• Tidak ada hasil yang ditemukan

POSISI SISWA SEBAGAI SUBJEK DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL: TELAAH KRITIS DALAM KERANGKA FILSAFAT PENDIDIKAN PAULO FREIRE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POSISI SISWA SEBAGAI SUBJEK DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL: TELAAH KRITIS DALAM KERANGKA FILSAFAT PENDIDIKAN PAULO FREIRE"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

633

POSISI SISWA SEBAGAI SUBJEK DALAM SISTEM

PENDIDIKAN NASIONAL: TELAAH KRITIS DALAM

KERANGKA FILSAFAT PENDIDIKAN

PAULO FREIRE

Andi Setyawan AKOM BSI Jakarta

Abstraksi

Penelitian ini membahas bagaimana posisi siswa dalam kerangka pemikiran Freire dan dalam sistem pendidikan nasional. Serta bagaimana keterkaitan posisi siswa dalam konsep filsafat pendidikan Paulo Freire dengan posisi siswa sebagai subjek dalam sistem pendidikan nasional. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis terhadap masalah posisi siswa sebagai subjek. Filsafat pendidikan Freire yang berdasar pada pendidikan kritis sebagai suatu bentuk kritisisme sosial mencoba untuk menciptakan suatu hubungan dialogis antara pendidikan dengan konteks sosial. Berdasarkan hal tersebut, keberpihakan Freire pada siswa sebagai subjek dalam pendidikan formal dimulai dengan menempatkan dialog sebagai aspek utama dalam proses pendidikan. Dialog ini menuntut suatu hubungan yang setara antara guru dan murid, yang dilandasi dengan cinta, kerendahan hati, harapan, kepercayaan, dan sikap kritis. Dialog sebagai bagian fundamental dari struktur pengetahuan harus selalu terbuka bagi subjek-subjek lain dalam proses pengetahuan. Selain itu, pendidikan hadap masalah yang memungkinkan adanya konsientisasi (penyadaran), menempatkan posisi guru setara dengan murid, di mana guru berupaya untuk melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis murid secara langsung. Selanjutnya dalam sistem pendidikan nasional, posisi siswa sebagai subjek belum terpenuhi. Beberapa peraturan mengenai pendidikan hanya secara eksplisit menjelaskan posisi siswa sebagai subjek. Hal tersebut diperparah dengan peran guru yang masih dominan dan sentral dalam proses pendidikan. kurikulum yang diberlakukan semenjak pasca kemerdekaan hingga masa orde baru, masih menempatkan siswa sebagai objek dan guru sebagai subjek sentral dalam proses transfer ilmu, baru setelah diberlakukannya UU No 20 tahun 2003 dengan pembentukan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) siswa mulai diarahkan ke sumber dan subjek belajar. Namun tetap saja, Banyaknya beban belajar dan dominasi guru di dalam kelas semakin menunjukkan bentuk opresi yang dialami siswa di sekolah. Oleh karena itu, perlu diadakan penataan ulang konsep pendidikan nasional yang berorientasi pada kepentingan siswa sebagai subjek, dan perlu adanya peraturan khusus yang mengatur hubungan siswa dan guru yang setara dan posisi siswa sebagai subjek dalam pendidikan, sehingga kelak tidak ada lagi dominasi dan opresi dalam proses pendidikan Indonesia.

Kata kunci: Posisi, siswa, subjek, Freire, Sistem pendidikan nasional 1. Pendahuluan

Jika membicarakan pendidikan maka kita juga akan membicarakan tentang kehidupan, karena pendidikan merupakan suatu kerja aktif yang berjalan hampir selama kehidupan ini terbentuk. Ketika manusia dilahirkan di muka bumi ini maka ia akan mulai untuk belajar hingga kelak ia meninggalkan dunia ini. Pendidikan memainkan peranan yang sangat penting dalam membentuk generasi penerus suatu bangsa, karena kekuatan dan kelemahan suatu bangsa ditentukan oleh seberapa matang dan dewasanya pemikiran dari warganya. Dan tentunya, “maturity”

sangat ditentukan oleh faktor pendidikan yang diperoleh oleh tiap orang.

Istilah pendidikan diambil dari bahasa inggris “education” yang berasal dari bahasa latin “educare”, yang dapat diartikan pembimbingan berkelanjutan (to lead forth). Jika diperluas, arti etimologis itu mencerminkan keberadaan pendidikan yang berlangsung dari generasi ke generasi sepanjang eksistensi kehidupan manusia (Suhartono, 2006, hal. 77). Setiap manusia yang memiliki akal dan pikiran pada dasarnya dituntut untuk menguasai beberapa pengetahuan sebagai bekal untuk

(2)

berinteraksi dengan masyarakat, lingkungan sekitar, maupun terhadap alam. Proses pencarian dan pemenuhan pengetahuan tersebut telah dilakukan oleh manusia pra-sejarah sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Namun, proses bimbingan itu menjadi ter-lembagaisasi sejak manusia mulai mengenal huruf.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka keberadaan pendidikan melekat erat pada dan dalam diri manusia sepanjang zaman. Jadi, pendidikan merupakan masalah khas manusia, dalam artian hanya makhluk manusia saja yang eksistensi kehidupannya mempunyai persoalan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan oleh dan untuk diri manusia sendiri, dengan sasaran untuk mengembangkan pengetahuan serta untuk menyusun teori-teori keilmuan. Sasaran pendidikan ini berfungsi sebagai alat, sarana, dan jalan untuk membuat perubahan menuju perkembangan hidup. Pada titik inilah manusia mewujudkan dirinya sebagai “makhluk pendidikan”. Tersirat dalam kodratnya sebagai makhluk pendidikan, atas potensi kodrat cipta, rasa, dan karsanya, manusia berkemampuan untuk “dididik” dan “mendidik”.

Jika kita ingin menelaah pendidikan dalam konteks yang lebih luas, maka pendidikan merupakan suatu bentuk pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi kegiatan kehidupan. Pendidikan berlangsung di segala

jenis, bentuk, dan tingkat lingkungan hidup, yang kemudian mendorong pertumbuhan segala potensi yang ada dalam diri individu. Dalam pengertian yang lebih sederhana maka ada tiga hal pokok yang hendak dikemukakan, bahwa pendidikan merupakan proses menuju: pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri. Pendidikan dalam konteks yang luas dapat diturunkan dalam pengertian pendidikan yang lebih sempit. Dalam konteks ini, pendidikan diartikan sebagai seluruh kegiatan belajar yang direncanakan, dengan materi terorganisasi, dilaksanakan secara terjadwal dalam sistem pengawasan, dan diberikan evaluasi berdasar pada tujuan yang telah ditentukan, dan kegiatan seperti ini dilakukan dalam lembaga pendidikan seperti sekolah. Ketika pendidikan berfungsi untuk menciptakan individu yang dewasa, cerdas, dan matang secara emosional, maka sudah

seharusnya proses dalam pendidikan merupakan suatu proses ‘mendidik’ bukan ‘mengajarkan’. Secara harafiah pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan: proses, cara, perbuatan mendidik. Sedangkan, mendidik secara harafiah berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan,

pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran (KBBI, 2007, hal. 80). Mendidik dalam artian disini merupakan proses transfer ilmu yang bersifat dua arah antara pendidik dan orang yang dididik, dan karena korelasional yang aktif inilah maka proses pendidikan dapat membentuk kepribadian peserta didik yang kreatif, inovatif, terbuka, dan matang secara emosional. Lain halnya dengan proses mendidik, mengajar lebih identik dengan proses transfer ilmu yang satu arah, yaitu dari pendidik kepada orang yang dididik. Secara harafiah mengajar berasal dari kata ‘ajar’ yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (dituruti); dan mengajar merupakan kegiatan memberi pelajaran. Proses mengajar ini memiliki implikasi pada mereduksinya kreatifitas, pasifitas, dan penundaan kematangan secara emosional yang dikarenakan peserta didik tidak diberikan kesempatan untuk berdialog dan mengemukakan pendapat kepada pendidik.

Jika kita telaah lebih lanjut, pada kenyataannya tiap-tiap orang memiliki suatu harapan akan pendidikan yang ideal bagi mereka, agar tiap-tiap mereka dapat mengembangkan potensi diri tanpa adanya opresi yang mungkin akan mereka dapatkan dalam berlangsungnya proses pendidikan. Pendidikan ideal harus berpijak pada pengembangan keutuhan seorang peserta didik agar muncul self-realisation-nya dengan baik. Sangat tidak bijaksana ketika kegiatan pendidikan justru hanya menekankan sisi kecerdasan intelektual semata-mata. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence (Sidi, 2001, Hlm.53) bahwa IQ seseorang hanya menyumbang 20% dari kesuksesan seseorang, sedangkan 80 % sisanya ditentukan oleh faktor lain (kecedasan intelektual dan kecerdasan emosional). Pendidikan ideal adalah pendidikan yang mampu menyeimbangkan domain-domain tersebut sehingga lahirlah masyarakat peradaban (civilize culture society), dan akan

(3)

menciptakan masyarakat yang sadar (conscious community) (Effendi Hasan, 2009). Pendidikan yang ideal pada hakikatnya berupaya untuk menempatkan manusia dalam tataran sebagai subjek dalam proses pendidikan, atau dengan kata lain untuk memanusiakan manusia itu sendiri. Pendidikan yang berlangsung diharapkan dapat menciptakan suatu bentuk pendidikan yang humanis, dalam artian menekankan bahwa pendidikan pertama-tama dan yang utama adalah bagaimana menjalin komunikasi dan relasi personal antara pribadi-pribadi dan antar pribadi dan kelompok yang setara di dalam suatu komunitas. Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa yang telah berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bawa keberadaan seorang pribadi jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab, manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan diharapkan mampu untuk menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia.

Di dalam pendidikan yang ideal juga tidak boleh ada intervensi terhadap peserta didik. Intervensi dalam pendidikan biasanya dapat menjelma dari beberapa kasus yang sering muncul diantaranya: intervensi dari guru kepada murid, sistem terhadap pelaku pendidikan, pemerintah sebagai pemangku kebijakan, dan lain- lain. Karena kita ketahui bersama bahwa pada saat ini pendidikan masuk ke dalam ranah wujud hak asasi manusia yang harus dipenuhi, karena pendidikan adalah universal dan hak semua orang (education is universal and for all). Melalui pendidikan yang ditempuh, manusia ditempa menuju kemandirian dan kesuatu wujud pemerataan untuk memperoleh pendidikan seluas-luasnya.

Ada kesamaan fokus yang menjadi ciri hakiki dari suatu garapan pendidikan yakni pendidikan diwujud maksimalkan dalam usaha manusia untuk memanusiakan manusia. Pendidikan sebagai proses, memberi makna bahwa garapan pendidikan akan selalu dinamis, sistematis, berkelanjutan, dan sejalan dengan dinamika serta perubahan masyarakat. Oleh karena itu untuk

menghindari terjadinya intervensi dibutuhkan metode “andragogi” dalam setiap proses pendidikan. Dengan konsep ini peserta didik ditempatkan sebagai subjek dalam pendidikan, bukan sebagai bahan eksploitasi untuk diintervensi, dalam pengertian lain ada suatu nuansa demokratisasi dalam setiap proses pendidikan. Pendidikan di sini sangat diharapkan tidak menjadi suatu hal yang dikultuskan (sosok yang superior) di mana siswa tidak memiliki hak apa-apa dalam menentukan sesuatu.

Jika kita kaitkan dengan penerapannya di Indonesia, proses pendidikan masih banyak

menemukan kendala dalam

pengaplikasiannya. Selama ini, sistem pendidikan di Indonesia lebih berupa proses ‘pengajaran’ bukan ‘pembelajaran’. Padahal, Dalam UU sangat jelas menyebutkan term ‘Pendidikan’ sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (UU RI No. 2 thn 1989, Bab 1, Pasal 1), agar seperangkat hasil pendidikan tercapai oleh peserta didik setelah diadakannya kegiatan pendidikan (Oemar Hamalik, 1999, Hal 2-3). Dari UU tersebut ternyata term ‘pengajaran’ digunakan sebagai suatu cara dalam mendidik peserta didik. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan tentunya memiliki alasan yang kuat mengapa sistem pengajaran dimasukkan sebagai salah satu cara untuk mendidik siswa, salah satu alasan mendasar adalah untuk membuat penyamarataan standar pendidikan nasional. Jika hal ini tidak menjadi dominan dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional, maka dirasa peserta didik tidak akan menjadi korban ambisi pencapaian standar. Namun, kenyataannya di lapangan proses pengajaran yang bertujuan untuk mencapai suatu standar nasional menjadi sangat dominan dalam pelaksanaan sistem pendidikan di Indonesia.

Sistem pendidikan di Indonesia yang mencoba memuat proses pengajaran yang memiliki tujuan untuk mencapai suatu standar nasional, ternyata juga belum menunjukkan hasil yang signifikan dan memuaskan dalam peningkatan aspek kognitif peserta didik jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Seperti misalnya: siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa

(4)

Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat (TIMSS, 2003-2004). Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R 1999, memperlihatkan bahwa, di antara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di Asia Pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75. Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara (UNDP, 2009).

Dari fakta tersebut maka dapat dilihat bahwa proses pengajaran-pun belum mampu untuk menghasilkan output kognisi yang cukup baik. Dan oleh karena itu, lagi-lagi peserta didik menjadi korban dalam pelaksanaan sistem pendidikan yang lebih menekankan pada pengajaran. Padahal seharusnya kemampuan peserta didik harus dilihat dari tiga aspek, yakni : pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Ketiga aspek tersebut harus berjalan secara beriringan, dan lembaga pendidikan harus dapat memfasilitasi siswa untuk mengembangkan dirinya. Namun yang terjadi selama ini malah sebaliknya, sistem pendidikan di Indonesia cenderung mengintervensi siswa sebagai objek pendidikan dengan dalih pengajaran dalam berbagai bentuk, misalnya: intervensi guru terhadap murid dengan hukuman jika tidak mengerjakan tugas, kurikulum yang membebankan siswa dengan banyaknya beban belajar tanpa adanya proses pengaplikasian ilmu yang didapat secara langsung, sehingga siswa menjadi pihak yang teropresi sebagai objek dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Jika kita melihat perjalanan penerapan kurikulum di Indonesia, maka kita dapat melihat dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968,1975, 1984, 1994, 2004,

dan yang terakhir adalah kurikulum penyempurna kurikulum terdahulu yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya

Permasalahan penempatan posisi siswa sebagai subjek ini pada dasarnya muncul pada jenjang pendidikan menengah. Jika kita mengacu pada undang- undang sistem pendidikan nasional, jalur jenjang pendidikan formal di Indonesia terdiri dari tiga yaitu: pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Permasalah penempatan posisi siswa sebagai subjek kerap kita dapatkan pada jenjang pendidikan menengah. Hal tersebut dikarenakan, pada jenjang pendidikan dasar peran guru memang harus dominan dan sentral dalam merangsang pertumbuhan kognitif siswa. Pada jenjang pendidikan tinggi, seharusnya peserta didik ditempatkan sebagai subjek dalam perolehan pengetahuan, karena pada jenjang ini peserta didik dituntut untuk mampu mengembangkan diri berdasarkan kemampuannya masing-masing. Sedangkan siswa pada jenjang pendidikan menengah, merupakan individu yang seharusnya dipersiapkan untuk matang secara emosional, sehingga kelak mampu membuat putusan-putusan yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Di sini, peran guru dalam jenjang pendidikan menengah seharusnya menjadi fasilitator untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh siswanya.

Hingga dipenghujung tahun 1973 sistem pendidikan yang tercermin dalam kurikulum masih menggunakan prinsip ‘pedagogy’ bahwa pendidikan itu menempatkan peserta didik sebagai objek di dalam pendidikan, mereka harus menerima pendidikan yang sudah di set up atau yang telah ditetapkan oleh sistem pendidikan, di set up oleh gurunya atau pengajarnya apa-apa saja yang harus dipelajari, materi-materi apa saja yang akan diterima, yang akan disampaikan, metode panyampaiannya, dan lain-lain. Semua itu

(5)

tergantung kepada pengajar dan tergantung kepada sistem. Hal itu terbukti dilakukan pada kurikulum 1947 yang disebut “leer plan” yang lebih bersifat politis, kurikulum 1952 yang disebut rencana pelajaran terurai 1952 yang lebih menekankan pada rincian setiap mata pelajarannya, berlanjut pada kurikulum 1964, 1968, hingga kurikulum 1975. Baru pada kurikulum 1984 posisi siswa sebagai peserta didik ditempatkan sebagai ‘subjek’ dalam sistem pendidikan nasional, dengan mengusung “skill approach”, dan secara legal posisi tersebut di atur dalam UU hingga terakhir diberlakukannya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pada tahun 2006. Ketika posisi peserta didik dalam sistem pendidikan telah berubah dari ‘objek’ menjadi ‘subjek’ maka seharusnya terjadi transformasi besar dalam proses mendidik siswa dan fokus tujuan yang ingin dicapai dari proses pendidikan tersebut. Proses mendidik siswa tidak hanya terpusat pada pengajaran yang satu arah, namun merupakan proses transformasi dialogis antara pendidik dan orang yang dididik, sehingga tujuan dari proses pendidikan tidak hanya untuk mencapai suatu standar yang telah ditetapkan, namun juga untuk menciptakan pendewasaan, pencerdasan, pematangan diri, dan yang jauh lebih penting untuk memanusiakan manusia. Itu semua tidak bisa dicapai dalam sistem transfer pengetahuan yang satu arah.

Walaupun semenjak diberlakukannya kurikulum 1984 posisi siswa telah ditetapkan sebagai subjek dalam pendidikan, namun pada kenyataannya di lapangan siswa masih diposisikan sebagai objek dalam proses belajar mengajar. Hal yang paling fundamental mengapa hal ini terjadi adalah:

1. Sebagian besar tenaga

pendidik adalah tenaga pendidik lama yang masih menganut paham konservatisme, yaitu masih bertahan dengan tatanan lama yang memiliki pandangan bahwa proses mendidik adalah merupakan proses pengembangan kognisi yang indikatornya adalah keberhasilan dalam bidang intelektual.

2. Adanya standar yang

ditetapkan oleh pemerintah pusat terhadap seluruh satuan pendidikan. Penekanan standar di sini lebih pada standar intelektual dibandingkan pemenuhan standar psikomotorik dan afektif.

3. Karena tuntutan pemenuhan standar, tenaga pendidik biasanya sering

melakukan intervensi terhadap peserta didik jika peserta didik tidak mampu untuk memenuhi standar yang telah ditentukan. Inilah yang biasa disebut sebagai bentuk opresi dalam pelaksanaan sistem pendidikan. Dari opresi tersebut maka implikasi yang sangat mungkin dialami siswa adalah perasaan tertekan, mereduksi kreatifitas, dan pasifnya siswa sebagai peserta didik. Sistem pengajaran hanya menyediakan proses pengajaran yang satu arah, dalam pengertian lain siswa hanya menerima meteri yang diberikan guru, tanpa diperkenankan untuk mengeksplorasi kemampuannya sendiri, dan mengaplikasikannya. Mekanisme menghapal yang selalu ditekankan oleh tenaga pendidik sangat dimungkinkan menjadi penyebab mereduksinya kreativitas.

Dari latar belakang tersebut, peneliti tergugah untuk menganalisa permasalahan posisi siswa dalam sistem pendidikan nasional, mengingat dari pengalaman peneliti bahwa sejauh ini sistem pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya menempatkan siswa sebagai subjek dalam pendidikan. Peran guru masih sangat sentral dalam transfer informasi, sehingga siswa tak layaknya sebagai objek yang pasif dalam proses pendidikan. Pemilihan topik ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi perjuangan siswa untuk mendapatkan hak sebagai subjek dalam sistem pendidikan di Indonesia.

2. Pembahasan

Hakikat Posisi Siswa sebagai Subjek Berbicara mengenai pendidikan dalam kerangka Freire, maka tidak terlepas dari perjuangan Freire dalam membebaskan individu dari belenggu kekuasaan penindas. Pada masanya, individu tertindas oleh problem kultural yang menyebabkan banyaknya buta huruf di seluruh pelosok Brazil. Realitas ini terjadi karena keadaan buta huruf mereka adalah hasil perbuatan kultural kaum yang menindas mereka. Pendidikan bagi Freire adalah merupakan suatu praktik pembebasan, karena ia membebaskan pendidik, bukan hanya terdidik saja, dari perbudakan ganda berupa kebisuan dan monolog. Kedua-duanya dibebaskan ketika mereka mulai belajar, yang satu mulai menganggap diri cukup berharga walaupun buta huruf, miskin, dan tak menguasai teknologi. Dan yang lain, belajar berdialog meski masih saja dibayang-bayangi oleh

(6)

peranan pendidik sebagaimana biasa digambarkan dalam suatu institusi pendidikan. Inti pokok pendidikan Freire pada dasarnya adalah apabila seseorang berupaya untuk mendapat pengetahuan dengan mencoba untuk mempermasalahkan realitas natural, kultural, dan historis yang melingkupinya. Realitas yang ada di sekitar individu dilihat sebagai problem yang melibatkan seluruh rakyat dalam kodifikasi realitas menjadi simbol-simbol yang dapat menggugah kesadaran kritis dan mendorong mereka untuk mengubah hubungan dengan alam dan kekuatan-kekuatan sosial. Kegiatan refleksif ini terhindar dari narsisisme dan psikologisme hanya dengan jika ia mendorong seluruh peserta untuk berdialog dengan orang lain yang “panggilan” sejarahnya sama-sama menjadi pelaku perubahan realitas sosial. Hanya dengan begitu rakyat tidak menjadi objek, melainkan subjek sejarah mereka sendiri (Goulet, 1984, Hal. 8-11).

Dari beberapa pemaparan di atas dapat ditarik penjelasan bahwa Freire memposisikan pendidikan sebagai suatu alat menuju pembebasan dari penindasan. Di mana penindasan biasa terjadi di mana saja tidak terbatas pada ruang kelas. Penindasan pada masanya merupakan penindasan buta huruf dikalangan petani, yang “dibendakan” oleh verbalisme kosong oleh aktivisme teknokratis yang menjadi musuh praksis sejati. Para petani sengaja ditindas dalam bidang pendidikan agar mereka tidak memiliki hak dalam putusan politik, di mana putusan-putusan politik lahir dari pendidikan yang telah dimanipulasikan.

Oleh karena itu, konsep pendidikan yang diusung oleh Freire tidak hanya terbatas oleh kelas-kelas di dalam sekolah. Namun, pendidikan harus universal yang juga melibatkan unsur sosial politik dalam substansinya. Pengetahuan juga harus di dapat dalam hubungannya dengan lingkungan sosial, sehingga kelak pengetahuan yang didapatkan tidak hanya bersifat teoritis, namun juga bersifat praksis. Dengan maksud agar pendidikan dapat dijadikan suatu kendaraan untuk memperjuangkan hak-hak politik setiap individu.

Untuk mencapai pendidikan seperti yang diungkapkan Freire. Maka, tiap individu tidak boleh diposisikan sebagai objek dari penguasa. Tiap-tiap individu harus memiliki

hak yang sama untuk menentukan pilihannya sendiri dan untuk menentukan pengetahuan apa yang akan mereka dapatkan. Untuk mewujudkan hal tersebut, individu harus memiliki peran sebagai subjek dalam perolehan informasi agar tidak terjadi dominasi dan opresi dalam pencapaian pengetahuan. Peran individu sebagai subjek mutlak diperlukan karena individu sendirilah yang langsung berhubungan dengan lingkungan sosial, dan memiliki peran dalam komunikasi sosial, sehingga sudah seharusnya tidak ada yang berhak mengatur dan menindas individu dalam perolehan suatu pengetahuan.

Paulo Freire

Paulo Freire merupakan tokoh pendidikan abad 20, dan hidupnya merupakan suatu rangkaian perjuangan dalam konteksnya. Ia lahir tanggal 19 September 1921 di Recife, timur laut Brasilia. Masa kanak-kanaknya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun 1929. Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar Hukum, Filsafat, dan Psikologi. Sementara kuliah, ia bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di sekolah menengah. Ia meraih gelar doktor pada tahun 1959 lalu diangkat menjadi profesor. Dalam kedudukannya sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai kebalikan dari pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan hadap masalah yang penekanan utamanya pada penyadaran peserta didik menimbulkan kekuatiran di kalangan para penguasa. Karena itu, ia dipenjarakan pada tahun 1964 dan kemudian diasingkan ke Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar budayanya yang menimbulkan ketegangan, tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di Universitas Harvard, USA pada tahun 1969-1970.

Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan”. Masyarakat feodal (hierarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hierarkis ini terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan

(7)

akumulasi kekayaan, karena itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para penindas itu.

Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis dalam budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan mereka. Untuk itu, diperlukan pendidikan yang dapat membebaskan, dan memberdayakan. Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang melaluinya peserta didik dapat mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik. Dalam konteks yang demikian itulah, ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”. Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadapmasalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu (Manggeng, 2006, Hal 120).

Filsafat Pendidikan Paulo Freire

Buku Freire yang pertama yaitu Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan lahir dari usaha-usaha kreatif Freire dalam pemberantasan buta huruf orang-orang dewasa di seluruh Brazilia sebelum kudeta 1 April 1964, yang pada akhirnya menyebabkan Freire hidup dalam pengasingan. Freire menyatakan bahwa keadaan buta huruf tersebut pada dasarnya bersumber dari hasil perbuatan kultural kaum yang menindas mereka. Pesan penting yang ingin diangkat Freire dalam buku ini adalah praktik pendidikan merupakan bukti dari dimungkinkannya suatu dialog, dan bahwa para pendidik dapat belajar bersama-sama dengan mereka yang dididik. “Karena Freire jelas-jelas dengan tegas menolak memainkan peranan guru kharismatis yang mengajarkan kebijaksanaan kepada mereka yang ingin memilikinya, karena setiap orang

memang berharga dan patut dihargai secara aktif.”

Buku pendidikan sebagai praktik pembebasan mencoba untuk memaparkan dua hal penting dalam upaya pembebasan dalam pendidikan, yaitu: bagaimana peran pendidikan sebagai suatu praktik pembebasan, dan menjelaskan tentang eksistensi dan komunikasi. Dari dua pembabakan dalam buku ini sedikit banyak Freire membahas tentang posisi siswa sebagai subjek dalam pendidikan, walaupun dalam eksplisitnya tidak ada bagian yang secara khusus membahas posisi siswa sebagai subjek dalam sistem pendidikan. Karena, Freire lebih fokus membicarakan masalah kultural pendidikan di Brazil serta implikasi-implikasinya bagi perkembangan pendidikan kritis di Brazil.

“Pendidikan yang membebaskan berisi laku-laku pemahaman (acts of cognitions), bukan malah berupa pengalihan informasi. Dia merupakan suatu situasi belajar di mana objek yang dapat dipahami (sama sekali bukan titik akhir dari laku pemahaman) menghubungkan pelaku pemahaman, guru di satu sisi dan murid di lain sisi… Hubungan dialogis yang harus ada pada para pelaku pemahaman untuk bersama- sama mengamati objek yang sama mutlak tidak dapat digantikan dengan cara lain.”

Dalam konsep pendidikan yang membebaskan dijelaskan bahwa manusia adalah “tubuh sadar”. Kesadarannya yang intensional atau terarah kepada dunia, selalu berupa kesadarannya akan sesuatu, dan kesadaran itu sendiri akan senantiasa menggapai realitas. Pendidikan tidak boleh melihat pria dan wanita sebagai terpisah dari dunia (dan hanya mencipta dunia dari kesadaran). Karena pada posisi ini dunia diabaikan. Begitu pula sebaliknya pendidikan tidak boleh melihat dunia tanpa pria dan wanita (yang dianggap tidak mampu mengubah dunia), dan dalam konteks ini manusia diabaikan.

Karena manusia merupakan makhluk otentik, maka pendidikan pun harus otentik dan membebaskan. Dalam konsep “konstientisasi” pendidik memiliki hak, sebagai pribadi dan untuk membuat pilihan-pilihan. Apa yang tidak mereka miliki adalah hak untuk memaksakan pilihan-pilihannya sendiri. Karena, melaksanakan itu berarti memerintahkan pilihan-pilihannya kepada orang lain.

(8)

“pendidikan sebagai praktik pembebasan, bukanlah pengalihan, atau penyebaran pengetahuan atau kebudayaan, pendidikan juga bukan berarti eksistensi pengetahuan teknis. Ia bukan pula tindakan menanamkan laporan atau fakta kepada peserta didik. Itu bukan pemancaran nilai-nilai dari kebudayaan terberi, dan itu bukanlah merupakan usaha mengadaptasi peserta didik kepada lingkunganya.”

“Pendidikan sebagai praktik pembebasan” merupakan suatu situasi yang “gnosiologis”. Di situ tindakan mengetahui tidak memperoleh maknanya terutama dari adanya objek-objek yang dapat diketahui, melainkan adanya komunikasi dengan subjek-subjek lain yang juga dapat mengetahui. Dalam proses pendidikan bagi pembebasan, pendidik-terdidik, dan terdidik-pendidik sama-sama menjadi subjek kognitif dihadapan objek- objek pengetahuan yang menjembatani mereka.

Konsep pendidikan yang membebaskan seharusnya dapat memecahkan masalah kontradiksi guru dan murid yang selama ini terjadi. Dengan merujuk kutub-kutub dalam kontradiksi itu, sehingga kedua-duanya secara bersamaan adalah guru dan murid.19 Karena semakin banyak murid menyimpan tabungan yang dititipkan kepada mereka, semakin murid kurang mengembangkan kesadaran kritis yang dapat mereka peroleh dari keterlibatan di dunia sebagai pengubah dunia tersebut. Humanisme dari pendekatan gaya bank menutupi suatu usaha untuk menjadikan manusia sebagai benda terkendali (automaion)

Dalam memahami pendidikan kaum tertindas Freire mencoba memaparkan siswa sebagai subjek dalam proses pembebasan dari kekuasaan. Siswa yang selalu diposisikan sebagai objek selalu disebut sebagai kaum yang tertindas. Dan dalam pandangannya kaum tertindas tidak berusaha untuk mengupayakan pembebasan, tetapi cenderung menjadikan dirinya penindas, atau penindas kecil. Dalam pikirannya selalu melekat ketidakmungkinan untuk terlepas dari belenggu kekuasaan, dan oleh karena itu upaya untuk menindas kembali merupakan suatu hal yang dapat sedikit meringankan beban mereka. Semua ini terjadi karena pada momentum tertentu, dalam pengalaman eksistensial mereka cenderung mengambil sikap “melekat” kepada

penindasnya. Dalam keadaan seperti itu kaum tertindas tidak akan dapat melihat “manusia baru” karena manusia itu harus dilahirkan dalam pemecahan kontradiksi ini, dalam suatu proses memudarnya penindasan untuk membuka jalan kearah pembebasan (Freire, 2008. Hal 14-15)

Dalam konteks kesadaran kritis benda-benda dan fakta-fakta ditampilkan secara empirik, dalam kausalitas dan saling berhubungan dengan lingkungan sekitar. Dalam pengertian lain, kesadaran kritis berupaya untuk mengintegrasikan diri dengan realitas, yang pada akhirnya lambat- laun akan diikuti oleh aksi atau tindakan. Karena sekali manusia menemukan dan menangkap adanya tantangan, memahaminya, dan merumuskan kemungkinan-kemungkinan memecahkannya, maka ia akan bertindak.

Konsep pendidikan melalui kesadaran kritis merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis; individu- individu berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya, sehingga pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosiohistoris.

Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tetapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat. Upaya menggerakkan kesadaran ini dapat menggeser dinamika dari pendidikan kritis

(9)

menuju pendidikan yang revolusioner. Menurut Freire, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis, kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan (Freire, 1984, Hal 6).

Oleh karena itu, setiap manusia kini dituntut untuk menumbuhkan suatu “kesadaran kritis” yang ditandai oleh kematangan menafsirkan masalah, keterangan-keterangan yang bersifat magis digantikan oleh prinsip-prinsip sebab akibat, menolak peran-peran pasif dengan lebih mengedepankan dialog, dan tidak akan pernah berhubungan dengan kekerasan dan penindasan. Kesadaran kritis juga harus dibarengi dengan “conscientizacao” yang mencerminkan perkembangan bangkitnya kesadaran. Pendidikan Sebagai Bentuk Analisa Problem

Menurut Alfred North Whitehead, suatu pendidikan seharusnya selalu mengajukan bentuk “saya bertanya” dan bukan hanya sekedar “saya taat berbuat”. Vitalitas, dan bukan hanya transmisi dari “ide-ide inersia”. Kurikulum tradisional pada hakikatnya terlepas dari kehidupan yang berpusat pada kata-kata kosong yang tidak menampilkan realitas, tidak menunjuk pada suatu aktivitas yang konkrit, dan tidak pernah dapat dan mau mengembangkan suatu kesadaran kritis, kurikulum tradisional selalu terjebak pada sistem penghapalan yang akan selalu membebankan siswa dengan berbagai macam bentuk hapalan. Realitas inilah yang membuat pendidikan selalu jauh dari problem-problem yang dihadapi individu, sehingga pendidikan hanya menjadi teori yang pasif tanpa dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (Whitehead, 1967, Hal 1-2).

Freire menyatakan bahwa “sudah seharusnya pendidikan berbentuk suatu tindakan cinta kasih, dan karena itu juga patut dikatakan sebagai tindakan yang berani. Pendidikan tidak boleh membuat orang yang mau menganalisis

realitas menjadi takut, atau takut ditertawakan , sehingga menghindari diskusi kreatif…dengan memberi rumusan-rumusan yang harus diterima dan dihapalkan oleh para murid, kita tidak memberinya perangkat untuk berpikir otentik. Kita tidak memungkinkan asimilasi muncul dari pencarian, dari usaha untuk mencipta lagi dan menemukan kembali.

Dari pemaparan di atas seharusnya, pendidikan dapat menjadikan manusia sebagai subjek yang independen, mandiri, dan mampu menentukan pilihannya sendiri seiring dengan keotentikkan yang dimiliki manusia. Namun, proses itu semua dapat tercapai jika proses pendidikan tersebut mampu menciptakan suatu kondisi yang nyaman dan jauh dari penindasan, sehingga individu akan selalu merasa bahwa dirinya juga memiliki hak akan pendidikan tersebut, dan segala permasalahan yang dihadapi seputar individu dapat diselesaikan dengan pendidikan.

Urgensi Dialog Dalam Pendidikan

Kesadaran kritis sangat lekat dengan peran dialog dalam proses pendidikan yang merupakan suatu hubungan yang horizontal atara pribadi yang satu dengan pribadi. Dialog akan terjadi jika masing- masing individu berada dalam posisi yang sama dan tidak ada unsur dominasi di antara kedua belah pihak. Proses dialogis ini harus berdasar pada cinta, rendah hati, penuh harapan, kepercayaan, dan sikap kritis. Bila kedua kutub dilandaskan pada nilai-nilai tersebut, maka secara kritis mereka dapat melakukan pencarian bersama. Karena, hanya dialog yang memungkinkan komunikasi sejati. Dialog adalah satu-satunya cara, tidak hanya dalam masalah politik dan pendidikan, namun juga dalam setiap ungkapan eksistensi manusia.

Hanya dalam kepercayaan, dialog memiliki kekuatan dan makna: kepercayaan kepada manusia dan kemampuan- kemampuannya, keyakinan bahwa saya hanya dapat menjadi diri saya yang sejati bila orang lain juga menjadi sejati. Setiap orang yang memasuki dialog, melakukannya bersama-sama dengan orang lain untuk membicarakan sesuatu; dan sesuatu itu harus merupakan sesuatu hal yang baru dalam proses pendidikan.

Peran pendidik dalam metode dialogis dapat ditunjukkan dengan mencoba untuk memasuki dialog dengan peserta didiknya, mencoba sedikit demi sedikit mengenali situasi mereka yang konkret dan menyediakan perangkat

(10)

bagi mereka agar mereka dapat mengajar diri mereka sendiri. Pendidikan ini tentunya tidak dapat diajarkan dari “atas” ke “bawah” namun bukan dari “dalam” ke “luar”.

Dialog sebagai bagian fundamental dari struktur pengetahuan harus selalu terbuka bagi subjek-subjek lain dalam proses pengetahuan. Kelas yang merupakan unsur dalam penyelenggaraan pendidikan, seharusnya menjadi tempat pertemuan di mana pengetahuan dicari bersama, bukannya sekedar disebarluaskan. Maka, karena tugas pendidik tidak dapat dibagi menjadi dua pada saat yangberbeda. Pendidikan menjadi tindakan kognitif yang terus menerus. Para pendidik tidak boleh melembagakan keterangan-keterangan muluk, hapalan, mekanistis, karena jika seorang pendidik mengajukan pertanyaan, para pendidik haruslah menyusun kembali seluruh usaha kognitif sebelumnya. Yang berarti membuat suatu upaya baru, dalam sebuah situasi baru, di mana segi-segi baru yang sebelumnya kurang jelas dikemukakan secara lebih jelas. Pada dasarnya hakikat terpenting dari suatu dialog adalah sebuah “kata”, namun hanya dengan kata saja kita tidak dapat melakukan suatu dialog yang baik. Maka, kita juga memerlukan suatu unsur lain pembentuknya. Freire menegaskan bahwa di dalam kata sebenarnya terdapat dua komponen atau dimensi, refleksi dan tindakan, dalam suatu interaksi yang sangat mendasar sehingga bila salah satunya dikorbankan, meskipun hanya sebagian, seketika itu pula maka yang lain akan dirugikan. Tidak ada kata sejati yang pada saat bersamaan juga tidak merupakan sebuah praksis. Dan dengan itu, mengucapkan sebuah kata praksis adalah suatu kegiatan merubah

dunia.

Selain beberapa unsur di atas, ada beberapa hal yang harus mutlak ada dalam menjalin suatu dialog. Terutama dalam proses pendidikan antara guru dan murid, di antaranya:33

a.

Dialog tidak dapat berlangsung tanpa adanya Empati yang dilandasi rasa cinta. Cinta yang mendalam terhadap dunia dan terhadap sesama manusia. Cinta sekaligus menjadi dasar dari dialog serta dialog itu sendiri. Dan tentunya dialog yang dilandasai cinta tidak diwarnai dengan adanya sikap dominasi antara guru dan murid.

b.

Dialog tidak dapat terjadi tanpa adanya kerendahan hati. Jika dalam berkomunikasi salah satu pihak memiliki sifat sombong di antara yang lain (sombong dalam kepemilikan pengetahuan). Maka akan ada pihak yang selalu dirugikan atas kesombongannya itu.

c.

Dialog selanjutnya menuntut adanya keyakinan yang mendalam terhadap diri manusia (suatu hal yang apriori bagi dialog). Keyakinan pada kemampuan manusia untuk membuat dan membuat kembali, untuk mencipta dan mencipta kembali, keyakinan pada fitrahnya untuk menjadi manusia seutuhnya.

d.

Yang terakhir dan paling penting adalah, dialog sejati akan terwujud kecuali dengan melibatkan pemikiran kritis, pemikiran yang memperlihatkan hubungan yang tak terpisahkan antara manusia dan dunia tanpa melakukan dikotomi di antara keduanya. Pendidikan Sebagai Bentuk Problem Posing

Freire pada dasarnya ingin mengubah pendidikan gaya bank. Sebagai alternatifnya mencoba untuk menciptakan sistem baru yang ia namakan “problem posing education” atau yang diterjemahkan sebagai “pendidikan hadap masalah” yang memungkinkan adanya suatu konsientisasi. Dalam konsientisasi guru dan murid bersama-sama menjadi subjek36 dan disatukan oleh satu subjek yang sama. Tidak ada lagi yang memikirkan dan yang tinggal menelan, namun sudah seharusnya mereka berpikir bersama. Guru dan murid harus secara serempak menjadi murid dan guru. Dialog merupakan unsur yang sangat penting dalam proses pendidikan.

Dalam “pendidikan hadap masalah tersebut” guru belajar dari murid dan sebaliknya murid belajar dari guru. Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis para murid. Dengan demikian kedua belah pihak sama-sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis dirinya sendiri dan dunia tempat mereka berada. Mereka akan melihat bahwa dunia bukan merupakan realitas yang statis, melainkan suatu proses “menjadi”. Pendidikan hadap masalah akan senantiasa membuka rahasia realitas yang menantang manusia dan kemudian menuntut jawaban terhadap tantangan itu. Jawaban terhadap tantangan membawa manusia kepada dedikasi

(11)

yang utuh, sehingga pengetahuan dapat pula diartikan sebagai “keterlibatan”.

Jika pendidikan adalah hubungan antara subjek-subjek dalam proses pengetahuan dengan dijembatani oleh objek pengetahuan, di situ pendidik terus menerus menyusun kembali tindakan mengetahui, dan pendidikan haruslah upaya untuk mengetengahkan masalah. Tugas pendidik adalah mengetengahkan isi pelajaran sebagai problem yang dijembatani mereka, bukannya malah mengulasnya sendiri, memberikannya kepada terdidik, menyebarkan, atau menghadiahkannya seakan-akan isi pelajaran itu sesuatu yang siap, jadi lengkap dan selesai. Dalam mengetengahkan masalah kepada para terdidik, para pendidik juga sudah sepatutnya menghadapi masalah, problematisasi lebih merupakan proses dialektis sehingga orang tidak akan mungkin memulainya tanpat terlibat di dalanya.

Para pendidik yang terlibat dalam problematisasi memasuki kembali objek permasalahannya melalui masuknya terdidik ke dalam situasi problematik. Inilah sebabnya mengapa pendidik harus secara terus menerus belajar. Proses problematisasi pada dasarnya adalah refleksi seseorang atas isi problem yang muncul dari suatu tindakan, atau refleksi atas tindakan itu sendiri untuk dapat bertindak lebih baik lagi bersama-sama dengan orang lain dalam kerangka realitas. Jadi, pada dasarnya dapat dijelaskan bahwa pendidikan adalah “keberlangsungan" dalam ketegangan antara permanensi dan perubahan. Inilah sebabnya mengapa dapat dikatakan bahwa pendidikan hanyalah permanen dalam rangka keberlangsungan, pendidikan harus selalu diposisikan sebagai proses “menjadi” bukan sesuatu yang selesai. Berikut akan dipaparkan pertentangan antara konsep pendidikan gaya bank, dan pendidikan hadap-masalah:

Tabel 2.1

Perbandingan Pendidikan Gaya Bank dan Pendidikan Hadap Masalah

Pendidikan Gaya Bank Pendidikan Hadap Masalah

Berusaha memitoskan realitas, menyembunyikan fakta-fakta tertentu yang menjelaskan cara manusia mengada di dunia

Memilih sendiri tugas untuk menghapuskan mitos tersebut

Menolak dialog Dialog sebagai prasyarat

sebagai laku pemahaman untuk menguak realitas.

Memperlakukan murid sebagi objek yang harus ditolong

Murid diarahkan sebagai pemikir yang kritis

Menghalangi kreativitas dan menjinakkan intensionalitas kesadaran dengan cara mengisolasi kesadaran itu dari dunia

Mendasari atas kreativitas, sehingga mendorong refleksi dan tindakan yang benar atas realitas.

(12)

Membelenggu dan menekan tidak sadar akan historisitas manusia

Manusia menjadi makhluk yang berada dan selalu dalam pembelajaran

Berdasarkan pembedaan tersebut di atas, maka dapat kita anggap bahwa pendidikan hadap-masalah adalah sikap revolusioner terhadap masa depan. Pendidikan ini tidak dapat melayani kepentingan kaum penindas.

Peran Guru Sebagai Subjek Sentral Harus Dihindari

Tugas guru dalam sistem pendidikan tradisional “mengisi” para murid dengan segala bahan yang dituturkan, bahan yang lepas dari realitas, terpisah dari totalitas yang melahirkan dan dapat memberinya arti. Pendidikan ini juga disebut sebagai “pendidikan bercerita” dengan guru sebagai pencerita, dan mengarahkan murid untuk menghapal secara mekanis apa isi

pelajaran yang diceritakan. Di sini siswa menjadi manusia yang pasif, dan tidak kreatif. Dalam kegiatan semacam ini pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, di mana para murid dianalogikan sebagai celengan dan guru penabungnya. Dalam kondisi ini yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan yang diterima, dihapal, dan diulangi dengan patuh oleh para siswa. Di mana ruang gerak yang tersisa bagi murid terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Berikut dapat dipaparkan kegiatan pendidikan penindasan dan upaya perekostruksiannya dalam pandangan Freire:

Tabel 2.2

Perbandingan Pendidikan Penindasan dan Pembebasan No Pendidikan penindasan Pendidikan pembebasan 1 Guru mengajar, murid diajar Guru dan murid berperan ganda,

mengajar sekaligus diajar 2 Guru mengetahui segala

sesuatu, murid tidak tahu apa- apa

Guru bisa jadi tahu lebih awal, namun murid juga berhak mengetahui segala sesuatu kapan saja untuk menyamai pengetahuan yang dimiliki guru

3 Guru berpikir, murid dipikirkan

Guru dan murid sama-sama berpikir

4 Guru bercerita, murid patuh mendengarkan

Guru berdialog bersama murid untuk membahas suatu cerita

5 Guru memilih dan

memaksakan pilihannya, murid menyetujui

Murid berhak untuk tidak setuju (menyanggah) pilihan guru

(13)

6 Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya

Murid juga berhak berbuat seperti apa yang diperbuat gurunya.

7 Guru menentukan peraturan, Murid berhak untuk memberikan

murid diatur kritik terhadap peraturan

yang dibuat 8 Guru memilih bahan dan isi

pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya)

menyesuaikan diri dengan pelajaran itu

Murid selalu dimintai pendapat terhadap silabus yang akan diberikan

oleh guru padanya

9 Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang dia lakukan untuk

menghalangi kebebasan murid.

Guru bersikap sebagai teman

10 Guru adalah subjek dalam proses belajar, murid adalah objek belaka.

Guru-murid (subjek-subjek).

Oleh karena itu untuk mengatasi pendidikan penindasan tersebut, maka diperlukan “komunikasi” agar manusia dapat hidup lebih bermakna. Karena, pikiran guru hanya dapat murni melalui pikiran murid-muridnya. Guru tidak dapat berpikir untuk murid-muridnya, atau tidak dapat memaksakan pikirannya kepada mereka, karena setiap guru harus “berpikir murni”41. Freire mencoba untuk melepaskan pendidikan dari belenggu kekuasaan dan penindasan lewat kerangka “pembebasan”42. Pendidikan yang memperjuangkan pembebasan harus dihadapi pada suatu penghadapan terhadap masalah “problem posing” (hadap–masalah) yang menjawab hakikat kesadaran yakni intensionalitas.

Pemaparan di atas sangat jelas bahwa proses pendidikan tidak selayaknya merupakan hubungan yang vertikal (antara guru dan murid). Namun merupakan suatu hubungan yang horizontal dan “equal” (setara) antara guru dan murid sehingga mampu membangun komunikasi yang efektif. Peran guru di sini juga “menyerap” informasi yang ada bahkan dari muridnya sendiri. Karena, pendidik hadap masalah secara terus menerus memperbarui

refleksinya di dalam refleksi para murid. Peran seorang pendidik hadap-masalah adalah menciptakan, bersama dengan murid suatu suasana di mana pengetahuan pada tahap mantera (doxa) diganti dengan pengetahuan sejati pada tahapan ilmu (logos).

Dalam pelaksanaan pembelajaran peran guru setelah proses dialog dilaksanakan adalah sebagai evaluator untuk mengevaluasi hasil dari proses dialog. Selama ini peran guru disalah artikan sebagai inspektor dalam menginspeksi setiap hasil belajar. Karena jika inspeksi terjadi, maka pendidik hanya akan menjadi objek pengamatan pejabat dari pusat (penguasa). Jika yang diadakan adalah evaluasi, maka setiap orang adalah subjek yang bekerja sama dengan pejabat-pejabat berwenang dalam melakukan kritik dan menjaga jarak dengan kerja mereka. Dengan cara ini, maka evaluasi bukanlah tindakan di mana pendidik A mengevaluasi pendidik B. Karena evaluasi merupakan upaya yang dilakukan oleh pendidik A dan B secara bersama-sama terhadap pengalaman, perkembangan dan hambatan yang dihadapi seseorang yang menyebabkan

(14)

terjadinya kesalahan atau kegagalan. Dengan demikian, evaluasi bersifat dialektis.

Oleh karena itu, semakin birokratis para pengevaluasi, bukan hanya dari sudut pandang adminstrasi, namun juga dari kaca mata intelektual, maka yang akan dilakukan para pengevaluasi tersebut akan semakin sempit maknanya dan akan lebih mirip dengan inspektor. Peran guru adalah memaparkan masalah tentang situasi eksistensial yang telah dikodifiasi untuk membantu siswa agar memiliki pandangan yang lebih kritis terhadap realitas.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskripsi analisis. Deskripsi anlisis merupakan metode pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat, yang mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, tata cara yang berlaku dalam masyarakat, serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap, serta pandangan-pandangan. Metode deskriptif analisis bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat, serta hubungan antar fenomena atau pemikiran tokoh yang diselidiki (Nazir, 2003, hal. 54).

3. Penutup

Memperoleh pendidikan pada dasarnya merupakan suatu hak bagi tiap individu. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang ditakdirkan untuk memperoleh pendidikan. Perolehan pendidikan bukanlah merupakan ikatan terhadap manusia itu sendiri, namun justru untuk pembebasan manusia dari hakikatnya sebagai makhluk yang bebas dan berakal budi. Sebagai makhluk alamiah yang dilahirkan di dalam lingkungan alamiahnya. Manusia diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri posisinya di dalam lingkungan alamiahnya itu. Di sinilah terletak kebebasan dan keterikatan manusia di dalam proses pengembangan kemanusiaannya. Realisasi kemanusiaan manusia merupakan suatu proses pembebasan, dan inilah yang menjadi makna dasar dari pendidikan bagi manusia.

Manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan kemanusiaaannya. Maka manusia juga berhak mengenyam pendidikan dengan memposisikan dirinya sebagai subjek yang berhak untuk menentukan apa saja pengetahuan yang ingin ia peroleh. Pendidikan adalah suatu sarana untuk

mendewasakan manusia, maka sudah sepatutnya pendidikan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada individu untuk mengeksplor pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam proses pendidikan tanpa adanya proses intervensi dari pihak lain. Pendidikan pada hakikatnya tidak memiliki tujuan di dalam dirinya sendiri, juga tidak mempunyai tujuan yang ditentukan dari luar. Sebagai makhluk yang bebas, tujuan pendidikan ditentukan dan dipilih oleh manusia yang bebas namun terikat pada ikatan-ikatan kehidupan yang dipilihnya sendiri dari kehidupan manusiawi. Apabila pendidikan mempunyai makna pembebasan manusia dan mengembangkan kemampuan untuk memilih dan berdiri sendiri dari manusia. Maka, pengetahuan memiliki nilai pembebasan dan bukan mengkungkung horizon penglihatan manusia. Oleh sebab itu, pengetahuan bukanlah suatu yang absolut tetapi merupakan pengertian-pengertian yang tertunda maknanya. Pengetahuan tidak akan terlepas dari struktur kekuasaan yang memiliki pengetahuan itu. Pengetahuan yang dimiliki dalam perkembangan manusia merupakan suatu kebenaran yang terus menerus disempurnakan atau suatu kebenaran yang tertunda

Jika pendidikan telah masuk pada ranah institusi negara, maka tujuan pendidikan yang ditentukan oleh negara merupakan kesepakatan bersama yang patut harus dihormati. Karena, sebagai suatu kesepakatan, tujuan pendidikan bukanlah merupakan suatu dogma yang tidak berubah bahkan merupakan patokan yang terus bergerak ke depan untuk lebih

menyempurnakan upaya untuk

memerdekakan warganya. Berbagai Undang-Undang peraturan yang mengatur tentang pendidikan, tidak seharusnya diartikan sebagai pembatasan kebebasan manusia. Justru untuk memperkuat pembebasan manusia dari berbagai ikatan. Berbagai bentuk peraturan pendidikan tersebut merupakan tuntutan untuk mewujudkan kesepakatan bersama di dalam lingkungan publik namun membebaskan anggotanya di dalam perwujudan kemerdekaan pribadinya di dalam ruang lingkup kehidupan personal. Ruang-ruang publik akan berakhir ketika ruang lingkup personal memberikan kebebasan kepada anggotanya untuk mewujudkan kebebasan itu. Selanjutnya,

(15)

kebebasan personal yang akan merugikan kebebasan sesamanya akan berakhir jika anggotanya telah sepakat mewujudkan kesepakatan bersama di dalam ruang lingkup publik. Inilah ciri dari negara demokrasi yang berwajah kemanusiaan.

Hakikat pendidikan adalah proses memanusiakan anak manusia, yaitu menyadari akan manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud di dalam budayanya. Manusia dibesarkan di dalam habitusnya yang membudaya, dia hidup di dalam budayanya dan dia menciptakan atau merekonstruksikan budayanya itu sendiri. Karena manusia dilahirbesarkan dalam suatu habitus kebudayaan dalam masyarakat sosial. Maka masyarakat sosial berdasarkan tradisi memiliki mekanisme di dalam mendidik calon anggotanya. Sebagai calon anggota dari masyarakat sosial, masyarakat berkewajiban untuk memberikan pendidikan yang terbaik kepada individu. Namun, individu juga memiliki hak untuk menafsirkan atau memanfaatkan tradisi yang telah turun temurun. Individu tetap memiliki kebebasan dan kemerdekaan dan daya kreatif untuk mengembangkan budayanya sendiri, oleh sebab itu pendidikan memberikan tempat kepada kreativitas individu.

Ketika Freire memfungsikan pendidikan sebagai alat perjuangan politik dengan tujuan agar individu memiliki hak dan tindakan politik. Maka pendidikan di arahkan pada suatu aksi kultural untuk dapat memecahkan berbagai macam problem sosial dalam masyarakat. Sedang, dalam Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan hanya terpaku pada ranah pendidikan formal (sekolah) di mana pendidikan difungsikan sebagai sarana pencerdasan dan pematangan individu dalam segi intelektual, tanpa adanya suatu proses pendewasaan diri dan pematangan individu secara sosial. Baru setelah penetapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di tahun 2006 arah pendidikan nasional lebih menekankan pada upaya pengintegrasian intelektual dan sosial kemasyarakatan dengan pendekatan pendidikan yang memperhatikan lokalitas.

Guru sebagai tenaga pendidik tidak sepatutnya merampas kemerdekaan anak didiknya. Ia harus membuka ruang-ruang terbuka untuk berkembangnya kemerdekaan peserta didik. Seorang guru harus bersikap objektif dalam membantu memerdekakan

peserta didiknya. Seorang tenaga pendidik bukanlah satu-satunya nara sumber dalam perolehan informasi. Proses pendidikan seharusnya berlangsung dua arah dengan sama-sama menempatkan siswa dan guru dalam posisi yang sama yaitu sebagai subjek. Guru dituntut untuk mampu bersikap dialogis terhadap murid agar dalam proses pendidikan tidak boleh ada dominasi antara guru dan murid.

Proses belajar mengajarpun bukanlah suatu ajang mengkungkung kemerdekaan siswa tetapi sebaliknya memberikan kesempatan yang seluas- luasnya bagi kreativitas serta menemukan sendiri berdasarkan kemampuan memilih dari peserta didik. Proses belajar mengajar berupa indoktrinasi, menghapal dari buku, yang menekankan pada mengikuti sistem gaya bank sangat bertentangan dengan kemerdekaan berpikir peserta didik. Oleh sebab itu, dalam Sistem Pendidikan Nasional diharapkan mampu mengadaptasi konsep pendidikan kesadaran kritis Freire, agar siswa mampu berpikir kritis dan tidak mudah menerima informasi begitu saja yang ia dapatkan dari guru. Dengan sikap yang kritis maka diharapkan akan muncul kreatifitas-kreatifitas siswa dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sehingga, kelak ilmu pengetahuan tidak hanya jalan di tempat, namun juga dapat berkembang seiring perkembangan zaman.

Berbicara mengenai pendidikan formal, maka tidak akan terlepas dari pembuatan dan pelaksanaan kurikulum sebagai acuan dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Kurikulum merupakan keseluruhan pengalaman yang akan dihayati oleh peserta didik di dalam lingkungan pendidikan. Di dalam pendidikan formal kurikulum merupakan keseluruhan pengalaman, ilmu pengetahuan yang akan dihayati oleh peserta didik. Namun bukan berarti seluruh pengalaman manusia ditumpahkan di dalam kurikulum sekolah. Sekolah bukanlah replika dari kehidupan nyata, namun merupakan abstraksi dari perjalanan kehidupan manusia. Adalah tidak mungkin merumuskan semua pengalaman manusia baik yang telah lalu maupun yang akan datang di dalam kurikulum pendidikan formal. Karena itu dalam pendidikan formal (sekolah) tidak mungkin diajarkan berbagai kompetensi yang akan digunakan oleh peserta didik di dalam menghadapi kehidupan. Kehidupan itu sendiri adalah kehidupan yang terbuka, oleh sebab

(16)

itu kompetensi hari ini mungkin usang untuk hari esok. Yang seharusnya diajarkan adalah pengenalan dan penguasaan terhadap berbagai dasar keterampilan hidup yang telah terakumulasi di dalam kebudayaan manusia dan yang diperkirakan akan bermafaat untuk masa depan yang belum tentu.

Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung semenjak pasca kemerdekaan telah banyak merubah sub sistem pendidikan nasional (kurikulum) ke arah yang jauh lebih baik. Ketika dahulu kurikulum lebih menekankan pada pengembangan aspek intelektual, kini kurikulum nasional mencoba untuk mengintegrasikan muatan-muatan lokal sebagai bahan kajiannya. Hal ini tentunya dilakukan karena lingkungan sosial merupakan lingkungan awal pembentuk jati diri individu. Sehingga, diharapkan sekolah (pendidikan formal) mampu memberikan solusi terhadap berbagai macam problematika-problematika sosial. Jika hal ini terus dikembangkan maka siswa akan menjadi subjek penting dalam proses pendidikan dan pendewasaan lingkungan sosial.

Dan terakhir, dari serangkaian pemaparan tentang posisi siswa sebagai subjek di atas. Maka, model pendidikan yang terbaik diterapkan dalam sistem pendidikan nasional adalah model pendidikan yang desentralistik dan memperhatikan lokalitas, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku dan etnik. Karena keberagaman inilah, maka tidak diperlukan suatu standar dalam pencapaian hasil pendidikan, mengingat sarana dan prasarana penunjang di masing-masing daerah tidaklah sama, begitu juga dengan tenaga pendidik yang tidak sama kualitasnya antara satu daerah dengan daerah lain. Undang-undang tentang pendidikanpun sudah seharusnya direvisi agar secara tegas dan tertulis menempatkan siswa sebagai subjek dalam proses pendidikan yang memiliki hak untuk menentukan pilihannya sendiri. Saran

Berdasarkan simpulan yang telah dipaparkan di atas, maka saran yang ingin diajukan adalah penataan ulang konsep pendidikan nasional yang berorientasi pada kepentingan siswa sebagai subjek dalam pendidikan. Penataan ulang konsep pendidikan akan bersinggungan erat dengan penegakan peraturan legal dalam bidang pendidikan.

Perjalanan kebijakan pendidikan di Indonesia mulai dari awal masa kemerdekaan hingga sekarang cenderung belum menempatkan siswa sebagai subjek dan memberikan hak seutuhnya kepada siswa untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya dalam perolehan pengetahuan. Belum ada peraturan yang secara eksplisit mengatur peran dan fungsi siswa sebagai subjek dan sekaligus pihak yang berhak ambil bagian dalam menentukan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu, sangat disarankan kepada pemerintah sebagai pemangku kebijakan untuk dapat meninjau ulang berbagai peraturan pemerintah tentang pendidikan agar lebih memihak kepada siswa. Tidak hanya faktor belum maksimalnya penetapan konsep pendidikan yang memihak kepada siswa secara eksplisit. Beberapa peraturan tentang pendidikan memang secara implisit menyebutkan posisi siswa sebagai subjek dan memiliki hak pula dalam perolehan informasi antara murid yang satu dengan yang lain. Namun, karena tidak gamblangnya peraturan ini berdampak pada belum maksimalnya pelaksaanaan peraturan tersebut. Dalam berbagai contoh masih banyak tenaga pendidik yang menganggap dirinya sebagai sosok sentral dalam proses pendidikan. Padahal, seharusnya guru sebagai tenaga pendidik berperan sebagai fasilitator yang membantu peserta didik dalam perolehan pengetahuan, dan tidak boleh mendominasi jalannya proses pendidikan. Siswa seharusnya juga diberikan kesempatan untuk mengembangkan diri untuk mencari tahu sendiri pengetahuan yang ingin mereka peroleh. Guru tidak seharusnya menjejalkan seluruh pengetauan kepada muridnya, dan membiarkan murid pasif dengan hanya menerima begitu saja pengetahuan yang diberikan kepada gurunya.

Oleh karena itu, perlu adanya peraturan khusus yang mengatur tentang hubungan dan posisi antara guru dan murid. Sehingga, kelak tidak aka nada lagi dominasi dalam proses pendidikan. Guru sebagai tenaga pendidik seharusnya sadar bahwa dalam proses perolehan pengetahuan, posisi di antara kedua belah pihak (guru-murid) harus setara agar kedua belah pihak dapat saling mengisi terhadap kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jika hal tersebut dapat terpenuhi, maka impilaksinya adalah transfer pengetahuan yang terbuka dua arah dan saling melengkapi. Proses pendidikan seperti inilah yang diharapkan oleh Freire dengan

(17)

pendidikan dialogisnya dan juga diharapkan mampu diterapkan dalam system pendidikan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan pelatihan serta training-treaining pada tenaga pendidik, agar bisa berperan sebagai fasilitator yang dialogis yang dapat menciptakan model-model pembelajaran yang dialogis dan berjalan dua arah.

Belajar dari Freire bahwa pendidikan seharusnya mampu menjadi dasar dalam kehidupan sosial dan politik. Maka sangat disarankan kepada pemerintah dan satuan terkecil pendidikan (sekolah) untuk mampu mengintegrasikan nilai- nilai yang ada dalam masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Hal ini bertujuan agar sekolah tidak hanya menjadi tempat pengembangan intelektual, namun juga sebagai tempat yang mampu menjaga nilai-nilai sosial yang telah lama terbentuk dalam masyarakat agar kelak siswa juga mampu berkontribusi aktif dalam memecahkan berbagai problematika yang ada di lingkungan sosialnya.

KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang ditetapkan semenjak tahun 2006 dirasa membawa angin segar dalam perbaikan pendidikan Indonesia yang lebih memperhatikan siswa sebagai subjek dalam pendidikan yang juga memiliki hak dalam menentukan kurikulum yang akan diberikan. Selain itu, pemberlakukan kurikulum ini juga memberikan ruang yang luas bagi pemberdayaan lokalitas di lingkungan sekitar sekolah tersebut berada. Sehingga, secara langsung siswa sebagai personal di dalam masyarakat sosial dapat langsung berpartisipasi dalam pengembangan lokalitas setempat. Pemberlakukan kurikulum ini dirasa merupakan langkah awal perbaikan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan ke depannya pemerintah dapat terus mengkaji dan merevisi kurikulum ini menjadi lebih baik agar tetap memfokuskan target pada pengembalian hak siswa dalam pendidikan, dan upaya kontribusi pendidikan pada ranah sosial.

Referensi

Bertens. K, 1999, Sejarah Filsafat Yunani, Jogjakarta: Kanisius.

Departemen Pendidikan Nasional, 2007, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Djohar, 2003, Pembangunan Pendidikan Berwawasan Kemanusiaan dalam Masa Depan Kemanusiaan, Said Tuhuleley (ed), dkk, Yogyakarta: LP3 Unmuh Yogyakarta & Jendela.

Freire, Paulo, 2008, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: P3ES.

---, 1999, Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, jogjakarta : pustaka pelajar.

---, 1999, Pedagogy of Hope: Reliving Pedagogy of the Opressed, New York: The Continuum Publishing Company

---, 1984, Pendidikan Sebagai Praktik Pembebasan, Jakarta: Gramedia.

---, 1968, Pedagogy of the Opressed, New York: The Seabury Press.

Hamalik, Oemar, 1999, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara.

Haryatmoko, 2008, Menuju Orientasi Pendidikan Humanis dan Kritis, dalam buku Menemukan Kembali Kebangsaan dan Kebangsaan, Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika.

Kartono, Kartini, 1997, Tujuan Pendidikan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Ma’arif, Syamsul, 2007, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Graha Ilu. Naim, Ngainum, dkk, 2008, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Ar-Ruzz. Neill, 1968, Summerhill, Harmondsworth: Penguin Books.

North Whitehead, Alfred, 1967, The Aims Education and Other Essays, New York. Nugroho, Rianti, 2008, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi, dan Strategi, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Rachman Assegaf, Abdul, 2008, Pendidikan Transformatif: Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Globalisasi, Yogyakarta: Teras.

(18)

Sastrapratedja, 2003, Pembangunan Pendidikan Berwawasan Kemanusiaan: Dalam Masa Depan Kemanusiaan, Said Tuhuleley, dkk. (Ed), Yogyakarta: Jendela.

Setiawan, Benni, 2008, Agenda Pendidikan Nasional, Jogjakarta: Ar-ruzz

Standar Nasional Pendidikan, 2005, Jakarta: cemerlang.

Suhartono, Suparlan, 2006, Filsafat Pendidikan, Jogjakarta: Ar Ruz Media. Suparno, Paul, 1997, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, Yogyakarta:

Kanisius.

Tilaar. H.A.R, 2005, Manifesto Pendidikan Nasional, Jakarta: Kompas.

Waidl, 2000, Pendidikan yang Memahami Manusia, dalam A. Atmadi dan Y. Setyaningsih (ed.), Transformasi Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius. Yamin, Mohammad, 2009, Menggugat Pendidikan Indonesia, Jogjakarta: Ar Ruz.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian tahun 2012 diketahui bahwa pengawasan keuangan yang dilakukan dewan perwakilan rakyat daerah kota Medan masih ada yang belum sesuai dengan

Hal tersebut dikarenakan pada pupuk takaran 20 ton/ha merupakan takaran yang paling tinggi, yang berarti bahwa pemberian takaran Azolla, fosfat alam dan abu sekam lebih

Hasil dan pembahasan bahwa faktor‐faktor yang menghambat pertumbuhan UKM di Kota  Madiun  adalah  a)  kesulitan  memenuhi  kebutuhan  tenaga  kerja  yang  terampil 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Faktor produksi lahan, bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja di daerah penelitian mempengaruhi produksi usahatani stroberi

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara partial kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, perilaku belajar, latar belakang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase tepung ikan teri pada bubur instan, untuk mengetahui pengaruh suhu pengeringan pada bubur instan dan

perbedaan hasil yang nyata terhadap luas daun dan indeks luas daun pada tanaman yang dipupuk urea 300 kg ha -1 dengan tanaman yang dipupuk urea 150 kg ha