• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 IPO ( Initial Public Offering )

Initial Public Offering (IPO) adalah penawaran harga saham di pasar perdana yang dilakukan perusahaan untuk go public dan juga menentukan langkah awal yang menentukan dalam kelangsungan hidup perusahaan (Almilia dan silvy, 2003) . Undang – Undang yang mengatur IPO adalah Undang Undang no. 25 tahun 2007 (sebagai pengganti Undang Undang no. 5 tahun 1995) tentang pasar modal (Abdullah Syukriy, 1999) mendefinisikan penawaran umum sebagai kegiatan penawaran yang dilakukan emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam UU tersebut dan aturan pelaksanaannya.

Menurut Suad Husnan (1998) ada dua alasan mengapa perusahaan melakukan IPO yaitu untuk perluasan usaha, perusahaan tak ingin menambah hutang baru dan kedua untuk mengganti sebagian hutang dengan ekuitas yang diperoleh dari penawaran perdana. Sedangkan menurut Usman et al.(dalam Abdullah Syukriy, 2001) terdapat tiga tujuan, pertama untuk perluasan usaha, kedua untuk memperbaiki struktur modal dan ketiga untuk divestment atau pengalihan pemegang saham.

Penetapan harga jual suatu saham IPO terbentuk setelah memperoleh hasil dari emiten, underwriter dan pihak investor. Emiten akan menjual saham perdana

(2)

dengan harga setinggi tingginya, sedangkan underwriter sebagai pihak yang memberikan jasa untuk menjual saham berusaha agar seluruh saham terjual karena itu underwriter berusaha menurunkan harga dengan meminta diskon pada emiten, sedangkan investor sebagai pembeli menginginkan untuk membeli saham yang bersangkutan dengan harga semurah murahnya.

Menurut Hartono (1998 : 14-15), IPO (Initial Public Offering) merupakan penawaran saham perusahaan untuk pertama kalinya, keuntungan dari going public adalah sebagai berikut :

1. Kemudahan meningkatkan modal di masa mendatang

Untuk perusahaan tertutup, calon investor masih ragu untuk menanamkan modalnya disebabkan kurangnya keterbukaan informasi keuangan antara pemilik dan investor. Sedangkan untuk perusahaan yang go public, laporan keuangan dan informasi keuangan harus dilaporkan ke publik secara reguler yang kelayakannya sudah diperiksa oleh akuntan publik.

2. Meningkatkan likuiditas bagi pemegang saham

Untuk perusahaan yang masih tertutup yang belum mempunyai pasar sahamnya, akan sulit untuk menjual sahamnya daripada dengan peruahaan yang go public.

3. Nilai pasar perusahaan diketahui

Untuk alasan – alasan tertentu, nilai pasar perusahaan perlu untuk diketahui. Misalnya jika perusahaan ingin memberikan insentif dalam bentuk opsi saham (stock option) kepada manajernya, maka nilai sebenarnya dari opsi

(3)

tersebut perlu diketahui. Jika perusahaan masih tertutup, nilai dari opsi sulit ditentukan.

Disamping keuntungan go public, beberapa kerugiannya adalah sebagai berikut ; 1. Biaya laporan yang meningkat

Untuk perusahaan yang go public, setiap kuartal dan tahunnya harus menyerahkan laporan-laporan kepada regulator. Laporan –laporan ini sangat mahal terutama untuk perusahaan yang ukurannya kecil.

2. Pengungkapan (Disclosure)

Beberapa pihak dalam perusahaan keberatan dengan adanya pengungkapan, Manager enggan mengungkapkan semua informasi yang dimiliki karena dapat digunakan oleh pesaing. Sedangkan pemilik enggan mengungkapkan informasi tentang saham yang dimilikinya karena publik akan mengetahui besarnya kekayaan yang dipunyai.

3. Ketakutan untuk diambil alih

Manajer perusahaan yang hanya mempunyai hak veto kecil akan khawatir jika perusahaan go public, manager umumnya takut akan diganti dengan manajer yang baru jika perusahaan diambil alih.

Menurut Ali dan Hartono (2000), ada dua metode pokok dalam melakukan IPO, yaitu :

1. Metode firm commitment, dimana underwriter (penjamin emisi) membeli surat berharga dengan harga yang lebih rendah dari harga penawaran dan menanggung risiko atas tidak terjualnya surat berharga tersebut.

(4)

2. Metode best efforts, dimana penjamin emisi hanya bertindak sebagai agen yang menerima kondisi untuk tiap saham yang terjual. Penjamin emisi secara legal terikat untuk menggunakan usaha terbaiknya (best efforts) untuk menjual surat berharga pada harga penawaran yang telah disepakati.

Masalah yang sering timbul dari kegiatan IPO adalah terjadinya underpricing, yang menunjukkan bahwa sebenarnya harga saham pada waktu penawaran perdana relatif lebih rendah dibandingkan pada saat diperdagangkan di pasar sekunder.

2.1.2 Underpricing

Underpricing adalah suatu keadaan dimana harga saham yang diperdagangkan di pasar primer lebih rendah dibandingkan ketika diperdagangkan di pasar sekunder (Sunaryah, 1997:82). Harga sekuritas yang dijual di pasar primer (offering price) telah ditentukan terlebih dahulu oleh perusahaan (emiten) dan underwriter. Penelitian offering price, dalam tipe full commitment underwriter cenderung untuk menetapkan harga yang lebih rendah dari pada harga yang diharapkan oleh emiten, dengan tujuan untuk menekan tanggung jawab resikonya bila saham sekuritas tersebut tidak habis terjual.

Fenomena yang terjadi dari underpricing dikarenakan adanya miss price di pasar perdana sebagai akibat adanya ketidakseimbangan informasi antara underwriter dengan pihak perusahaan. Dalam sudut pandang keuangan, hal tersebut adanya asimetry informasi. Di Indonesia, fungsi penjaminan hanya ada satu yaitu full commitment,sehingga para underwriter berusaha untuk mengurangi

(5)

resiko dengan jalan menekan harga di pasar perdana, dengan tujuan menekan kerugian.

Menurut Rock (1986) dalam Ali dan Hartono (2003) “underpricing di perusahaan IPO diperlukan untuk mengkompensasi investor yang tidak memiliki informasi (uninformed investor) dengan pihak yang memiliki informasi lebih banyak (informed investor)”. Kelebihan informasi yang dimiliki menyebabkan informed investor menginginkan harga yang underpriced untuk mendapatkan initial return di pasar sekunder. Uninformed investor berusaha memperoleh saham tanpa melakukan banyak pilihan. Agar uninformed investor tetap berpartisipasi dalam pasar, maka harga saham harus underpriced. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa, secara rata-rata initial return lebih besar dibandingkan dengan premium risiko”wajar” yang diharapkan.

Penelitian Ritter (1991),meneliti kinerja saham untuk jangka pendek dan jangka panjang terhadap 1256 sampel IPO periode 1975-1984 di AS. Hasil penelitiannya adalah “ mencatat kinerja saham perdana dalam jangka pendek sebesar 14,32% dan jangka panjang sebesar 29,13%”.

Menurut (Hanafi,1998) menyatakan.

Bagi strategi seorang profesional yang tepat adalah membeli saham di pasar perdana dan seorang profesional yang tepat adalah membeli saham di pasar perdana dan menjualnya pada hari pertama perdagangan di pasar sekunder. Sedangkan bagi akademisi, underpricing melemahkan hipotesis efisiensi keuangan khususnya efisiensi keuangan bentuk setengah kuat.

2.1.3 Metode Akuntansi Penyusutan Aktiva Tetap

Pengertian Penyusutan menurut PSAK no 17 adalah “alokasi jumlah aktiva yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi.

(6)

Penyusutan untuk periode akuntansi di bebankan ke pendapatan baik secara langsung maupun tidak langsung”. Aktiva yang dapat disusutkan adalah aktiva yang :

a. Diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode akuntansi b. Memiliki suatu manfaat yang terbatas

c. Ditahan oleh suatu perusahaan untuk digunakan dalam produksi atau memasok barang dan jasa, untuk disewakan, atau untuk tujuan administrasi

Penelitian ini memfokuskan pada penggunakan metode penyusutan garis lurus dan penyusutan saldo menurun.

2.1.3.1 Metode Penyusutan Garis Lurus

Dalam penyusutan metode ini lebih mengutamakan waktu daripada aspek keuangan. Metode ini paling banyak digunakan oleh perusahaan karena paling mudah diaplikasikan. Dalam metode ini besarnya jumlah penyusutan sama besar tiap tahunnya dan tidak dipengaruhi hasil yang diproduksi.

Metode garis lurus memiliki kelemahan, kelemahan metode ini adalah sebagai berikut :

a. Beban pemeliharaan dan perbaikan dianggap sama setiap periode b. Manfaat ekonomi aktiva setiap tahun sama

c. Beban penyusutan yang diakui tidak mencerminkan upaya yang digunakan dalam menghasilkan pendapatan

d. Laba setiap tahun tidak menggambarkan tingkat pengembalian yang sesungguhnya dari umur kegunaan aktiva

(7)

2.1.3.2 Metode Penyusutan Saldo Menurun

Metode ini merupakan metode penurunan beban penyusutan yang menggunakan tingkat penyusutan (diekpresikan dengan persentase) yang merupakan perkalian dari metode garis lurus. Tingkat penyusutan metode ini selalu tetap, nilai sisa buku tidak dikurangkan dari harga perolehan.

2.1.4 Metode Akuntansi Persediaan

Menurut PSAK no 14 dalam Ali dan Hartono (2003) mendefinisikan persediaan sebagai “aktiva yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal; dalam proses produksi dan atau dalam perjalanan, dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa”. Persediaan meliputi barang yang dibeli dan disimpan untuk dijual kembali. Di paragraf 06 disebutkan bahwa biaya persediaan meliputi semua biaya pembelian, biaya konversi dan biaya lain yang timbul sampai persediaan berada dalam kondisi dan tempat yang siap untuk dijual atau dipakai (present location and condition). Biaya persediaan tersebut dihitung dengan menggunakan rumus biaya masuk pertama keluar pertama (MPKP atau FIFO), rata-rata tertimbang (weighted average method) atau masuk terakhir keluar pertama (MTKP atau LIFO).

2.1.4.1 Sistem Persediaan

2.1.4.1.1 Sistem Periodik ( physical )

Dalam sistem periodik, apabila terjadi pembelian maka jurnalnya adalah mendebet rekening pembelian dan mengkredit kas atau utang

(8)

dagang. Jika terjadi penjualan maka jurnalnya adalah mendebet rekening kas/piutang dagang dan mengkredit penjualan. Untuk mengetahui persediaan akhir dilakukan inventarisasi atau stock opname pada akhir periode.

2.1.4.1.2 Sistem Perpeptual

Sistem pencatatan metode perpetual disebut juga metode buku adalah sistem dimana setiap persediaan yang masuk dan keluar dicatat di pembukuan. Setiap jenis barang dibuatkan kartu persediaan dan didalam pembukuan dibuatkan rekening pembantu persediaan. Rincian dalam buku pembantu bisa diawasi dari rekening kontrol persediaan barang dalam buku besar. Rekening yang digunakan untuk mencatat persediaan terdiri dari beberapa kolom yang dapat dipakai untuk mencatat pembelian, penjualan, dan saldo persediaan. Setiap perubahan dalam persediaan diikuti dengan pencatatan dalam rekening persediaan sehingga jumlah persediaan sewaktu waktu dapat diketahui dengan melihat kolom saldo dalam rekening persediaan. Ciri-ciri terpenting sistem perpeptual dalam penjurnalan adalah sebagai berikut:

a. Pembelian barang dagangan dicatat dengan mendebet rekening persediaan.

b. Harga pokok penjualan dihitung untuk tiap transaksi penjualan dan dicatat dengan mendebet rekening HPP pada persediaan

c. Persediaan merupakan rekening kontrol dan dilengkapi dengan buku pembantu persediaan yang berisi catatan untuk setiap jenis persediaan.

(9)

Buku pembantu persediaan menunjukkan kuantitas dan harga perolehan untuk setiap jenis barang yang ada dalam persediaan

2.1.4.2 Sistem Penilaian Persediaan

Dalam sistem penilaian persediaan dapat digologkan mejadi 2 bagian yaitu berdasarkan aliran biaya (cost) seperti FIFO, LIFO, AVERAGE dan berdasarkan estimasi seperti metode laba kotor (gross profit) , eceran ( retail)

2.1.4.2.1 Metode FIFO (MPKP)

Jerry J. Weygandt, Terry D. Warfield (2007:382) dan Donald E. Kieso, menyatakan bahwa:“FIFO assumes that a company uses goods in the order in which it purchases them, The Inventory remaining must therefore represent the most recent purchases.” karena itu, persedian yang tersedia merupakan barang yang dibeli paling terakhir.”

Sedangkan Menurut C. Rollin Niswonger, Carl S. Warren, James M. Reeve dan Philip E.Fees yang diterjemahkan oleh Alfonsus Sirait dan Helda Gunawan (2000:364) menyatakan sebagai berikut: “Jika perusahaan menggunakan metode FIFO persediaan akhir terdiri dari harga pokok paling belakang.”

Sedangkan Menurut Standar Akuntansi Keungan dinyatakan bahwa: “Formulasi MPKP atau FIFO mengasumsikan barang dalam persediaan pertama dibeli akan dijual atau digunakan terlebih dahulu sehingga yang tertinggal dalam persediaan adalah yang dibeli atau diproduksi kemudian.”

(10)

Metode FIFO menganggap harga pokok penjualan dari barang barang yang pertama kali dibeli dan merupakan barang yang dijual pertama kali. Dalam metode FIFO harga pokok persediaan akhir dinilai dengan harga pokok pembelian yang paling akhir. Metode ini menghasilkan laba yang tinggi dikarenakan dalam usaha selalu meningkatkan harga jual barang walaupun disaat pembelian barang belum ada kenaikan harga. FIFO dianggap sebagai suatu pendekatan yang logis dan realistis mengenai arus biaya, yaitu dalam hal identifikasi biaya-biaya yang spesifik dianggap tidak praktis atau tidak mungkin dilaksanakan.

2.1.4.2.2 Metode Rata – Rata (average)

Menurut Donald E. Kieso, Jerry J. Weygandt dan Terry D. Warfield (2007 :382) menyatakan bahwa: “Average cost prices items in the inventory on the basis of the average cost of all similar goods available during the period .”

Selanjutnya C. Rollin Niswonger, Carl S. Warren, James M. Reeve dan Philip E.Fees yang diterjemahkan oleh Alfonsus Sirait dan Helda Gunawan (2000:364) menyatakan sebagai berikut: “Jika yang digunakan adalah metode biaya rata-rata (average cost method) biaya unit dalam persediaan adalah rata-rata dari biaya pembelian.”

Sedangkan menurut Standar Akuntansi Keuangan menyatakan bahwa: “Dengan rumusan biaya rata-rata tertimbang, biaya setiap barang ditentukan berdasarkan biaya rata-rata tertimbang dari barang berupa pada awal periode dan biaya barang berupa yang dibeli atau diproduksi selama periode.”

Metode rata-rata tertimbang (weighted average method) didasarkan pada asumsi biaya setiap barang ditentukan berdasarkan biaya rata-rata tertimbang

(11)

dari suatu barang pada awal periode dan biaya barang tersebut yang dibeli atau diproduksi selama periode itu. Metode ini dianggap sebagai suatu pendekatan yang realistis dan paralel dengan arus fisik barang, khususnya jika unit-unit persediaan yang hampir sama tercampur.

2.1.4.2.3 Metode LIFO

Seperti yang telah dikemukakan oleh Donald E. Kieso, Jerry J. Weygandt dan Terry D. Warfield (2007:384) menyatakan bahwa: “LIFO matches the cost of the last goods purchased against revenue.”

Sedangkan Menurut C. Rollin Niswonger, Carl S. Warren, James M. Reeve dan Philip E.Fees yang diterjemahkan oleh Alfonsus Sirait dan Helda Gunawan (1999:364) menyatakan sebagai berikut: “Jika perusahaan menggunakan metode LIFO persediaan akhir terdiri dari biaya atau harga pokok paling awal.”

Pendapat lainnya mengenai hal tersebut dikemukakan oleh Standar Akuntansi Keuangan menyatakan bahwa: “Rumusan MTKP atau LIFO mengasumsikan barang yang dibeli atau diproduksi terakhir dijual atau digunakan terlebih dahulu, sehingga termasuk dalam persediaan akhir adalah yang dibeli atau diproduksi terdahulu.”

SAK membolehkan pemakaian metode LIFO, namun untuk tujuan perpajakan tidak dapat digunakan, hal ini dapat dilihat pada pasal 10 ayat 6 UU PPh yang hanya memperbolehkan pemakaian metode FIFO atau rata-rata tertimbang. Jika untuk tujuan komersial telah dipakai metode selain kedua metode

(12)

tersebut, maka untuk keperluan perpajakan hasil dari metode itu harus disesuaikan (Gunadi, 1998: 43).

Namun efektif mulai 1 Januari 2005 IFRS tidak membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga metode pengukuran cost yang berlaku tinggal metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang. Pembatasan penggunakan metode akuntansi semacam ini merupakan indikasi bahwa IFRS pada dasarnya tidak sepenuhnya menggunakan principles-based, bahkan dalam kasus akuntansi persediaan menjadi lebih rules-based dibanding US GAAP.

2.1.4.2.4 Metode Laba Kotor ( Gross Profit Method )

Teknik estimasi persediaan digunakan untuk menghasilkan nilai persediaan pada saat perhitungan persediaan tidak dapat dilakukan, serta menyediakan pengecekan independen atas validitas nilai persediaan yang dihasilkan oleh sistem akuntansi. Metode laba kotor didasarkan pada observasi bahwa hubungan antara penjualan dan harga pokok penjualan biasannya relative stabil. Persentase laba kotor ( penjualan – harga pokok penjualan ) diterapkan untuk mengestimasi harga pokok penjualan, lalu estimasi harga pokok penjualan dikurangkan pada harga pokok barang yang tersedia untuk dijual guna memperoleh estimasi atas saldo persediaan.

Metode lain yang juga dikenal dalam IFRS adalah metode laba bruto (gross profit method), metode ini secara konsep tidak berbeda dengan metode harga eceran, fungsinya adalah untuk menentukan nilai persediaan akhir berdasarkan rasio cost atas harga jual, terutama pada saat perusahaan dalam posisi tidak memungkinkan untuk melakukan perhitungan fisik persediaan, atau pada

(13)

saat perhitungan fisik persediaan dipandang tidak layak untuk diterapkan. Metode ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kewajaran (reasonableness) jumlah dan nilai persediaan akhir. Dalam hal teknis penerapan metode ini, dapat disimpulkan pula bahwa tidak ada perbedaan antara IFRS dengan US GAAP.

2.1.4.2.5 Metode Harga Eceran (Retail Method)

Penilaian persediaan dengan metode taksiran harga jual secara eceran pada umumnya dipergunakan oleh perusahaan – perusahaan yang menjual barang dagang secara eceran atau penjualan tidak dalam jumlah besar. Jadi yang digunakan untuk penilaian persediaan adalah harga eceran dari masing masing barang yang dijual. Prosedur penentuan nilai persediaan menurut metode harga jual eceran adalah berdasarkan persediaan awal dan pembelian – pembelian yang dilakukan, ditentukan besarnya harga pokok barang tersedia untuk dijual, harga jual dan persediaan akhir menurut harga jual ditentukan nilai persediaan akhir menurut harga pokok.

Persediaan dinilai dengan metode harga eceran (retail method), tidak ada perbedaan teknis perhitungan antara IFRS dengan US GAAP, keduanya mengatur teknis perhitungan cost persediaan dengan cara yang sama, sehingga untuk kasus ini dapat dikatakan IFRS dan US GAAP menggunakan konsep rules-based atau bisa juga dikatakan menggunakan konsep principles-based dari sisi keleluasaan pemilihan alternatif metode.

(14)

2.1.5 Persentase Saham Yang Dipertahankan

Menurut Nurhidayanti dan Indrianto (1998) “Saham yang ditawarkan pada saat IPO dapat digunakan sebagai acuan terhadap ketidakpastian yang akan diterima oleh investor”. Proporsi dari saham yang ditahan oleh pemegang saham lama menunjukkan adanya aliran informasi dari saham emiten ke calon investor. Semakin besar proporsi saham yang dipegang oleh pemegang saham lama semakin banyak informasi privat yang dimiliki oleh pemegang saham lama. Investor lama akan mengeluarkan biaya guna mencari informasi untuk memutuskan membeli saham atau tidak sehingga kompensasinya investor ingin mendapatkan return yang tinggi.

2.1.6 Financial Leverage

Financial leverage menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar hutangnya dengan equity yang dimilikinya. Apabila financial leverage tinggi , menunjukkan bahwa perusahaan juga memiliki resiko yang tinggi. Sehingga para investor akan mempertimbangkan tingkat financial leverage perusahaan. Financial leverage juga memberikan jaminan tentang seberapa besar hutang-hutang perusahaan dijamin dengan modal sendiri perusahaan yang digunakan sebagai pendanaan usaha ( Ang,1997).

2.1.7 Reputasi Auditor

Laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi yag penting bagi investor atau calon investor dan underwriter untuk menilai suatu perusahaan. Salah satu syarat dalam proses go public adalah laporan keuangan telah diaudit oleh akuntan publik (Keputusan Menteri Keuangan RI no. 859 /KMK.01/1987).

(15)

Laporan keuangan yang telah diaudit akan memberikan tingkat kepercayaan yang lebih besar daripda laporan keuangan yang belum diaudit.

Auditor memegang peranan yang penting dalam proses go public, yaitu sebagai pihak yang ditunjuk oleh perusahaan, yang melakukan pemeriksaan laporan keuangan perusahaan sebagai calon investor. Auditor yang memiliki kualitas yang tinggi akan dihargai dipasaran dalam bentuk peningkatan permintaan jasa audit dan auditor yang memiliki reputasi yang tinggi maka akan mempertahakan reputasinya dengan memberikan kualitas audit yang tinggi pula. Menurut Holland dan Harton (1993) dalam Daljono (2000) “Penggunaan adviser yang profesional (auditor dan underwriter yang mempunyai reputasi tinggi dapat digunakan sebagai tanda atau petunjuk terhadap kualitas perusahaan emiten” 2.1.8 Umur Perusahaan

Umur perusahaan merupakan hal yang dipertimbangkan oleh investor dalam menanamkan modal. Umur perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kemampuan dan kemampuan bertahan dalam persaingan bisnis. Umur perusahaaan dapat diketahui dari perusahaan berdiri sampai perusahaan tersebut melakukan IPO. Menurut Daljono (2000), umur perusahaan menunjukkan seberapa lama perusahaan mampu bertahan. Semakin lama umur perusahaan, maka semakin banyak informasi yang telah diperoleh masyarakat tentang perusahaan tersebut. Dengan demikian akan mengurangi adanya asimetri informasi dan memperkecil ketidakpastian di masa yang akan datang (Rosyati dan Sebeni,2002)

(16)

2.1.9 Reputasi Penjamin Emisi

Underwriter merupakan lembaga yag mempunyai peranan penting pada setiap emisi efek di pasar modal. Underwriter membantu emiten dalam rangka mempersiapkan pernyataan pendaftaran emisi beserta dokumen pendukungnya, memberikan masukan dibidang keuangan seperti jumlah dan jenis efek apa yang kan diterbitkan, bursa yang dipilih untuk mencatat saham, penentuan jadwal emisi, penunjukkan lembaga penunjang lain, melakukan penjaminan efek yang diemisikan dan lain sebagainya.

Terdapat empat jenis kontrak penjaminan emisi berdasarkan tipe kesanggupan penjaminan (Asril,2000) :

a. Best Effort ( Kesanggupan Terbaik)

Underwriter tidak bertanggung jawab atas sisa efek yang tidak terjual, tetapi underwriter akan berusaha dengan sebaik-baiknya untuk menjual efek emiten. Dengan metode ini, perusahaan sekuritas bertindak hanya sebagai agen penjual (tidak membeli saham),pada harga penawaran tertentu dan mendapatkan komisi untuk saham yang terjual, apabila saham tidak terjual, saham tersebut akan ditarik oleh perusahaan.

b. Full Commitment (Kesanggupan Penuh)

Underwriter bertanggung jawab penuh terhadap penjualan efek. Dengan metode ini, underwriter membeli saham yang dijual oleh emiten dengan harga yang lebih rendah dari harga penawaran. Selisih antara harga penawaran dengan harga pembelian disebut dengan spread atau discount. Spread ini merupakan keuntungan yang diperoleh oleh penjamin emisi.

(17)

c. Stand-by Commitment (Kesanggupan Siaga)

Tanggung jawab underwriter disini hampir sama dengan full commitment, hanya saja bedanya underwriter bertanggung jawab mengambil sisa saham yang tidak terserap di masyarakat pada harga lebih murah dibawah harga pada penawaran perdana yang telah disepakati sebelumnya.

d. All or None Commitment (Kesanggupan Semua atau Tidak Sama Sekali)

Apabila minat di masyarakat terhadap saham yang ditawarkan tidak memenuhi target yang ditetapkan, maka underwriter tidak akan melanjutkan proses emisi.

2.2 Penelitian Sebelumnya

Peneliti mengambil penelitian terdahulu sebagai dasar dalam penelitian saat ini adalah :Penelitian yang dilakukan Ali dan Hartono (2003), penelitian ini melakukan penelitian terhadap perusahaan yang go public antara tahun 1994 s.d 1999, sebanyak 129 perusahaan dan tidak membedakan antara perusahaan manufaktur dan non-manufaktur dalam sampel penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari metode akuntansi yang digunakan terhadap tingkat underpricing saham di pasar sekunder. Metode akuntansi yang diteliti adalah sesuai dengan yang sudah diteliti oleh Neill,et al.(1995), yaitu metode akuntansi untuk penilaian persediaan dan metode akuntansi penyusutan aktiva tetap.

Teknik pengujiannya menggunakan regresi berganda. Hasil yang didapat dari penelitian Ali dan Hartono (2003) menunjukkan ada pengaruh yang

(18)

signifikan variabel metode akuntansi penyusutan dan sinyal kepemilikan terhadap tingkat underpricing saham. Namun hal ini tidak berlaku pada metode persediaan dikarenakan tidak terlalu besar pengaruh financial metode rata-rata dengan metode FIFO pada laporan keuangan dibandingkan antara metode LIFO dan FIFO. Variabel penjamin emisi tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat underpricing dan reputasi auditor tidak berpengaruh terhadap tingkat underpricing.

Persamaan penelitian ini dengan Ali dan Hartono (2003) adalah menggunakan variabel yang sama yaitu metode akuntansi persediaan dan penyusutan, reputasi auditor, reputasi penjamin emisi. Perbedaan terletak pada periode penelitian, penambahan variabel, dan perusahaan yang dijadikan sampel yaitu Ali dan Hartono meneliti perusahaan yang melakukan IPO di tahun 1994-1999, sedangkan penelitian sekarang meneliti perusahaan yang melakukan IPO di tahun 2000-2010 pada perusahaan manufaktur dan non-manufaktur serta ada penambahan beberapa variabel yaitu: persentase kepemilikan saham, financial leverage, umur perusahaan.

2.3 Perumusan Hipotesis

2.3.1 Pengaruh Metode Akuntansi Penyusutan Aktiva Tetap terhadap Tingkat Underpricing Saham Perdana

Prospektus merupakan dokumen utama perusahaan IPO yang berisi tentang ukuran ukuran kinerja akuntansi berupa laporan keuangan dan juga merupakan sumber informasi bagi calon investor. Studi yang dilakukan oleh Klein

(19)

(1989) dalam Ali dan Hartono (2003) “menyajikan suatu model penilaian IPO dan menemukan bukti adanya hubungan angka-angka akuntansi pada prospektus termasuk pendapatan dan penghasilan dengan nilai pasar dari saham perusahaan IPO satu minggu setelah tanggal perdagangan di pasar sekunder”.

Menurut Aharony et al.(1993) dalam Ali dan Hartono (2003) meneliti “apakah perusahaan IPO memanipulasi pendapatan dengan menggunakan metode akuntansi sebelum melakukan penawaran perdana”. Hasil empiris dari penelitian mereka menghasilkan dukungan yang lemah atas hipotesis mereka yang menyatakan adanya manipulasi laba akuntansi.

Zmijewski dan Hagerman (1981) dalam Ali dan Hartono (2003) mengelompokkan metode akuntansi penyusutan ke dalam dua kategori yaitu metode pembebanan menurun (income decreasing policy) dan metode garis lurus sebagai kebijakan pendapatan meningkat (income increasing policy). Dalam penelitian ini dikembangkan hipotesa sebagai berikut :

H1 : Perusahaan IPO yang melakukan metode akuntansi aktiva tetap berpengaruh terhadap tingkat underpricing saham perdana.

2.3.2 Pengaruh Metode Akuntansi Penilaian Persediaan terhadap Tingkat Underpricing Saham Perdana

Penerapan metode akuntansi persediaan yang dampaknya pada laba perusahaan biasanya didasari adanya kepentingan tertentu, seperti perataan laba. Perataan laba yang diungkapkan oleh Mounsen dan Downs, dan Gordon dalam (Belkaoui,1993) “ manajer perusahaan termotivasi untuk melakukan pemerataan

(20)

laba dengan asumsi bahwa stabilitas laba dan tingkat pertumbuhan aliran rata-rata laba yang lebih tinggi akan lebih disukai”. Laporan laba rugi yang menyajikan laba yang stabil akan direspon baik oleh pemakainya.

Menurut Mukhlasin (2002) pemilihan metode akuntansi persediaan didasari pada berbagai pendekatan dan teori sebagai berikut :

1. Teori Agensi

Jensen dan Meckling (dalam Belkoui,1993) menyatakan bahwa perusahan adalah ” fiksi legal yang bertindak sebagai suatu kelompok (nexus) kontrak untuk seperangkat hubungan kontrak diantara individu”. Hubungan ini merupakan suatu kontrak yang satu atau lebih (prinsipal) meminta orang lain (agen) untuk melakukan beberapa kegiatan (service) atas kepentingan yang meliputi pendelegasian beberapa otoritas pengambilan keputusan pada agen.

2. Hipotesis Ricardian (hipotesis pajak)

Classical Ricardian menyatakan bahwa manajer bertujuan tunggal untuk memaksimalkan nilai perusahaan, dengan meminimalkan biaya pajak serta tetap respek pada kendala hukum pajak dan kesempatan produksi.

3. Political Cost

Scott (2003) menyatakan bahwa semua orang sama, biaya politik yang lebih besar dihadapi oleh manajer, manajer lebih menyukai memilih prosedur (metode) akuntansi yang melaporkan earning berbeda dari periode sekarang

(21)

Hendriksen (2000) mengungkapkan jika data akuntansi harus relevan bagi pengambilan keputusan investor maka data itu harus memberikan input ke dalam model keputusan para investor. Penerapan metode akuntansi persediaan yang berbeda akan menghasilkan tingkat laba yang berbeda pula . Menurut Hartono (1998: 330) “untuk kondisi ekonomi inflasi, metode FIFO menghasilkan laba bersih lebih besar dibandingkan metode LIFO dan arus kas lebih kecil dibandingkan metode LIFO“. Untuk kondisi ekonomi deflasi, hal sebaliknya yang akan terjadi. Sedangkan metode weighted average akan menghasilkan laba yang cenderung lebih stabil dan lebih kecil dibandingkan metode FIFO.

Hasil penelitian empiris Neill et al. (1995) dalam Ali dan Hartono (2003) menunjukkan bahwa “perusahaan yang menggunakan metode persediaan FIFO menghasilkan tingkat underpricing yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang menggunakan metode LIFO”.

Penelitian ini menggunakan metode rata-rata tertimbang sebagai proksi metode income decreasing. Sedangkan metode FIFO digunakan sebagai proksi metode income increasing karena perusahaan di Indonesia tidak ada yang menggunakan metode LIFO. Dalam penelitian ini dikembangkan hipotesa alternatif sebagai berikut:

H2 : Metode akuntansi persediaan yang digunakan oleh perusahaan IPO berpengaruh terhadap tingkat underpricing saham perdana.

2.3.3 Pengaruh Persentase Kepemilikan Saham terhadap Tingkat Underpricing Saham Perdana

(22)

Persentase jumlah saham yang ditawarkan dapat digunakan oleh penerbit saham untuk mengurangi fenomena asimetri informasi. Penerbit saham diasumsikan memiliki informasi yang lebih baik mengenai arus kas perusahaan di masa depan dibandingkan calon investor, sehingga penerbit saham dapat memberi signal mengenai nilai perusahaan yang sebenarnya dengan mempertahankan sejumlah saham perusahaan yang ditawarkan dalam portofolio investasi perusahaan.

Menurut Lelan dan Pyle (1977) dalam Ali dan Hartono (2003) menunjukkan bahwa “terhadap tingkat kepemilikan pemegang saham lama yang tinggi menunjukkan hanya sedikit informasi private perusahaan yang didistribusikan kepada calon pemegang saham baru. Sedikitnya informasi private perusahaan menunjukkan tingginya tingkat ketidakpastian perusahaan emiten”. Tingginya tingkat ketidakpastiaan ini ditanggung oleh pemegang saham baru, hal ini menyebabkan pemegang saham baru menginginkan kompensasi atas biaya yang dikeluarkan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian tersebut. Kompesansi tersebut adalah tingginya tingkat underpricing. Dengan demikian semakin banyak proporsi saham yang ditahan oleh pemegang saham lama atau semakin sedikit saham yang dijual ke public berarti semakin tinggi underpricingnya. Dalam penelitian ini dikembangkan hipotesa alternatif sebagai berikut :

H3 : Persentase saham yang dipertahankan berpengaruh terhadap tingkat underpricing saham perdana.

(23)

2.3.4 Pengaruh Financial Leverage terhadap Tingkat Underpricing Saham Perdana

Hutang yang dimiliki oleh perusahaan dibagi menjadi dua bagian besar yaitu hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang. Menurut PSAK no 1 (2004) “Suatu kewajiban diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka pendek jika: (a) diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi perusahaan, atau (b) jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan dari tanggal neraca”. Menurut Niswonger et.al (2009:465) “kewajiban lancar adalah kewajiban yang harus dipenuhi dengan aktiva lancar dan jatuh tempo dalam periode waktu yang pendek biasanya satu tahun”. Kieso et.al (2001:657) “current liabilities are obligations imose liquidation is reasonably expected to require use of existing resources properly classified as current assets, or the creation of other current liabilities”. Kewajiban lancar adalah kewajiban yang likuidasinya diperkirakan secara layak memerlukan penggunaan sumber daya yang ada yang diklasifikasikan sebagai aktiva lancar, atau penciptaan kewajiban lancar lain.

Masalah financial leverage baru muncul setelah perusahaan menggunakan dana dengan beban tetap, sehingga dapat dikatakan menghasilkan leverage yang menguntungkan, atau efek yang positif kalau pendapatan yang diterima dari penggunaan dana itu (Riyanto,1998).

Menurut Firth and Smith (1992) dalam Amelia J dan Saftiana (2007) menjelaskan bahwa “tingkat kewajiban yang tinggi menjadikan pihak manajemen perusahaan menjadi lebih sulit di dalam membuat prediksi jalannya perusahaan

(24)

kedepan”. Janice et al (1995) dalam Amelia J dan Saftiana (2007) menyatakan bahwa variable financial leverage berpengaruh terhadap tingkat underpriced.

Financial leverage menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar hutangnya dengan equity yang dimilikinya. Apabila financial leverage tinggi, menunjukkan resiko perusahaan juga tinggi. Dalam penelitian ini dikembangkan hipotesa alternatif sebagai berikut :

H4 : Financial leverage berpengaruh terhadap tingkat underpricing saham perdana.

2.3.5 Pengaruh Reputasi Auditor terhadap Tingkat Underpricing Saham Perdana

Adanya informasi yang tidak simetris ( asymmetry information) antara investor dan emiten, investor cenderung memilih IPO untuk emiten yang diaudit oleh auditor dengan memilih auditor yang bereputasi. Keterbatasan informasi yang tersedia atas perusahaan go public, menggunakan auditor yang kredibel dapat memberikan signal positif bagi calon investor.

Menurut (DeAngelo 1981a,198b;Simunic dan Stein 1987) dalam Ali dan Hartono (2003) “Kredibilitas auditor dikarekteristikkan sebagai salah satu atribut dari diferensiasi produk audit”. Karena kualitas aktual audit tidak dapat diobservasi, auditor berusaha mengkomunikasikan kualitas mereka melalui signal seperti brand names dan reputasi. Menurut Simunic dan Stein (1987) dalam Ali dan Hartono (2003) ”Sebagai konsekuensi, kredibilitas yang berbeda tingkatannya

(25)

Calon emiten berusaha untuk meminimalkan tingkat underpricing dengan menggunakan auditor yang memiliki reputasi yang baik.. Dengan adanya auditor yang memiliki reputasi baik akan menaikkan dan memberikan harga penawaran yang tinggi. Jika penawaran tinggi maka tingkat underpriced akan semakin rendah.

Balvers, MC Donald dan Miller, (1988) melakukan penelitian mengenai pengaruh reputasi auditor terhadap tingkat underpriced pada IPO emiten Amerika. Ditemukan semakin tinggi reputasi auditor maka tingkat underpriced akan kecil. Beatty (1989) dan Balvers et al.(1988) dalam Ali dan Hartono (2003) menemukan bahwa “underpricing adalah fungsi dari ketidakpastian ex-ante mengenai nilai dari saham yang diterbitkan”. Dengan adanya auditor bereputasi baik akan membantu mengurangi ketidakpastian tersebut. Balvers et al. (1998) dalam Ali dan Hartono (2003) juga menemukan bahwa “klien dengan auditor yang lebih bereputasi mempunyai tingkat underpricing yang lebih rendah, meskipun pengaruh tingginya reputasi auditor berkurang manakala reputasi penjamin emisi meningkat. Dalam penelitian ini dikembangkan hipotesa alternatif sebagai berikut :

H5 : Reputasi auditor berpengaruh terhadap tingkat underpricing saham perdana

2.3.6 Pengaruh Umur Perusahaan terhadap Tingkat Underpricing Saham Perdana

(26)

ramalan laba dibandingkan dengan perusahaan yang telah lama berdiri (Berlinger dan Robbins, Firth dan Smith dalam Sunaryah 2002). Hal ini berdasarkan pengalaman pihak manajemen, dimana perusahaan yang lebih lama memiliki pengalaman dan lebih solid dalam mengantisipasi kemungkinan kemungkinan yang akan terjadi. Perusahaan yang baru berdiri diperkirakan kurang memiliki pengalaman dan pengetahuan dalam mengantisipasi masalah.

Menurut Rosyati dan Sebeni (2002), perusahaan yang sudah lama berdiri kemungkinan mempunyai banyak pengalaman. Semakin lama umur perusahaan, semakin banyak informasi yang telah diperoleh masyarakat mengenai perusahaan tersebut. Dengan demikian akan mengurangi adanya asimetry informasi dan memperkecil ketidakpastian di masa mendatang. Dalam penelitian ini dikembangkan hipotesa alternatif sebagai berikut:

H6 : Umur perusahaan berpengaruh terhadap tingkat underpricing saham perdana

2.3.7 Pengaruh Reputasi Penjamin Emisi terhadap Tingkat Underpricing Saham Perdana

Underwriter adalah pelaksana dan penjamin emisi dalam proses IPO. Perusahaan tidak mungkin memasuki pasar modal tanpa bantuan underwriter karena proses untuk IPO begitu rumit dan memerlukan pengetahuan yang spesifik. (Cartel et al,1990 dalam Ali dan Hartono 2003) memberikan bukti empiris yang mendukung bahwa prestise penjamin emisi berhubungan dengan perusahaan IPO yang memiliki resiko yang rendah. Semakin tinggi prestisius suatu penjamin

(27)

emisi, semakin mampu untuk memasarkan IPO dengan harga yang lebih tinggi (Hayes 1987 dalam Ali dah Hartono 2003) .

Karena underpricing sangat merugikan bagi perusahaan penerbit saham IPO, perusahaan yang memiliki karakteristik risiko rendah akan berusaha menunjukkannya pada pasar. Hal ini dilakukan dengan memilih penjamin emisi yang prestisius. Penjamin emisi yang prestisius, mempertahankan reputasinya,hanya akan memasarkan IPO perusahaan yang memiliki risiko yang rendah (low dispersion). Kim dkk (1993) menyatakan bahwa emiten yang menggunakan penjamin emisi yang berkualitas atau bereputasi baik akan mengurangi resiko yang tidak dapat diungkapkan oleh informasi prospektus. Emiten dan underwriter bersama sama dalam penentuan harga perdana saham , namun sebenarnya mereka memiliki kepentingan yang berbeda. Sebagai pihak yang membutuhkan dana, emiten menginginkan harga perdana yang tinggi sedangkan underwiter menginginkan harga yang rendah

Dalam penelitian ini dikembangkan hipotesa alternatif sebagai berikut:

H7 : Reputasi penjamin emisi berpengaruh terhadap tingkat underpricing saham perdana

(28)

2.4 Kerangka Berpikir

Penelitian ini mencari hubungan antara variabel independent (X) dan variabel kontrol terhadap variabel dependent (Y). Adapun kerangka berfikir yang dapat digambarkan dalam penelitian ini bisa dilihat pada gambar.

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Metode penyusutan aktiva tetap (X1) Metode penilaian persediaan(X2) Persentase kepemilikan saham (X3) Financial Leverage (X4) Reputasi Auditor (X5) Umur Perusahaan (X6)

Reputasi Penjamin Emisi (X7)

Underpricing

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka BerpikirMetode penyusutanaktiva tetap (X1)Metode penilaianpersediaan(X2)Persentase kepemilikansaham (X3)Financial Leverage (X4)Reputasi Auditor (X5)Umur Perusahaan (X6)

Referensi

Dokumen terkait

Seksi celup benang sendiri adalah proses pencelupan benang hasil produksi bagian spinning yang sebelum ditenun dicelup terlebih dahulu, sedangkan seksi soft winder adalah

Kandungan alisin pada bawang merah dan senyawa sulfida lain yang terkandung dalam minyak atsiri bawang merah memiliki daya antimikroba tinggi bersifat bakterisidal

Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan lebih menarik karena pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang

c. Mahasiswa dan Lulusan: 1) Secara kuantitatif, jumlah mahasiswa baru yang diterima Prodi PAI relatif stabil dan di atas rata-rata dibandingkan dengan jumlah

Menanyangkan video yang diunduh dari Youtube tentang struktur dan fungsi sel saraf serta sinaps. Menggunakan metode pembelajaran Student- Centered Learning: Collaborative

Dari daerah Selatan sebenarnya juga bisa, tetapi karena daerah Pantai Pasir Putih berada di antara jalan Bondowoso-Situbondo dan Lumajang-Probolinggo maka kedua

Berdasarkan hasil data dan penelitian, simpulannya adalah pengaruh lagu yang berjudul “hey tayo” terhadap kemampuan anak menyebutkan warna – warna pada anak usia 4 tahun

Untuk menghindari unsur subjektif dalam melakukan penyeleksian penerima beasiswa, maka tujuan dari penelitian ini yaitu menghasilkan suatu aplikasi sistem pendukung keputusan yang