KESULITAN MEMBENTUK KAUKUS POLITIK ISLAM
Pertemuan-pertemuan antar tokoh muslim yang kemudian secara populer dikenal dengan istilah kaukus Islam merupakan hal positif, tetapi sekaligus menyisakan agenda yang tidak ringan. Dikatakan positif karena dapat mempertemukan antar elit Islam, kendati masih relatif terbatas dan lebih menonjol pada kaukus politik. Para tokoh itu, dapat membahas kondisi bangsa secara luas, membedah keadaan umat secara khusus, malah secara lebih spesifik dapat mengupas hal-hal yang berkaitan dengan politik ke depan secara terbuka. Kita menghargai pertemuan-pertemuan para tokoh Islam, termasuk yang sering dikenal dengan tokoh politik sekalipun. Semoga saja, dalam waktu-waktu ke depan, para tokoh itu mampu memobilisasi potensi politik yang positif untuk kemajuan umat dan bangsa..
Namun, di balik pertemuan-pertemuan antar tokoh Islam tersebut sebenarnya masih menyisakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi, yang seringkali bersifat dilematis. Masih terdapat kendala-kendala internal di tubuh umat Islam sendiri jika sudah masuk ke area politik. Tak kecuali kendala pada lingkaran elit atau tokoh Islam itu sendiri. Beberapa masalah dapat kiranya dikemukakan di sini.
Pertama, ketika muncul pertemuan yang mengarah ke pembentukan kaukus atau apapun namanya yang bersifat menghimpun diri di kalangan tokoh-tokoh Islam dalam politik, selalu dengan mudah diberi label primordialisme politik. Yaitu sebangsa politik perkauman, yang secara negatif dipandang hanya mementingkan kelompok Islam saja, sekaligus dianggap ancaman bagi kelompok lain. Sejak pertemuan di kediaman Prof. Dr. M. Amien Rais, yang memunculkan sebutan kaukus Islam, dengan serentak pula muncul pencitraan kaukus Islam versus kaukus nasionalis. Pencitraan negatif itu bahkan datang dari Abdurrahman Wahid setelah bertemu dengan Taufik Kiemas, bahwa dirinya tidak ikut-ikutan antara kelompok Islam dan nasionalis, untuk mengesankan kepada publik dirinya serba melintasi, kendati yang bersangkutan adalah politisi juga.
Kedua, sering dijumpai kesulitan untuk bersatu di kalangan elit muslim, khususnya dalam politik. Selalu ada kecenderungan untuk membenuk faksi sendiri-sendiri. Sulit untuk adanya kekuatan yang relatif kompak, bahkan di antara partai yang bersimbol formal Islam pun hingga kini sulit untuk membentuk kaukus atau aliansi, apalagi sampai harus melebur menjadi satu partai besar. Lebih parah lagi, sulit adanya penokohan di kalangan para politisi Islam, maupun di kalangan tokoh Islam secara umum. Selalu muncul rivalitas yang tidak perlu. Rivalitas itu bahkan datang dari mereka yang masih yunior atau kapasitas yang biasa, sehingga sulit dicapai konsensus untuk memilih tokoh dari antara para elit Islam sendiri.
Ketiga, setiap ada usaha untuk membentuk kaukus atau aliansi politik, dengan mudah mengundang kelompok di luar untuk melakukan hadangan-hadangan politik dengan jalan membentuk kaukus tandingan. Tandingan bahkan dari kalangan tokoh Islam sendiri. Pertemuan Abdurrahman Wahid dan Taufik Kiemas tentu memiliki arah yang berbedea dengan pertemuan di kediaman M. Amien Rais, dan begitulah seterusnya. Selalu muncul tandingan, sekaligus usaha penggembosan secara kentara maupun terselubung dari banyak jurusan. Memang, masih banyak dilema bagi kekuatan dan usaha memobilisasi potensi Islam politik di negeri tercinta ini! (HNs)
Sumber: