• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V INDIKASI PERMASALAHAN DAN OPSI PENGEMBANGAN SANITASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V INDIKASI PERMASALAHAN DAN OPSI PENGEMBANGAN SANITASI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

INDIKASI PERMASALAHAN DAN OPSI PENGEMBANGAN SANITASI

5.1 Area Resiko Tinggi dan Permasalahan Utamanya

Penentuan area resiko sanitasi di Kabupaten Jepara dilakukan dengan cara pemberian skoring pada 31 kelurahan dan desa berdasarkan beberapa indikator yang berasal dari data sekunder, studi EHRA dan persepsi stakeholders. Indikator-indikator yang digunakan merupakan hasil kesepakatan Pokja Sanitasi Kabupaten Jepara, yaitu :

1. Persepsi stakeholders merupakan penilaian secara subyektif dari masing-masing institusi yang menjadi anggota Pokja Sanitasi Kabupaten Jepara terhadap kondisi sanitasi di setiap kelurahan, antara lain :

a. PDAM menilai kelurahan yang memiliki jumlah Sambungan Rumah (SR) < 40 % dianggap beresiko.

b. DPTRK menilai berdasarkan keberadaan saluran air limbah, pengangkutan sampah dari pemukiman ke TPS oleh petugas, termasuk belum ada pemilahan, pembuangan air limbah domestik tidak menggunakan peresapan tapi langsung ke saluran drainase. c. Dinas Kesehatan menilai berdasarkan kondisi pembuangan limbah

domestik, pembuangan sampah dan BABS masyarakat.

d. BLH menilai berdasarkan PHBS tentang buang sampah dan limbah ke sungai.

e. Bappeda menilai dengan melihat dari Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK), umumnya kelurahan/desa yang berada di sekitar pantai sanitasinya masih kurang baik.

f. Bapermasdes dengan melihat kondisi pemeliharaan sarana dan prasarana sanitasi.

g. DPU & ESDM menilai dari kondisi saluran drainase lingkungan dan MCK.

h. PKK dengan melihat kondisi rumah, rutinitas pembinaan dan penyuluhan, tingkat pengangguran dan luas terbangun.

(2)

i. LSM menilai dengan mempertimbangkan faktor kondisi saluran drainase, sampah, air minum dan perilaku masyarakat tentang BABS.

2. Studi EHRA merupakan data primer yang diambil dari 40 responden (ibu rumah tangga) di setiap kelurahan. Beberapa hasil studi EHRA tersebut dipilih dan disepakati oleh Pokja Sanitasi Kabupaten Jepara sebagai indikator penentu area resiko sanitasi, yaitu :

a. Karakteristik/kondisi sumur: Lantai sumur terhubung dengan saluran air untuk buangan air (SPAL).

b. Cuci Tangan Pakai Sabun pada 5 waktu penting dari Ibu yang memiliki balita.

c. Pembuangan sampah dengan melihat penerimaan layanan sampah dan pemilahan sampah.

d. Kondisi jalan depan rumah yaitu jarak 10 m dari rumah terlihat ada genangan air.

e. Jamban dan BAB dengan melihat keamanan septik tank, keberadaan air dan keberadaan sabun.

f. Saluran air dan kebanjiran dengan melihat keberadaan saluran air, kondisi aliran air dan warna air pada saluran.

g. Kotoran anak dengan melihat kemampuan anak menggunakan jamban dan keamanan penanganan kotoran anak.

3. Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia di instansi terkait di Kabupaten Jepara sebagai indikator untuk menentukan kondisi area resiko sanitasi, antara lain :

a. Kepadatan penduduk sebagai indikasi banyaknya limbah domestik dan sampah yang dihasilkan, serta sempitnya lahan, biasanya dihuni oleh masyarakat menengah ke bawah.

b. Penyakit diare; tingginya angka diare per tahun menunjukan rendahnya PHBS di daerah tersebut.

c. Jumlah Keluarga Pra-Sejahtera; kelompok ini menunjukkan data tentang keluarga miskin.

d. Sarana PDAM yaitu cakupan pelayanan PDAM berupa sambungan rumah (SR) dibandingkan dengan total populasi.

(3)

e. Akses terhadap kepemilikan jamban pribadi, hal ini berkaitan dengan orang tidak memiiki akses terhadap jamban pribadi memiliki peluang (resiko) lebih besar terkena penyakit, misalnya diare.

Dari hasil skoring teridentifikasi 4 desa/kelurahan yang beresiko tinggi (skor tertinggi = 4), yaitu Desa/Kelurahan Telukawur, Platar, Demangan dan Ujungbatu. Pada Gambar 5.1 ditunjukkan dengan warna merah. Kondisi pada desa/kelurahan tersebut karena belum mendapat pelayanan PDAM kecuali Ujungbatu karena kurangnya kepemilikan jamban dan tingginya angka penyakit diare pada keempat desa/kelurahan tersebut. Hampir semua desa/kelurahan mempunyai permasalahan kepemilikan jamban kecuali 6 (enam) desa/kelurahan yaitu Tahunan, Mantingan Kauman, Panggang, Saripan dan Pengkol. Permasalahan PHBS terdapat pada 4 desa/kelurahan Telukawur, Platar, Demangan dan Karangkebagusan. Permasalahan angka kemiskinan terdapat pada desa/kelurahan Telukawur, Petekeyan, Karangkebagusan, Bulu, Jobokuto, Ujungbatu, Kuwasen dan Wonorejo. Secara umum, permasalahan utama yang dihadapi tiap kelurahan beresiko tinggi adalah pelayanan PDAM, kemiskinan, kepemilikan jamban dan PHBS.

Gambar 5.1

(4)

Daerah beresiko sedang terjadi pada 5 desa/kelurahan yaitu Semat, Mangunan, Petekeyan, Kauman dan Jobokuto . Pada Gambar 5.1 ditunjukkan dengan warna kuning.

Daerah beresiko rendah terjadi pada 16 desa/kelurahan yaitu Sukodono, Langon, Mantingan, Tegalsambi, Senenan, Kecapi, Karangkebagusan, Demaan, Bulu, Panggang, Potroyudan, Bapangan, Saripan, Pengkol, Kuwasen dan Kedungcino. Pada Gambar 5.1 ditunjukkan dengan warna hijau.

Desa/kelurahan yang kurang atau tidak beresiko sanitasi ada 6, yaitu Ngabul, Tahunan, Krapyak, Mulyoharjo, Bandengan dan Wonorejo. Pada Gambar 5.1 ditunjukkan dengan warna biru. Indikator–indikator yang berkontribusi terhadap resiko sanitasi di setiap desa/kelurahan secara detail dapat dilihat pada Lampiran 5.

5.2 Kajian Kelembagaan Pengelolaan Sanitasi Kabupaten Jepara 5.2.1 Kelembagaan Pengelolaan Sub Sektor Air Limbah Domestik

Koordinasi pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan moitoring dan evaluasi belum optimal dan belum mendorong efektivitas pengelolaan air limbah domestik secara signifikan. Kendala koordinasi pada tahap perencanaan adalah : 1. Masih berkembangnya pemahaman bahwa pengelolaan air limbah

domestik merupakan domain tugas dari DPU & ESDM dan DPTRK saja, sehingga program-program pendukung yang direncanakan belum diajukan secara terkoordinasi dan sinergis.

2. Belum adanya kesepakatan pengelolaan air limbah domestik sebagai salah satu aspek prioritas yang akan ditangani oleh Pemerintah Kabupaten Jepara dalam kurun waktu tahun perencanaan yang telah berjalan.

3. Kesadaran masyarakat masih belum terbangun secara optimal, untuk turut serta mengusulkan rencana program pengelolaan air limbah domestik dalam daftar usulan kegiatan prioritas yang dihasilkan pada proses Musrenbang Desa/Kelurahan dan Kecamatan.

Kendala koordinasi pada tahap pelaksanaan adalah :

1. Belum efektifnya pola koordinasi horizontal yang dijalankan oleh DPTRK dan belum diimbangi dengan advokasi yang memadai.

(5)

2. Belum memadainya pedoman sosialisasi tentang pengelolaan air limbah domestik yang dimiliki oleh DPTRK.

3. Belum efektifnya pola sosialisasi DPTRK tentang pedoman pengelolaan air limbah domestik yang sesuai dengan kaidah pengelolaan lingkungan hidup.

Pada tahap monitoring dan evaluasi, koordinasi antar SKPD belum optimal karena :

1. Keterbatasan perangkat monitoring dan evaluasi yang telah dikembangkan di Kabupaten Jepara.

2. Belum optimalnya hasil sosialisasi dari proses monitoring dan evaluasi pengelolaan air limbah domestik yang telah dilakukan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup.

Pada aspek kebijakan, penegakan aturan saat ini masih lemah. Hal tersebut disebabkan oleh :

1. Belum efektifnya upaya pembinaan dan sosialisasi untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kepatuhan berbagai pihak di Kabupaten Jepara terhadap aturan-aturan yang ada terkait dengan pengelolaan air limbah domestik.

2. Masih berkembang keyakinan yang keliru tentang pola pengelolaan air limbah domestik yang benar, sehingga belum terdapat penerimaan dan kesepakatan yang bulat tentang pola pengelolaan air limbah domestik yang seharusnya dijalankan oleh berbagai pihak.

3. Belum adanya Perda yang secara tegas mewajibkan pengelolaan air limbah domestik pada seluruh pihak di Kabupaten Jepara.

4. Belum tersedia dukungan sistem yang terintegrasi untuk mulai menghubungkan daya dukung terhadap pelaksanaan Perda IMB dengan Perda Retribusi Penyedotan Tinja, yang akan mempermudah lembaga penanggungjawab untuk menegakkan aturan yang ada terkait dengan pengelolaan air limbah domestik di Kabupaten Jepara.

5. Kondisi sarana dan prasarana pengelolaan air limbah domestik yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Jepara belum optimal. Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi lembaga penegak aturan untuk melakukan tindakan-tindakan tegas terhadap pelanggaran terkait dengan upaya pengelolaan air limbah domestik yang sedianya dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan.

(6)

DPTRK sebagai pemberi layanan pengolahan IPLT masih mengalami kesulitan untuk mengelola IPLT secara efektif dan efisien. Hal ini terjadi karena :

1. Memiliki sarana dan prasarana IPLT yang mendukung pengolahan limbah tinja yang kurang optimal.

2. Masih minimnya pihak swasta yang tertarik melakukan usaha di sektor jasa sedot tinja karena masih rendahnya pelanggan.

3. Belum adanya sosialisasi yang memadai dan sistem yang mengkondisikan pengelolaan air limbah domestik sebelum dibuang ke media lingkungan sebagai kewajiban. Hal ini membuat penyedotan tinja sebagai salah satu kegiatan pengelolaan air limbah domestik sangat tergantung pada kesadaran masyarakat.

5.2.2 Kelembagaan Pengelolaan Sub Sektor Persampahan

Koordinasi pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi belum cukup optimal dan belum mendorong efektivitas pengelolaan sampah secara signifikan. Kendala koordinasi pada tahap perencanaan adalah :

1. Belum adanya kesepakatan bahwa pengelolaan sampah merupakan salah satu aspek prioritas yang akan ditangani oleh Pemerintah Kabupaten Jepara dalam kurun waktu tahun perencanaan yang telah berjalan.

2. Kesadaran masyarakat masih belum terbangun secara optimal, untuk turut serta mengusulkan rencana program pengelolaan sampah dalam daftar usulan kegiatan prioritas yang dihasilkan pada proses Musrenbang Desa/Kelurahan dan Kecamatan.

Kendala koordinasi pada tahap pelaksanaan terjadi karena belum optimalnya pola pengawasan dari DPTRK terhadap pola kerjasama yang dilakukan oleh Kelurahan/RT/RW dengan para petugas kebersihan. Hal ini menyebabkan masih terdapatnya petugas yang mendapatkan reward yang kurang memadai. Pada tahap monitoring dan evaluasi, koordinasi antar SKPD belum optimal karena masih terbatasnya perangkat monitoring dan evaluasi yang telah dikembangkan di Kabupaten Jepara. Ditinjau dari aspek kebijakan, ada beberapa kelemahan pada Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Nomor 3 Tahun 2009, yaitu :

1. Terdapat pasal yang memungkinkan orang pribadi atau Badan untuk melakukan pembuangan sampah sendiri ke TPA (pasal 15 c). Hal ini dalam praktik akan memberi peluang besar bagi :

(7)

ƒ Penyimpangan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh orang pribadi atau Badan. Hal ini dapat terjadi karena orang pribadi atau Badan memiliki 2 (dua) pilihan yakni pembuangan sendiri dan pembuangan melalui jasa RT/RW atau SKPD. Dalam kondisi pengawasan belum optimal, pilihan ini akan memberi peluang bagi masyarakat untuk melakukan penyimpangan dengan cara membuang sampah sendiri tanpa melakukan pembayaran retribusi. ƒ Kehilangan (lost) dalam pemungutan potensi retribusi yang dapat

dilakukan oleh pihak SKPD pada masyarakat atau Badan.

ƒ Sulitnya pengawasan yang harus dilakukan oleh pihak SKPD untuk memastikan kepatuhan orang pribadi atau badan untuk membayar retribusi atas sampah yang dibuang di TPA.

2. Belum terdapat penegasan tentang pihak yang diserahi wewenang oleh Pemerintah Kabupaten Jepara selain SKPD untuk melakukan pemungutan retribusi kebersihan pada masyarakat di lingkungan permukiman.

Kondisi penegakan hukum atas kewajiban yang diatur pada Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Nomor 3 Tahun 2009 maupun Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Nomor 7 Tahun 2008 saat ini juga masih lemah, karena :

1. Masih terdapatnya kendala dalam pelaksanaan pembinaan dan sosialisasi untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kepatuhan berbagai pihak di Kabupaten Jepara terhadap aturan-aturan yang ada terkait dengan pengelolaan sampah.

2. Belum dapat terlaksananya pemberian sanksi yang tegas pada pelanggaran Perda untuk dapat mendorong timbulnya kepatuhan bagi seluruh pihak di Kabupaten Jepara.

3. Kondisi sarana dan prasarana pengelolaan persampahan yang sudah disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Jepara saat ini masih dalam kondisi yang belum sepenuhnya memadai. Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi lembaga penegak aturan untuk melakukan tindakan-tindakan tegas terhadap pelanggaran terkait dengan upaya pengelolaan sampah yang sedianya dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan.

(8)

Kapasitas layanan Bidang Kebersihan DPTRK dalam hal pembinaan masyarakat, masih kesulitan untuk memastikan agar masyarakat Kabupaten Jepara mulai membiasakan diri untuk menjalankan pola pengurangan sampah dan menjalankan proses pengomposan. Hal ini terjadi karena masih merasa kesulitan untuk memperlihatkan manfaat ekonomi yang jelas pada masyarakat dari pola pengurangan sampah yang dilakukan. Selain itu, kondisi dimana belum adanya sarana dan prasarana yang sepenuhnya mendukung pengolahan sampah organik dan anorganik dapat dijalankan secara efektif, telah menjadi kendala dalam proses pembinaan yang dilakukan kepada masyarakat.

5.2.3 Kelembagaan Pengelolaan Sub Sektor Drainase Lingkungan

Koordinasi pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan moitoring dan evaluasi belum optimal dan belum mendorong efektivitas pengelolaan drainase lingkungan. Kendala koordinasi pada tahap perencanaan adalah :

1. Detail Plan drainase belum semuanya menjadi acuan bagi berbagai pihak dalam proses perencanaan pembangunan dan pengelolaan drainase lingkungan.

2. Kesadaran masyarakat masih belum terbangun secara optimal, untuk bertanggungjawab dalam hal pembangunan, dan pengelolaan drainase lingkungan.

3. Pola sosialisasi dan pemicuan kesadaran yang dilakukan oleh unit-unit SKPD Pemerintah Kabupaten (DPU & ESDM, Bappeda, Dinas Kesehatan dan DPTRK) tentang pengelolaan drainase lingkungan belum efektif.

Kendala koordinasi pada tahap pelaksanaan adalah :

1. Belum semuanya mengacu pada Detail Plan drainase dalam proses pelaksanan program.

2. Belum efektifnya pola koordinasi yang diterapkan oleh kelurahan, kecamatan dan DPU & ESDM untuk menjaga integrasi sistem drainase dalam tahap pelaksanaan program.

3. Pola peningkatan kesadaran dan pembinaan yang dijalankan oleh berbagai pihak selama ini belum efektif, sehingga pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk menjaga fungsi drainase lingkungan sebagai sarana pematusan air hujan belum terbangun secara baik.

(9)

Pada tahap monitoring dan evaluasi, koordinasi antar SKPD belum optimal karena :

1. Keterbatasan perangkat monitoring dan evaluasi yang telah dikembangkan di Kabupaten Jepara.

2. Belum optimalnya hasil sosialisasi dari proses monev pengelolaan drainase lingkungan yang telah dilakukan oleh DPU & ESDM.

Di lain pihak, penegakkan aturan terkait dengan drainase lingkungan saat ini masih lemah. Hal ini disebabkan oleh :

1. Proses pengecekan kelengkapan utilitas teknis bangunan termasuk rumah tinggal, saat ini belum dilakukan secara merata untuk tiap ijin bangunan yang akan diterbitkan.

2. Aparat pelaksana belum siap untuk melakukan penindakan hukum terhadap masyarakat yang melanggar Perda tersebut selama sosialisasi dan pembinaan yang dilakukan terhadap masyarakat Kabupaten Jepara belum cukup optimal.

3. Upaya sosialisasi Perda IMB belum efektif.

4. Pola pembinaan pada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kepatuhan terhadap aturan-aturan yang terkait dengan pengelolaan drainase lingkungan belum efektif.

SKPD terkait (DPU & ESDM) dalam melaksanakan tugas layanan masih mengalami kesulitan untuk mendeteksi saluran-saluran drainase lingkungan yang rusak dan melakukan pembinaan tentang fungsi drainase lingkungan yang benar di Kabupaten Jepara. Hal tersebut disebabkan :

1. Pembinaan dan sosialisasi masih dalam kondisi yang belum optimal dan kreatif.

2. Belum adanya dukungan insentif kebijakan yang ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan drainase lingkungan.

5.3 Media dan Peningkatan Kepedulian Sanitasi

Untuk mengetahui Kondisi Media dan Peningkatan Kepedulian Sanitasi Kabupaten Jepara, Pokja akan melakukan survei khusus media namun dengan mempertimbangkan sumberdaya yang tersedia di Kabupaten Jepara. Survei dilakukan dengan cara menitipkan kuesioner media pada pelaksanaan survei dari studi EHRA Jepara yang dilaksanakan pada Juli 2010. Survei EHRA

(10)

dengan responden rumah tangga ditarik secara acak (random) dengan menggabungkan antara teknik random multistage (bertingkat) dan random sistematis. Yang menjadi primary sampling unit adalah RT. Di setiap kelurahan diambil secara random 8 RT di mana di setiap RT diambil 5 rumah tangga secara random. Secara total di setiap kelurahan 40 rumah secara acak diambil dengan responden (unit respon) adalah ibu rumah tangga. Ibu dipilih dengan asumsi bahwa mereka relatif lebih memahami kondisi lingkungan berkaitan dengan isu sanitasi serta mereka relatif lebih mudah ditemui dibandingkan bapak-bapak.

5.3.1 Kapasitas Stakeholder dalam Pemasaran Sosial

Penilaian kapasitas stakeholder dalam pemasaran sosial ini diambil dari tujuh organisasi yang ada di Kabupaten Jepara yang diperkirakan memiliki peran dan tugas melakukan pemasaran sosial sektor sanitasi. Organisasi-organisasi tersebut adalah Biro Humas – Setda, Kantor Badan Hidup (BLH), Dinas Perumahan, Tata Ruang dan Kebersihan (DPTRK), Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK), Dinas Pekerjaan Umum dan Energi Sumber Daya Mineral (DPU & ESDM) Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Bapermasdes) dan PKK.

Dari hasil pengkajian menunjukkan bahwa DKK dan PKK sudah mulai menggunakan media yang bervariasi dalam menyampaikan pesan-pesan sanitasi kepada kelompok sasaran. Sementara DPTRK dan BLH belum memanfaatkan media yang bervariasi, kegiatan hanya dilakukan dengan pertemuan sosialisasi dan penyuluhan. Keterlibatan DPU&ESDM pada aspek pemasaran sosial sanitasi fokus pada publikasi pembangunan fisik sarana sanitasi melalui media.

Di lain pihak, Biro Humas – Setda telah menerbitkan tiga buah media cetak yaitu : Majalah Gelora, yang terbit setiap bulan merupakan media komunikasi pemerintah daerah yang khusus diedarkan ke kantor-kantor pemerintah dan sekolah-sekolah; Majalah Pena, yang terbit tiap 2 bulan merupakan media komunikasi pemerintah daerah dengan masyarakat pelajar dan remaja; Tabloid Kiprah (Komitmen Membangun Jepara), yang terbit tiap bulan yang memfokuskan pada kajian masalah standar pelayanan publik. Sedangkan kerjasama media masa hanya dilakukan dengan Radio Kartini, dimana setiap hari Rabu Bupati Jepara melakukan dialog secara on-air di radio dan masyarakat bebas mengungkapkan saran pendapat tentang segala permasalahan termasuk masalah sanitasi, disamping instansi lain juga bisa memanfaatkan untuk menyampaikan pesan-pesan dan informasi sanitasi.

(11)

Gambar 5.2

Media Komunikasi di Kabupaten Jepara

Majalah GELORA

Komunikasi dengan SKPD & Stakeholder 

Tabloid KIPRAH 

Komunikasi Standar Pelayanan Publik 

Majalah Remaja PENA

Komunikasi dengan Remaja, Pelajar. 

Billboard 

Komunikasi himbauan kepada  Masyarakat. 

(12)

5.3.2 Above The Line

Above The Line (ATL) adalah sebuah strategi promosi atau komunikasi dengan target audien yang sangat luas (banyak) dan massive. Dalam strategi ini tidak ada interaksi langsung dengan audien. Komunikasi berlangsung satu arah. Contoh iklan di televisi, radio, majalah, koran dan billboard.

5.3.2.1 Media Masa

Hasil studi EHRA menemukan bahwa hampir semua ibu rumah tangga yang menjadi responden di Kabupaten Jepara memiliki akses untuk mendapatkan informasi, yaitu sekitar 81,28% menerima infrormasi dari televisi, kemudian radio 24,37% dan surat kabar 14,04%. Hanya sebagian kecil atau 2,34% rumah tangga yang mendapatkan informasi dari papan pengumuman lingkungan. Hasil selengkapnya adalah seperti dalam grafik berikut ini.

Gambar 5.3

Grafik Sumber Informasi

Sumber : hasil Studi EHRA Jepara Juli 2010

Dari gambaran tersebut, kampanye promosi dengan menggunakan stasiun televisi tampak masih lebih efektif untuk dilakukan di Jepara, tetapi dari sisi biaya belum tentu lebih efisien, sedangkan radio merupakan media urutan kedua yang dijadikan sumber informasi utama. Hal ini cukup penting diperhatikan, apalagi biaya promosi melalui radio jauh lebih rendah dibanding televisi. Dengan memperhatikan sebaran pendengar radio lainnya perlu menjadi pertimbangan untuk dimanfaatkan sebagai media kampanye sanitasi dengan frekuensi sesuai

(13)

kebutuhan untuk memperluas cakupan kelompok sasaran promosi sanitasi berdasarkan segmentasi yang dibutuhkan, misal kalangan ibu-ibu rumah tangga.

Sedangkan proporsi yang tidak membaca surat kabar sebesar 85,96 %, hal ini mengindikasikan bahwa pembaca surat kabar dari kalangan ibu-ibu rumah tangga relatif kecil. Karenanya, surat kabar belum dapat dijadikan media utama untuk kampanye sanitasi bagi ibu-ibu rumah tangga.

5.3.2.2 Media Khusus

Dalam hal ini, yang dimaksud media khusus adalah jenis-jenis media yang biasa digunakan bagai sumber informasi tentang sanitasi seperti spanduk, billboard, leaflet, poster. Dari Gambar 5.3, ternyata 97,66% responden tidak membacanya atau tidak melihatnya dari jenis-jenis media tersebut. Responden yang membaca informasi sanitasi dari media ini hanya 2,43%, hal ini disebabkan antara lain karena instansi pemerintah maupun pihak lain memang relatif sedikit menggunakan sebagai media kampanye, masyarakat kurang peduli terhadap informasi sanitasi melalui media ini, materi yang dipasang tersebut tidak menarik, design iklan atau materi yang terpasang terlalu ramai atau sulit ditangkap secara cepat, lamanya materi tersebut terpasang (aspek pengamanan), ukuran materi yang terpasang terlalu kecil (sulit dibaca).

Dengan mengatasi satu atau dua faktor penyebab tersebut, media ini dapat menjadi sarana yang relatif efektif dan terjangkau untuk kampanye sanitasi. Karena merupakan jenis media promosi yang mudah dipasang, mudah didistribusikan dan relatif murah dibandingkan media yang lain. Karenanya lokasi untuk penempatan atau pemasangan juga perlu diperhatikan untuk meningkatkan efektifitasnya. Serta perlu adanya pola kampanye kemitraan dengan pihak swasta atau co branding, khususnya untuk mengatasi masalah pembiayaan.

5.3.3 Below The Line

Below The Line (BTL) adalah sebuah strategi promosi atau komunikasi dengan target audien yang terbatas (spesifik). Dalam strategi ini tercipta interaksi langsung dengan audien. Komunikasi berlangsung dua arah. Media atau kegiatannya memberikan kesempatan kepada audien untuk merasakan, menyentuh atau berinteraksi, bahkan langsung action (membeli produk), contoh: even, sponsorship, sampling, promosi langsung ke konsumen (masyarakat).

(14)

5.3.3.1 Sumber Informasi

Dari gambar grafik dibawah menunjukkan penyuluh kesehatan merupakan pihak yang dipercaya oleh 36,70% responden sebagai sumber informasi tentang sanitasi. Oleh karena itu, petugas kesehatan perlu menjadi pihak pertama yang harus aktif terlibat dalam kegiatan kampanye sanitasi. Mereka adalah petugas-petugas/kader-kader kesehatan yang mendapat kepercayaan dan mempunyai hubungan emosional di lingkungan masyarakat tempat mereka bertugas maupun lingkungan tempat tinggal.

Pada urutan kedua adalah petugas kelurahan RT/RW yaitu sebesar 27,42%. Sebagai penguasa wilayah mempunyai pengaruh luas di lingkungan tersebut, mereka dapat secara obyektif memotret kondisi sanitasi di lingkungannya dan secara sadar harus dapat menjadi agent perubahan (agent of change) bagi masyarakatnya.

Gambar 5.4

Grafik Sumber Informasi Yang Dipercaya

Sumber : hasil Studi EHRA Jepara Juli 2010

Tokoh agama di Jepara juga mendapat kepercayaan sebagai sumber informasi sanitasi yang dipercaya oleh masyarakat yaitu sebesar 4,72% sehingga peranan tokoh agama perlu diperhatikan untuk lebih dilibatkan dalam penyuluhan-penyuluhan di bidang sanitasi, baik dalam kegiatan pengajian maupun kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya..

(15)

5.3.3.2 Intensitas Mengikuti Pertemuan

Dari gambar grafik dibawah menunjukkan bahwa warga Jepara sebagian besar tidak/jarang menghadiri pertemuan/penyuluhan kesehatan, yaitu sebesar 92,38% menyatakan tidak/jarang mengikuti,pertemuan dan hanya 7,62% saja warga yang menyatakan pernah menghadiri pertemuan. Artinya, jika memang sebagian warga tidak/jarang menghadiri pertemuan/penyuluhan kesehatan maka harus dirancang peningkatan pengadaan pertemuan/ penyuluhan untuk mengkampanyekan sanitasi sebagai salah satu topik yang dapat menarik perhatian masyarakat supaya lebih banyak yang tertarik mengikutinya.

Gambar 5.5

Grafik Intensitas Mengikuti Pertemuan/Penyuluhan Kesehatan

Sumber : hasil Studi EHRA Jepara Juli 2010

5.3.3.3 Tema Sosialisasi

Jumlah responden yang pernah mengikuti penyuluhan/sosialisasi tentang persampahan, limbah domestik dan drainase lingkungan hanya 32,12%. Pada Gambar 5.6. dapat dilihat jumlah responden yang mengikuti penyuluhan/sosialisasi pada masing-masing sub sektor sanitasi, hal ini mengindikasikan bahwa proporsi yang mengikuti penyuluhan/sosialisasi tentang ketiga sub sektor sanitasi tersebut relatif kurang.

Dari pengamatan yang dilakukan, pada umumnya setiap sosialisasi/penyuluhan yang diadakan oleh instansi pemerintah, hanya melibatkan sebagian anggota masyarakat saja, misalnya tokoh masyarakat,

(16)

kader PKK atau lainnya, pengurus lingkungan, dan warga terdekat dari lokasi kegiatan. Hal ini terjadi karena terbatasnya anggaran sosialisasi/penyuluhan ( termasuk dari kelurahan) dan keterbatasan waktu penyelenggaraan. Di samping itu, ada kebiasaan penyebaran informasi dilakukan dengan pola ’getok tular’ melalui agen-agen perubahan, seperti kader-kader atau tokoh-tokoh masyarakat.

Gambar 5.6

Grafik Tema Sosialisasi yang Pernah Diikuti

Sumber : hasil Studi EHRA Jepara Juli 2010

5.4 Keterlibatan Lembaga Non Pemerintah (LNP) dalam Layanan

Sanitasi

5.4.1 Sub Sektor Persampahan

LNP atau pihak swasta serta masyarakat mempunyai peran masih sangat kecil dan tidak signifikan dalam pengelolaan sampah di Kabupaten Jepara. Kerjasama baru dilakukan dengan PT. Gemati, khusus untuk pengangkutan sampah ke TPA saja. Pengusaha pengepul barang bekas (daur ulang) berskala besar di Kabupaten Jepara belum ada, hanya beberapa yang kecil-kecil saj, dimana hasil pengumpulan barang bekas ini akan dijual ke luar Kabupaten Jepara.

Khusus untuk sampah organik, di Kabupaten Jepara belum ada pihak swasta atau LNP yang secara serius menjalankan usaha di bidang pemanfaatan sampah organik sebagai bahan baku komposting atau lainnya. Usaha komposting yang dijalankan oleh masyarakat dengan skala kecil antara lain di kelola oleh KSM Lakpesdam NU yang mulai beroperasi sejak tahun 2007 dengan

(17)

melibatkan masyarakat sekitar 500 orang dan tenaga personil 25 orang, dan beroperasional secara swadana dengan menghasilkan kompos sekitar 40 ton perbulan. Tim Penggerak PKK RW VII Desa Tahunan Kecamatan Tahunan yang meliputi 7 RT dengan 382 KK yang sudah aktif sejak tahun 2000. Sumber pendanaan berasal dari iuran warga masyarakat, serta kadang-kadang ada bantuan dari ADD Desa, dan personil yang terlibat ada 9 orang. Unit pupuk organik Al-Mizon yang dikelola pribadi melayani 1 RW. Adapun kegiatan tersebut lebih bersifat untuk pencapaian untuk mendukung program Pemkab dalam meraih Piala Adipura .

Sedangkan pendanaan melalui bantuan CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan yang berada di wilayah Kabupaten Jepara, adalah Bank Danamon melalui ‘Yayasan Danamon Peduli’ bersama DPTRK bekerja sama dalam program ‘Pasar Bersih’ mengelola sampah organik menjadi kompos dan sudah beroperasi sejak Mei 2008. Sementara lokasi kerjasama ini baru satu lokasi yaitu di Pasar Jepara II. Lainnya adalah melalui Bank Jateng yang hanya memberikan bantuan berupa tong sampah, pot bunga dan bibit tanaman.

Diagram pengelolaan sampah Kabupaten Jepara secara garis besar adalah sebagai berikut;

.Gambar 5.7

Diagram Penanganan Sampah di Kabupaten Jepara

Sumber : DPTRK Kabupaten Jepara, 2008

Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa jumlah sampah yang terolah atau termanfaatkan kembali menjadi produk daur ulang baik organik maupun anorganik masih sangat kecil. Sampah anorganik yang terjual ke luar Kabupaten Jepara oleh para pengepul hanya sebesar ± 2,6% dari total timbulan sampah, sedangkan sampah organik yang terolah menjadi kompos, hanya sebesar 2,5%.

(18)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa total volume sampah yang termanfaatkan kembali melalui Reduce, Reuse, Recycle (3R) baik untuk sampah organik maupun anorganik hanya berkisar 5,1%, sedangkan sisanya terbuang ke TPA tanpa ada pemanfaatan ulang (51,2). Beberapa desa/kelurahan yang tidak mendapat layanan pengangkutan sampah bahkan masih membakar/menimbun sampahnya di halaman rumah (sebesar ± 43,6%).

Uraian di atas menjelaskan bahwa efektifitas usaha yang dilakukan baik oleh pemerintah Kabupaten Jepara maupun masyarakat di beberapa desa/kelurahan dalam mengurangi timbulan/volume sampah yang masuk ke TPA belum menunjukkan suatu hasil yang signifikan. Hal itu mendorong perlunya suatu penanganan sanitasi yang terpadu antar berbagai pihak (pemerintah, swasta, dan masyarakat), sehingga akan dihasilkan suatu pengelolaan persampahan yang menyeluruh dan terintegrasi.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh DPTRK sebagai pihak utama yang bertanggungjawab dalam pengelolaan persampahan di Kabupaten Jepara adalah:

ƒ Program kampanye masal untuk meraih komitmen dan kepedulian masyarakat hingga timbul inisiatif dari masyarakat tersebut untuk menangani persampahan secara terpadu.

ƒ Mensinergikan program-program dan kegiatan yang dimiliki oleh pemerintah kota melalui SKPD terkait dengan program dan kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pihak swasta khususnya melalui CSR-nya, sehingga dapat saling melengkapi dan mendorong terwujudnya pengelolaan sanitasi yang terpadu di Kabupaten Jepara.

ƒ Memanfaatkan program CSR dari pihak perusahaan-perusahaan besar yang ada di Kabupaten Jepara (contoh : PLTU Tanjung Jati) untuk mereplikasi berbagai program yang telah diprakarsai oleh Pemerintah Kabupaten dalam mengurangi timbulan sampah, seperti program komposting, bank sampah, dan sebagainya.

ƒ Adanya dukungan dari pemerintah setempat (Pemkab Jepara) untuk mendorong masyarakat dalam meningkatkan kemampuan mereka untuk berperan serta di dalam pengelolaan sanitasi kota, khususnya sektor persampahan. Contoh : penyerahan unit komposting yang selama ini masih dikelola oleh SKPD terkait (DPTRK) kepada

(19)

masyarakat dengan pengawasan dan stimulus-stimulus dari Pemkab Jepara.

ƒ Memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan persampahan di Kabupaten Jepara, baik yang bergerak dalam penanganan sampah organik (komposting) maupun anorganik (pengumpul bahan bekas/sampah daur ulang), sehingga pada nantinya sampah yang masuk ke TPA benar-benar hanya berupa (sampah) residu yang tidak dapat terolah secara sederhana.

Skema pengelolaan pihak swasta dalam pengelolaan sampah adalah seperti gambar berikut dibawah ini.

(20)

Gambar 5.8

Skema Pengelolaan Pihak Swasta Dalam Pengelolaan Sampah

Pemulung Logam Pemulung Plastik 3 ton/hari Pemulung Kertas PASAR City KOMERSIAL PERUMAHAN JALAN / FASILITAS UMUM TPA TPS CONTAINER BAK SAMPAH 605.03m3 per hari 341.6m3 per hari Penampung limbah kertas Penampung limbah plastik Penampung besar/ Pabrik daur ulang Plastik dll:

Pati

Kota lain? Penampung besar/ Pabrik daur ulang kertas: Pati Kota lain? Penampung limbah

gelas, kaca, tulang, sisa bangunan, dsb.

Pihak/ komponen lain yang mengurangi volume sampah Usaha konversi sampah organik jadi kompos: 15 m3 per hari Konsumen Kompos?

Sumber Sampah

Penampung limbah logam.

(21)

5.4.2 Sub Sektor Limbah Cair Domestik

Hasil studi EHRA Jepara Juli 2010, sebagian besar masyarakat responden memanfaatkan Tangki Septik (50,99,3%) untuk saluran pembuangan limbah cair domestiknya, sedangkan sisanya disalurkan ke sungai/parit/kali (tidak ada fasilitas/tempat terbuka) sebesar 6,53%, cubluk 33,54 % dan lain-lain sebesar 8,93%.

Gambar 5.9

Grafik Tempat Pembuangan Limbah Cair Domestik

Sumber : hasil Studi EHRA Jepara Juli 2010

Dari gambar fakta diatas yang diperoleh dari studi EHRA Jepara Juli 2010, diketahui bahwa sebagian besar masyarakat Jepara masih memiliki tingkat kesadaran yang rendah dalam mengosongkan tangki septiknya. Analisa lain yang diperoleh adalah, untuk tangki septik yang tidak pernah dikosongkan sama sekali, diindikasikan bahwa sebenarnya yang digunakan oleh rumah tangga bukan tangki septik melainkan cubluk atau tangki yang tidak kedap air, sehingga merembes ke luar tangki.

Peminat keterlibatan pihak swasta, LNP maupun masyarakat Kabupaten Jepara dalam pengelolaan limbah cair domestik belum terlihat. Hal ini diindikasikan dengan belum adanya perusahaan kuras tangki septik yang beroperasi di wilayah Kabupaten Jepara. Hanya ada 1 truk sedot tinja milik Pemkab Jepara yang dikelola DPTRK dengan kapasitas 1 truk tinja 2,25 m3 dan intensitas pengangkutan baru 1 kali perhari atau hanya 2,25 m3 lumpur tinja yang

(22)

disedot perhari. Kebijakan tarif layanan ditentukan dari kemampuan masing-masing pelanggan, dalam rentang harga Rp. 120.000,- – Rp. 160.000,- per 1 kali pengurasan.

Truk tinja membuang hasil pengurasan lumpur tinja ke IPLT Bandengan yang sejauh ini dikelola oleh pihak DPTRK Kabupaten Jepara. Lumpur tinja yang terolah pada unit IPLT hingga saat ini pemanfaatannya masih sangat kecil/sedikit, baik sebagai bahan pencampur pupuk atau media tanam.

Dengan belum adanya perusahaan swasta penyedot tinja yang tertarik untuk berinvestasi pada usaha ini di Kabupaten Jepara mengindikasikan rendahnya kesadaran masyarakat dalam menguras tangki septiknya. Hal ini sangat berbahaya terutama terhadap kemungkinan pencemaran badan air sekitarnya. Dalam hal ini perlu usaha yang lebih keras lagi dari pihak DPTRK untuk melaksanakan strategi kampanye yang efektif kepada masyarakat.

Usaha atau langkah-langkah lain yang perlu untuk dipikirkan oleh Pemerintah Kabupaten Jepara khususnya DPTRK dalam pengelolaan limbah cair domestik yang menyeluruh dan terintegrasi adalah :

ƒ Kesadaran masyarakat masih sangat rendah khususnya dalam hal pengurasan tangki septik, memungkinkan terjadinya pencemaran air tanah, apalagi jika diketahui bahwa sebagian besar masyarakat di Kabupaten Jepara (90%, sumber data PDAM Kabupaten Jepara tahun 2009) masih memanfaatkan sumur gali atau sumur bor dangkal sebagai akses mereka untuk mendapatkan air bersih. Karenanya SKPD terkait perlu menerapkan suatu strategi kampanye terkait pentingnya mengelola limbah cair domestik secara baik dan benar, dengan cara pengurasan tangki septik secara rutin/berkala maksimal 5 tahun sekali, sehingga kemungkinan buangan septik tersebut mencemari air tanah sangat kecil.

ƒ Perlunya Pemkab (SKPD terkait) memfasiltasi melalui program kampanye tentang : (1) pentingnya BAB di jamban dan pentingnya pengurasan jamban secara rutin/berkala; atau suatu kampanye tentang (2) pentingnya pembenahan standar teknis dan pemeliharaan tangki septik, sehingga mendorong munculnya pihak swasta yang mau berinvestasi untuk menyediakan jasa pelayanan kuras tangki septiknya. ƒ Perlunya dukungan Pemkab supaya masyarakat terpicu untuk

(23)

komunal untuk 2 – 3 rumah tangga. Karena hal tersebut merupakan salah satu strategi tepat untuk diimplementasikan pada masyarakat miskin di perkotaan, dimana area permukiman sangat padat dan kumuh.

ƒ Adanya inisiatif dari pemerintah setempat untuk memanfaatkan lumpur tinja yang selama ini dibuang di IPLT (atau dimanfaatkan oleh pihak-pihak di luar Kabupaten Jepara), sebagai bahan pencampur media tanam, atau dapat digunakan sebagai bahan campuran pupuk tanaman, dalam program penghijauan taman kota.

ƒ Membangun sinergi di antara semua pihak yang terkait dalam pengelolaan limbah cair, antara lain; pemerintah kabupaten, KSM, dan LNP, sehingga akan terwujud manajemen pengelolaan limbah cair domestik secara menyeluruh di Kabupaten Jepara.

Gambar

Diagram pengelolaan sampah Kabupaten Jepara secara garis besar  adalah sebagai berikut;

Referensi

Dokumen terkait

Jika mahasiswa diasumsikan sudah menguasai strategi kognitif yang dapat digunakan untuk belajar mandiri, maka tujuan proses belejar mandiri dari suatu mata kuliah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi tepung cangkang kerang simping memberikan pengaruh yang sangat nyata (α = 0,01) terhadap kadar air, abu, lemak,

Disampaikan kepada Jemaat, bahwa Pelayanan Sakramen Baptisan Kudus dilaksanakan pada tanggal 26 Desember 2017 dalam Ibadah Hari Raya Natal ke-2 pkl. 09.00 WIB.. Pastoral

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tenaga kerja yang bekerja pada bagian pengantongan (packer) pada PT Semen Bosowa Maros yang terdiri dari karyawan

Adalah satu tatacara menyusun dan mengolah elemen landskap seperti tumbuhan dalam satu kombinasi yang sesuai, menarik dan berfungsi.. Dalam reka bentuk landskap, satu atau

Hasil penelitian menunjukkan pupuk NPKS 15- 15-15-5S dengan dosis optimum 600 kg/ha efektif meningkatkan bobot gabah kering, dari 3,63 t/ha menjadi 4,67 t/ha dan tidak berbeda

Setelah melakukan refleksi kekurangan yang terjadi disiklus I dan merancang pembelajaran kembali dengan memperbaiki kelemahan pada siklus I maka hasil temuan penelitian

Pemerintah merubah pendekatan pembangunan sanitasi nasional dari pendekatan sektoral dengan penyediaan subsidi perangkat keras yang selama ini tidak memberi daya