• Tidak ada hasil yang ditemukan

Index of /enm/images/dokumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Index of /enm/images/dokumen"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Tata Niaga dan Pengendalian Harga Beras di Indonesia

Tulus Tambunan Kadin Indonesia

September 2008

Tata Niaga Beras

Dalam sistem pemasaran beras di Indonesia, terutama pada zaman Orde Baru, Bulog (Badan Urusan Logistik) memainkan suatu peran yang krusial. Bulog dibentuk beberapa tahun setelah pelaksanaan revolusi hijau. Tugas utamanya waktu itu ada dua. Pertama, menetapkan atau mempertahankan harga minimum gabah per kg. untuk petani dalam upaya agar petani meningkatkan atau mempertahankan produksi maksimum dan juga pada waktu bersamaan memberi jaminan suatu pendapatan yang layak atau suatu keuntungan minimum sekitar 30% dari jumlah biaya produksi bagi petani. Kedua, mempertahankan suatu harga maksimum yang layak bagi konsumen. Selain peran stabilisasi harga tersebut, sebelum krisis ekonomi 1997/98, Bulog juga merupakan satu-satunya importir beras. Tetapi, setelah krisis tersebut, sebagai salah satu konsukwensi dari kesepakatan (letter of intent, LoI) antara pemerintah Indonesia dan Dana Moneter Internasional (IMF), Bulog kehilangan kekuatan monopolinya, dan badan tersebut mendapat suatu fungsi baru yakni mendistribusikan beras ke RT miskin.

Awalnya, tata niaga Bulog sangat sederhana. Namun setelah produksi padi di dalam negeri meningkat, mata rantai pembelian beras oleh Bulog menjadi semakin kompleks. Arifin (2004) dan Natawidjaja (2000) menemukan bahwa di banyak wilayah ada dua jalur pemasaran dalam tata niaga beras: swasta dan pemerintah (Bulog), dan jalur swasta lebih panjang daripada jalur pemerintah dengan banyak pemain yang diawali oleh pengumpul-pengumpul di desa, perusahaan-perusahaan penggilingan padi, grosir, dan berakhir oleh pedagang-pedagang eceran. Namun sistem pemasaran beras ternyata bervariasi dalam tingkat kompleksitasnya antar wilayah atau antar kelompok wilayah. Misalnya, dari observasinya di 7 Kabupaten/Kota di Jawa, Saliem (2004) menemukan betapa pentingnya pedagang dalam perdagangan beras antar pulau atau propinsi (Gambar 1), sedangkan, dari penelitiannya di Solok dan Padang di Sumatera Barat, Djulin (2004) menemukan tidak adanya keterlibatan Bulog di dalam perdagangan beras (Gambar 2).

. Gambar 1: Jalur-jalur Distribusi/Pemasaran Beras di Indonesia (kasus 1) gabah gabah

gabah

rice beras

KUD

Penggilingan

BULOG Petani

Pengumpul

Sumber: Saliem (2004)

Pedagang besar/grosir Pasar propinsi

Pedagang antar pulau Pasar Induk Cipinang

Pedagang/toko eceran

(2)
[image:2.612.108.534.50.312.2]

Gambar 2: Jalur-jalur Distribusi/Pemasaran di Indonesia (kasus 2)

gabah Petani

beras

Pengumpul Penggilingan (individu & KUD) Pedagang dari

luar kabupaten

Pedagang dari luar kabupaten

Grosir di Padang Pedaganag dari luar kabupaten

Pedagang eceran di Padang

Grosir di Solok

Pedagang dari luar Solok

Konsumen Sumber: Djulin (2004)

Setelah revolusi hijau menghasilkan produksi padi/beras dengan laju pertumbuhannya yang terus meningkat hingga akhirnya Indonesia untuk pertama kalinya swasembada beras pada tahun 1984, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang membuat stabilitas harga beras bukan lagi prioritas utama. Pembangunan infrastruktur, khususnya di perdesaan, dengan harapan dapat mendorong pembangunan sektor pertanian, khususnya pertumbuhan produksi padi/beras, menjadi prioritas utama. Oleh sebab itu, menyisihkan dana pemerintah untuk pembelian beras atau gabah dari petani menjadi tidak terlalu penting. Selain itu, kualitas beras yang dibeli pemerintah dari petani juga diperketat dengan kandungan beras patah maksimum 15%. Selain kebijakan itu, permintaan bantuan pangan pada IGGI juga dikurangi (Prabowo, 2008).1.

Stabilitas Harga

Salah satu ciri dari pemerintahan Orde Baru, khususnya di bidang pertanian, adalah kebijakan perberasan atau pengendalian harga yang dilakukan oleh Bulog. Kebijakan ini dimulai tahun 1967 dan terus berlangsung hingga saat ini, walaupun banyak perubahan yang terjadi dalam arah kebijakan tersebut selama ini (Tabel 1). Misalnya, pada tahun 2005 dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No2/2005 tentang kebijakan perberasan yang mengakhiri rezim harga dasar gabah. Sejak itu harga dasar tidak lagi diberlakukan, pemerintah hanya mengeluarkan harga referensi. Dalam kata lain, pemerintah tidak lagi menjamin harga yang diterima petani bila harga gabah jatuh. Setelah itu, Inores No.3/2007 yang menetapkan hanya satu (1) harga pembelian pemerintah (HPP), yakni gabah kering panen (GKP) Rp 2.000/kg, gabah kering giling (GKG) Rp 2.575/kg., dan beras Rp 4.000/kg.2

1

IGGI adalah sebuah konsorsium dari sejumlah negara donor yang dibentuk sesaat setelah Orde Baru berdiri yang dipimpin oleh negara Belands. Tujuannya untuk memberi bantuan dana setiap tahun bagi pemerintah Indonesia. Tahun 1992 konsorsium tersebut dibubarkan dan dibentuk yang baru, CGI, yang dipimpin oleh Bank Dunia, dan berakhir setelah krisis ekonomi 1997/98.

2

(3)
[image:3.612.36.554.40.246.2]

Tabel 1: Sejarah Harga Dasar Gabah, 1967-2005 Periode Kebijakan

1967 (17 Agustus)

1968 1970

1973 (11 Mei)

1973-1984

1985-2001

2002 2005 2007

-Pemerintah menegaskan akan mengimplementasikan kebijakan harga beras yang berisikan insentif produksi untuk petani..

-Pemerintah mengusulkan rumusan kebijakan harga dasar yang merangsang peningkatan produksi dan kontrol harga beras tertinggi.

Kebijakan harga dasar (harga dasar dengan patokan harga pupuk saat itu) diumumkan. Kebijakan tersebut mulai dilaksanakan

Pemerintah menyatakan bahwa harga dasar adalah harga terendah di mana petani harus menerimanya. Tujuan harga dasar untuk mengangkat petani sebagai produsen

Perhitungan untuk mendapatkan harga dasar ditetapkan dengan menggunakan formula incremental benefit cost ratio (IBCR).

Pendekatan perhitungan harga dasar diarahkan untuk menyeimbangkan antara produksi dan kebutuhan konsumsi ditambah kebutuhan untuk cadangan beras pemerintah. Tahun 1988 Bulog menerapkan perbedaan harga pembelian gabah di berbagai daerah.

Inpres No.9/2002 yang menetapkan HPP. Inpres No.2/2005 yang menetapkan HPP Inpres No.3/2007 yang menetapkan HPP Sumber: Kompas3

Walaupun Bulog, khususnya pada era Orde Baru, sangat penting sebagai penentu harga, di dalam prakteknya, harga pasar yang sebenarnya dibayar oleh konsumen tidak selalu sama seperti yang pemerintah tentukan atau ingin pertahankan, tergantung pada perkembangan aktual dari bermacam komponen biaya, dari biaya produksi di tingkat petani, biaya penggilingan, biaya transportasi, dan marjin keuntungan (PM) yang diambil oleh agen-agen distribusi/pemasaran (Arifin, dkk., 2001). Jumlah biaya bervariasi menurut wilayah, sehingga harga sebenarnya yang dibayar konsumen di, misalnya, Jakarta berbeda dengan yang dibayar di Indonesia kawasan timur. Konsumen-konsumen yang lokasinya dekat dengan pasar-pasar induk di perkotaan membayar lebih rendah dibandingkan mereka yang harus membeli beras dari pedagang/toko eceran. Sebagai suatu ilustrasi, Tabel 2 memperlihatkan PM dalam pemasaran beras di 7 kabupaten di Java.

Tabel 2: Analisis Marjin Pemasaran Beras di 7 Kabupaten di Java (Rp/kg) 7 Kabupaten

Jalur Pemasaran

1 2 3 4 5 6 7 Rata-rata

Petani

- harga jual (gabah) - harga jual (beras)

Pengumpul-pengumpul di desa -harga beli

-biaya pemasaran -harga jual -PM

Unit-unit penggiling padi -harga beli -biaya pemasaran -biaya penggilingan/pengolahan -harga jual 1100 1897 1897 62 2032 73 2032 16 98 2164 1100 1897 1897 51 2002 54 2002 13 95 2127 1100 1900 1900 65 2000 35 2000 10 100 2122 1050 1909 1909 49 1983 25 1983 15 104 2120 1100 1897 1897 55 2041 90 2041 11 100 2158 1050 1850 1850 55 2000 95 2000 14 95 2117 1050 1900 1900 50 2000 50 2000 11 90 2107 1079 1893 1893 55 2008 60 2008 13 97 2131 yang terlalu tinggi, atau padi dipanen terlalu cepat, atau gabah terlalu kering sehingga saat digiling banyak yang patah. Sedangkan beras dengan derajat sosoh terlalu rendah bisa mengakibatkan beras tersebut berbau apak. Alasan Bulog menambah tiga syarat tersebut agar beras yang dibelinya lebih baik kualitasnya daripada sebelumnya. Menurut hasil evaluasi pengadaan beras Bulog 2007, seperti yang dijelaskan oleh Prabowo (2008), dari total pembelian beras produksi dalam negeri sebanyak 1,76 juta ton, sekitar 1,4 juta ton di antaranya adalah beras berkualitas rendah dengan kandungan menir di atas 2%. Sekitar 10% lainnya adalah beras dengan derajat sosoh kurang dari 95%. .

3

[image:3.612.41.571.407.626.2]
(4)

-PM Grosir -harga beli -biaya pemasaran -harga jual -PM Toko/penjual eceran -harga beli -biaya pemasaran -harga jual -PM Total -penggilingan/pengolahan -transportasi -PM -biaya pemasaran 18 2164 52 2250 34 2250 35 2350 65 98 165 191 453 17 2127 41 2200 32 2200 75 2350 75 95 180 179 453 12 2122 32 2175 21 2175 67 2300 58 100 174 126 400 18 2120 47 2200 33 2200 50 2300 50 104 161 126 391 6 2158 35 2200 6 2200 45 2300 55 100 146 157 403 8 2117 44 2175 14 2175 75 2300 50 95 188 167 450 6 2107 36 2150 7 2150 80 2300 70 90 177 131 400 12 2131 41 2193 21 2193 61 2313 60 97 170 154 422 Sumber: Saliem (2004)

Instrumen yang digunakan selama ini untuk menjalankan kebijakan tersebut adalah ikut bermain di pasar sebagai pembeli atau penjual saat harga beras di pasar cenderung melewati harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Langkah ini disebut operasi pasar (OP). Misalnya pada Maret 2005, pemerintah memutuskan untuk segera melakuka OP jika harga beras di dalam negeri mencapai Rp 3,500 per kilogram (kg). OP tersebut adalah operasi setempat dengan harga beras OP sebesar Rp3.300/kg untuk kualitas médium. Atau, tahun 2008 Bulog menargetkan pengadaan beras di dalam negeri sebesar 2,8-3 juta ton. Sebanyak 2,43 juta ton di antaranya dari dalam negeri, sisanya impor. Dengan menghitung kebutuhan beras untuk orang miskin sebanyak 2,67 juta ton, stok beras Bulog di akhir tahun 2008 diharapkan 1 juta ton, atau lebih rendah 600.000 dibanding tahun 2007 (Prabowo, 2008).

Namun demikian, perlu diakui bahwa kebijakan OP tidak selalu menguntungkan petani, atau tidak semua petani di semua daerah mengalami keuntungan yang sama. Misalnya, berdasarkan berita di Kompas,4Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai tukar petani (NTP) Januari 2007 meningkat 1,78% dari Desember 2006 atau 106,4 menjadi 108,2. Hal ini disebabkan oleh ketetapan pemerintah menaikkan HPP untuk gabah dan beras. Namun demikian, hasil pemantauan BPS di 23 propinsi menunjukkan bahwa hanya di 14 propinsi yang NTP-nya mengalami kenaikan (kenaikan NTP tertinggi terjadi di Sulawesi Selatan yang mencapai 9,19%), sedangkan di 9 propinsi lainnya malahan menurun.5

Dari sisi peningkatan pendapatan petani, efektivitas dari kebijakan OP/HPP tergantung pada dua hal: (a) kemampuan Bulog untuk membeli langsung dari petani dalam jumlah yang cukup, dan (b) perbedaan antara HPP dan harga yang berlaku di pasar saat kebijakan tersebut dijalankan. Ternyata (sesuai pemberitaan Kompas tersebut), Bulog waktu itu hanya mampu beli 7% dari jumlah produksi, padahal pemerintah mentargetkan 10% agar kebijakan tersebut memberi hasil optimal. Sedangkan dalam harga, perbedaan antara

4

Kompas, ”Perberasan. Komitmen Bulog dan Asa Petani”, Bisnis & Keuangan, Selasa, 3 April 2007: 21. 5

(5)

HPP dan harga pasar, walaupun tidak selalu besar, namun sering terjadi6Menurut data BPS Juli 20077(Tabel 3 dan Tabel 4, Gambar 3 s/d Gambar 5) dari 532 observasi untuk GKG dan GKP di 15 provinsi dijumpai 78 observasi (14,66%) kasus harga gabah di tingkat penggilingan yang berada di bawah HPP. Untuk GKP berkualitas baik (kadar air: 14,01%-25%/rata-rata mutu: 18,82% dan kadar hampa/kotoran: 3,01%-10%/rata-rata mutu: 5,12%) dari sebanyak 488 observasi, dijumpai kasus harga gabah yang di bawah HPP sebagai berikut: 54 observasi (11,07%) di tingkat petani dan 60 observasi (12,30%) di tingkat penggilingan. Kasus harga gabah di bawah HPP tersebut terdapat di 8 provinsi yaitu: Sumatera Barat, Lampung, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Kasus untuk gabah kualitas rendah (kadar air > 25 % atau kadar Hampa/kotoran > 10%) sebanyak 95 observasi (15,15%), ditemukan di 7 provinsi yaitu: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.

Sedangkan, menurut data BPS Juli 2008,8dari 731 observasi untuk GKG dan GKP di 15 provinsi dijumpai 24 observasi (3,28 persen) kasus harga gabah di tingkat penggilingan yang berada di bawah HPP. Untuk GKP berkualitas baik dari sebanyak 674 observasi, dijumpai kasus harga gabah yang di bawah HPP sebagai berikut: 21 observasi (3,12%) di tingkat petani dan 19 observasi (2,82%) di tingkat penggilingan. Kasus harga gabah di bawah HPP tersebut terdapat di 4 provinsi yaitu: Jawa Tengah, Yogyakarta, Banten, dan Bali. Kasus untuk gabah kualitas rendah sebanyak 81 observasi (9,98%), ditemukan di 8 provinsi yaitu: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, dan Sulawesi Barat.

Dilihat dari sisi stabilitas harga, efektivitas dari kebijakan OP sangat tergantung pada pencapaian target yang ditetapkan sebelumnya oleh Bulog dalam pengadaan beras. Target tidak tercapai berisiko tinggi bagi stabilitas harga beras, terutama pada masa paceklik. Dalam menghadapi masalah ini, pemerintah biasanya melakukan impor. Misalnya, seperti yang diberitakan oleh Kompas,9hingga awal Juni 2008 total realisasi pengadaan beras Bulog dari produksi dalam negeri 1,6 juta ton, atau 65,64% dari target awal Bulog 2008, yaitu 2,43 juta ton.

Operasi Bulog yang tujuannya menstabilkan harga beras juga sering terganggu oleh ulah spekulan. Misalnya Prabowo (2007) mencatat bahwa stok beras di Bulog pada awal Februari 2007 hanya 700.000 ton. Dari jumlah ini, 100.000 ton untuk OP, dan sisa stok hanya 600.000 ton. Jumlah ini ditambah dengan masuknya beras impor tahap pertama untuk tahun 2007 sebanyak 500.000 ton, dan hingga pertengahan Februari 2007 belum mencapai 50%. Berarti dengan jumlah ini, Bulog tidak bisa melakukan apapun juga untuk melawan spekulan. Prabowo (2008) juga mencatat bahwa hingga Juli 2007 jumlah beras yang dibeli Bulok dari produksi dalam negeri hanya 82.875 ton. Pada saat yang sama, stok beras Bulog 960.000 ton, dan 790 ribu ton-nya harus segera didistribusikan ke pasar untuk stabilitas harga (OP). Akibatnya, stok Bulog tinggal sedikit, dan kondisi ini dimanfaatkan oleh para spekulan yang akhirnya mengakibatkan harga beras saat itu melonjak hingga lebih dari 100%. Pada gilirannya, jika harga beras di pasar naik terlalu besar, Bulog juga menjadi sulit untuk memenuhi targetnya. Hal ini terjadi di sejumlah daerah pada tahun 2008. Misalnya, hingga Juni 2008 Bulog Subdivisi Regional Cirebon, Jawa Barat, belum bisa memenuhi target stok nasional sebesar 65.000 ton setara beras akibat tingginya harga beras. Karena alasan tingginya harga beras tersebut, Bulog Cirebon terpaksa membeli beras dengan harga di atas HPP, yang sudah dilakukan sejak Mei 2008. Sebelumnya, Bulog memasang harga Rp 4.300/kg. untuk beras dengan kadar air tidak lebih dari 14% dan tingkat patahnya 20%. Kini, terpaksa membeli dengan harga Rp 4.600/kg dengan kadar air yang sama, tetapi

6

Kompas yang sama memberitakan bahwa banyak juga petani di sejumlah daerah yang mengatakan bahwa kenaikan HPP itu tidak mereka nikmati karena patokan harga tersebut sama dengan harga harga di pasaran selama ini. Atau untungnya tidak terlalu besar seperti yang petani harapkan. Misalnya seorang petani di Desa Tamasaju, Kecamatan Galesong Utara, Takalar, Sulawesi Selatan, mengatakan bahwa kenaikan HPP GKP menjadi Rp 2.000/kg. dan HPP GKG (gabah kering giling) Rp 2.575/kg. dinilainya cukup untuk menutupi ongkos produksi, namun tidak ada keuntungan yang besar. Selama ini keuntungan petani tersebut tidak mencapai 2%. Petani tersebut mengerjakan sawah seluas 28 are (2.800 meter persegi) dengan total biaya produksi mencapai sekitar Rp 770.000. Sementara hasil panennya hanya setara Rp 3 juta.

7

Berita Resmi Statistik, No.36/07/Th.X, 2 Juli 2007. 8

Berita Resmi Statistik, No.36/07/Th.XI, 1 Juli 2008. 9

(6)

Tabel 3: Jumlah dan Persentase Observasi Gabah di Bawah dan Sama Dengan HPP menurut Kualitas, Juni 2007 dan Juni 2008

Jumlah observasi Di bawah HPP Sama dengan HPP

Kelompok Kualitas

Tkt Petani Tkt Penggilingan Tkt Petani Tkt Penggilingan

Juni 2007 Juni 2008

Juni 2007 Juni 2008 Juni 2007 Juni 2008 Juni 2007 Juni 2008 Juni 2007 Juni 2008

[image:6.792.132.746.206.342.2]

GKG GKP Semua kualitas Kualitas rendah 44 488 532 95 57 674 731 81 - 54 (11,07%) - - 21 (3,12%) - 18 (40,91%) 60 (12,30%) 78 (14,66%) 5 (8,77%) 19 (2,82%) 24 (3,28%) - 57(11,68%) - - 11 (1,63%) - 0 (0,00%) 3 (0,61%) 3 (0,56%) 3 (5,26%) 2 (0,30%) 5 (0,68%) Sumber: BPS

Gambar 3: Persentase Observasi Harga Gabah di Tingkat Penggilingan di Bawah HPP dan Gabah Kualitas Rendah, September 2006-Juni 2008 0,14 9,45 0,35 5,81 0 6,12 0 6,44 0 12,48 0 15,58 0,24 25,02 41,67 31,92 28,02 22,37 14,6615,15 8,65 12,8 4,55 11,15 7,52 22,87 9,76 12,5 2,73 8,54 2,77 20,72 33,15 30,14 36,02 19,24 21,03 8,3 3,28 9,98 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Sept Oct Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Juni Sept Oct Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Juni Obs di bawah HPP

Obs gabah kualitas rendah

[image:6.792.72.765.378.499.2]

Sumber: BPS

Tabel: 4: Rata-rata Harga Gabah Di Tingkat Petani dan Penggilingan Menurut Kualitas, April - Juni 2007 dan April – Juni 2008

Tkt Penggilingan (000Rp/kg) Tkt Petani (000Rp/kg)

April Mei Juni % Perubahan

Juni-Mei

April Mei Juni % Perubahan Juni-Mei

Kualitas

2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008 2007 2008

(7)
[image:7.612.50.565.44.335.2]

Gambar 4: Rata-rata Harga Gabah di Tingkat Penggilingan di Indonesia, Juli 2006-Juni 2007

Sumber: dikutip dari Grafik 2, BPS (Berita Resmi Statistik, No.36/07/Th.X, 2 Juli 2007)

Gambar 5: Rata-rata Harga Gabah di Tingkat Penggilingan di Indonesia, Juli 2007-Juni 2008

[image:7.612.43.568.370.678.2]
(8)

tingkat patahnya 20%. Kini, terpaksa membeli dengan harga Rp 4.600/kg dengan kadar air yang sama, tetapi 10% tingkat patahnya.10

Gambar 6 memperlihatkan tren jangka panjang dari perkembangan harga beras dari kategori kualitas medium. Dapat dilihat bahwa pengaruh Bulog dalam stabilitas harga beras di dalam negeri sangat terasa pada era 70-an. Namun sejak dekade 80-an harga beras mulai merayap ke atas, dan laju kenaikannya setiap tahun meningkat tajam sejak awal tahun 1990-an yang mencapai Rp 1285/kg pada tahun 1997. Pada tahun 1998 pada saat krisis ekonomi mencapai klimaksnya, dan juga pada saat Bulog mengalami reformasi, harga beras mengalami suatu kenaikan yang luar biasa. Walaupun setelah itu sempat turun untuk dua tahun berikutnya, harga beras di Indonesia cenderung meningkat terus. Bahkan perubahan/kenaikan harga beras terjadi tidak hanya setiap bulan tetapi juga hampir setiap hari, walaupun laju kenaikannya bervariasi menurut jenisnya (Gambar 7).

Perkembangan dari harga di tingkat petani juga menunjukkan tren yang serupa, cenderung meningkat terus (Gambar 8). Walaupun ini tidak harus berarti petani padi di Indonesia semakin sejahtera karena kenaikkan harga tersebut. Karena tergantung pada dua hal. Pertama, perubahan harga-harga dari input-input yang dibutuhkan dalam produksi padi seperti pupuk, benih dan lainnya. Kedua, tingkat inflasi atau perubahan dari harga-harga dari kebutuhan pokok. Dalam kata lain, jika harga-harga dari input-input tersebut atau inflasi selama periode yang sama juga mengalami kenaikan dan dengan laju yang lebih tinggi daripada laju kenaikan harga jual, maka petani padi akan tetap mengalami kerugian.

Yang manarik adalah bahwa tidak di semua negara pertanian penting lainnya seperti India, China dan Thailand, di mana harga di tingkat petani mengalami kenaikan setiap tahun dengan laju sepesat seperti di Indonesia. Bahkan, di Thailand harga yang diterima oleh petani cenderung stabil (Gambar 9). Juga, dalam dollar AS, dalam beberapa tahun belakangan ini Indonesia merupakan negara dengan laju pertumbuhan harga beras di tingkat petani paling pesat dibandingkan di ketiga negara tersebut dalam (Gambar 10).

Menurut Berita Resmi Statistik, No.36/07/Th.X, 2 Juli 2007 dari BPS, berdasarkan observasi sebanyak 627 transaksi gabah di 15 provinsi, rata-rata harga gabah di tingkat petani pada Juni 2007 dibandingkan keadaan Mei 2007 adalah sebagai berikut: untuk gabah berkualitas baik yakni GKG (kadar air 14 % dan kadar hampa/kotoran 3 %) naik sebesar 11,93%; dan GKP (kadar air: 14,01%-25% dan kadar hampa/kotoran: 3,01%- 10%) naik 4,11%; sedangkan untuk gabah dengan kualitas rendah (kadar air > 25 % atau kadar hampa/kotoran > 10%) naik sebesar 4,51%. Rata-rata harga gabah di tingkat penggilingan untuk GKG berkualitas baik mencapai Rp2.657/kg, berada di atas HPP. Rata-rata harga gabah untuk kualitas GKP mencapai Rp2.280/kg di tingkat petani dan Rp2.337/kg di tingkat penggilingan, keduanya berada di atas HPP. Persentase observasi harga gabah di tingkat penggilingan yang berada di bawah HPP turun, yaitu dari 28,02% pada Mei 2007 menjadi 14,66% pada Juni 2007. Persentase observasi gabah berkualitas rendah turun dari 22,37% pada Mei 2007 menjadi 15,15% pada Juni 2007 (Tabel 5) Harga gabah berkualitas buruk terendah di tingkat petani sebesar Rp1.700/kg dijumpai di Sukabumi (Jawa Barat), sedangkan harga gabah dengan kualitas GKP tertinggi sebesar Rp3.727/kg dijumpai di Banjar (Kalimantan Selatan).

Sedangkan menurut Berita Resmi Statistik, No.36/07/Th.XI, 1 Juli 2008, berdasarkan observasi sebanyak 812 transaksi gabah di 15 provinsi, rata-rata harga gabah di tingkat petani pada Juni 2008 dibandingkan keadaan Mei 2008 untuk semua kualitas mengalami kenaikan. Untuk GKG naik sebesar 6,33% dan GKP naik sebesar 5,98%, sedangkan untuk gabah dengan kualitas rendah/diluar kelompok kualitas baik naik sebesar 9,34%. Rata-rata harga gabah di tingkat penggilingan untuk GKG mencapai Rp 2.941/kg, berada di atas HPP, dan rata-rata harga GKP mencapai Rp 2.589/kg di tingkat petani dan Rp 2.651/kg di tingkat penggilingan, keduanya berada di atas HPP. Persentase observasi harga gabah di tingkat penggilingan yang berada di bawah HPP mengalami penurunan dari 21,03% pada Mei 2008 ke 3,28% pada Juni 2008. Sedangkan persentase observasi gabah berkualitas rendah mengalami kenaikan dari 8,30% pada Mei 2008 ke 9,98% pada

10

(9)

1285

2461

2099 2256

2600 3046

4077

2704 2678 2552

1185 1087 900 722 696 452 430 404 387 288 333 254 286 275 226 205 186 85 77 74 70 60 48 46 29 25 28

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500

1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

2006**

[image:9.792.100.778.68.327.2]

Keterangan: * kualitas medium, jenis IR-64 I/IR-64 II dalam Rp/kg.

Gambar 6: Tren Jangka Panjang dari Perkembangan Harga Beras Kualitas Medium di Indonesia Menurut PIBC *

(10)
[image:10.612.75.533.51.256.2]

Gambar 7: Perkembangan Harga Beras Grosir di PIBC, Januari-Maret 2007

2996 3186 3028

2808 2800 2948

3126 3185 3217

5200 5300 5250 5300 5400

5700 5850 5850 6000

2826 3000 2840

2608 2600 2748

2900 2981 3033

4950 5000 5000 5100

5250 5450

5550 55505700

2684 2800 2654

2408 2400 2548

2726 2839 2917

4700 4750 4700 4700

5000 5200 5000 49005000

2300 3300 4300 5300

Jan Feb Ma r

Apr Me i

Jun Ju l

Agus Se p 5-Ja n 15-J an 23-J an 3-F eb 5-Fe b 8-Fe b 15-F eb 21-F eb 2-M aret

2005 2007 IR-64 I

IR-64 II IR-64 III

[image:10.612.64.537.298.457.2]

Sumber: Prabowo (2007) dan Hidayati (2005).

Gambar 8: Harga Beras di Tingkat Petani di Indonesia (Rupiah /ton).

0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Sumber: FAO database

Gambar 9: Harga Beras di Tingkat Petani di China, India, dan Thailand (uang lokal /ton).

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 China Thailand India

[image:10.612.66.533.499.701.2]
(11)
[image:11.612.90.514.53.247.2]

Gambar 10: Harga Beras di Tingkat Petani di Sejumlah Negara Asia (Dollar AS /ton)

0 50 100 150 200 250

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 China

Indonesia Thailand India

Sumber: FAO database

Tabel 5: Jumlah Observasi, Harga Gabah di Tingkat Petani dan Penggilingan dan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) menurut Kelompok Kualitas, Juni 2007

Keterangan: * HPP berdasarkan INPRES NOMOR 3 TAHUN 2007 tgl. 31 Maret 2007 yang diberlakukan mulai 1 April 2007. Sumber: dikutip dari Tabel 3, BPS (Berita Resmi Statistik, No.36/07/Th.X, 2 Juli 2007).

[image:11.612.40.565.312.571.2]
(12)
[image:12.612.51.557.60.287.2]

Tabel 6: Jumlah Observasi, Harga Gabah di Tingkat Petani dan Penggilingan, dan HPP menurut Kelompok Kualitas, Juni 2008.

Keterangan: * HPP berdasarkan INPRES NOMOR 1 TAHUN 2008 tgl. 22 April 2008 yang mulai diberlakukan mulai 22 April 2008

Sumber: dikutip dari Tabel 3, BPS (Berita Resmi Statistik, No.36/07/Th.XI, 1 Juli 2008).

Daftar Pustaka

Arifin, Bustanul (2004), Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta: Kompas.

Arifin, Bustanul (2008), ”Peluang Kekeringan dan Misteri Indeks Pertanaman”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Senin, 2 Juni: 21.

Arifin, Bustanul, A. Munir, E. Sri Hartatai dan Didik J. Rachbini (2001), “Food Security and Markets in Indonesia: State and Market Interaction in Rice Trade”, Quezon City: MODE Inc.

Djulin, Adimesra (2004), “Analisis Sistem Distribusi Gabah/Beras di Sumatera Barat”, dalam Handewi P. Saliem, Saptana and Edi Basuno (ed.), Prospek Usaha Dan Pemasaran Beberapa Komoditas Pertanian, Monographs Series No.24, Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Hidayati, Nur (2005a), “Lahan bagi Kepentingan Umum Vs Reformasi Agraria yang Mandek”, Kompas, Fokus, Sabtu, 25 Juni: 39.

Hidayati, Nur (2005b), “Pertanian. Revitalisasi Masih Retorika”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Kamis, 30 November: 21.

Hidayati, Nur (2005c), ”Impor Beras, Pertaruhan Kredibilitas Pemerintah”, Kompas, Fokus Impor Beras, Sabtu, 24 September: 37.

Hidayati, Nur (2008), ”Minyak Goreng. Sulit Meredam Keresahan Rakyat”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Kamis, 6 Maret: 21.

Natawidjaya, Ronnie S. (2000), "Pengembangan Sistem Intelijen Pasar sebagai Usaha Monitoring Kelancaran Arus Distribusi Bahan Makanan Pokok Dalam Menunjang Penyediaan Kebutuhan Pangan Masyarakat yang Efektif dan Efisien", Laporan Tahunan Riset Unggulan Terpadu (RUT), Menristek, DRN dan LIPPI, Jakarta.

(13)

Prabowo, Hermas E. (2007), “Impor Beras Bukti Marjinalisasi Pertanian”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Selasa, 20 Februari: 21.

Prabowo, Hermas E. (2008a), ”Ketahanan Pangan. Pandai-pandailah Membaca Sinyal”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Rabu, 30 Januari: 21.

Prabowo, Hermas E. (2008b), “Perberasan. Peningkatan Mutu Gabah Tergantung Insentif”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Sabtu, 23 Februari: 21.

Prabowo, Hermas E. (2008c), ”PUAP Jangan Sekadar Bagi-bagi Uang”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Rabu, 25 Juni: 21.

Prabowo, Hermas E. (2008d), ”Perberasan. Krisis Pangan di Ujung Pemerintahan SBY-JK?”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Selasa, 22 April: 21.

Prabowo, Hermas E. (2008e), ”Ketahanan Pangan. Tinggalkan Pendekatan Komoditas”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Kamis, 24 April: 21.

Saliem, Handewi P. (2004), “Analisis Marjin Pemasaran: Salah Satu Pendekatan Dalam Sistem Distribusi

Pangan”, dalam Handewi P. Saliem, Saptana and Edi Basuno (ed.), Prospek Usaha Dan Pemasaran

Gambar

Gambar 2: Jalur-jalur Distribusi/Pemasaran di Indonesia (kasus 2)
Tabel 1: Sejarah Harga Dasar Gabah, 1967-2005
Tabel: 4: Rata-rata Harga Gabah Di Tingkat Petani dan Penggilingan Menurut Kualitas, April - Juni 2007 dan April – Juni 2008
Gambar 4: Rata-rata Harga Gabah di Tingkat Penggilingan di Indonesia, Juli 2006-Juni 2007
+5

Referensi

Dokumen terkait

16 Proyek YLNG yang besaran nibinya seknar 40 kali lipat dari rata-rata nitai inveslasi di Yaman setiap tahunn)€, ekan nenjEdi penggerak utama datam pedumbuhan mako ekononi

Sementara itu, niai pembayafan impof Pakislan pada tujuh bulan perlama (Juli-Januari) tahun fiskal 2007-2008 lercatatat sebagai rekor yang paling tinggi, dimana

Muprov dan Pameran dibuka secara resmi oleh Gubernur Papua Bapak Barnabas Suebu, SH dan dihadiri oleh Dewan Pengurus Kadin Indonesia antara lain Tonni Uloli WKU Kadin Indonesia

Jakarta, 24 Juli 2009 – Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) bidang Perdagangan dan Distribusi Benny Soetrisno menandatangani Nota kesepakatan untuk meluncurkan sebuah

PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN SELAKU KETUA HARIAN TIM NASIONAL PENINGKATAN EKSPOR DAN PENINGKATAN INVESTASI NOMOR :

According to data from BPS(2000) which was excerpted by CIC(2006), the advantages of investment in Indonesia are low operational cost relative to other countries and that there is

Latest data from BPS indicated that the export value in January 2006, including oil/gas and non-oil/gas each totaled US$ 7.56 billion and US$ 5.73 billion respectively, whereas

Based on this development, BPS predicted that the total export of Indonesia during the year of 2006 maybe well reached US$ 100 million if supported by a favorable world