangan. Tersedia pada http://iptek.apjii.or.id/artikel/pangan/DEPTAN/materipendukung/Pedum%20 pengemb%20Konsumsi%20Pangan.htm. Diakses pada tanggal 9 September 2012.

Ariani, M.,Handewi PS., Sri Hastuti S, Wahida, M.Husein Sawit. 2000. Dampak krisis ekonomi terhadap konsumsi pangan rumah tangga. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian.

Ariningsih E., dan Rahman HPS., 2008. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Rumahtangga Rawan Pangan, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2005. Pedoman Penyusunan Neraca Bahan Makanan (NBM). Departemen Pertanian.

Baliwati YF,. 2007. Materi Pelatihan Analisis Ketersediaan Pangan Wilayah Berdasarkan Neraca Bahan Makanan (NBM) dan Pola Pangan Harapan (Tingkat Pertama). Edisi Provinsi Jawa Barat. Kerjasama Bagian Bina Ketahanan Pangan Biro Bina Produksi Setda Provinsi Jawa Barat dengan Tim Bagian Kebijakan Pangan Departemen Gizi Masyarakat Fakulat Ekologi Manusia IPB.

(27)

27 Danoesastro, Haryono,. 1978: Tanaman Pekarangan dalam Usaha Meningkatkan

Ketahanan Rakat Pedesaan. Agro – Ekonomi

FAO-RAPA. 1989. Desirable Dietary Pattern. Di dalam Setiawan Budi. 1990. Penyusunan Model Sistem Perencanaan Penyediaan Pangan Berdasarkan Pola Konsumsi. Pasca Sarjana IPB. Bogor.

FAO,1996, Food Security Assesment (Document WFS 96/Tech/7). Rome.

Hardinsyah, et al. 2001. Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan. Jakarta: Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG), Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor – Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Hubeis, A, V, S,. 1993. Situasi dan Kondisi Perempuan Tani dalam Pembangunan

Pedesaan DALAM Sri Wahyuni, dkk,. Eds,. Pengembangan Terpeadu Peranan Wanita Tani di Provinsi Sumatera Utara. Risalah Lokakarya Pembuatan Materi Penyuluhan Bagi Wanita Tani. Proyek Irigasi Bah Balom Sumatera Utara.

Hutapea, J. dan Mashar, A.Z. 2005. Ketahanan Pangan dan Teknologi Produktivitas menuju Kamandirian Pertanian Indonesia.

Kementerian Pertanian, 2011. Pedoman Umum Model Kawasan Rumah Pangan Lestari, Jakarta, 52 hal.

Krisnamurthi, B. 2003. Agenda Pemberdayaan Petani dalam rangka Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Jurnal Ekonomi Kerakyatan. Th. II - No. 7, Oktober 2003.

Martianto, D, Ariani, M, Hardinsyah. 2003. Perkembangan konsumsi dan ketersediaan pangan di Indonesia, 1993-2002. Pra WNPG; Jakarta, 17-19 Agustus 2003.

Regmi A, Dyck J. 2001. Effect of urbanization on global food demand. Di dalam: Regmi A, editor. Changing structure of global food consumption and trade. Washington: USDA WRS-01-1. hlm 23-30

Suryana, A 2004. Kemandirian Pangan Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Penerbit Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia (LISPI), Jakarta.

Susanto, D. 1991.Fungsi Sosial dan Budaya Pangan. Pangan No. 9 Vol II : 51-56. ________ 1994. Aspek-aspek Sosial Budaya Pangan dan Gizi Masyarakat. Materi:

Training Manajemen Penelitian Bidang Pangan dan Gizi Masyarakat; Bogor, 4-23 Juli 1994. Jurusan GMSK, Faperta, IPB bekerjasama dengan Bagian Proyek Pengembangan Kesehatan dan Gizi Masyarakat III, Ditbinlitabmas, Dikti.

Soemarwotto, O,. 1975,. Pengaruh Lingkungan Proyek Pembangunan. Prisma, No.3. Edisi Bulan Juli.

Terra, G.J.A. , 1949. Tuinbouw : Van Hall en C. Van de. Koppel : De Landbouw in de indische archpel. Terjemahan Haryono Danoesastro.

WJS. Poerwadarminta, 1976, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Gambar

Tabel  di  atas  menunjukkan  bahwa  usia  peserta  masih  sangat  produktif karena rata-rata usia 40 tahun

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit batang lamtoro 0,5% b/v; 1% b/v; 2% b/v; dan 4% b/v berkemampuan membunuh cacing gelang babi dengan

RPP dikembangkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran siswa dalam upaya mencapai Kompetensi Dasar (KD). Setiap guru pada satuan pendidikan

 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No Per.01/MEN/1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan..  Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja

Basuki Pratama Engineering Dengan PT Hitachi Construction Machinery Indonesia bahwa seringkali terjadi gesekan antara kepentingan perusahaan dengan kesejahteraan

Berdasarkan survei awal, wilayah Pantai Kalasey mengalami abrasi dan mengakibatkan hilangnya sebagian lahan daratan yang disebabkan oleh proses laut berupa gelombang dan

Mengaplikasikan dan mempamerkan pengetahuan dan kemahiran dalam bidang teknologi maklumat dan multimedia. Penyeliaan projek, kuliah, tutorial, seminar, kerja makmal, pembacaan

Bari dapat dipergunakan untuk menganalisa data pasien sehingga didapat informasi jumlah pasien RSUD Palembang Bari dari berbagai dimensi (waktu, pasien, asuransi,

Mewujudkan rancangan bangunan SMP N 2 Klaten yang bertaraf nasional yang mampu menjadi sarana bereksplorasi dan stimulasi belajar yang ditransformasikan pada perancangan