• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL. A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

A. Sejarah Lahirnya Hukum Humaniter Internasional

Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata adalah sebagai salah satu cabang dari Hukum Internasional publik. Hukum ini memiliki usia sejarah yang sama tua nya dengan peradaban umat manusia. Pada dasarnya segala peraturan tentang perang terdapat dalam pengaturan tentang tingkah laku, moral dan agama. Masing-masing agama seperti Buddha, Konfosius, Yahudi, Kristen, dan juga Islam memuat segala aturan mengenai hal yang bersangkutan dengan ketiga hal diatas. Bahkan di setiap peradaban yang pernah ada, ketentuan-ketentuan ini sudah ada. Peradaban bangsa Romawi mengenal konsep perang yang adil (just war).14

Secara historis, sebenarnya istilah hukum humaniter merupakan perkembangan lebih lanjut dari istilah hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict). Hal tersebut terjadi akibat Perang Dunia I dan II yang mempengaruhi berbagai bidang, termasuk hukum perang yang ditandai perubahan peristilahan yang digunakan.

Hukum perang merupakan istilah yang pertama kali dikenal atau digunakan. Namun, Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945)

(2)

yang telah menimbulkan korban jiwa (Perang Dunia I sekitar 38 juta orang dan Perang Dunia II sekitar 60 juta orang) maupun harta benda yang sangat besar, kemudian menimbulkan suasana antiperang yang meluas dan secara psikologis menyebabkan orang tidak lagi menyukai dan trauma dengan kata “perang”. Suasana antiperang ini mempunyai dampak pada berbagai bidang, salah satunya adalah hukum perang. Karena orang tidak mengiginkan adanya atau timbulnya perang, istilah perang sejauh mungkin dihindari dengan sendirinya istilah hukum perang juga tidak disukai. Akibat dari pandangan ini adalah ditinggalkannya usaha untuk mempelajari atau menyempurnakan hukum perang.15

Menurut ICRC Hukum Humaniter yakni :

“International humanitarian law is a set of rules which seek, for humanitarian reasons, to limit the effects of armed conflict. It protects persons who are not or are no longer participating in the hostilities and restricts the means and methods of warfare. International humanitarian l

aw is also known as the law of war or the law of armed conflict.”16

Hukum Humaniter Internasional (HHI) adalah kesatuan hukum yang terdiri dari konvensi Jenewa (Geneva Conventions) dan konvensi-konvensi-konvensi Hague (Hague Conventions). Konvensi Jenewa dirancang untuk melindungi personil militer yang tidak dapat lagi terlibat dalam pertempuran; orang-orang yang tidak terlibat aktif dalam permusuhan dan penduduk sipil. Hukum Den Haag yang menentukan hak dan kewajiban

15 KGPH. Haryomataram, Op Cit. Hlm 12

(3)

negara yang berperang tentang perilaku pada waktu operasi militer dan membatasi alat yang digunakan untuk menyerang musuh.

Banyak terjadi perkembangan terhadap salah satu cabang hukum internasional ini. Terhadap bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjang dan pesat. Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai upaya telah dilakukan untuk memanusiawikan perang. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang, acap kali mengalami pasang surut, hambatan, dan kesulitan. Upaya-upaya tersebut dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter, yang terdiri atas :

1. Zaman Kuno

Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberi peringatan dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit dari kedua pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula, pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan, maka pihak-pihak yang berperang biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.17 Selain itu, dalam berbagai peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000 sampai dengan 1500 Sebelum

(4)

Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut :

a) Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrase, kekebalan utusan musuh dan perjanjian damai.

b) Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimana disebutkan dalam “seven works of true mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh juga perintah untuk merawat yang sakit dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, ”anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”. Seorang tamu, bahkan musuhpun tak boleh diganggu.

c) Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana para penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak danpenduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang dengan kekejaman.

(5)

d) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah, yang luka harus segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang.

Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra sejarah, periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang dilakukan, antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai sasaran perang, dan juga tentang pengakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan (prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berota raja yang memuat tentang kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan diserang oleh bala tentara raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui adanya perintah raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik

2. Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” (just war), ajaran

(6)

Islam tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191, surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran.18 Adapun prinsip kesatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata tertentu.

3. Zaman Modern

Hukum Humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di medan tempur. Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang, dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama.

Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi

18 Masjur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar Dasar-dasar Hukum

(7)

1864 ini merupakan hasil yang dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry Dunant menulis buku tentang pengalaman-pengalamannya di medan pertempuran antara Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un Souvenir de Solferino” (1861). Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit yang sakit pada saat medan pertempuran Solferino.19 Buku ini sangat menggugah penduduk kota Jenewa, sehingga warga kota yang tergabung dalam “ Societe d’Utilite Publique” dibawah pimpinan Gustave Moynier membentuk sebuah panitia yang terdiri dari 5 (lima) orang pada tanggal 17 Februari menjadi sebuah badan yang dinamakan “Comite international et permanent de secours aux militaries blesses”. Panitia yang terdiri dari 5 (lima) warga kota Jenewa ini mengambil inisiatif untuk mengadakan sebuah konferensi internasional tidak resmi untuk membahas kekurangan-kekurangan perawatan kesehatan tentara pada saat medan pertempuran.

Konferensi yang dihadiri oleh 16 negara berhasil membentuk sebuah badan yang dinamakan Palang Merah dalam bulan Oktober 1963. Karena merupakan suatu konferensi yang tidak resmi, konferensi tidak dapat mengambil keputusan-keputusan yang mengikat negara-negara peserta. Namun demikian konferensi menyarankan dalam suatu annex yang dilampirkan pada resolusi-resolusi bahwa anggota dinas kesehatan dan yang luka-luka dalam pertempuran dilindungi dengan jalan “menetralisir mereka”. Pada tahun 1864, Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan mengadakan suatu konferensi internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berkuasa penuh dari negara-negara

19 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1949, Bina Cipta, Bandung, 1986, hal. 4

(8)

yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi ini didalamnya mengandung asas-asas bagi perlakuan korban perang yang hingga kini masih berlaku.20

Konvensi 1864, yaitu Konvensi untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang Darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali Konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka dan personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum. Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Tanda Palang Merah ini merupakan lambang dari International Committee of the Red Cross, yang sebelumnya bernama International Committee for the Aid the Wounded, yang didirikan oleh beberapa orang warga Jenewa dan Henry Dunant pada tahun 1863.21 Peristiwa penting lainnya adalah rancangan Kode Leiber ( Instructions for Government of Armies of the United States, 1863), di Amerika Serikat, yang mencantumkan instrumen-instrumen panjang dan serba lengkap dari semua hukum dan kebiasaan perang, dan juga menggaris bawahi asas-asas kemanusiaan

20 “Sebagaimana dimuat dari” https://m.facebook.com/notes/desiminasi-palang-merah/sejarah-singkat-gerakan-palang-merah-dan-bulan-sabit-merah/148315315191118/, Diakses pada tanggal 11 Maret 2015

21Hans Haug, Humanity for All. The International Red Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Haupt, Switzerland, 1993, hal. 52.

(9)

tertentu yang tak begitu jelas sebelumnya. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan perang, orang yang luka, dsb.

Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter dikembangkan melalui traktat-traktat yang menjadi mayoritas negara negara setelah tahun 1850.22 Pada dasarnya, tujuan dari Hukum Humaniter adalah untuk memberikan perlindungan kepada mereka yang menderita atau yang menjadi korban dari perang, baik mereka yang secara nyata dan aktif dalam pertikaian (kombat), maupun mereka yang tidak turut serta dalam pertikaian (penduduk sipil)23

Hukum Humaniter diciptakan bukan tanpa suatu tujuan yang jelas. Hukum Humaniter mempunyai tujuan utama yaitu memberi perlindungan terhadap seluruh korban perang baik yang berasal dari kombatan maupun non kombatan. Selain itu, tujuan dari hukum ini adalah untuk menjamin hak-hak asasi dari setiap pihak yang jatuh ke tengah musuh. Disamping memberikan perlindungan, hukum humaniter juga diharapkan mampu memberikan harapan untuk terjadinya perdamaian antara pihak yang bertikai serta mambatasi kekuasaan dari setiap pihak yang berperang agar tidak terjadi penguasaan total oleh pihak dalam suatu wilayah pertikaian.

22“Sebagaimana dimuat dari” http://ahrdirahmat.blogspot.com/2011/02/sejarah-lahirnya-hukum-humaniter-hampir.html, Diakses pada tanggal 21 Februari 2015

(10)

Berdasarkan tujuan yang telah diuraikan diatas, terkandung 3 (tiga) asas penting dalam Hukum Humaniter dan Prinsip dari Hukum Humaniter Internasional :

a) Asas Kepentingan Militer (Militery Necessity)

Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang kelompok bersenjata (belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak melanggar hukum perang.

b) Asas Perikemanusiaan (Humanity)

Menurut asas ini pihak yang bersengketa wajib untuk memperhatikan perikemanusiaan dan mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.

c) Asas Kesatria (Chivalry)

Asas ini mengandung arti bahwa dalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat dilarang. Asas kesatriaan tergambar dalam hampir semua ketentuan Hukum Humaniter. Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Haag III (1907) mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities). Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya (previous and explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang

(11)

(declaration of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war).24

Sedangkan Prinsip dari Hukum Humaniter Internasional sendiri adalah: a) Prinsip kepentingan Militer (Militery Necessity)

Prinsip kepentingan militer ini ialah hak pihak yang berperang untuk menentukan kekuatan yang diperlukan untuk menaklukan musuh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dengan korban yang sekecil-kecilnya. Namun demikian, perlu diingat pula bahwa hak pihak yang berperang untuk memiliki alat/senjata untuk menaklukan musuh adalah tidak terbatas.

b) Prinsip Kemanusiaan (Humanity)

Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat kekerasan (violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan perang. Orang-orang yang luka atau sakit, dan juga mereka yang telah menjadi tawanan perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan oleh karena itu mereka harus dirawat dan dilindungi. Demikian pula dengan penduduk sipil yang tidak turut serta dalam konflik harus dilindungi dari akibat perang

c) Prinsip Kesatriaan (Chivalry)

Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian alat/senjata dan cara berperang yang tidak terhormat.

d) Prinsip Pembedaan

24“Sebagimana dimuat dari” http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.html, Diakses pada tanggal 24 Februari 2015

(12)

Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata dalam dua golongan, yaitu kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. Perlunya prinsip pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan dan mana yang tidak boleh dijadikan obyek kekerasan. Dalam pelaksanaannya prinsip ini memerlukan penjabaran lebih jauh lagi dalam sebuah asas pelaksanaan (principles of application), yaitu :

1) Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat harus bisa membedakan antara kombatan dan penduduk sipil untuk menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil.

2) Penduduk sipil tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun untuk membalas serangan (reprisal).

3) Tindakan maupun ancaman yang bertujuan untuk menyebarkan terror terhadap penduduk sipil dilarang.

4) Pihak yang bersengketa harus mengambil langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau setidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tidak sengaja menjadi kecil.

(13)

5) Hanya angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.

6) Rule of Engagement (ROE).25

Sebagaimana telah disebutkan pada halaman sebelumnya, mengenai ruang lingkup dari hukum humaniter tersebut terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Hukum Den Haag mengatur mengenai cara serta perlengkapan yang boleh dipakai pada saat berperang, sedangkan hukum Jenewa mengatur mengenai bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban perang. Dengan kata lain, kedua hukum inilah yang menjadi sumber utama dari hukum humaniter.

Hukum Den Haag (The Hague Laws) memiliki fokus pengaturan terhadap tata cara peperangan serta jenis persenjataan yang diperkenalkan untuk dipakai selama perang. Pembahasan mengenai hukum ini, berorientasi kepada Konfrensi Perdamaian I pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II pada tahun 1907. Rangkaian konvensi inilah yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan “Hukum Den Haag”. Ada prinsip utama penting yang terdapat dalam hukum ini. Prinsip itu berbunyi,”The right of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not

unlimitied”26. Artinya adalah berarti ada tata cara tertentu serta alat-alat tertentu

yang dilarang untuk digunakan selama masa perang.

Konferensi Den Haag yang berlangsung dari 18 Mei-29 Juli 1899 pada akhirnya menghasilkan tiga konvensi serta tiga deklarasi. Tiga konvensi tersebut antara lain :

1. Konvensi I mengenai Penyelesaian Damai Persangkutan Internasional.

25 Arlina Permanasari, Op cit, hlm 73 26 KGPH Hayomataram, Op cit, hlm 46

(14)

2. Konvensi II mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.

3. Konvensi III mengenai adaptasi Azas-Azas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.

Bahwa dalam konferensi ini tidak hanya menghasilkan tiga konvensi, tetapi juga melahirkan tiga deklarasi pada 29 Juli 1899. Tiga deklarasi tersebut terdiri dari27:

1. Melarang menggunakan peluru-peluru dum-dum (peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia)

2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selama jangka waktu 5 tahun yang berakhir di tahun 1905 juga dilarang. 3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan

beracun dilarang.

B. Sumber Hukum Humaniter Internasional

Sebagai bagian dari hukum internasional publik, tentu saja aturan aturan HHI tidak harus hanya bersumber dari perjanjian perjanjian internasional saja. Sebagaimana cabang hukum internasional lainnya, norma Hukum Humaniter Internasional juga bersumber dari kebiasan hukum internasional dan prinsip-prinsip hukum yang diakuai oleh bangsa-bangsa.28 Tentu saja, perjanjian perjanjian internasional merupakan sumber yang paling mudah di temui dan bisa dipahami jika dibandingkan dengan dua sumber hukum lainnya. Disamping itu, keputusan organisasi internasional, sebagaimana halnya pendapat para ahli,

27 Ibid. Hlm 23

(15)

menjadi sumber untuk menemukan hukum kebiasaan internasional. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya, maka telah diketahui bahwa Hukum Humaniter terdiri dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.

Hukum Den Haag merupakan ketentuan Hukum Humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang. Konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh konperensi Perdamaian di Den Haag (1899-1907) adalah29 :

1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional. 2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut

Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata. 3. Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan.

4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag.

5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di darat.

6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Peperangan.

7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang. 8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis didalam Laut. 9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang. 10. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang perang

di laut.

29 Arlina permanasari.Op cit. Hlm 24

(16)

11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut.

12. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan.

13. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam perang di laut.

Konferensi Den Haag mengatur cara dan alat berperang telah membentuk persyaratan dalam Hukum Internasional bahwa pecahnya permusuhan harus didahului dengan pengumuman perang secara resmi.

Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, terdiri atas beberapa perjanjian pokok perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa 1949, yang masing-masing adalah: 30

1. Geneva convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field ;

2. Geneva Convention for the Amelioration of the condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea ;

3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoner of War ;

4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War.

Keempat konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977 ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan :31

30 Ibid. Hlm 32

(17)

1. Protocl Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to the Protections of Victims of International Armed Conflict (Protocol I ) ; dan

2. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, And Relating to the Protection of Victims of Non Internasional Armed Conflicts (Protocol II).

Protokol I maupun II tersebut di atas adalah merupakan tambahan dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Penambahan itu dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap perkembangan pengertian sengketa bersenjata, pentingnya perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit dan korban karam dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan mengenai alat dan cara berperang. Protokol I tahun 1977 mengatur tentang perlindungan korban pertikaian bersenjata internasional, sedangkan Protokol II mengatur tentang korban pertikaian bersenjata non – internasional.32

Peranan konvensi Jenewa dalam sejarah pertumbuhan hukum perang dan kedudukan konvensi-konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban perang yang meliputi lebih dari separuh dari hukum perang yang berlaku pada dewasa ini, menunjukkan berapa meluas dan mendalamnya sudah asas perikemanusiaan dalam hukum perang. Azas perikemanusiaan tidak saja menjiwai konvensi-konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban perang, tetapi pada hakekatnya merupakan suatu asas pokok dari pada seluruh hukum perang. Hukum perang, baik yang berwujud peraturan-peraturan Den Haag maupun yang berbentuk

(18)

peraturan-peraturan Jenewa hanya dapat kita pahami sungguh-sungguh apabila kita dapat melihat sebagai perpaduan anatra asas-asas kepentingan militer dan asas perikemanusiaan.33

Sebagaimana halnya telah diketahui umum, bahwa sejak konferensi Perdamaian di Kota Den Haag pada tahun 1899 telah berhasil disepakati bersama Konvensi-konvensi Haque, yang pada pokoknya berisi hukum dan kebiasaan perang dan cara-cara berperang pada umumnya (conduct of war), Hukum Den Haag ataupun Hukum Jenewa merupakan bagian dari Hukum Internasional Humaniter, karena mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan internasional bagi kombatan, bagi mereka yang berhenti bertempur (hors de combat), pengaturan di wilayah pendudukan, perlindungan bagi penduduk sipil, obyek-obyek sipil, barang-barang budaya (termasuk mesjid dan gereja) lingkungan hidup dan sebagainya. Karena itu baik hukum Haque maupun Hukum Jenewa mengatur tentang perang, tidak mengherankan apabila ada bagian-bagian yang saling mengisi dan melengkapi, dan kedua hukum itu merupakan perpaduan antara asas-asas kepentingan militer dan asas-asas perikemanusiaan. Kedua hukum itu yang kemudian dikenal sebagai hukum perang. Oleh karena eratnya hubungan Konvensi-konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban Perang dengan asas-asas perikemanusiaan ini menyebabkan mengapa konvensi-konvensi ini disebut juga sebagai konvensi-konvensi humaniter.

C. Subjek dan Objek Hukum Humaniter Internasional

(19)

Setiap sistem hukum mempunyai subyek hukum, secara umum pengertian subyek hukum berarti segala sesuatu yang dianggap menjadi pendukung hak dan kewajiban. Pada mulanya, yang dianggap sebagai subyek hukum nasional hanyalah individu. Tetapi karena perkembangan zaman, maka badan hukum juga dapat dianggap sebagai subyek hukum (rechtspersoon), karena memiliki hak dan kewajiban tersendiri dalam kacamata hukum.34 Hukum Internasional juga memiliki Subyek Hukum yaitu, sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula, dan kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Menurut Ian Brownlie, Subjek Hukum Internasional merupakan entitas yang mengundang hak-hak dan kewajiban-kewajiban internasional, dan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan hak-haknya dengan mengajukan klaim-klaim internasional. Sedangkan Menurut Starke, subjek hukum internasional terdiri atas negara, tahta suci, Palang Merah Internasional, organisasi internasional, orang-perorangan (individu), pemberontak, dan pihak-pihak yang bersengketa.

Hukum internasional memiliki Subjek hukum yakni berupa : 1. Negara

Sejak lahirnya hukum internasional, negara sudah diakui sebagai subjek hukum internasional. Bahkan, hingga sekarang pun masih ada anggapan bahwa hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum antarnegara.

(20)

Dalam suatu negara federal, pengemban hak dan kewajiban subjek hukum internasional adalah pemerintah federal. Tetapi, adakalanya konstitusi federal memungkingkan negara bagian (state) mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas atau melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh pemerintah federal. Sebagai contoh, dalam sejarah ketatanegaraan USSR (Union of Soviet Socialist Republics) dulu, Konstitusi USSR (dalam batas tertentu) memberi kemungkinan kepada negara-negara bagian seperti Byelo-Rusia dan Ukraina untuk mengadakan hubungan luar negeri sendiri di samping USSR.

2. Takhta Suci

Di samping negara, sejak dulu Takhta Suci (Vatikan) merupakan subjek hukum internasional. Hal ini merupakan peninggalan sejarah masa lalu. Ketika itu, Paus bukan hanya merupakan kepala Gereja Roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga sekarang, Takhta Suci mempunyai perwakilan diplomatik di banyak ibukota negara, termasuk di Jakarta.

3. Palang Merah Internasional

Palang Merah Internasional (PMI), yang berkedudukan di Jenewa, mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional. Kedudukan Palang Merah Internasional sebagai subjek hukum internasional lahir karena sejarah masa lalu. Pada umumnya, kini Palang Merah Internasional diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional, walaupun dengan ruang

(21)

lingkup terbatas. Dengan kata lain, Palang Merah Internasional bukan merupakan subjek hukum internasional dalam arti yang penuh.

4. Organisasi Internasional

Orang perseorangan juga dapat dianggap sebagai Subjek Hukum internasional, meskipun dalam arti yang terbatas. Dalam perjanjian perdamaian Versailles tahun 1919, yang mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Perancis (bersama sekutunya masing-masing), sudah terdapat Pasal-Pasal yang memungkinkan orang perseorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional. Dengan demikian, sejak itu sudah ditinggalkan dalil lama bahwa hanya negara yang bisa menjadi pihak di depan suatu peradilan internasional. 5. Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa (Belligerent)

Menurut hukum perang, dalam beberapa keadaan tertentu, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent). Akhir-akhir ini muncul perkembangan baru yang mirip dengan pengakuan terhadap status pihak yang bersengketa dalam perang. Namun, perkmbangan baru tersebut memiliki ciri lain yang khas. Perkembangan baru tersebut adalah, adanya pengakuan terhadap gerakan pembebasan, seperti Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). Pengakuan terhadap gerakan pembebasan sebagai subjek hukum internasional tersebut merupakan perwujudan dari suatu pandangan baru. Pandangan baru tersebut terutama dianut oleh negara-negara dunia ketiga. Mereka mendasarkan diri pada pemahaman, bahwa bangsa-bangsa mempunyai

(22)

hak asasi seperti: hak menentukan nasib sendiri hak secara bebas memilih sistem ekonomi, politik, dan sosial mandiri dan hak menguasai sumber kekayaan alam di wilayah yang didiaminya.35

Sebagai cabang hukum internasional, maka hukum humaniter juga mempunyai subjek hukum yaitu berupa pemilik hak-hak dan kewajiban dalam hukum humaniter internasional apakah yang terdapat dalam konvensi Jenewa, untuk melindungi personil militer yang tiadak ikut mengambil bagian dalam pertempuran dan orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan, yakni penduduk sipil sedangkan Konvensi Den Haag, menetapkan hak dan kewajiban pihak-pihak yang berperang dalam melaksanakan operasi militer dan menetapkan batasan mengenai sarana yang boleh dipakai untuk mencelakai musuh.36

Berdasarkan Subjek Hukum Humaniter Internasional adalah memiliki hak-hak dan kewajiban dalam hukum humaniter yakni :

a. Negara

b. Orang yang dilindungi dari perang seperti, anak-anak, wanita, orang sakit. c. Pemberontak dan pihak yang bersengketa.

Pengaturan tentang suatu perang dalam Hukum Humaniter yang harus diperjelas dan harus dilandaskan pada “sebab yang layak dan benar (just cause), diumumkan sesuai dengan aturan kebiasaan yang berlaku, dan dilaksanakan dengan cara-cara yang benar”. Hal tersebut dapat dipahami karena begitu besar efek yang dirasakan akibat pecahnya konflik bersenjata ini, terutama ketika

35 “Sebagaimana dimuat dari” http://www.zonasiswa.com/2014/11/subjek-hukum-internasional.html, Diakses pada tanggal 12 April 2015

36 “Sebagaimana dimuat dari” http://bahankuliyah.blogspot.com/2014/05/hukum-humaniter-internasional.html, Diakses pada tanggal 12 April 2015

(23)

Perang Dunia I yang ternyata memberikan kesengsaraan yang begitu luar biasa bagi umat manusia. Berjuta-juta orang baik yang berasal dari kalangan militer maupun dari kalangan sipil yang menjadi korban. Tidak hanya nyawa yang menjadi korban bahkan kerugian yang berwujud harta kekayaan ini kiranya sulit untuk dihitung.

Untuk itu konflik bersenjata harus diperhitungkan efek yang ditimbulkannya, sekalipun konflik bersenjata ini harus terjadi, setidaknya konflik bersenjata ini terjadi atas dasar (argumentasi) pada sebab yang layak dan benar dari masing-masing pihak yang bertikai. Pihak yang bertikai ini juga harus mematuhi hukum dan kebiasaan perang yang berlaku, karena mengingat bahwa dampak yang sangat besar yang dirasakan akibat timbulnya konflik bersenjata ini. Sebenarnya apa yang dapat dikategorikan sebagai pengertian konflik bersenjata (perang) ini sampai sekarang belum begitu jelas. Sehingga pengertian secara umum ketika mendengar istilah “penggunaan kekerasaan”37

dalam lingkup hubungan antar negara maka yang akan tergambar dalam pemikiran adalah pengertian “perang” itu sendiri baik bagi pihak yang telah memahami hukum dan kebiasaan perang maupun pihak awam yang tidak mengerti hukum dan kebiasaan perang. Sesungguhnya perang itu sendiri hanyalah merupakan salah satu bentuk penggunaan kekerasan senjata dalam upaya penyelesaian suatu permasalahan yang terjadi diantara para pihak. Oleh karena itu, sebagai pilihan terakhir ketika permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan secara damai maka senjata akan menjadi pilihan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

37 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Bandung: Refika Adhitama, 2000), hlm.2.

(24)

Selanjutnya sistem hukum juga mempunyai obyek hukum yaitu segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia/badan hukum) yang dapat menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subyek hukum, oleh karenanya dapat dikuasai oleh subyek hukum.38 Obyek hukum ini berupa benda. Berikut penjelasan benda sebagai obyek hukum, menurut pasal 503, 504 dan 505 KUHperdata, dan sehubungan dengan perundang-undangan lainnya, benda atau zaak dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu berupa :

1) Benda bertubuh atau benda berwujud (lichamelijke zaken), benda ini bersifat diraba dirasakan dengan panca indra.

2) Benda tak bertubuh atau benda tak berujud (onlichamelijke zaken), benda ini hanya dapat dirasakan dengan panca indra saja, tidak dapat dilihat dan dirasakan. Tidak dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan.39

Kemudian Manusia yang pernah sebagai Obyek hukum pada masa sekarang ini perbudakan sudah tidak ada lagi, perbudakan dianggap suatu perbuatan yang bertentangan dengan kemanuisaan dan tiap-tiap negara modern ini tidak membenarkan adanya perbudakan. Perbudakan ini sendiri bertentangan dengan Hak Asasi Manusia seperti yang telah dicetuskan tanggal 10 Desember 1948 oleh lembaga dunia PBB dalam Universal Declaration of Human Right. Lalu selain membahas perbudakan, manusia dianggap sebagai benda yang dijualbelikan, disewakan, bahkan ada pula di sembelih seperti binatang.40

Hukum internasional juga memiliki obyek hukum yaitu pokok-pokok permasalahan yang dibicarakan atau dibahas dalam hukum internasional. Namun,

38 R. Soeroso, Op cit, hlm 246 39 Ibid, hlm248

(25)

kawasan geografis suatu Negara (difined territory) juga dapat dikatakan sebagai objek hukum internasional dikarenakan sifat objek hukum internasional hanya biasa dikenai kewajiban tanpa biasa menuntut haknya. Contoh-contoh objek hukum internasional adalah.

a) Hukum Internasional Hak Asasi Manusia

Hukum Internasional hak asasi manusia adalah semua norma hukum internasional yang ditunjukkan untuk menjamin perlindungan terhadap pribadi (individu)

b) Hukum Humaniter Internasional

Hukum Humaniter Internasional adalah semua norma hukum internasional yang bertujuan memberi perlindungan pada saat timbul konflik bersenjata bukan internasional, kepada anggota pasukan tempur yang tidak bias lagi menjalankan tugasnya lagi, atau orang-orang yang tidak terlibat dalam pertempuran

c) Hukum Kejahatan terhadap Kemanusiaan (massal)

Istilah ini dikeluakan oleh pengadilan Nurenberg untuk perbuatan kejam Nazi Jerman terhadap warga negaranya sendiri. Namun, dewasa ini genosida (pembunuhan massal dilatar belakangi kebencian terhadap etnis, suku tertentu) juga termasuk dalam hukum ini.41

Objek hukum internasional dapat berubah disebabkan dunia global dan internasional yang bersifat dinamis (selalu berubah). Sehingga tindak lanjut dari hukum internasional itu sendiri akan berubah mengikuti arus perkembangan

41 “Sebagaimana dimuat dari” http://sarahhifis29.blogspot.com/2011/07/subjek-dan-objek-hukum-internasional.html, Diakses pada tanggal 14 April 2015

(26)

zaman dan permasalahan baru yang akan timbul dalam hubungan internasional kedepannya. Seperti permasalahan kasus perompakan kapal-kapal laut di Somalia. Kasus ini menyebabkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan resolusi agar kejadian ini tidak terulang kembali.42

Sebagai cabang Hukum Internasional, maka Hukum humaniter juga mempunyai Obyek hukum berupa, benda benda yang terkait dengan kekayaan budaya (cultural property). Obyek hukum humaniter ini bertujuan untuk melindungi benda benda kekayaan budaya dan melindungi semua penduduk sipil dengan memfasilitasi berupa medis dan ambulances. Hukum humaniter melindungi cultural property atas perbuatan-perbuatan berupa :

1) Perusakan (destruction) 2) Pencurian (theft)

3) Pengambil alihan (requisition) 4) Penyitaan (confiscation)

5) Tindak balasan (acts of reprisal)

Kemudian untuk sebagai penambahan penjelasan penggunaan cultural property untuk mendukung aksi militer tidak dibenarkan/dilarang (Pasal 53

Additional Protocol I dan Pasal 16 Additional Protocol II).43

Konvensi Hague 1954 ini mempunyai suatu prinsip dasar yang menjadi dasar ideologi perlindungan benda budaya dunia. Prinsip tersebut terdapat dalam pembukaan konvensinya: “Being Convinced that damage to cultural property belonging to any people whatsoever means damage to cultural heritage of all

42 “Sebagaimana dimuat dari” https://younkhendra.wordpress.com/2009/01/26/tugas-mt-kul-hukum-internasional/, Diakses pada tanggal 14 April 2015

(27)

mankind, since each people makes its contribution to the culture of the world”. Perlindungan yang diberikan oleh konvensi ini terbagi menjadi General Protection, dan Special Protection. Perlindungan Umum atau General Protection diberikan pada setiap properti budaya yang ada dalam suatu area konflik bersenjata. Militer dilarang menggunakan properti tersebut kecuali ada kepentingan militer yang memaksa. Perlindungan Khusus diberikan bagi properti budaya yang kemudian telah didaftarkan dalam suatu International Register of Cultural Property under Special Protection, maka pengecualian untuk boleh berlakunya peran militer dalam properti budaya hanyalah dengan alasan ”unavoidable military necessity (kepentingan militer yang tak terhindarkan)”. Peraturan ini dengan jelas menunjukkan kelemahan Konvensi ini, karena ternyata properti budaya pun masih dapat digunakan untuk kepentingan militer, walaupun kelebihannya adalah dengan adanya peraturan tersebut, bolehnya digunakan suatu properti budaya adalah hanya izin kepada komando tertinggi, sehingga perusakan yang terjadi mampu tereduksi.44

Pemahaman mengenai benda budaya dari aspek yuridis, merupakan dari ketentuan Hukum Humaniter yakni Protokol Tambahan I tahun 1977. Ketentuan Pasal 52 ayat (1) Protokol I menyatakan bahwa ‘objek sipil adalah semua objek yang bukan objek militer’. Norma ini kelihatannya sangat simpel dan mudah dimengerti.

Akan tetapi ketentuan dalam ayat (1) ini kemudian masih diperjelas kembali dengan ketentuan ayat (2)-nya. Ayat (2) menambahkan bahwa yang

44 “Sebagaimana dimuat dari” http://skripsichopinkecil.blogspot.com/, Diakses pada tanggal 14 April 2015

(28)

dimaksud dengan sasaran militer adalah semua objek yang karena sifatnya, lokasinya, tujuan atau kegunaannya dapat memberikan kontribusi yang efektif pada operasi militer dan apabila (objek-objek tersebut) dihancurkan baik keseluruhannya maupun sebagian, dikuasai atau dinetralkan, dalam situasi yang terjadi pada saat itu, maka hal tersebut dapat memberikan keuntungan militer yang pasti. Maka, bahwa suatu objek sipil dapat pula dianggap sebagai sasaran militer apabila telah memenuhi persyaratan yang dicantumkan dalam Pasal 52 ayat (2) ini. Dengan demikian, suatu objek sipil dapat pula dianggap sebagai objek militer bila karena sifat/lokasinya, objek tersebut dapat memberikan kontribusi yang efektif dalam operasi militer, atau bila objek tersebut dihancurkan, dikuasai, dinetralisasikan baik sebagian maupun seluruhnya, maka hal itu dapat memberikan keuntungan militer yang pasti. Hal ini berarti suatu objek sipil, dapat dimiliterkan, baik itu dengan dijadikan sebagai markas atau tempat persembunyian ataupun dijadikan tempat penyimpanan amunisi dan sebagainya.45

Jika hal ini dilakukan, maka sudah barang tentu objek tersebut bukan lagi merupakan objek sipil, karena telah kehilangan fungsi-fungsi sipilnya sebagai objek sipil namun objek tersebut akan dianggap sebagai objek militer karena fungsinya telah beralih untuk membantu tujuan-tujuan yang bersifat militer. Dengan demikian, objek tersebut dapat dijadikan sasaran serangan walaupun dari segi penampilannya merupakan objek sipil. Salah satu contoh benda budaya yang mendapat perlindungan khusus yaitu Candi Borobudur, Candi Sewu, Masjid

45 “Sebagaimana dimuat dari” https://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-humaniter/, Diakses pada tanggal 9 maret 2015

(29)

Istiqlal, Monas, dll. Dalam pasal 11 ayat (1-3) Konvensi Den Haag 1954 dijelaskan bahwa :

1) Jika suatu negara pihak melakukan suatu perlanggaran terhadap Pasal 9

(Konvensi Den Haag 1954), berkenaan dengan benda budaya yang berada

dalam perlindungan khusus, maka pihak musuh selama pelanggaran tersebut terjadi, harus dibebaskan dari kewajiban untuk menjamin imunitas benda budaya yang bersangkutan. Bagaimanapun, selama memungkinkan, pihak musuh terlebih dahulu harus meminta agar pelanggaran tersebut dihentikan.

2) Imunitas benda budaya yang berada dalam perlindungan khusus dapat dicabut hanya dalam kasus-kasus yang sangat eksepsional (khusus) dari kepentingan militer yang mutlak, dan hanya hanya berlaku pada saat diperlukan saja. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh seorang Komandan yang memimpin suatu pasukan setingkat Divisi atau yang lebih tinggi apabila situasi mengijinkan, maka Pihak musuh harus diberitahukan sebelumnya mengenai penarikan imunitas benda budaya tersebut.

3) Pihak yang menarik imunitas tersebut, sesegera mungkin harus menginformasikan Komisioner Jendral untuk Benda-benda Budaya sebagaimana tercantum dalam Regulasi, secara tertulis dan dengan menyebutkan alasannya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 11 tersebut, maka telah jelas bahwa suatu benda budaya dapat dicabut imunitasnya sebagai benda budaya, apabila lokasi, tujuan, atau penggunaannya memang benar-benar dapat memberikan keuntungan

(30)

militer sesuai dengan persyaratan dalam Pasal 52 ayat (2) Protokol Tambahan I 1977. Apabila benda tersebut berada dalam perlindungan khusus, maka pelepasan imunitas tersebut hanya dapat dilakukan oleh seorang Komandan yang mempimpin pasukan setingkat Divisi (pangkat minimal Mayor Jendral), dan pelepasan imunitas benda budaya tersebut harus memenuhi persyaratan sebagaimana Pasal 11 Konvensi Den Haag 1954.46

D. Ruang Lingkup Hukum Humaniter Internasional

Ruang lingkup Hukum Humaniter mempunyai beberapa aliran,berikut aliran dari ruang lingkup hukum humaniter internasional :

a) Aliran yang sangat luas

Jean pictet berpendapat bahwa ruang lingkup aliran sangat luas ialah: 1) Hukum perang, yang terbagi jadi 2 bagian yakni:

1. Hukum the Hague 2. Hukum Jenewa

2) Hak-hak asasi manusia (human right)

International Humanitarian law kemudian diberi definisi sebagai berikut :

International Humanitarian Law, in the wide sinse, is constituted by all the international legal provisions, whether written or customary, ensuring respect for the individual and his well being.

46 sebagai mana dimuat dari”https://arlina100.wordpress.com/2008/12/20/benda-budaya-apakah-objek-sipil/, Diakses pada tanggal 28 Februari 2015

(31)

Selanjutnya, Pictet juga memberikan definisi law of war, law of the Hague, law of Geneva dan legislation of human right. Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Pictet menggunakan istilah hukum perang dalam arti yang sebenarnya (the law of war properly so called),yaitu hukum the Hague. Selanjutnya Pictet menamakan hukum jenewa sebagai hukum humaniter yang sebenarnya (humanitarian law properly so-called). Adapun yang dimaksudkan dengan legislation of human right adalah sebagai berikut:

“Legislation of human right has as object to guarantee at all time for individuals the enjoyment of fundamental right and liberties and to preserve them from social evils.”

Seterusnya Pictet menjelaskan lima fundamental principles dan tiga common principles.

Pendapat Pictet ini digolongkan dalam pendapat yang memberikan ruang lingkup yang luas karena disamping hukum perang, yang mencakup hukum the Hague dan hukum Geneva, International Humanitarian Law juga mencakup human right. Tidak banyak ahli yang menganut pendapat Pictet ini. Salah seorang ahli yang mendukung pendapat yang sempit adalah Geza Herczegh. Menurutnya, pengertian International Humanitarian Law hanyalah terbatas pada hukum Geneva saja. Geza Herczegh mengatakan :

We inevitably come to conclusion that the term international humanitarian law cannot be properly used in other than its stricter meaning in my view, this term should be restricted to the rules of the so called Geneva Law.

(32)

Adapun alasan yang dikemukakan oleh Herczegh berkaitan dengan pendapat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Hukum yang benar-benar dapat dikatakan mempunyai sifat internasional dan humaniter hanyalah apa yang disebut hukum Jenewa saja. Apabila hukum the Hague dimasukkan, hal ini hanya akan mengurangi sifat humaniter yang begitu diutamakan.

2. Human right tidak dimasukkan karena didalam literatur hukum negara sosialis, human right ini ditegakkan (enforced) oleh negara dengan jalan/sarana hukum nasional.47

b) Aliran sempit

Seorang ahli lain yang juga menganut pendapat yang sempit adalah Esbjorn Rosenblad, akan tetapi pendapatnya tidak sama dengan pendapat Herczegh. Rosenblad mengatakan bahwa the law of armed conflict berhubungan dengan masalah :

1) Permulaan dan berakhirnya pertikaian 2) Penduduk wilayah lawan

3) Hubungan pihak bertikai dengan negara netral.

Rosenblad berpendapat bahwa law of warfare mempunyai arti yang lebih sempit dari Law armed conflict, dan Law of warfare ini antara lain mencakup :

1. Metode dan sarana berperang. 2. Status kombat.

47 Ibid, hlm 20

(33)

3. Perlindungan terhadap yang sakit,tawanan perang dan orang sipil.

Berbeda dengan Herczegh, Rosenblad dalam International Human Law, kecuali hukum Jenewa, juga sebagian dari hukum the Hague, yaitu yang berhubungan dengan metode berperang. 48

Menurut Rosenblad, law of warfare inilah yang oleh ICRC disebut international humanitarian law applicable in armed conflicts, dan oleh United Nations dinamakan human right in armed conflicts. Dapat disimpulkan bahwa menurut Rosenblad, International humanitarian law itu identik dengan law of warfare, dan law of warfare ini merupakan bagian dari law of armed conflict. Selain dua ahli yang telah disebut diatas, Mochhtar Kusumaatmadja juga dapat dimasukkan dalam golongan ini. Beliau berpendapat tentang Hukum Humaniter Internasional pendapat tersebut yakni sebagai berikut.49

“Humanitarian law itu adalah sebagian dari Hukum perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang berlainan dengan bagian Hukum perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan segala sesuatu misalnya senjata-senjata yang dilarang”

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri pula bahwa konflik bersenjata masih tetap ada. Timbul pertanyaan, yaitu pertikaian semacam itu hendak diberi nama apa dan apa pula nama hukum yang mengaturnya, pada saat itu mulai diperkenalkan istilah baru baru, yaitu: laws of armed conflict .50 Selain itu, pengunaan istilah hukum konflik bersenjata ini juga dimaksudkan untuk

48 Ibid ,hlm 21 49 Ibid

(34)

menghindari kata “perang” yang memang sudah tidak disukai lagi serta untuk menggambarkan seolah-olah perang tidak ada lagi. Istilah hukum perang sudah tidak disukai lagi, tetapi dipihak lain masih dianggap perlu adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur pertikaian bersenjata, sekalipun pertikaian tersebut tidak lagi dinamakan perang sebagai pengganti istilah hukum perang, dipakai istilah laws of armed conflict.

Menurut KGPH. Haryomataram yang dimaksud dengan hukum humaniter adalah seperangkat aturan yang didasarkan atas perjanjian internasional dan kebiasaan internasional yang membatasi kekuasaan pihak yang berperang dalam menggunakan cara dan alat berperang untuk mengalahkan musuh dan mengatur perlidungan korban perang.51

Sedangkan menurut J.G.Starke yang dimaksud dengan hukum humaniter terdiri dari seperangkat pembatasan yang diatur oleh hukum internasional yang didalamnya diatur penggunaan kekerasan yang dapat digunakan untuk menundukan pihak musuh dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu dalam perang dan konflik bersenjata.52

Jean Jacques Rosseau mengatakan bahwa perang harus berlandaskan pada moral. Hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam buku nya yang berjudul The Social Contract. Inilah yang kemudian menjadi konsep dari Hukum Humaniter Internasional. Lalu pada abad ke 19, landasan yang diberikan oleh J.J Rosseau ini kemudian diikuti oleh Henry Dunant yang tak lain adalah initiator organisasi Palang Merah. Pada akhirnya, negara-negara membuat suatu kesepakatan tentang

51 Ibid, hlm 31

(35)

peraturan peraturan internasional yang bertujuan untuk menghindari penderitaan sebagai akibat dari perang. Peraturan-peraturan yang diciptakan dibuat dalam suatu konvensi, dan disetujui untuk dipatuhi bersama.

Sejak saat itu, terjadi perubahan dari sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak yang disebabkan dari penggunaan senjata modern. Pada akhirnya menyadarkan perlunya suatu perbaikan serta perluasan Hukum Humaniter. Sangat tidak mungkin untuk menemukan bukti dokumenter, kapan dan dimana aturan aturan hukum humaniter itu timbul, dan bahkan lebih sulitnya lagi adalah menyebutkan “pencipta” hukum humaniter tersebut.53

53 Hans-Peter Gasser, International Humanitarian Law, An Introduction, Paul Haupt Publisher, Berne-Stuttgart-Vienna,1993, hlm.6

Referensi

Dokumen terkait

Siswa dapat mengemukakan pengertian surat menyurat, fungsi beserta syarat surat dan kriteria surat yang baik sesuai dengan prosedur perusahaan.. Guru memberikan

Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa kualitas susu sapi segar yang beredar di Kota Yogyakarta dalam keadaan baik, aman dan layak untuk dikonsumsi, karena

Berdasarkan uraian dan hasil analisis pada bab-bab sebelumnya dan merujuk pada topik pembahasan mengenai pengaruh citra merek, inovasi produk dan iklan terhadap

diuji menurunkan jumlah telur yang diletakkan pada bibit tanaman brokoli yang diberi perlakuan 2-22 kali dibandingkan dengan kontrol.. Persentase hambatan

Jadi dapat diketahui bahwa pihak Unit Remaja Anak dan Wanita Polda telah aktif dalam melakukan upaya pre-emtif guna mencegah terjadinya kejahatan prostitusi online

Keterampilan serta kemampuan berpikir yang didapat ketika seseorang memecahkan masalah diyakini dapat mentransfer atau digunakan untuk menghadapi masalah didalam

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Current Ratio, Quick Ratio, Cash Ratio, Gross Profit Margin, Return on Asset dan Return on Equity terhadap Harga

Konflik yang muncul tersebut adalah Wandi merasa bosan dengan kangkung yang kemudian diungkapkan dengan nada menyindir melalui perkataan hidup sayur kangkung, sayur kanggung