• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN TRANSPORTASI DARAT DI SUKABUMI Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Perkembangan Kota Tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEMBANGAN TRANSPORTASI DARAT DI SUKABUMI Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Perkembangan Kota Tahun"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERKEMBANGAN TRANSPORTASI DARAT DI SUKABUMI

Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Perkembangan

Kota Tahun 1881-1942

ABSTRAK

Skripsi1 ini berjudul “Perkembangan Transportasi Darat di Sukabumi, pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Perkembangan Kota 1881-1942”. Skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan transportasi darat di Sukabumi pada tahun 1881-1942, pengaruhnya terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan terbentuknya Sukabumi menjadi sebuah kota.

Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Keempatnya merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan transportasi darat di Sukabumi dilatarbelakangi dari adanya kepentingan ekonomi, yaitu meningkatnya sektor-sektor perkebunan kopi pemerintah pada tahun 1870. Pada waktu bersamaan, terdapat juga para pengusaha swasta yang membuka lahan perkebunan teh. Setelah banyak berdirinya perkebunan di Sukabumi, mereka menuntut adanya sarana transportasi yang baik, maka pada tahun 1881 dibangunlah jaringan transportasi kereta api. Keberadaan sarana transportasi ini sangat dirasakan manfaatnya untuk akses setiap orang terutama masyarakat pribumi, antara lain mendukung laju pergerakan manusia, percepatan ekonomi dan perkembangan kota.

1

Sutiawan Herwana Mahasiswa Strata Satu Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Univ. Padjadjaran, Kajian Sejarah.

(2)

2

ABSTRACT

This thesis is entitled the development of land transporationt and its impact on socioeconomic life and impact on the town development in Sukabumi from 188 to 1942. The purpose of this thesis is to find the development of land transportation in Sukabumi from 1881 to 1942 and how it made impact to the socioeconomic life of the people and to the growth of Sukabumi as a town.

The method employed in this thesis research is historical method, which comprises four steps: heuristics, criticism, interpretation, and historiography. The four elements are a unity that cannot be separated.

The results shows that the construction of land transportation in Sukabumi is forced economic interest,which is the growth of government coffee in 1870 and, at the same time, private individuals ware also setting up tea plantations. After setting up numerous plantations in Sukabumi, they demanded reliable transportation facilities. So in 1881 railroad network was established. The transportation facility brought considerable advantage to public accessibility, especially to the local inhabitants, such is in increasing human mobility, economic acceleration, and town development. Kata kunci: Transportasi Sukabumi

Pendahuluan

Transportasi merupakan sarana yang sangat berperan dalam kehidupan manusia, baik untuk keberlangsungan interaksi antara manusia, maupun sebagai alat untuk memudahkan manusia dalam memindahkan barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Aktivitas kehidupan sosial merupakan ciri keberadaan manusia sebagai masyarakat yang berkelompok, adanya kegiatan masyarakat tersebut memerlukan alat atau sarana penunjang yang memadai. Sarana penunjang tersebut antara lain layanan transportasi atau jaringan transportasi. Oleh sebab itu, transportasi tidak dapat

(3)

3

dipisahkan dalam kehidupan manusia karena keberadaan transportasi mendukung kelangsungan ekonomi, sosial budaya, politik, dan pertahanan keamanan.

Moda2 transportasi darat merupakan bentuk-bentuk transportasi yang pada dasarnya berfungsi sebagai penunjang mobilitas penduduk jalur darat. Perkembangan transportasi tersebut berjalan seiring dengan pola pikir manusia dalam bidang teknologi. Pada mulanya, transportasi hanya menggunakan tenaga manusia dan selanjutnya dipermudah dengan memanfaatkan tenaga hewan. Pada tahap ini muncul penggunaan gerobak, pedati, dan cikar sebagai sarana pengangkut manusia atau barang dengan tenaga hewan sebagai pendereknya. Alat transportasi mengalami perkembangan setelah ditemukannya tenaga mesin sebagai alat transportasi yang lebih baik. Di Pulau Jawa perkembangan alat transportasi darat dengan menggunakan tenaga mekanik tidak lepas dari peran Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah pada waktu itu berupaya memajukan sarana transportasi yang lebih baik guna memudahkan pengangkutan hasil produksi perkebunan dari daerah-daerah di Jawa. Khusus di Priangan yang pada saat itu merupakan salah satu wilayah unggulan karena hasil perkebunannya selalu menguntungkan, Pemerintah Hindia Belanda menyediakan layanan transportasi bagi kelangsungan pengusaha-pengusaha swasta.

Meningkatnya investasi asing dalam bidang perkebunan teh, kopi, tembakau, tebu, kina, dan lain-lain telah mendorong Pemerintah Hindia Belanda menyediakan layanan transportasi yang lebih memadai. Perkembangan transportasi kereta api di Pulau Jawa semakin pesat seiring dengan pembukaan-pembukaan lahan perkebunan baru, terutama di daerah kabupaten. Sebagai contoh, kabupaten-kabupaten yang ada di Keresidenan Priangan menjadi salah satu wilayah berdirinya perkebunan-perkebunan

2

Moda adalah pengelompokan berbagai jenis transportasi dengan memperhatikan medium tempat berjalan/gerak) serta kesamaan sifat-sifat fisiknya. Secara garis besar jika dibedakan mediumnya akan diperoleh moda darat, air, udara. Penelitian ini akan mengkhususkan pada pembahasan perkembangan moda darat. Lebih jauh moda darat dapat dikelompokkan menjadi moda jalan raya dan moda rel. (Warpani,1990: 30-4)

(4)

4

swasta di Hindia Belanda. Salah satu kabupaten di Priangan yang wilayahnya banyak dijadikan tempat berdirinya perkebunan-perkebunan swasta adalah Kabupaten Cianjur. Perekebunan-perkebunan di Kabupaten Cianjur tersebar di dua afdeling, yaitu Afdeling Cianjur dan Afdeling Sukabumi (Dienaputra, 2004: 92).

Di Afdeling Sukabumi pada akhir abad ke-19 telah dibangun jalur transportasi kereta api. Pembangunan rel kereta api dilakukan secara bertahap, meneruskan jalur yang sebelumnya telah ada yaitu dari Batavia ke Buitenzorg. Tahap awal pembangunan kereta api di Sukabumi sepanjang 27 kilometer menghubungkan Buitenzorg dengan Distrik Cicurug. Tahap pembangunan selanjutnya menghubungkan jalur Cicurug dengan Sukabumi melalui Distrik Ciheulang sepanjang 30 kilometer, dan Pembangunan terakhir menghubungkan Sukabumi dengan Cianjur dengan panjang 39 kilometer (Hardjasaputra, 2002: 207).

Keberadaan transportasi kereta api diperlukan untuk mendukung perkembangan perkebunan-perkebunan teh swasta di Afdeling Sukabumi, terutama sebagai alat angkut hasil produksi. Dalam perkembangannya alat tranportasi ini telah mendorong terjadinya heterogenitas penduduk di Afdeling Sukabumi, karena mobilitas penduduk dari dan ke wilayah semakin mudah (Dienaputra, 2004: 94).

Pembahasan

Pada tahun 1871, Gubernur Hindia Belanda menyusun rancangan undang-undang mengenai pembangunan jalan kereta api di Jawa. Rancangan tersebut berisi mengenai pembangunan empat lintasan jalur kerta api: lintasan yang pertama dan kedua menghubungkan jalur yang sebelumnya telah dibuat oleh NISIM yakni Semarang – Surakarta – Yogyakarta. Lintasan ketiga menghubungkan Pasuruan Jawa Timur dengan Cilacap Jawa Tengah, melalui daerah penghasil gula dan kelapa, sepanjang jalur Selatan Jawa. Lintasan keempat akan membangun di daerah Depok dan Jawa Barat (Bogor-Sukabumi-Cicalengka). Usulan itu kembali mendapat hambatan dari pihak Kerajaan Belanda karena hambatan biaya dan medan yang

(5)

5

sangat berat. Namun pada tangal 6 April 1875, undang-undang pembangunan rel kerta api seperti yang diusulkan di atas akhirnya disetujui. Sementara undang-undang pembangunan kereta api jalur Bogor-Sukabumi-Cianjur baru disetujui tanggal 6 Juni 1878 (Subarkah, 1992: 22). Pembangunan tersebut dilakukan oleh pemerintah karena NISIM atau pihak swasta mundur dari proyek tersebut. Perusahaan kereta api milik Belanda ini bernama Staatsspoorwegen, yang kemudian disingkat SS (Sutarma, 1988: 26-27).

Rencana pembangunan kereta api di daerah Sukabumi dikemukakan oleh dua orang pejabat Belanda, yakni Maarschalk dan Mijners. Mereka menyarankan agar membangun jalur kereta api yang menghubungkan Bogor dengan Bandung melalui jalur Sukabumi. Selanjutnya, dari Bandung jalur kereta api akan dilanjutkan ke sepanjang daerah Jawa bagian Selatan yang menghubungkan Cilacap dan Yogyakarta. Biaya yang dibutuhkan sekitar f 114.000,00 untuk setiap kilometernya, jadi bila dihitung secara keseluruhan menghabiskan biaya sekitar f 20.862.000,00 untuk 163 kilometer (Spoorweg -aanleg op Jaa. v Het Wetsonderwerp tot Bektachtiggi n van Vier Overeenkomstentussen den Staat en de Nederl. Indische Spoorweg-Maatachapij dalam Susatyo, 2008: 28).

Keberadaan transportasi kereta api di Sukabumi juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteran rakyat. Sukabumi yang memiliki potensi tanah yang subur, tidak ada alasan bagi rakyatnya untuk tidak mengembangkan usahnya baik dalam bidang pertanian, perkebunan, dan pertambangan yang diperkirakan oleh ahli geologi terdapat beberapa titik atau lokasi di Sukabumi yang memiliki potensi dalam hasil pertambangan. Dengan adanya jaringan transportasi yang baik diharapkan mereka dapat memaksimalkan dengan baik, terutama untuk pengangkutan hasil produksi. Pemasaran hasil bumi waktu itu tidak hanya di dalam lingkup wilayah Sukabumi saja, melainkan sudah terjadi perdagangan antar kota seperti Jakarta, Bogor, Cianjur, dan Bandung.

(6)

6

Pembangunan perkeretaapian di Sukabumi dikerjakan oleh Perusahan Pemerintah (SS). Pelaksanaan pembanguan ini dikerjakan dengan sangat teliti. Mereka tidak mau ambil risiko seperti yang pernah dirasakan NISIM sebelumnya. Pada tahapan pembangunan kereta api jalur Sukabumi, daerah Bogor menjadi pusat bahan-bahan bangunan kereta api, semua keperluan perlengkapan dihimpun dan disimpan di Bogor. Waktu itu ditunjuk sebagai inspektur adalah jenderal David Maarschalk, ia berkedudukan di Bogor sebagai penanggung jawab pembangunan kereta api di jalur Sukabumi. Pembangunan lajur kereta api di Sukabumi terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama pada tanggal 5 Oktober 1881 dari Bogor-Cicurug sepanjang 27 kilometer, tahap kedua 21 Maret 1882, meneruskan dari Cicurug-Sukabumi sepanjang 31, kilometer dan tahap ketiga pada tanggal 10 Mei 1883 dari Sukabumi-Cianjur sepanjang 39 kilometer (Santoso, 1988: 29 dan Supratman, 2008: 34-35).

Pembangunan kereta api jalur Sukabumi membutuhkan banyak sekali tenaga kerja. Biasanya pemerintah atau SS menempatkan insinyur yang ahli di bidang perkeretaapian. Adapun tenaga kerja tersebut terdiri dari pelaksana, mandor, pengawas dan kuli. Untuk pekerja pelaksana, mandor, dan pengawas mereka adalah orang-orang Eropa yang paham betul tentang teknologi kereta api. Untuk kuli atau pekerja kasar dikerjakan oleh orang Cina dan Pribumi. Terdapat tiga golongan pada pekerja kuli, yaitu kuli wajib, kuli bebas dan kuli musiman. Kuli wajib biasanya dilakukan oleh orang pribumi, meski ada sebagian yang jadi kuli bebas atau kuli musiman. Sementara yang memegang kuli bebas atau kuli musiman pada umumnya dipegang oleh orang Cina. Seperti telah disebutkan di atas bahwa terdapat orang-orang Cina yang bekerja sebagai pemborong membuat rumah, maka pada saat di Sukabumi dibangun jalan rel, banyak pemborong Cina ini yang menawarkan jasanya kepada pengawas pembangunan kereta api. Alasan utama diadakannya kuli wajib dalam pembangunan di wilayah ini karena daerah ini merupakan daerah yang cukup sulit, banyak melintasi bukit sehingga medan berkelok-kelok, serta pembangunan

(7)

7

terowongan dan jembatan sering kali memakan korban. Kuli bebas mereka yang sebelum bekerja melakukan perjanjian terlebih dahulu. Biasanya mereka bekerja sistem borong. Kuli musiman biasanya diperuntukkan bagi mereka yang mengusai keahlian tertentu yang dipekerjakan pada waktu-waktu tertentu saja. Istilah yang digunakan untuk para pekerja pemborong yaitu Anemer3. Mereka ini kebanyakkan orang-orang Cina yang sengaja datang ke kota-kota kabupaten untuk memborong pekerjaan pembangunan kereta api. Bagi orang Cina ini, pembangunan rel kereta api merupakan sebuah keuntungan ekonomi. Pemborong Cina biasanya memborong meratakan tanah untuk fondasi rel kereta api. Pekerjaan ini merupakan pekerjaan bagian bawah. Pekerjaan pembangunan kereta api di Sukabumi membutuhkan banyak orang, hal itu karena mandor menuntut agar pembangunan tersebut dapat selesai dengan cepat. Medan yang berat berpengaruh terhadap pengeluaran upah para pekerja atau kuli, ini biasanya untuk kuli bebas atau kontrak, karena ketika mengerjakan medan yang berat dibutuhkan tenaga kuli yang banyak. Meski mereka kebanyakan sebagai kuli kontrak yang dibayar sebelum bekerja, tetapi untuk hari-hari berikutnya mereka tetap menjadi kuli bebas yang digaji harian. Upah yang diterima kuli pada pembangunan jalan kereta api berkisar antara f 1,50 sampai f 2,00 per hari, untuk upah tukang berkisar antara f 0,25-f 1,00 per hari, dan upah kuli (pekerja kasar) berkisar f 0,20-f 0,30 per hari(Mulyana, 2005: 151).

Pembangunan jalur kereta api di Sukabumi yang menghubungkan Buitenzorg-Sukabumi-Cianjur selesai pada tahun 1883. Pada tahun 1884, kereta ini mulai dioperasikan dengan menggunakan lokomotif Seri B 50 pabrikan Manchester tahun 1880-1881. Kecepatan maksimal lokomotif tersebut 60 kilometer per jam, 330 PK dan

3

Anemer adalah istilah untuk menyebut pada pekerjaan sebagai pemborong. Pembangunan jalan kereta api di Priangan mengakibatkan jumlah kedatangan orang Cina semakin bertambah. Mereka berdatangan terutama di kota-kota kabupaten, seperti di Bandung, Cianjur, dan Sukabumi. Kepentingan kedatangan mereka lebih banyak berhubungan dengan perdagangan. Bagi orang Cina, pembangunan jalan kereta api lebih banyak berhubungan dengan kegiatan ekonomi mereka (Mulyana, 2005: 113).

(8)

8

tekanan gandar 7,50 ton. Lebar rel menggunakan jarak normal (normal-spoor) yaitu 1,067 meter. Pada jalur kereta api di Sukabumi terdapat satu stasiun, yaitu Stasiun Sukabumi dan lima halte, yaitu Halte Cicurug, Halte Parung Kuda, Halte Cibadak, Halte Karang Tengah, dan Halte Cisaat. Dibukanya jalur kereta api ini telah mempercepat angkutan manusia serta hasil perkebunan yang dibawa ke Pelabuhan Tanjung Priuk serta memperlancar akses Jakarta-Bandung (Santoso, 1988: 17).

Selain para pengusaha perkebunan dan orang Eropa, masyarakat pribumi pun menyambut gembira kehadiran sarana transportasi kereta api. Masyarakat tertarik untuk menggunkan kereta api karena beberapa faktor. Pertama, kereta api adalah sarana transportasi baru dan modern, sehingga banyak orang yang ingin mencobanya. Kedua, harga karcis terjangkau untuk semua lapisan masyarakat. Ketiga, kenyamanan dan keamanan dalam perjalanan, maka banyak orang asing yang memanfaatkan transportasi kereta api sekaligus berwisata panorama alam. Keempat, daerah tutujan dapat dicapai dalam waktu singkat (Hardjasaputra, 2002: 213).

Tabel 3.2

Tarif Karcis Kereta Api Tahun 1890-an (dalam hitungan gulden)

Dari Bandung ke

Jarak (km) Kereta Kelas Bagasi

Kelas I Kelas II Kelas III

Jakarta 210 11,00 7,50 3,17 0,53 Bogor 155 9,00 5,50 2,34 0,46 Sukabumi 98 6,00 4,00 1,47 0,29 Cianjur 59 3,50 2,50 0,90 0,18 Cicalengka 27 1,75 1,00 0,42 0,08 Tasikmalaya 115 7,00 4,50 1,73 0,35 Ciamis 134 8,00 5,00 2,01 0,40 Garut 78 4,50 3,00 1,17 0,28 Cilacap 258 13,00 8,50 3,78 0,58 Yogyakarta 388 19,00 12,50 4,44 0,78 (Hardjasaputra, 2002: 217).

(9)

9

Keberadaan transportasi kereta api bukan hanya memperlancar pengangkutan hasil perkebunan, tetapi berpengaruh terhadap kehidupan kota atau daerah yang dilaluinya. Sarana transportasi modern itu merupakan faktor penting pendorong perkembangan fisik kota maupun sosial ekonomi. Sejak beroperasinya transportasi kereta api tersebut, perkembangan kota Sukabumi jauh lebih cepat dari pada periode sebelumnya (Hardjasaputra, 2002: 209).

Keberadaan transportasi kereta api berkaitan erat dengan terjadinya peningkatan jumlah penduduk dan percepatan perputaran ekonomi. Alasan itu merupakan faktor utama dibentuknya Sukabumi menjadi sebuah kota. Kepadatan penduduk di wilayah Sukabumi, selain masyarakat lokal juga banyak terdapat orang-orang Eropa yang tinggal menetap, hal itu juga dijadikan salah satu alasan oleh pemerintah untuk menaikan statusnya menjadi kabupaten yang berdiri sendiri. Adapun faktor perekonomian berhubungan erat dengan berkembangnya perkebunan. Hal itu mendorong terjadinya pembangunan kota secara fisik, baik dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Pembangunan tersebut diharapkan dapat mendukung jalannya pemerintahan serta mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Banyak terbukanya lapangan pekerjaan serta mudahnya transportasi untuk mencapai daerah ini mengakibatkan Sukabumi mengalami penambahan jumlah penduduk yang cukup pesat. Peningkatan jumlah penduduk berkaitan erat dengan beberapa faktor. Pertama, adanya politik kolonial tentang sistem sewa tanah yang menyebabkan makin banyaknya perkebunan-perkebunan swasta. Kedua, masuknya sistem ekonomi uang telah menimbulkan lapangan pekerjaan semakin besar, uang menjadi hal utama yang berharga sebagai alat pembayaran atau penimbunan kekayaan, maka pada saat itu pekerjaan menjadi buruh perkebunan menjadi idaman setiap orang. Ketiga, adanya transportasi kereta api telah mendorong sejumlah penduduk untuk melakukan mobilitas sosial dengan sangat mudah terutama aktivitas komersial (Marliana, 2008: 64-65).

(10)

10 Tabel 4.1

Jumlah Penduduk Tiap Distrik di Kabupaten Sukabumi Tahun 1930

No Distrik Pribumi Eropa Cina Timur Asing Lainnya Jumlah 1 Jampang Kulon 83.698 58 329 1 84.085 2 Jampang Tengah 110.452 185 681 - 111.318 3 Palabuhan 71.435 177 453 - 72.318 4 Cicurug 92.114 205 915 34 93.268 5 Cibadak 106.449 284 1.364 92 108.189 6 Sukabumi 183.849 2.506 5.638 231 192.224 7 Jumlah 647.997 3.415 9.380 358 661.150

Sumber: (Lekkerker dalam Supratman, 2008: 79-80).

Keberadaan alat transportasi kereta api lebih menonjol pengaruhnya bila dibanding dengan alat transportasi lain. Dari awal pembangunan transportasi kereta api antara 1881-1883, telah membuka pekerjaan baru bagi penduduk, serta memberi pengetahuan baru dalam hal teknologi kereta api. Aktivitas pembangunan prasarana kereta api memberikan lapangan pekerjaan baru bagi para pekerja kasar atau buruh. Aktivitas tersebut biasa terlihat di stasiun, halte, standplaats (terminal), bengkel, dan lain-lain (Lubis et.al, 2003: 100).

Pembangunan jalan kereta api, stasiun, gudang perlengkapan, bengkel, dan lain-lain menyerap banyak tenaga kerja. sebagai besar pekerja tersebut dari orang pribumi dan sebagain kecil orang Cina. Mereka mendapat upah harian atau borongan yang cukup berarti bagi kehidupan keluarga mereka. Tahun 1882-1883 standar upah harian berkisar antara 50,00 sen- f 1,00 bagi tukang dan 20,00-40,00 sen bagi kuli (Hardjasaputra, 2002: 147).

Pada Tahun 1884, setelah angkutan transportasi kereta api dioperasikan, angkutan ini mempunyai pengaruh besar terhadap kemajuan ekonomi terutama sektor perkebunan dan pertanian. Hal itu terjadi karena hasil perkebunan dan pertanian ini dapat dengan mudah dipasarkan atau diangkut ke Pelabuhan Tanjung Periuk untuk di

(11)

11

kirim ke luar negeri. Hasil perkebunan Sukabumi terus mengalami peningkatan, terutama perkebunan teh yang menjadi unggulan. Pada tahun 1885 jumlah produksi teh meningkat 2,85% yakni 855.338 kilogram di mana sebelumnya hanya memperoleh 831.637 kilogram. Jumlah produksi mengalami peningkatan yang sangat tinggi pada tahun 1890 menjadi 1.445.255 kilogram atau naik 68,96% dari tahun 1885. Pada tahun 1926 jumlah teh yang dihasilkan mengalami penigkatan 387,6% meningkat jauh lebih tinggi dari tahun 1890, yakni menjadi 7.047.000 kilogram. Selain itu, tanaman lain yang juga mengalami peningkatan yaitu kina. Pada tahun 1885 produksi kina hanya 632 kilogram, meningkat drastis pada tahun 1890 menjadi 187.458 kilogram. Berikut rincian jumlah produksi teh di Sukabumi dari tahun1889-1931 dapat dilihat pada tabel 4.1 (Dienaputra, 2004: 91-93 dan Supratman. 2008: 61-62).

Tabel 4.2

Produksi Perkebunan Teh di Sukabumi Tahun 1897-1931 No Tahun Teh/ Kg 1 1885 855.137 2 1890 1.445.255 3 1926 7.047.000 4 1927 5.754.000 5 1928 7.001.000 6 1929 7.313.000 7 1930 6.725.000 8 1931 6.634.000

(Sumber: Dienaputra, 2004: 91-93 dan Supratman. 2008: 61-62). Meningkatnya hasil teh yang diperoleh pengusaha swasta dapat dirasakan juga manfaatnya oleh rakyat pribumi. Banyaknya perluasan perkebunan menyebabkan kebutuhan akan penambahan tenaga kerja. Perkebunan teh swasta yang besar mampu menampung pekerja hingga 600 orang, para pekerja tersebut terdiri dari laki-laki, wanita, dan anak-anak. Jumlah pekerja wanita biasanya lebih banyak dari pada

(12)

12

pekerja laki-laki. Hal itu dikarenakan tenaga wanita lebih banyak dibutuhkan terutama dalam pekerjaan memetik serta menyortir teh.

Selain dalam sektor perkebunan, sektor pertanian juga mengalami peningkatan. Pertanian tersebut bisa berupa sawah dan ladang. Peningkatan tersebut terjadi karena adanya jaringan transportasi yang baik, sehingga memicu masyarakat untuk meningkatkan produktivitasnya. Barang dagangan dari hasil bumi yang tidak tahan lama, seperti buah-buahan dan sayuran dapat diangkut dengan nyaman menggunakan jasa angkutan kereta api karena waktu itu sudah dilakukan perdagangan antar kota. Adanya angkutan kereta api membuat jarak tempuh semakin cepat, maka mereka tidak perlu khawatir lagi terjadi pembusukkan di jalan karena dengan alat angkut ini bisa sampai tepat waktu (Susatyo, 2008: 31).

Hasil pertanian yang mereka panen selanjutnya dipasarkan ke kota-kota besar seperti Jayakarta dan Bandung. Ongkos angkutan barang kereta api sekitar f 0,21,00 untuk barang dalam jumlah kecil, sedangkan barang jumlah besar dikenakan tarif dua kali lipat sesuai dengan berat barang tersebut. Meningkatnya taraf hidup masyarakat Sukabumi waktu itu telah mendorong mereka untuk mengikuti gaya hidup orang Eropa. Masyarakat tidak lagi memikirkan akan kebutuhan pokok karena semua telah tercukupi. Sisa uang yang ada, mereka gunakan untuk membeli barang-barang impor yang cukup mewah seperti meja, kursi, taplak meja, tirai, kelambu penghalang nyamuk, dan alat-alat rumah tangga (Hardjasaputra, 2006: 217 dan Lubis et.al, 2003: 103)

Sejalan dengan beroperasinya transportasi kereta api di Sukabumi, daerah-daerah yang dilintasi sepanjang jalur kereta api, terutama di tempat-tempat pemberhentian seperti halte-halte (Cicurug, Parung Kuda, Cibadak, Karang Tengah Cisaat, Sukabumi dan Sukaraja), di situ banyak bermunculan warung-warung dan pedagang-pedagang asongan yang berkembang menjadi pasar-pasar harian. Di sekitar stasiun atau halte biasanya banyak terdapat rumah makan, kios bacaan, penginapan,

(13)

13

penitipan barang dan lain sebagainya. Tumbuhnya pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi membentuk suatu pusat berkumpulnya orang dari berbagai daerah.

Transportasi kereta api juga telah memperlancar angkutan barang dan hasil perkebunan, serta memungkinkan terjadinya perdagangan antar kota, baik hasil pertanian maupun hasil industri, karena daerah ini pun memiliki potensi industri. Pada tahun 1900-an, Sukabumi berperan sebagai leveransir daun teh dan bahan baku lainnya. Komoditas perdagangan hasil industri yang berkembang antra lain industri kapur di Cibadak. Pada tahun 1937 terdapat pabrik tenun milik Tjong Boen Hok yang terletak di Kadudampit Cibadak. Pabrik tenun ini mampu menerima tenaga kerja sebanyak 1000 orang. Kegiatan ekonomi perdagangan antar kota, selain dapat menyejahterakan rakyat, juga mengakibatkan terjadinya mobilitas sosial pada masyarakat (“Textilefabrik Tjiboenar” Berita Priangan 1937, hal. 1).

Simpulan

Adanya jaringan transportasi kereta api telah membawa perubahan yang cukup besar di Sukabumi. Alasan itu terjadi karena kereta api secara langsung mendukung terjadinya mobilitas sosial yang begitu tinggi sehingga menyebabkan peningkatan jumlah penduduk. Pesatnya jumlah penduduk yang terjadi di Sukabumi akibat lancarnya arus transportasi juga berkaitan erat dengan faktor perekonomian. Meningkatnya peluang ekonomi di wilayah ini menarik orang-orang dari luar untuk mengadu peruntungannya datang ke wilayah ini, sehingga cepatnya perputaran uang pada masyarakat. Setiap kali kota berkembang di situ pasti muncul berbagai kegiatan ekonomi, seperti warung-warung, pasar, kantor-kantor, dan lain-lain. Mobilitas sosial maupun mobilitas barang juga semakin meningkat.

Daftar Sumber:

Dienaputra, D. Reiza. 2004. Antara Priangan dan Butenzorg; Sejarah Cikal Bakal Cianjur dan Perkembangan hingga 1942. Bandung: Prolitera

(14)

14

Hardjasaputra, A. Sobana. 2002. Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906. Desertasi. Depok: Program Pascasarjana fakultas Ilmu dan Budaya Universitas Indonesia.

Latief, dkk. 1997. Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid I. Bandung: APKA (Asosiasi Perkeretaapian Indonesia).

Lubis, Nina dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda Jilid II. Bandung: Satya Historika Marliana, Rena. 2008. Perkembangan Perkebunan Karet Tjipetir Sukabumi

(1885-1942). Skripsi. Sarajana Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Sumedang: Fasa Unpad

Mulyana, Agus. 2005. Melintas Pegunungan, Pedataran, hingga Rawa-Rawa: Pembanguanan Jalan Kereta Api di Priangan. Desertasi. Depok: Universitas Indonesia.

Santoso, Roesdi. 1988. Kereta Api dari Masa ke Masa. Bandung: Asosiasi Perkeretaapian Indonesia.

Supratman, Ujang. 2008. Ekstitensi Kabupaten Sukabumi dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi 1921-9142. Skripsi: Universitas Padjadjaran. Sumedang: Fasa Unpad

Susatyo, Rahmat. 2008. Pengaruh Perkeretaapian di Jawa Barat pada Masa Kolonial. Koprasi Ilmu Pengetahuan Sosial.

Sutarma, Oma. 1988. Studi tentang Pembangunan Jalur Kereta Api Jakarta-Bogor serta Dampaknya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi dan Perkembangan Kota. Skripsi: Universitas Padjadjaran. Sumedang: Fasa Unpad

“Textilefabrik Tjiboenar” Berita Priangan 1937, hal. 1.

Referensi

Dokumen terkait

Kriterij za izbor su: utjecaj na uĉinkovitost nananšanja (da li je komora vodljiva ili nije), mogućnost lakog ĉišćenja (kako jako se prah lijepi za zidove

4.6.3 Membuat program untuk menginisialisasi fungsi pointer pada aplikasi 4.6.4 Membuat program untuk mengubah isi pointer dalam program aplikasi 4.6.5 Menguji skrip

Model pembelajaran bahasa yang digagas oleh William Levelt pada dasarnya merupakan model produksi bahasa oral. Kemudian, De Bot menerapkan model ini pada

Hewan makrobenthos yang banyak ditemukan pada kedua lokasi adalah dari kelas Polychaeta, karena Polychaeta dapat memanfaatkan kondisi yang terbatas dengan menggali

Pada praktik Pengalaman Lapangan ini, mahasisiwa dilatih untuk melaksanakan tugas-tugas yang dilakukan oleh tenaga pendidik seperti, kegiatan praktik mengajar, menyusun

Pemimpin adalah individu yang melakukan proses mempengaruhi sebuah kelompok atau organisasi Pemimpin adalah individu yang melakukan proses mempengaruhi sebuah kelompok atau

Dengan penyempurnaan yang ada, buku ini diharapkan semakin berdaya guna dalam membantu peningkatan kemampuan mahasiswa dan pengguna lainnya bidang MIPA serta bidang-bidang lain yang