• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat (sastra) yang berbeda-beda (Teeuw, 1984:104). Sesuai dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. masyarakat (sastra) yang berbeda-beda (Teeuw, 1984:104). Sesuai dengan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Sastra (karya sastra) merupakan sistem tanda yang mempunyai makna dan mempergunakan medium bahasa (Pradopo, 2003:121). Pemahaman makna karya sastra tersebut dapat dilakukan dengan memahami konvensi (perjanjian) masyarakat (sastra) yang berbeda-beda (Teeuw, 1984:104). Sesuai dengan konvensi masyarakat (sastra) dalam ilmu tanda-tanda atau semiotik, bahasa sastra sudah mempunyai sistem dan konvensi sendiri, atau disebut sebagai sistem semiotik tingkat pertama; sedangkan sastra yang mempunyai sistem dan konvensi yang mempergunakan bahasa disebut sistem semiotik tingkat kedua. Untuk membedakan arti bahasa dan arti sastra dipergunakan istilah arti (meaning) untuk bahasa dan makna (significance/ meaning of meaning) untuk arti sastra (Pradopo, 2013:121). Adapun Nort (via Kamil, 2013:101) menjelaskan bahwa dalam bahasa, semiotik tingkat pertama disebut context (tingkat struktur makna permukaan) dan semiotik tingkat kedua disebut nucleus (struktur makna dalam).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa bahasa sebagai sistem tanda primer (pertama) dan karya sastra sebagai sistem tanda sekunder (kedua). Sistem tanda primer digunakan untuk berkomunikasi, berfikir, dan menginterpretasikan segala sesuatu, termasuk bahasa itu sendiri. Sistem tanda sekunder, merupakan pemanfaatan bahasa untuk merumuskan pikiran dalam bentuk tanda bahasa secara artistik (Kamil, 2013:100).

(2)

Dalam kesusastraan Arab terdapat prosa yang di dalamnya terdapat prosa lirik. Prosa lirik dalam pengertian kesastraan disebut fiksi, teks naratif, atau wacana naratif, yang berarti berupa cerita rekaan atau khayalan yang isinya tidak mengarah pada kebenaran sejarah (Abrams via Nurgiyantoro, 2012:2). Akan tetapi, Abrams juga menjelaskan bahwa dalam dunia kesastraan, terdapat pula suatu bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta. Karya sastra demikian disebut sebagai fiksi historis, yang menjadikan fakta sejarah sebagai dasar penulisan karya sastra (via Nurgiyantoro, 2012:4). Altenbernd dan Lewis (via Nurgiyantoro, 2012:2) juga menjelaskan bahwa fiksi merupakan prosa naratif yang bersifat imajinatif, masuk akal, dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia, dan biasanya hal itu dikemukakan berdasarkan pada pengalaman dan pengamatan terhadap kehidupan, serta pembentukan karya sastra tersebut sesuai dengan tujuan tertentu. Prosa lirik ‚Z|a>hibun ila> al-Jumlati al-‘Arabiyyati fi> al-Kha>misa ‘Asyara min Ayya>rin‛ yang terdapat dalam antologi Yaumiyya>tu al-H}uzni al-‘A>di> yang menjadi objek material penelitian ini, terdiri dari 14 halaman yang pertama kali dicetak tahun 1973 di Beirut-Libanon. Prosa lirik tersebut ditulis oleh penulis ternama, Mah}mu>d Darwi>sy, pada usia sembilan belas tahun. Mah}mu>d Darwi>sy merupakan salah satu penyair modern yang banyak mengangkat tema perlawanan Palestina.

Prosa lirik ‚Z|a>hibun ila> al-Jumlati al-‘Arabiyyati fi> al-Kha>misa ‘Asyara min Ayya>rin‛ ini memuat tragedi nakbah yang terjadi di Palestina. Dalam tragedi tersebut, Israel mengusir rakyat Palestina dan menjajah negara Palestina hingga menciptakan banyak peperangan antara orang-orang Arab dengan Israel.

(3)

Peperangan itu mencerminkan kepedihan, kemunafikan, kekejaman, keadaan rakyat Palestina yang disengsarakan, dan keadaan pendukung Israel serta para pengkhianat yang berhasil menguasai wilayah-wilayah Palestina.

Prosa lirik ‚Z|a>hibun ila> al-Jumlati al-‘Arabiyyati fi> al-Kha>misa ‘Asyara min Ayya>rin‛ ini sebagai salah satu bentuk karya sastra dapat dikatakan sebagai sebuah sistem tanda. Tanda-tanda dalam karya sastra tersebut terdapat di antaranya pada salah satu frase dalam judul prosa lirik itu sendiri, yakni al-kha>misa ‘asyara min ayya>rin „tanggal 15 Mei‟, dan tanda-tanda lain dalam teks cerpen seperti; syaqa>`iqi an-nu ma>ni „bunga anemon‟, bunduqiyyati „senapan‟, bila> t}uqu>sin ‘tanpa udara‟, dan banyak lainnya. Di antara contoh makna dari tanda tersebut adalah frase bila> t}uqu>sin „tanpa udara‟ bermakna keadaan yang menyesakkan jiwa dan raga, tidak bebas bertindak, dan sulit untuk bertahan. Dengan demikian, prosa lirik “Z|a>hibun ila> Jumlati ‘Arabiyyati fi> al-Kha>misa ‘Asyara min Ayya>rin‛ menarik untuk dianalisis dengan memanfaatkan analisis semiotik dalam rangka memahami tanda-tanda yang ada dalam prosa lirik tersebut sehingga dapat mengungkap makna yang disampaikan penulisnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah tragedi nakbah dalam prosa lirik “Z|a>hibun ila> al-Jumlati al-‘Arabiyyati fi> al-Kha>misa ‘Asyara min Ayya>rin‛ dalam antologi Yaumiyya>tu al-H}uzni al-‘A>di karya Mah}mu>d Darwi>sy.

(4)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah mengungkapkan tragedi nakbah dalam prosa lirik “Z|a>hibun ila> al-Jumlati al-‘Arabiyyati fi> al-Kha>misa ‘Asyara min Ayya>rin‛ dalam antologi Yaumiyya>tu al-H}uzni al-‘A>di karya Mah}mu>d Darwi>sy dengan menggunakan analisis semiotik.

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap karya-karya Mah{mu>d Darwi>sy dengan analisis semiotik telah banyak dilakukan di beberapa universitas di seluruh dunia di Indonesia, seperti UGM, UI, dan UIN Sunan Kalijaga. Di Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya UGM, ada puisi-puisi karya Mah{mu>d Darwi>sy telah diteliti dengan analisis semiotik. Di bawah ini disebutkan tiga penelitian yang dirasa cukup untuk mewakili penelitian yang pernah dilakukan terhadap karya-karya Mah{mu>d Darwi>sy.

Pertama adalah puisi ‚Yaumiyya>tu Jurh}i Filast}i>niyyi>n‛ karya Mah{mu>d Darwi>sy pernah diteliti oleh Sastiani (2011) dalam skripsinya yang berjudul “Makna Puisi ‚Yaumiyya>tu Jurh}i Filast}i>niyyi>n‛: Analisis Semiotik”. Melalui pembacaan semiotik, Sastiani menyimpulkan bahwa puisi tersebut merupakan gambaran penderitaan dan kesengsaraan yang dialami oleh rakyat Palestina akibat pendudukan Israel di tanah mereka. Israel memaksa mereka meninggalkan tanah air dan membiarkan mereka hidup sengsara. Akan tetapi, hal itu tidak menghalangi mereka untuk terus berjuang meski harus mati hingga mereka dapat hidup senang di sana.

(5)

Puisi ‚Jundiyyun Yah}lumu bi az-Zana>biqi al-Baid}a>`a‛ karya Mah{mu>d Darwi>sy, juga pernah diteliti oleh Vebriyantie (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Tentara Israel dalam Puisi ‚Jundiyyun Yah}lumu bi az-Zana>biqi al-Baid}a>`a‛ dalam Antologi A>khiru al-Lail Karya Mah{mu>d Darwi>sy: Analisis Semiotik”. Disimpulkan bahwa puisi tersebut merupakan gambaran tentara Israel yang meninggalkan medan peperangan atas nama hati nurani karena telah banyak membunuh musuh Yahudi yang merupakan warga sipil dan tidak berdosa.

Karya Mah{mu>d Darwi>sy yang lain yang sudah diteliti adalah puisi ‚Ar-Rajulu z|u> az}-Z}illi al-Akhd}ari‛, yang diteliti oleh Sutriana (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Makna Puisi ‚Ar-Rajulu z|u> az}-Z}illi al-Akhd}ari‛ dalam Antologi Puisi H}abi>bati> Tanhad}u min Naumiha> karya Mah{mu>d Darwi>sy: Analisis Semiotik”. Setelah melakukan analisis semiotik dengan memanfaatkan ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan semiotik, dan matriks, Sutriana menyimpulkan bahwa makna puisi tersebut adalah perjuangan Gamal Abdul Nasser sebagai seorang pemimpin yang dicintai rakyatnya. Pada masa pemerintahannya, dia menjanjikan perubahan-perubahan di berbagai bidang untuk memajukan negara dan menyejahterakan rakyatnya.

Sementara itu, penelitian terhadap karya Mah}mu>d Darwi>sy dalam bentuk prosa, seperti Wada>‘an Ayyatuha> al-H}arbu Wada>‘an Ayyuha as-Sala>m (1974), Z|a>kiratun li an-Nisya>ni (1987), dan fi H}ad}rati al-Giya>bi (2006), sejauh pengamatan penulis, belum pernah diteliti. Begitu juga dengan penelitian semiotik terhadap prosa lirik “Z|a>hibun ila> al-Jumlati al-‘Arabiyyati fi> al-Kha>misa ‘Asyara min Ayya>rin‛ dan prosa-prosa yang lain yang terdapat dalam antologi

(6)

Yaumiyya>tu al-H}uzni al-‘A>di> karya Mah}mu>d Darwi>sy belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, prosa lirik “Z|a>hibun ila> al-Jumlati al-‘Arabiyyati fi> al-Kha>misa ‘Asyara min Ayya>rin‛ dalam antologi Yaumiyya>tu al-H}uzni al-‘A>di karya Mah}mu>d Darwi>sy ini layak untuk diteliti menggunakan analisis semiotik.

1.5 Landasan Teori

Penelitian ini memanfaatkan teori semiotik. Secara etimologis, semiotik berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsiran tanda (Ratna, 2008:97). Luxemburg (1984:44) juga mengatakan, “Semiotik berasal dari kata

semeion, bahasa Yunani, yang berarti tanda.” Semiotik dalam kamus sastra Arab

disebut dengan „ilm al-‘ala>ma>t atau ilmu tanda (Kamil, 2013:96). Selain itu, ada pula istilah lain, yakni ‘ilm al-isya>ra>t, suatu istilah yang pengertiannya sama dengan semiotik (Kamil, 2013:96). Semiotik merupakan suatu disiplin yang meneliti semua bentuk komunikasi, selama komunikasi itu dilakukan dengan menggunakan tanda yang didasarkan pada sistem-sistem tanda (Segers dalam Sangidu, 2013:18). Ini berarti bahwa semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda atau sebagai ilmu yang mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Bahkan, fenomena sosial dan kebudayaan juga merupakan tanda-tanda (Pradopo, 2013:119).

Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signifzer). Penanda adalah bentuk formal yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu, yaitu arti tanda (Pradopo, 2013:119). Adapun tanda memiliki tiga jenis, yaitu ikon,

(7)

indeks, dan simbol. Pertama, ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Kedua, indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api. Ketiga, simbol adalah tanda yang menunjukkan tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi (perjanjian) masyarakat. Contohnya kata „ibu‟ sebagai simbol yang artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother dan orang Perancis menyebutnya la mere. Oleh karena itu, kata „ibu‟ merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti: „orang yang melahirkan kita‟ (Pradopo, 2013:120).

Dalam sastra, ada jenis-jenis sastra (genre) dan ragam-ragam yang masing-masing merupakan sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Genre puisi memiliki konvensi kebahasaan, konvensi ambiguitas, kontradiksi, nonsense, dan konvensi visual. Cerita rekaan pun mempunyai konvensi sendiri yang lain dari konvensi puisi, misalnya konvensi yang berhubungan dengan bentuk cerita dan sifat naratifnya. Di samping itu, ada pula konvensi kebahasaan yang berupa gaya bahasa (Pradopo, 2013:122-123).

Dengan demikian, maka karya sastra jenis apa pun dengan sendirinya dapat dipandang sebagai gejala semiotik atau sebagai tanda. Sebagai tanda, makna karya sastra dapat mengacu kepada sesuatu di luar karya sastra itu sendiri ataupun

(8)

di dalam karya sastra itu sendiri (Riffaterre, 1978:1). Hal ini berarti bahwa cerpen ‚Z|a>hibun ila> al-Jumlati al-‘Arabiyyati fi> al-Kha>misa ‘Asyara min Ayya>rin‛ yang terdapat dalam antologi Yaumiyya>tu al-H}uzni al-A>di> karya Mah}mu>d Darwi>sy, dapat dipandang sebagai gejala semiotik atau sebagai tanda yang dapat diteliti dengan analisis semiotik Riffaterre.

Riffaterre (1978:2-11) menawarkan empat metode dalam memproduksi makna dari tanda-tanda, yakni dengan ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan semiotik yang terdiri dari pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif, matriks atau kata kunci, dan hipogram yang hubungannya dengan prinsip intertekstual.

Ketidaklangsungan ekspresi disebabkan oleh tiga hal, yakni penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Penggantian arti terjadi ketika tanda-tanda bergeser dari satu arti ke arti lain karena pemakaian metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Metafora dan metonimi merupakan bahasa kiasan yang sangat penting untuk mengganti bahasa kiasan lainnya. Bahasa kiasan itu mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal dengan tidak mempergunakan kata pembanding: bagai, seperti, bak, dan sebagainya (Pradopo, 2013:124).

Penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense (Riffaterre, 1978:2). Ambiguitas adalah bahasa sastra yang berarti ganda (polyinterpretable). Kegandaan arti tersebut dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase, ataupun kalimat. Kontradiksi adalah situasi yang mengandung pertentangan, disebabkan oleh paradoks (berlawanan) dan ironi (kebalikan).

(9)

Adapun nonsense adalah „kata-kata‟ yang secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab hanya berupa rangkaian bunyi (Pradopo, 2013:125-128).

Penciptaan arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, diantaranya adalah pembaitan,

enjambement, persajakan (rima), tipografi, dan homologues (Pradopo, 2013:129).

Pembaitan adalah proses membagi bait-bait (sajak dua baris) (Suharso, 2013:67).

Enjambement adalah peristiwa sambung menyambung isi dua larik sajak yang

berurutan (Sudjiman, 1984:25). Selanjutnya, rima adalah pengulangan bunyi yang berselang, baik dalam larik sajak maupun pada akhir sajak yang berdekatan (Suharso, 2013:429). Menurut Pradopo (2013:131), homologues adalah bentuk sajak pantun yang berisi bentuk garis-garis yang sejajar, baik bentuk visualnya ataupun bentuk kata-katanya. Adapun tipografi adalah penyusunan baris sajak.

Selanjutnya, pembacaan semiotik. Pembacaan semiotik mempunyai dua tahapan, yakni pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik (Riffaterre, 1978:5-6). Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya (Pradopo, 2013:135).

Selanjutnya, matriks (kata kunci) adalah kata yang menjadi kunci penafsiran sajak yang dikonkretisasikan (Pradopo, 2005:299). Tahapan yang terakhir adalah hipogram atau intertekstualitas. Intertekstualitas adalah hubungan antara sajak, baru bermakna penuh dengan sajak lain. Hubungan ini, baik puisi maupun prosa, mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang

(10)

mendahuluinya atau yang kemudian (Pradopo, 2013:167). Oleh karena itu, makna puisi maupun prosa akan sangat terlihat jika dihubungkan dengan puisi maupun prosa sebelumnya.

1.6 Metode Penelitian

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode semiotik yang ditawarkan oleh Riffaterre. Metode semiotik mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda, dan maknanya, dan konvensi tanda, karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal (Pradopo, 2013:118).

Riffaterre (1987:2-11) memaparkan beberapa metode dalam analisis semiotik, yakni ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan semiotik, matriks, dan hipogram. Akan tetapi, yang akan dimanfaatkan untuk meneliti prosa ‚Z|a>hibun ila> al-Jumlati al-‘Arabiyyati fi> al-Kha>misa ‘Asyara min Ayya>rin‛ yang terdapat dalam antologi Yaumiyya>tu al-H}uzni al-A>di> karya Mah}mu>d Darwi>sy, hanya metode pembacaan semiotik. Penggunaan metode pembacaan semiotik ini dirasa cukup untuk digunakan dalam menganalisis prosa tersebut, sehingga dapat diketahui makna dan tujuan yang tersembunyi dalam tanda-tanda pada prosa tersebut. Dalam pembacaan semiotik terdapat dua tahapan pembacaan, pembacaan

heuristik dan pembacaan hermeneutik.

Pradopo (2013:123) mengatakan bahwa pembacaan heuristik dan

hermeneutik adalah metode yang lebih khusus untuk meneliti karya sastra secara

(11)

pertama yang menghasilkan arti yang dimengerti. Adapun pembacaan heuristik menurut Pradopo (2013:135) adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi semiotik tingkat pertama. Pembacaan heuristik pada cerita rekaan adalah pembacaan dari awal sampai akhir cerita secara berurutan.

Tahapan selanjutnya adalah pembacaan hermeneutik. Menurut Riffaterre (1978:5-6) pembacaan hermeneutik adalah interpretasi kedua, yakni memodifikasi pemahaman dengan mulai memecahkan kode. Adapun pembacaan hermeneutik merupakan cara kerja yang dilakukan dengan bekerja secara terus menerus lewat pembacaan teks sastra secara bolak balik dari awal sampai akhir agar kejadian di dalam teks sastra dapat diingat. Selanjutnya, dihubungkan kejadian-kejadian tersebut antara yang satu dengan yang lain sampai ditemukan makna keseluruhan teks sebagai sistem tanda (Riffaterre dalam sangidu, 2007:19).

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab I pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan, dan pedoman transliterasi. Bab II Mah}mu>d Darwi>sy dan karya-karyanya. Bab III berisi analisis terhadap ‚Z|a>hibun ila> al-Jumlati al-‘Arabiyyati fi> al-Kha>misa ‘Asyara min Ayya>rin‛. Bab IV berisi kesimpulan.

(12)

1.8 Pedoman Transliterasi Arab-Latin

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem transliterasi Arab-Latin berdasarkan pada Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no.158 Th 1987 dan No. 0543b/U/1987 (Tim Penyusun, 1988).

1. Konsonan

Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagaian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian lagi dengan huruf dan tanda sekaligus.

No Huruf Arab Nama Huruf Latin

1 Alif tidak dilambangkan

2 Ba Be

3 Ta Te

4 S|a Es(dengan titik di atas)

5 Jim Je

6 H{a Ha (dengan titik di

bawah)

7 Kha Ka dan Ha

8 Dal De

9 Z|al Zet (dengan titik di atas)

10 Ra Er

11 Za Zet

12 Sin Es

13 Syin Es dan Ye

14 S{ad Es (dengan titik di bawah)

No. Huruf Arab Nama Huruf Latin

15 D{ad De (dengan titik di bawah)

16 T}a Te (dengan titik di

(13)

17 Z}a Zet (dengan titik di bawah)

18 „ain „ (koma terbalik di atas)

19 Gain Ge 20 Fa Ef 21 Qaf Qi 22 Kaf Ka 23 Lam El 24 Mim Em 25 Nun En 26 Wawu We 27 Ha Ha 28 Hamzah ’ (apostrof) 29 Ya Ye 2. Vokal

Vokal dalam bahasa arab terdiri atas vokal pendek, diftong, dan vokal panjang. Adapun transliterasinya sebagai berikut.

Contoh: /kataba/ /na>ma/ /kaifa/

/su’ila/ /yasi>ru

/

zaujun/ /yaz\habu/ /yaqu>lu/

3. Ta>` Marbu>t}ah

Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong

Arab Latin Arab Latin Arab Latin

a a> ai

i i> au

(14)

Ta>` marbu>t}ah hidup atau mendapatkan harakat fath}a>h, kasrah, dan

d}ammah transliterasinya adalah /t/, sedangkan ta>` marbu>t}ah mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya adalah /h/. Contoh:

/al-madi>nah al-munawwarah/ al-madi>natul-munawwaratu/ 4. Syaddah (Tasydi>d)

Syaddah atau tasydid dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda syaddah atau tasydi>d. Dalam transliterasi ini, tanda syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut. Contoh:

/rabbana>/ /nazzala/ 5. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam. Kata sandang tersebut dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut. Kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai pula dengan bunyinya. Baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah, kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda hubung (-).

(15)

/ar-rajulu/ /al-ka>tibu/ 6. Hamzah

Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof jika terletak di tengah atau di akhir kata. Apabila terletak di awal kata, hamzah tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab berupa ali>f. Contoh:

/ya`khuz|u/ /qara`a/ 7. Penulisan Kata

Pada dasarnya, setiap kata, baik fi’l, ism, maupun h}arf, ditulis terpisah. Hanya saja, kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka transliterasinya dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya. Contoh:

/wa innalla>ha lahuwa khairu ar-ra>ziqi>na/ 8. Huruf Kapital

Meskipun dalam tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasinya, huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Diantaranya adalah huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal, nama diri, dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu didahului oleh kata sandang, maka yang dituliskan dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.

(16)

/wama> Muh}ammadun illa> rasu>l/

Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf atau h}arakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak dipergunakan. Contoh:

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu, para mahasiswa serta dosen Jurusan Teknik Geomatika memerlukan aplikasi yang dapat memberikan informasi lengkap tentang tugas akhir dan persebaran

Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa likuiditas yang diukur dengan Current Ratio, Quick Ratio, solvabilitas yang diukur dengan Debt to Asset Ratio, Debt to

Berdasarkan besarnya arus dan besarnya nilai ruang pejalan kaki untuk pejalan kaki pada interval 15 menitan yang terbesar tersebut, maka tingkat pelayanan pejalan

per Unit Penyertaan Yang Sama Besarnya Bagi Semua Pemegang Unit Penyertaan Pada Tanggal Jatuh Tempo yaitu dimana seluruh Efek Bersifat Utang yang menjadi basis proteksi dalam

Wanita dan konsumen yang berpendapatan menengah keatas adalah karakteristik konsumen yang paling puas dan loyal terhadap Ultramilk, selain itu mereka juga cenderung

Untuk memasang mata pisau, pasang pelat penyetel dengan bebas pada pelat pengatur menggunakan baut kepala bulat lalu atur mata pisau serut mini pada dudukan pengukur sehingga

kafa’ah dalam kitab fiqh munakahat dan persepsi aktivis Lembaga Dakwah Kampus dimana dalam fiqh munakahat menjadikan agama (akhlak),

Orang tua peneliti, Mama Ipa dan Papa Mato tersayang, terima kasih atas kepercayaan yang mama dan papa berikan sehinga Nhu bisa berkuliah di Yogyakarta juga