• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

ii

Hak Cipta pada Masing-Masing Kontributor

Dilarang memperbanyak sebagian dan/atau seluruh isi buku ini dalam bentuk

apapun, tanpa ijin tertulis dari Kontributor dan Editor

Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang

(SAMARTA)

Penerbit:

Universitas Udayana, 2017

Desain Sampul:

Antonius Karel Muktiwibowo

Kontributor Foto Sampul Depan dan Belakang: Antonius Karel Muktiwibowo

Pracetak:

Ni Made Swanendri, I Wayan Yuda Manik, Dwi Pratiwi, Ni Putu Dian Pratiwi, Sanar Oktaviani, Ni Wayan Fortuna Ningsih, Yosephine Estherina Wibowo, I Kadek Diantara, Kadek Satria Ariwibawa.

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan

Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana

Prosiding Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang

Denpasar: Penerbit Universitas Udayana, 2017

x, 501 hlm; 4 cm

Bibliografi

ISBN: 978-602-294-240-5

1. Arsitektur dan Tata Ruang

(4)

P R A K A T A

Identitas suatu bangsa memiliki peran yang penting dalam percaturan dunia internasional. Bangsa yang beridentitas memiliki karakter yang menjadi pembeda dengan bangsa lain. Dalam konteks Indonesia, identitas bangsa tidak bisa dipisahkan dari budaya lokal, masyarakat, dan lingkungan setempat yang mendukungnya. Tradisi dan budaya Indonesia masih bertahan hingga kini menjadi sebuah kekuatan untuk mempertahankan identitas Secara fisik, arsitektur dan lingkungan binaan merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjukkan identitas suatu bangsa. Kedua faktor ini memiliki keterkaitan yang erat dengan dengan manusia sebagai pengguna dan Tuhan sebagai sang pencipta. Dalam filosofi orang Bali, Tri Hita Kharana merupakan sebuah konsep universal yang melestarikan hubungan harmonis antara manusia, alam dan Sang Pencipta untuk melestarikan budaya lokal. Konsep ini diangkat sebagai tema utama dalam seminar yang mengkaji arsitektur, manusia dan lingkungan terbangun dari berbagai sudut pandang yang beragam mulai dari filosofi dan konsepsi tentang arsitektur, kearifan lokal arsitektur, warisan dan budaya lokal serta identitas kota masa kini.

Karenanya, Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana bekerjasama dengan Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Bali (IAI Bali) dan Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) menyelenggarakan Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA) dengan tema Arsitektur, Manusia, dan Lingkungan Binaan pada tanggal 6 Oktober 2017 ini. Seminar nasional ini mengajak para akademisi, para peneliti, para praktisi terkait arsitektur, pemerintah, organisasi nirlaba, pengembang dan pihak lain yang tertarik untuk mengkaji kekayaan arsitektur Indonesia untuk mempertahankan identitas bangsa dari pengaruh globalisasi. SAMARTA 2017 merupakan kegiatan perdana dan direncanakan akan dilakukan secara berkelanjutan setiap dua tahun dengan tema yang berbeda-beda sesuai dengan situasi terkini yang perlu didiskusikan. Akhir kata, kepada Pembicara Kunci, kami ucapkan terima kasih atas waktu serta kesediaannya untuk berbagi di melalui kegiatan ini. Kepada Pemakalah dan Peserta Seminar, kami ucapkan terima kasih atas partisipasinya. Akhirnya, kepada semua Panitia Pelaksana Seminar, kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk kerja kerasnya, sehingga seminar nasional tahun ini dapat terlaksana dengan baik, dan mohon maaf apabila ada kekurangan dan kesalahan selama persiapan maupun pelaksanaan kegiatan. Semoga seminar nasional ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi positif bagi pembangunan lokal dan nasional.

Terima kasih

Ketua panitia SAMARTA 2017 6 Oktober 2017

Dr. Tri Anggraini Prajnawrdhi, S.T, M.T, MURP. NIP. 197301012000122001

(5)

iv

KATA SAMBUTAN

Om Swastyastu,

Puja Pangastuti dipanjatkan kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa karena berkat rahmat dan karunia-Nya Prosiding Seminar Arsitektur dan Tata Ruang (Samarta) tahun 2017 dengan Tema Arsitektur, Manusia dan Lingkungan Terbangun, dapat diterbitkan. Prosiding ini memuat kumpulan makalah yang disertakan pada seminar tersebut.

Seminar yang diselenggarakan oleh Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana ini diharapkan dapat terlaksana setiap tahun. Tema ini mengajak berbagai pihak untuk secara berkelanjutan membedah arsitektur dan tata ruang dalam suatu diskusi.

Terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Udayana serta Dekan Fakultas Teknik Universitas Udayana atas dukungan moral dan material. Terima kasih juga kami sampaikan kepada pembicara kunci Prof. Josef Prijotomo, Prof. Antariksa, Prof. Sudaryono, dan Prof. Widjaja Martokusumo. Selain itu, ucapan terima kasih disampaikan kepada peserta seminar, panitia seminar dosen dan mahasiswa serta semua pihak yang telah membantu terbitnya prosiding ini.

Akhir kata, mudah-mudahan prosiding ini bisa menginspirasi pembaca dan menjadi referensi bagi akademisi, praktisi serta pembaca lainnya.

Terima Kasih

Om, Santhi, Santhi, Santhi, Om

Jimbaran, 6 Oktober 2017 Ketua Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana

Prof. Dr. Ir. A. A. Ayu Oka Saraswati, M.T. NIP. 196104151987022001

(6)

RINGKASAN

Prosiding seminar ini merupakan kumpulan paper-paper yang dipresentasikan dan dipublikasi pada Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA) dengan tema Arsitektur, Manusia, dan Lingkungan Terbangun yang diselenggarakan oleh Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana di Ruang Nusantara Lantai 4 Gedung Agro Kompleks Universitas Udayana, Kampus Denpasar pada hari Jum’at, tanggal 6 Oktober 2017.

Adapun sub tema yang diangkat dalam seminar nasional ini adalah:

1. Interpretasi filosofi dan konsepsi;

2. Diskursi kearifan lokal dalam rancang bangun; 3. Eksplorasi arsitektur warisan dan budaya; dan 4. Identitas lokal pada ruang kota masa kini.

Masing-masing paper telah dipresentasikan, baik dalam sesi presentasi untuk para pembicara kunci maupun sesi diskusi paralel untuk para pemakalah. Peserta dan pemakalah dalam seminar nasional ini berasal dari para akademisi, para peneliti, mahasiswa program pascasarjana, para praktisi terkait arsitektur, para pemerhati lingkungan terbangun, pemerintah, organisasi nirlaba, pengembang, dan kalangan umum.

Kegiatan seminar nasional ini adalah kegiatan awal dari rangkaian kegiatan dua tahunan yang diselenggarakan secara berkelanjutan oleh Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana. Pada setiap kegiatan seminar nasional akan ditetapkan tema yang berbeda-beda sesuai dengan situasi dan isu aktual pada saat itu. Semoga seminar nasional ini dapat menjadi wadah diskusi dan berbagi pengetahuan, pengalaman, dan gagasan berkaitan dengan arsitektur, manusia, dan lingkungan binaan dan dapat memberikan kontribusi positif bagi pembangunan berkelanjutan di negeri yang kita cintai ini.

Terima kasih

(7)

vi

DAFTAR ISI

Halaman SAMBUTAN DAN PENGANTAR

1. Prakata Ketua Panitia Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang Universitas Udayana

2017 ... iii

2. Kata Sambutan Ketua Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana 2017 ... iv

3. Ringkasan Prosiding Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang Universitas Udayana 2017 ... v

DAFTAR ISI ... vi

PEMBICARA UTAMA ... 1. ‘Nusantara’ dan Perkembangan Arsitektur di Indonesia. (Josef Prijotomo) ... 1

2. Memaknai Lokalitas Dalam Arsitektur Lingkungan Binaan. (Antariksa) ... 9

3. Pendekatan Fenomenologi untuk Eksplorasi Arsitektur Lokal Bali. (Sudaryono) ... 15

4. Pelestarian Warisan Budaya. Catatan untuk Konsep Autentisitas dan Integritas dalam Pelestarian Arsitektur. (Widjaja Martokusumo) ... 23

SUB TOPIK 1. INTERPRETASI FILOSOFI DAN KONSEPSI ... 1. Konsep Panca Maha Bhuta dalam Perencanaan dan Perancangan Taman Rekreasi Kalianget

Wonosobo.

(Daisy Radnawati, Samsud Dlukha, Ray March Syahadat, Priambudi Trie Putra) ... 1-1 2. Pengaruh Konsep Catus Patha terhadap Tata Ruang Pemukiman di Kawasan Transmigrasi

Masyarakat Bali. Studi Kasus: Desa Jati Bali, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

(Imade Krisna Adhi Dharma, Weko Indira Romanti Aulia) ... 1-9 3. Konsepsi dan Makna Arsitektur Tradisional pada Bangunan Kekinian. Sebuah Intepretasi

Masyarakat Lokal Bali Tengah pada Transformasi Rumah Tradisional.

(I Dewa Gede Agung Diasana Putra) ... 1-21 4. Façade dan Landscape Bali, Interpretasi dan Konsep Tata Ruang Lingkungan Terbangun

Desa Bayung Gede.

(Petrus Rudi Kasimun) ... 1-31 5. Identifikasi Bentuk, Struktur, dan Kontruksi Bale Meten Sakaulu pada Arsitektur Tradisional

Bali di Desa Gunaksa-Klungkung.

(I Nengah Lanus, I Nyoman Susanta, Gede Windu Laskara) ... 1-35 6. Ignition Factor sebagai Informasi Berharga Desain Arsitektur.

(Heru Sufianto) ... 1-43 7. Dari Teks Menjadi Arsitektur: Interpretasi terhadap Naskah Lontar Asta Kosala Kosali.

(I Nyoman Nuri Arthana) ... 1-51 8. Landasan Konsepsual dan Penerapan Pradaksina dan Prasawya dalam Perwujudan

Arsitektur Hindu Bali.

(I Nyoman Widya Paramadhyaksa) ... 1-59 9. Makna Simbolis Penataan Palebahan sebagai Unsur Dasar Kompleks Puri di Bali.

(8)

SUB TOPIK 2. DISKUSI KEARIFAN LOKAL DALAM RANCANG BANGUN ... 1. Ragam Hias Arsitektur Tradisional Bali pada Gedung Kantor Gubernur Bali.

(Donna Sri Lestari Poskiparta, Tri Anggraini Prajnawrdhi) ... 2-1 2. Kearifan Lokal Migran Madura pada Permukiman Kota Lama Malang.

(Damayanti Asikin, Antariksa, Lisa Dwi Wulandari, Wara Indira Rukmi) ... 2-9 3. Identifikasi Bangunan Kolonial untuk Pelestarian Fasade di Jalur Belanda Kota Singaraja-Bali.

(Agus Kurniawan) ... 2-17 4. Representasi Tradisi Demokrasi pada Arsitektur Bale Banjar Adat di Denpasar-Bali.

(Christina Gantini, Josef Prijotomo) ... 2-25 5. Karakteristik Tangible dan Intangible Gereja Tua Sikka. Sebagai Bukti Sejarah Masuknya

Agama Katolik di Sikka.

(Yohanes Pieter Pedor P., I Wayan Kastawan, Widiastuti) ... 2-35 6. Keunikan Bentuk Ragam Hias pada Pura Dalem Desa Bebetin, Kecamatan Sawan,

Kabupaten Buleleng.

(Tri Anggraini Prajnawrdhi, Ni Ketut Agusintadewi, Ni Luh Putu Eka Pebriyanti, dan Ni Made Mitha Mahastuti) ... 2-45 7. Bale Tumpang Salu pada Bangunan Umah di Desa Sidatapa, Singaraja.

(Anak Agung Ayu Oka Saraswati) ... 2-53 8. Bentuk dan Makna Arsitektur dan Ornamen Monumen Bajra Sandhi.

(Sri Indah Retno Kusumowati, Tri Anggraini Prajnawrdhi) ... 2-59 9. Kajian Penerapan Arsitektur dan Ragam Hias Tradisional Bali pada Kori Agung Bangunan

Balai Pertemuan di Kantor DPRD Bali.

(Syilvia Agustine Maharani, Tri Anggraini Prajnawrdhi) ... 2-67 10. Adaptasi Arsitektur Tradisional Bali pada Balai Pertemuan DPRD Renon, Bali.

(Made Chryselia Dwiantari, Tri Anggraini Prajnawrdhi) ... 2-75 11. Kajian Ergo-Arsitektur pada Dapur Tradisional di Banjar Tiga Kawan, Desa Penglumbaran,

Bangli-Bali.

(Ida Bagus Gde Primayatna, I Gusti Agung Bagus Suryada) ... 2-83 12. Ekspansi Ruang pada Bangunan Tradisional Bali.

(I Made Adhika) ... 2-89 13. Kearifan Ekologis Bangunan Vernakuler dalam Konteks Mitigasi Bencana.

(Sri Utami) ... 2-95 14. Memahami Esensi Ruang Domestik pada Masyarakat Tradisional Bali Aga di Desa Sekardadi,

Kintamani.

(Ni Ketut Agusintadewi, I Wayan Yuda Manik, Ni Made Mitha Mahastuti) ... 2-103

SUB TOPIK 3. EKSPLORASI ARSITEKTUR WARISAN DAN BUDAYA ... 1. Kampung Adat Deri Kambajawa di Kabupaten Sumba Tengah sebagai Living Museum.

(Titien Saraswati, Maria Adrianus Rambu Day) ... 3-1

2. Reinterpretasi Prinsip Ruang Bersama Tanean Lanjang Madura pada Pusat Komunitas Seni Tari Topeng Malang.

(Dionisius Dino Briananto, Tito Haripradianto, Abraham M. Ridjal) ... 3-11

3. Peragaman Rupa dan Rupa Inklusif dalam Desain Warisan Arsitektur.

(Noviani Suryasari, Antariksa, dan Lisa Dwi Wulandari)... 3-17

4. Kota Terapung Muara Muntai. Studi Kasus: Pengembangan Kota Muara Muntai Sebagai Kota Heritage.

(Huda Nurjanti) ... 3-23

5. Pola Tata Bangunan dan Hubungan Kekerabatan: Dusun Kasim, Kabupaten Blitar.

(Yurista Hardika Dinata, Wara Indira Rukmi, dan Antariksa) ... 3-33

6. Kawasan Wisata Permukiman Bantik di Pesisir Pantai Malalayang Berbasis Cultural Heritage.

(9)

viii

7. Kajian Place Attachment pada Anak-Anak di Desa Bali Aga Tenganan dengan Visual Analy-sis.

(Antonius Karel Muktiwibowo, Gede Windu Laskara) ... 3-49

8. Identifikasi Tingkat Perubahan Kawasan Bersejarah Menggunakan Visual Impact Assessement dan Tipologi Bangunan di Koridor Jalan Ijen, Malang.

(Eddi Basuki Kurniawan, Novita Dian Zahdella, Wulan Astrini) ... 3-59

9. Pola Pemanfaatan Ruang Pemukiman Masyarakat Bajo di Desa Lemo Bajo Kabupaten Konawe Utara sebagai Arahan Penataan Kawasan Pemukiman Pesisir.

(Santi, Siti Belinda Amri, Haryudin) ... 3-67

10. Kajian Penataan Ruang Kawasan Jabotabek dengan Pendekatan Ekosistem.

(Parino Rahardjo) ... 3-77

11. Ruang Teror pada Labirin Kampung Pulo.

(Coriesta Dian Sulistiani) ... 3-85

12. Faktor Kritis Penentu Keberhasilan Kolaborasi Desain pada Perusahaan Properti di Kabupaten Gresik.

(Moh. Saiful Hakiki, Ikhtisholiyah, Dandy Nugroho) ... 3-97

13. Tipologi Rumah Adat Pada Desa Bali Aga. Studi Kasus pada Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng.

(Tri Anggraini Prajnawrdhi, Ni Made Yudantini) ... 3-103

14. Perubahan Arsitektur Tradisional Hunian Desa Bayung Gede, Bangli.

(Widiastuti, Syamsul Alam Paturusi, Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, Gede Windu Laskara) ... 3-109

15. Identifikasi Potensi Internal, Tantangan, dan Peluang Pengembangan Lima Tipe Daya Tarik Wisata Desa Singapadu Tengah.

(I Made Suarya, I Nyoman Widya Paramadhyaksa, Ni Ketut Agusinta Dewi, dan I Gusti Agung Bagus Suryada) ... 3-119

16. Cultural Landscape: Pola Desa Tradisional di Desa Buahan, Kintamani.

(Ni Made Yudantini, Tri Anggraini Prajnawrdhi) ... 3-127

SUB TOPIK 4. IDENTITAS LOKAL PADA RUANG KOTA MASA KINI ... 1. Konsep Ruang Komunal Sosio-Kultural Kota Multi-Etnis Historis Gresik.

(Dian Ariestadi, Antariksa, Lisa D. Wulandari, Surjono) ... 4-1

2. Konsep Perancangan Kawasan Pasar Tradisional Badung sebagai Upaya Memperkuat Karakter Kawasan Jl. Gajah Mada-Denpasar.

(Gede Windu Laskara, Bramana Ajasmara Putra) ... 4-9

3. Place Attachment pada Jalur Pedestrian di Jalan Ijen, Malang sebagai Ruang Terbuka Publik.

(Wulan Astrini, Eddi Basuki Kurniawan) ... 4-17

4. Kearifan Pejabat, Pengembang, Perencana, Perancang, dan Supervisi dalam Etika Lingkungan Hidup.

(JM. Joko Priyono Santoso) ... 4-25

5. Kearifan Lokal dan Identitas Kota Baru.

(Franky Liauw) ... 4-33

6. Ekowisata pada Cultural Landscape Subak sebagai Identitas Kota Denpasar. Sebuah Upaya Penggalian Potensi Ekowisata di Subak Sembung Kecamatan Denpasar Utara.

(I Gusti Agung Bagus Suryada, I Nyoman Widya Paramadhyaksa) ... 4-41

7. Pengembangan Wisata Sejarah sebagai Penguatan Identitas Kawasan Kabupaten Pulau Mo-rotai.

(Yudha Pracastino Heston, Yonanda Rayi Ayuningtyas, dan Rivaldo Okono) ... 4-49

8. Permukiman Bali Kuno Desa Bayung Gede sebagai Atraksi Pariwisata di Bali.

(Syamsul Alam Paturusi) ... 4-57

9. Perancangan Kawasan Kedungu Resort sebagai Upaya Pembangunan Sektor Pertanian yang Berkelanjutan di Kabupaten Tabanan.

(10)

(Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, I Wayan Yogik Adnyana Putra, Marthin Gunardhy) ... 4-67

10. Materialisasi Ruang Publik dan Pembangunan Pariwisata Budaya. Konflik Kepentingan Pemanfaatan Kawasan Pesisir di Bali.

(I Ketut Mudra) ... 4-75

11. Upaya Mengeleminir Dampak Investasi terhadap Lingkungan dan Tata Ruang Wilayah Kabu-paten Badung.

(Putu Rumawan Salain) ... 4-83

12. Permasalahan Keruangan dalam Perencanaan Pasar Seni Desa Pakraman Kutri, Desa Sin-gapadu Tengah, Gianyar.

(I Nyoman Widya Paramadhyaksa, I Made Suarya, dan Ida Ayu Armeli)... 4-93

13. Konsep Tata Kelola Homestay di Desa Wisata Pinge Kabupaten Tabanan.

(Ni Putu Atik Pranya Dewi, I Nyoman Widya Paramadhyaksa, dan Tri Anggraini Prajnawrdhi) ... 4-101

14. Kajian Kawasan Nelayan di Pantai Kuta.

(I Gusti Ngurah Anom Rajendra) ... 4-109

15. Identifikasi Desain Ruang Luar yang Berkearifan Lokal sebagai Place Branding terhadap Persepsi Wisata Kota di Area Catus Patha Kota Denpasar.

(Kadek Agus Surya Darma) ... 4-117

16. Makna dan Karakteristik Ruang Bermain Anak di Bantaran Sungai Code. Studi Kasus: Kelurahan Cokrodiningratan, Jetis, Yogyakarta.

(Ni Luh Putu Eka Pebriyanti) ... 4-125

17. Pemanfaatan Lansekap sebagai Identitas Kota dalam Perspektif City Branding.

(Subhan Ramdlani)... 4-133

18. Aktivitas Masyarakat sebagai Pembentuk Identitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) Berkualitas di Kota Malang.

(Lisa Dwi Wulandari, Subhan Ramdlani) ... 4-141

(11)
(12)

Ni Ketut Agusintadewi1), I Wayan Yuda Manik2), Ni Made Mitha Mahastuti3)-Memahami Esensi Ruang Domestik pada

MEMAHAMI ESENSI RUANG DOMESTIK PADA HUNIAN LOKAL BALI AGA

DI DESA SEKARDADI, KINTAMANI

Ni Ketut Agusintadewi1), I Wayan Yuda Manik2), Ni Made Mitha Mahastuti3)

1)2)3)Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana, Bali

nkadewi@unud.ac.id yudamanik@unud.ac.id mithamahastuti@yahoo.co.id

ABSTRACT

Space is an essential basic of human life that is needed to understand as a relationship between function and dwellers. Space can be created and reflected from setting of activities and setting of place where these can be placed. In the context of house lifes, domestic spheres formed from function that accommodate the six basic of home activities. Regarding to the complexity of interrelationship between the occupants and the dwellings, culture plays an important role in order to understand the meaning of these spheres. Traditional Bali Aga community in Sekardadi Village has an uniqueness for arranging their domestic spheres. House lay out of this community consists of three pavilions: paon or a kitchen; an closed pavillion for bedrooms; and a jineng or a granary. This paper aims to reveal of how the people in Sekardadi Village give a meaning to their domestic spaces. Data from fieldwork describes that belief system indicates paon and jineng as sacred spaces in their house. In order to create the meaning in their house, these can be realised from making a sacred spaces. In this context, cultural is an important part of the complexity of relationship between the occupants and their house in order to create a series of home experiences, in particular using domestic spaces.

Keywords: domestic spheres; domestic life; traditional dwellers of Bali Aga ABSTRAK

Ruang sebagai suatu kebutuhan dasar manusia yang hakekatnya menjadi satu hal yang perlu dipahami sesuai fungsi dan penghuninya. Bagaimana ruang tercipta merupakan cerminan dari setting aktivitas dan tempat dimana ruang itu berada. Pada tradisi berumah, ruang-ruang domestik terbentuk dari fungsi yang mewadahi aktivitas-aktivitas dasar berumah. Dalam kompleksitas hubungan antara penghuni dan rumahnya, budaya memainkan peran dalam memaknai ruang-ruang tersebut. Masyarakat tradisional Bali Aga di Desa Sekardadi, Kintamani, memiliki kekhasan dalam menata ruang-ruang domestiknya. Layout huniannya memiliki tiga bangunan: paon, tempat tidur anak laki-laki; dan jineng. Tulisan ini bertujuan untuk mengenal bagaimana masyarakat tradisional Bali Aga di Desa Sekardadi memaknai ruang-ruang domestik dalam tradisi berhuni mereka. Data lapangan menunjukkan bahwa sistem kepercayaan menempatkan paon dan jineng sebagai ruang-ruang domestik yang disakralkan. Pembentukan makna dalam rumah mereka terwujud dari mengsakralkan pada suatu ruang. Budaya berperan dalam kompleksitas hubungan antara penghuni dan huniannya untuk menghasilkan serangkaian pengalaman berumah, terutama dalam penggunaan ruang-ruang domestik.

Kata Kunci: ruang-ruang domestik; kehidupan berumah; masyarakat tradisional Bali Aga

PENDAHULUAN

Bali memiliki tatanan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk permukiman dan unit huniannya. Tidak hanya bentuk bangunannya saja yang khas, organisasi ruang dan tata letak hunian juga sangat unik. Desa Sekardadi merupakan salah satu Desa Bali Aga di pegunungan. Berdasarkan data sejarah, bersama-sama beberapa desa lainnya, Desa Sekardadi merupakan salah satu turunan dari Desa Bayung Gede yang memiliki kekhasan pada pola permukiman dan tata huniannya. Desa Bayung Gede merupakan desa bersejarah yang telah berkembang menjadi desa-desa lain dengan tetap mempertahankan sebagian besar budaya bermukimnya. Namun, dalam kurun waktu delapan dekade (sejak 1930an, sejak untuk pertama kalinya desa ini berhasil diidentifikasi oleh Margaret Mead, dkk), unit hunian di desa tersebut telah mengalami perubahan secara fisik. Perubahan tersebut karena adanya perubahan gaya hidup dan cara pandang penghuni terhadap huniannya serta perubahan demografi.

Kekhasan yang dimiliki Desa Bayung Gede pada masa identifikasi Margaret Mead (tahun 1936) adalah terdapat tiga massa bangunan di dalam satu unit hunian (kavling). Ketiga massa bangunan

(13)

tersebut secara serentak berulang kembali di setiap unit hunian. Massa bangunan tersebut adalah (secara berurutan dari pintu masuk utama pekarangan): (1) Jineng/lumbung, tempat menyimpan hasil pertanian/perkebunan; (2) Bale Pegaman, tempat tidur anak-anak dan menyimpan perlengkapan upacara; (3) Paon/Dapur, yang berfungsi untuk menyiapkan logistik keluarga sekaligus ruang tidur orang tua. Beberapa aspek fisik unit lingkungan juga memiliki kekhasan dan keseragaman yang menunjukkan dimasa lalu, pihak otoritas desa telah menyiapkan semacam regulasi tradisional yang mengatur keteraturan di dalam desa ini.

Sebagai turunan dari Desa Bayung Gede, Desa Sekardadi menerapkan tata letak hunian yang sama. Namun demikian, perubahan gaya hidup dan pertambahan kebutuhan ruang oleh penghuni rumah di Desa Sekardadi telah mengubah fungsi bale pegaman yang bernilai sakral menjadi lebih profan. Selain itu, pertambahan kebutuhan akan ruang, baik karena pertambahan jumlah keluarga maupun pertambahan aktivitas, telah mendorong penghuni rumah untuk menambah massa bangunan pada pekarangannya. Pola tata letak unit hunian telah berubah dan tidak sesuai lagi dengan kondisi aslinya karena faktor-faktor pendorong tersebut.

Tulisan ini merupakan bagian dari serangkaian pengamatan yang telah dilakukan pada ruang-ruang domestik pada masyarakat tradisional Bali Aga di Desa Sekardadi, Kintamani. Pola tata letak unit hunian yang khas dan ruang-ruang domestik yang terbentuk sebagai bagian dari aktivitas berhuni menggambarkan bagaimana budaya menjadi penting dalam masyarakat tersebut. Dalam konteks bermukim, kehidupan berumah dipraktekkan dari kebiasaaan dan tradisi penghuni (Pratt, 1981). Bentuk rumah dengan layout-nya, tata letak massa bangunan, dan pola spasial permukiman dibentuk dari budaya penghuninya (Rapoport, 1969). Sebagaimana juga ditegaskan oleh Lawrence (1985) bahwa rumah adalah artefak sosial budaya, merupakan pengembangan dari konsep habitus (Bourdieu, 1977). Dengan demikian, dalam tradisi berumah, konsep habitus mendefinisikan segala bentukan dari tradisi bermukim sebagai garis waktu dari masa lampau ke masa kini yang menghasilkan rangkaian pengalaman berumah penghuninya.

Arsitektur tradisional yang tumbuh berdasarkan pada kebutuhan masyarakat setempat yang dilatarbelakangi oleh kondisi dan tantangan dari lingkungan alam dan sosial sekitarnya menjadi satu hal perlu dikaji karena didalamnya terdapat sebuah tatanan ruang yang cenderung untuk tidak berubah dari generasi ke generasi berikutnya, sehingga dapat dimengerti sebagai ruang yang bersahabat terhadap lingkungannya. Pembentukan makna dalam rumah dapat terwujud melalui tubuh manusia itu sendiri-baik penempatannya dalam ruang, pergerakannya melalui ruang, atau pengeksklusiannya dari suatu ruang, juga dalam interaksi spasial antar pengguna. Hakekat ruang dalam arsitektur tradisional dapat dimengerti sebagai satu kajian yang berorientasi pada lokalitas. Merujuk pada paparan di atas, maka menjadi pertanyaan kemudian, bagaimanakah masyarakat tradisional Bali Aga di Desa Sekardadi memaknai ruang-ruang domestik dalam tradisi berhuni mereka? Adakah ruang-ruang domestik yang dieksklusifkan atau bernilai sakral bagi mereka? Rangkaian pertanyaan ini tidak dapat dilepaskan dari bagaimana peran budaya dalam kompleksitas hubungan antara penghuni dan huniannya menghasilkan serangkaian pengalaman berumah.

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian awal yang dilakukan pada tahun 2016. Ini merupakan salah satu upaya dalam menjelajahi arsitektur tradisional Bali Aga di wilayah Kabupaten Bangli. Dengan adanya kegiatan ini, generasi mendatang diharapkan tetap dapat memiliki kesempatan untuk mengetahui arsitektur rumah tradisional dan permukiman Bali Aga di Desa Sekardadi. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi dokumentasi yang inklusif secara lengkap dan menyeluruh, sehingga memudahkan bagi peneliti-peneliti selanjutnya untuk mengungkap lebih banyak lagi ‘rahasia-rahasia’ yang tersimpan dari kekhasan desa ini.

KAJIAN PUSTAKA

Menurut Lao Tzu, ruang adalah kekosongan yang terbingkaikan oleh elemen pembatas pintu dan jendela, dan dapat dianggap sebagai ruang transisi yang membatasi bentuk arsitektur yang fundamental. Ada tiga tahapan hirarki ruang: pertama, ruang sebagai hasil dari perangkaian secara tektonik; kedua, ruang yang dilingkup bentuk stereotomik; dan ketiga, ruang peralihan yang membentuk suatu hubungan antara di dalam dengan dunia di luar. Hakekat arsitektur muncul dari pengetahuan dan kebutuhan penghuni akan ruang.

Dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya, maka kegiatan ber-arsitektur yang pertama dilakukan adalah berhuni (Wiryoprawiro, 1986). Seperti yang diungkapkan oleh Rapoport (1969), bahwa arsitektur semula lahir untuk menciptakan tempat tinggal sebagai wadah untuk perlindungan manusia

(14)

Ni Ketut Agusintadewi1), I Wayan Yuda Manik2), Ni Made Mitha Mahastuti3)-Memahami Esensi Ruang Domestik pada

dari gangguan lingkungan; alam dan binatang. Kemudian Crowe (1995) melanjutkan dengan menjelaskan bahwa bentuk dan fungsi bangunan adalah respons yang diberikan oleh manusia dalam interaksinya dengan lingkungan sekitarnya.

Ruang juga dapat dipahami sebagai satu daerah teritori yang sangat personal, karena sebuah ruang tercipta didasari oleh pengetahuan dan kebutuhan penghuni dan dari ruang inilah hakekat/esensi arsitektur itu muncul. Pada kebudayaan arsitektur tradisional, ruang yang tercipta merupakan bentukan dari kepercayaan masyarakat pada masa itu. Pengaruh kekuatan-kekuatan alam pada umumnya menjadi dasar dari kepercayaan yang terbentuk. Kepercayaan mengandung ajaran-ajaran serta petunjuk-petunjuk yang harus ditaati oleh masyarakat, termasuk juga pedoman untuk membuat sebuah bangunan (ruang).

Pada kebudayaan tradisional, bentuk permukiman dihadapkan pada latar belakang pengaturan yang bersifat ritual, yang pada dasarnya bertujuan sebagai pengaturan tatanan secara harmoni (Antariksa, 2011). Pada konteks budaya terkait dengan ruang permukiman, Sasongko (2005) menyatakan untuk menjelaskan makna dari organisasi ruang dalam konteks tempat (place) dan ruang (space) harus dikaitkan dengan budaya. Budaya sifatnya unik, antara satu tempat dengan tempat lain bisa sangat berbeda maknanya. Terkait dengan budaya dan ritual ditunjukkan sebagai peristiwa publik yang ditampilkan pada tempat khusus (sacred places). Pada upacara ritual yang berkaitan dengan: kelahiran, puber, perkawinan, kematian, dan berbagai peristiwa krusial lainnya sebagai perubahan atau transisi dalam kehidupan seseorang (Sasongko 2005).

Ruang-ruang domestik dalam berhuni dimaknai sebagai ruang-ruang yang mengakomodasi kebutuhan dasar hidup, seperti tidur, menyiapkan makanan, makan, dan aktivitas rumah tangga lainnya. Manusia, baik sebagai individu, keluarga, kelompok atau keluarga besar dengan segala ikutannya, baik manusia maupun hewan piaraan, membutuhkan sebuah tempat untuk hidup. Bentukan hunian ini sangat tergantung pada budaya penghuni pada masa ketika hunian itu dibuat. Hubungan antara hunian dan penghuninya merupakan suatu hubungan yang dinamis yang berkembang sesuai dengan kebutuhan penghuninya (Oswald, 1987).

Elemen dasar pendekatan dan pemahaman terhadap pola penggunaan ruang menurut Rapoport (1998) adalah kegiatan manusia sebagai setting aktivitas dan area inti sebagai setting tempat. Ruang kegiatan manusia (home range) merupakan batas-batas umum terdiri dari beberapa setting atau lokasi, serta jaringan penghubung antar lokasi mempunyai radius home range tertentu yang dapat diklasifikasikan menjadi home range harian, mingguan dan bulanan. Sementara itu, area inti merupakan ruang kegiatan manusia yang paling sering dipakai, dipahami dan langsung dikontrol oleh penghuni.

Dalam konteks penelitian ini, maka ruang-ruang domestik dalam tradisi berhuni masyarakat tradisional Bali Aga di Desa Sekardadi, Kintamani meliputi ruang-ruang yang yang mewadahi aktivitas dasar berhuni, baik sebagai setting aktivitas maupun sebagai setting tempat. Rapoport (dalam Kent, 1990:10) mengidentifikasi bahwa kealamiahan hubungan antara hunian dan budaya cenderung diasumsikan secara implisit keduanya setara dan memiliki skala kompleksitas yang sama. Secara esensial kompleksitas hubungan antara penghuni dan huniannya menimbulkan pertanyaan: bagaimanakah peran budaya dalam hubungan tersebut? Dengan demikian pemahaman terhadap esensi ruang-ruang domestik dalam konteks budaya berhuni menjadi diperlukan.

METODOLOGI

Pengamatan dilakukan sebagai proses pemahaman esensi ruang domestik pada hunian tradisional Bali Aga di Desa Sekardadi sebagai setting aktivitas dan setting tempat. Survei pendahuluan dilakukan untuk menentukan sampel rumah yang representatif mewakili kondisi eksisting. Observasi dilakukan secara mendalam (in-depth study) untuk mengetahui dan mengindentifikasi kedua setting tersebut pada ruang-ruang domestik sebagai wujud dari budaya berhuni masyarakat tradisional Bali Aga di desa tersebut. Sebagai salah satu turunan Desa Bayung Gede, pengamatan ini juga dilakukan dengan mempelajari ruang-ruang domestik pada hunian tradisional Bali Aga di desa tersebut sebagai informasi awal dari tradisi berhuni masyarakat Desa Sekardadi.

Wawancara kepada penghuni ditujukan untuk mengungkap fenomena tradisi berhuni mereka dalam memaknai ruang-ruang domestik. Sementara itu, physical mapping dilakukan dengan mengukur dan menggambar kembali denah rumah tersebut. Mapping ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai tata letak ruang-ruang domestik pada hunian tradisional desa tersebut.

(15)

Pengamatan juga dilakukan pada bagaimana penghuni berinteraksi secara spasial dalam memaknai ruang-ruang domestik, termasuk juga mengamati bagaimana penghuni mengeksklusifkan ruang-ruang tersebut dalam serangkaian pengalaman tradisi berhuni mereka. Dengan metode kualitatif, data dianalisis dan disintesakan untuk mengungkap bagaimana masyarakat tradisional Bali Aga di Desa Sekardadi memaknai ruang-ruang domestik dalam tradisi berhuni mereka, sekaligus juga mengungkap bagaimana budaya memainkan peran dalam kompleksitas hubungan antara penghuni dan hunian tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rapoport (dalam Kent, 1990) menegaskan bahwa aktivitas merupakan ekspresi langsung dari pola hidup yang pada akhirnya membentuk budaya suatu kelompok atau grup etnik. Rumah dan kehidupan berumah tidak dapat dilihat sebagai aktivitas tunggal, melainkan merupakan satu kesatuan sistem. Enam aktivitas dasar berumah adalah tidur atau beristirahat; makan, memasak; mencuci; mandi; dan menyimpan barang pribadi. Kesemuanya adalah sangat umum untuk semua kelompok masyarakat (Faqih, 2005). Namun demikian, perkembangan dari kebutuhan dasar tersebut sangat bertalian erat dengan gagasan dan nilai-nilai baru penghuninya dalam kurun waktu tertentu.

Eliade (1959) menyatakan bahwa rumah, sebagaimana juga sebuah kota, menjadi simbol dari Alam Semesta dimana Sang Pencipta berada di tengah, sebagai pusat hasil ciptaan-Nya. Sebuah rumah disucikan dengan upacara ritual dan dibedakan atas ruang sakral dan ruang profan. Selain itu, dinyatakan juga bahwa pembatas ini menjadi hal yang penting untuk membedakan antara ruang dalam yang paling privat dengan dunia luar.

Rumah masyarakat tradisional Bali Aga di Desa Sekardadi juga mencerminkan apa yang dinyatakan oleh Eliade tersebut. Perspektif kosmologi masyarakat ini secara khusus bertalian dengan kepercayaan mereka terhadap leluhur dan perannya dalam kehidupan mereka di dunia. Ini tampak pada ruang-ruang yang tersedia pada rumah mereka. Mereka percaya bahwa hidup adalah sesuatu yang disakralkan dan setiap tahapan kehidupan disucikan melalui upacara ritual. Rangkaian upacara ritual dimulai dari kelahiran dan diakhiri dengan kematian (Geertz dan Geertz, 1975). Masyarakat tradisional Bali Aga menghormati kepercayaan ini dan mempraktekkannya secara turun-menurun. Pada rumah mereka, upacara ritual dilakukan di lebuh atau area pintu masuk pekarangan, natah atau halaman tengah, paon atau dapur, dan sanggah atau pura keluarga. Salah satu pelinggih yang ada di sanggah merupakan istana tempat pemujaan leluhur dan melambangkan kesucian dari kehidupan.

Unit hunian terdiri atas tiga massa bangunan, yaitu jineng atau lumbung sebagai tempat menyimpan hasil pertanian; bale pegaman untuk ruang tidur anak laki-laki dan tempat menyimpan peralatan dan perlengkapan upacara; dan paon atau dapur sebagai tempat mengolah dan menyimpan makanan. Dalam pandangan masyarakat Desa Sekardadi, paon merupakan ruang domestik yang disakralkan oleh masyarakatnya. Pada ruang ini terdapat dua bale-bale dan satu buah tungku atau perapian tanah liat sebagai tempat memasak. Bale-bale yang di sebelah kanan tungku difungsikan sebagai tempat meletakkan peralatan upacara dan tidak digunakan sebagai tempat tidur, sedangkan bale-bale yang di sebelah kiri digunakan untuk meletakkan jenazah sebelum dikuburkan. Dalam kehidupan sehari-hari, bale-bale yang sebelah kiri digunakan untuk tempat tidur orang tua atau anak perempuan. Di atas tungku terdapat amben yang digunakan untuk tempat menyimpan makanan yang telah matang. Namun saat ini, beberapa rumah telah mengubah fungsi ini menjadi tempat kayu api atau hasil-hasil pertanian, seperti bawang. Pada masa lalu, karena Kintamani terletak di dataran tinggi, udara sangat dingin ketika malam hari. Karena itu, ruang tidur orang tua dan perempuan diletakkan di samping kiri tungku untuk menghangatkan tubuh dan ruangan ketika di malam hari.

Sebagaimana kepercayaan masyarakat agraris, meletakkan ruang akan mendasarkan pada kepercayaan mereka yang hormat terhadap alam/menghargai alam. Jiwa petani yang mendasari pada pembentukan ruang terasa selaras dan logis perpaduan antara dimensi-dimensi religius dengan pandangan realistis dan teknis praktis, serta materi. Susunan ruang pada paon ini memperlihatkan jiwa sang petani, yang terbagi dalam dua komponen yakni yang bersifat privat, intim dan sakral yang diwujudkan pada bale di dapur; sedangkan yang sebelah luar bersifat lebih terbuka diperuntukkan bagi umum, tempat anak-anak bermain, untuk perjamuan, serta pertemuan antara penghuni rumah dan masyarakat.

Tidak seperti umumnya pada rumah Bali dataran yang memiliki bale sakenem untuk upacara ritual, bagian dalam paon sebagai ruang yang disakralkan dipakai untuk melakukan upacara ritual serta tempat bersemayamnya Dewi Sri. Dengan demikian, seluruh tatanan ruang mempunyai nilai budaya

(16)

Ni Ketut Agusintadewi1), I Wayan Yuda Manik2), Ni Made Mitha Mahastuti3)-Memahami Esensi Ruang Domestik pada

yang sangat tinggi. Wilayah dalam dan luar, antara keterbukaan bermasyarakat dan ketertutupan (keintiman tertutup) keluarga memperoleh suatu kesatuan yang harmonis dan dialektik luar-dalam antara hidup pribadi dan kemasyarakatan tercapai sangat seimbang. Penataan bagian yang sakral dan bagian yang profan menunjukkan keserasian hubungan vertikal ke-Atas dan horisontal ke sesama manusia.

Gambar 1. Paon terdiri atas tiga bagian: dua bale-bale dan satu tungku

Sumber: Agusintadewi dan Manik, 2017

Memasak merupakan kegiatan yang penting karena membutuhkan hal yang khusus dalam desain rumah. Menurut Levi-Strauss (1970), memasak merupakan kegiatan yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hanya manusia yang mampu mengubah bahan makanan mentah menjadi makanan yang siap untuk dihidangkan. Memasak merupakan aktivitas rumah tangga yang umum, namun dalam prakteknya, secara kultural aktivitas ini sangat bervariasi tergantung tradisi kelompok tertentu. Masyarakat Bali Aga memiliki dua jenis sajian makanan. Yang pertama, sajian makanan untuk keluarga dan sajian makanan untuk upacara ritual. Untuk kebutuhan makanan sehari-hari, makanan dimasak dan disiapkan di paon, sedangkan sajian untuk upacara ritual dilakukan di halaman. Kegiatan memasak untuk upacara ritual dilakukan pada saat upacara pernikahan, potong gigi, atau kelahiran. Sajian makanan ini merupakan bagian dari persembahan dalam rangkaian upacara kepada Sang Pencipta. Aktivitas ini dilakukan secara bersama-sama, baik dengan keluarga besar maupun dengan tetangga. Mereka membantu dengan menggunakan pakaian adat yang melambangkan kebersamaan.

Sementara itu, jineng atau lumbung merupakan tempat penyimpanan hasil panen atau pertanian. Namun saat ini jineng atau lumbung ini sebagian besar tidak difungsikan lagi. Beberapa rumah masih mempertahankan bangunan ini. Namun beberapa yang lainnya, mempertahankan keberadaan bangunan ini namun tidak difungsikan lagi. Dalam sistem kepercayaan masyarakat Bali Aga, jineng memiliki nilai yang disakralkan. Sebagai tempat menyimpan hasil bumi, jineng dipercaya sebagai sumber kehidupan.

Gambar 2. Jineng atau lumbung yang dulunya digunakan sebagai tempat menyimpan hasil pertanian

(17)

Pada beberapa jineng, di bagian bawahnya terdapat bale-bale. Pada awalnya bale-bale ini berfungsi sebagai tempat menerima tamu, atau berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya. Bale-bale ini merupakan ruang-ruang terbuka yang banyak digunakan di dalam bangunan-bangunan tradisional, diibaratkan sebuah pohon dengan daun-daunnya yang rindang yang dapat dialiri angin dengan bebas tanpa halangan membuat ruang yang terbentuk menjadi nyaman.

Dengan demikian, dari paparan di atas, dalam pemaknaan esensi ruang-ruang domestik pada hunian masyarakat tradisional Bali Aga di Desa Sekardadi merupakan refleksi dari kepercayaan masyarakatnya. Budaya memainkan peran dalam hubungan antara penghuni dan rumahnya. Ruang, bangunan dan lingkungan/perilaku alam akan menjadi sebuah kesatuan yang utuh dalam tradisi berhuni yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu proses yang dinamis.

SIMPULAN

Ruang sebagai suatu kebutuhan dasar manusia yang hakekatnya menjadi satu hal yang perlu dipahami sesuai fungsi dan penghuninya. Bagaimana ruang tercipta merupakan cerminan dari setting aktivitas dan tempat dimana ruang itu berada. Pada tradisi berumah, ruang-ruang domestik terbentuk dari fungsi yang mewadahi aktivitas-aktivitas dasar berumah. Dalam kompleksitas hubungan antara penghuni dan rumahnya, budaya memainkan peran dalam memaknai ruang-ruang tersebut. Masyarakat tradisional Bali Aga di Desa Sekardadi, Kintamani, memaknai ruang-ruang domestik dalam tradisi berhuni mereka sebagai refleksi dari sistem kepercayaannya. Sistem kepercayaan menempatkan paon dan jineng sebagai ruang-ruang domestik yang disakralkan. Pembentukan makna dalam rumah mereka terwujud dari mengsakralkan pada suatu ruang. Budaya berperan dalam kompleksitas hubungan antara penghuni dan huniannya untuk menghasilkan serangkaian pengalaman berumah, terutama dalam penggunaan ruang-ruang domestik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Tulisan ini merupakan salah satu publikasi dari penelitian yang dibiayai oleh Universitas Udayana pada Tahun Anggaran 2017 dalam skema Hibah Unggulan Program Studi. Terima kasih kepada warga Desa Sekardadi di Kecamatan Kintamani yang telah bersedia diwawancarai dan mengijinkan rumahnya sebagai objek observasi. Terima kasih juga ditujukan kepada para mahasiswa yang telah membantu mengumpulkan data, baik secara physical mapping maupun dokumentasi.

REFERENSI

Antariksa, 2011, Struktur Ruang Budaya dalam Permukiman

Bourdie, P., 1977, Outline of A Theory of Practice, Cambridge: Cambrigde University Press.

Crowe, N.,1997, Nature and The Idea of A Man-Made World; An Investigation into the Evolutionary Roots of Form and Order in the Built Environment. The MIT Press, Cambridge

Eliade, M.,1959, The Sacred and the Profane: the Nature of Religion. Chicago: Harcourt Brace and World.

Faqih, M., 2005, Domestic architecture and culture change: re-ordering the use of space in Madurese housing. PhD Thesis. University of Newcastle upon Tyne.

Geertz, H. and Geertz, C., 1975, Kinship in Bali. Chicago: University of Chicago Press.

Lawrence, R.J., 1985, 'A More Humane History of Homes: Research Method and Application', in Altman, I. and Werner, C.M. (eds.) Home Envrionments. New York: Plenum Press, pp. 113-132. Levi-Strauss, C.,1970, The Savage Mind. Chicago: University of Chicago Press.

Oswald, D.,1987, 'The Organization of Space in Residential Buildings: a Cross-Cultural Perspective', in Kent, S. (ed.) Method and Theory for Activity Area Research: an Etnoarcheological Approach. New York: Columbia University Press, pp. 295-344.

Pratt, G., 1981, 'The House as an Expression of Social Worlds', in Duncan, J.S. (ed.) Housing and Identity. New York: Holmes and Meier, pp. 135-179.

Rapoport, A.,1990, 'Systems of Activities and System of Settings', in Kent, S. (ed.) Domestic Architecture and the Use of Space: an Interdisciplinary Cross-cultural Study. Cambridge, Great Britain: Cambridge University Press, pp. 9-20.

Rapoport, A.,1998, 'Using "Culture" in Housing Design', Housing and Society, 25(1&2), pp. 1-20. Sasongko, I. 2005. Pembentukan Struktur Ruang Permukiman Berbasis Budaya (Studi Kasus: Desa

Puyung - Lombok Tengah). Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. 33 (1):18.

Wiryoprawiro, Z.,1986, Arsitektur Tradisional Madura SUMENEP: dengan pendekatan historis dan deskriptif, Laboratorium Arsitektur Tradisional FTSP ITS: Surabaya

Gambar

Gambar 1. Paon terdiri atas tiga bagian: dua bale-bale dan satu tungku Sumber: Agusintadewi dan Manik, 2017

Referensi

Dokumen terkait

kesehatan pegawai yang real time melalui mekanisme sistem informasi • Jumlah dan jenis tenaga/SDM yang handal bidang IT masih terbatas • Metoda pelaporan yang

Variasi Curahan Jam Kerja Pekerja Wanita pada Industri Kerajinan Seni Ukir dan Lukis di Desa Singakerta dilihat dari Sosial Ekonomi Rumah Tangga dapat

Sehingga semakin tinggi temperatur preheating yang diberikan maka penetrasi yang terjadi pada saat berlangsungnya proses pengelasan semakin dalam sehingga base metal

Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014), berjudul Analisis Struktur dan Komponen Keuangan KJKS UGT Sidogiri Wirolegi, menunjukkan bahwa laporan

Pada penelitian ini, penulis meneliti dan menitikberatkan pada persepsi Ulama kota Banjarbaru terhadap pasal 18 undang-undang nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat,

Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam

Jika responden mengalami 2 atau lebih kejadian tersebut tanyakan kejadian yang paling awal/pertama kali pada kolom [1] dan selesaikan dahulu sampai BR18 dan

Gaya demokratis adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan