• Tidak ada hasil yang ditemukan

(4754 Kali)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "(4754 Kali)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PENGENTASANNYA BERBASIS INSTITUSI

LOKAL DAN BERKELANJUTAN

DI ERA OTONOMI DAERAH

DI PROVINSI SUMATERA BARAT

1

Drs. Achmadi Jayaputra, M.Si 2

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan memetakan kantong-kantong dan merumuskan strategi pengentasan kemiskinan berdasarkan institusi lokal. Penelitian ini merupakan penelitian terapan melalui survey terhadap 12 nagari dan 4 kelurahan dalam tiga kabupaten dan dua kota. Teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan, wawancara mendalam dan diskusi kelompok. Temuan lapangan antara lain; (1) Kantong kemiskinan terdapat di Kabupaten Mentawai, Pasaman, Pasaman Barat, Pesisir Selatan, Kota Padang dan Kota Payakumbuh; (2) sebutan orang miskin yaitu urang indak bapunyo, urang indak mampu, urang susah, urang sulit, orang sangat miskin disebut juga urang bangsaik atau urang ino; (3) pekerjaan utama mereka yaitu buruh tani, tukang dan buruh kasar; (4) penyebab kemiskinan yaitu lokalitas ekosistem, rendahnya akses, krisis ekonomi dan kebudayaan. Untuk mempertahankan hidupnya (survival strategy) secara sosial dan ekonomi, antara lain melakukan pekerjaan secara tetap dan memperbanyak jumlah anggota rumah tangga untuk bekerja. Strategi pengentasan kemiskinan dengan membentuk suatu panitia berbasis institusi lokal (Nagari/kelurahan). Orang miskin sebagai pelaku utama dan pihak lain sebagai mitra kerja. Anggotanya terdiri dari orang miskin, tokoh masyarakat, laki-laki dan perempuan. Keanggotaan harus mempunyai komitmen yang tinggi.

Kata Kunci:

Kemiskinan, Penanggulangan Kemiskinan, Nagari Kelurahan

1 Judul asli dari penelitian Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya Berbasis Institusi Lokal dan Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah di Provinsi Sumatera Barat. Penelitian kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteran Sosial dengan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.

(2)

Pendahuluan

Penanggulangan kemiskinan menjadi perhatian utama pembangunan nasional dan daerah, terutama sejak diberlakukannya undang-undang tentang pemerintahan daerah. Hal tersebut seharusnya dijadikan momentum dan peluang untuk mewujudkan desentralisasi pembangunan yang sensitif terhadap persoalan lokal. Termasuk permasalahan sosial yang disebutkan Departemen Sosial sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) seperti pelacuran, anak jalanan, penyandang cacat, dan sebagainya. Permasalahan tersebut berkaitan erat dengan kemiskinan. Berarti memecahkan masalah kemiskinan secara tidak langsung memecahkan PMKS, sekaligus membuka pintu untuk pemecahan PMKS lainnya.

Meskipun banyak upaya yang telah dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan, sayangnya penduduk miskin di Indonesia makin bertambah. Khususnya di Provinsi Sumatera Barat, misalnya tahun 2001 penduduk miskin tercatat 1,4 juta jiwa (23%), tahun 2003 menurun hanya 501.100 jiwa dan tahun 2004 menjadi 472.100 jiwa. Namun tahun 2005 dari jumlah penduduk 4,46 juta jiwa terdapat 935.300 jiwa (20,70%) tergolong miskin. Pengentasan kemiskinan sejak bergulirnya otonomi daerah belum berhasil dengan baik, karena dihadapkan pada beberapa hal, antara lain:

• Program tidak tepat sasaran

• Program tidak bertahan lama (tidak berkesinambungan) • Program dipaksakan dari atas, dan

• Program tidak diakses karena hambatan struktual.

(3)

Permasalahan dalam penelitian, yaitu:

a. Dimana rumah tangga miskin tersebut berkonsentrasi terhadap tipologi ekologis dan sumber pendapatan?

b. Bagaimana kondisi budaya, sosial, ekonomi dan politik rumah tangga miskin tersebut?

c. Mengapa anggota rumah tangga tetap miskin, walaupun telah ada program pengentasan kemiskinan?

d. Apa strategi dalam pengentasan kemiskinan yang berbasis institusi lokal yang dapat diterapkan di Provinsi Sumatera Barat?

Tujuan penelitian yaitu;

a. Memetakan kantong-kantong kemiskinan berdasarkan tipologi ekologis dan sumber mata pendapatan dan mengidentifikasi karakteristik budaya, sosial, ekonomi dan politik rumah tangga miskin. b. Merumuskan strategi pengentasan kemiskinan dengan melibatkan

institusi lokal, tokoh komunitas setempat dan pemerintah lokal. Penelitian ini akan merumuskan model penanggulangan kemiskinan yang dapat diadopsi untuk memecahkan PMKS lainnya karena bertumpu pada pemberdayaan komunitas lokal.

Metode Penelitian

(4)

dari Bappeda, Dinas Sosial, Dinas Kelautan, Pemberdayaan Masyarakat, Camat dan Wali Nagari.

Lokasi Penelitian;

a. Kabupaten Pasaman; Kecamatan II Koto di Nagari Simpang Tonang dan Cubadak; Kecamatan Bonjol di Nagari Koto Kaciak dan Gonggo Halia.

b. Kabupaten Solok; Kecamatan II Koto Diateh di Nagari Paninjauwan dan Kuncir; Kecamatan Kubung di Nagari Gaung dan Panyangkalan. c. Kabupaten Pesisir Selatan; Kecamatan IV Jurai di Nagari Painan; Kecamatan Linggo Sari Baganti di Nagari Lumpo, Air Haji dan Pungasan.

d. Kota Padang; Kecamatan Lubuk Bagalung di Kelurahan Kampung Baru dan Gates

e. Kota Payakumbuh; Kecamatan Payakumbuh Barat di Kelurahan Parit Rantang dan Padang Karambie.

Hasil Penelitian

Provinsi Sumatera Barat terdiri dari 12 kabupaten dan 7 kota, 157 kecamatan dan terdiri dari 517 Nagari/Kelurahan. Khusus di provinsi ini, istilah Nagari digunakan untuk daerah kabupaten dan Kelurahan untuk daerah kota. Wilayahnya 42,297 Km2, dilihat dari kondisi dan penggunaan lahan sebagian terdiri dari hutan (61%), tanah yang dimanfaatkan untuk permukiman (28,59%) dan selebihnya tanah yang belum dimanfaatkan.

Kinerja ekonomi di provinsi ini, untuk tahun 2003 pertumbuhan ekonomi 5%-7% per tahun. Diantaranya, yang terbanyak adalah pertanian 25,16% dan didukung lima sub sektor yaitu tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan laut.

1. Kantong Kemiskinan

(5)

Tahun 2005, terdapat 223.825 rumah tangga miskin atau 22,07% dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Rumah tangga miskin banyak terdapat dalam enam daerah yaitu Kabupaten Mentawai 8.002 (51,12%), Pasaman 19.922 rumah tangga (35,98%), Pasaman Barat 21.186 rumah tangga (29,41%), Pesisir Selatan 26.337 rumah tangga (25,17%), Padang 35.162 rumah tangga (21,07%) dan Payakumbuh 4.250 rumah tangga (17,12%).

Orang miskin dikaitkan dengan pekerjaan dan pendapatan perorangan atau rumah tangga seperti buruh tani, nelayan yang tidak punya alat tangkap, buruh dan pedagang kecil. Ditemukan beberapa sebutan orang miskin dalam istilah lokal yaitu urang indak bapunyo

(orang tidak punya), urang indak mampu (orang tidak mampu), urang susah (orang susah), urang sulit (orang sulit). Orang miskin sebagai keadaan negatif, selalu dikaitkan dengan pekerjaan dan pendapatan perorangan atau rumah tangga. Orang sangat miskin disebut juga

urang bangsaik (orang bangsat) atau urang ino (orang hina).

Mereka yang tergolong rumah tangga miskin kebanyakan di perdesaan dengan mata pencaharian pokok sebagai petani di lahan kering atau perladangan. Penyebabnya antara lain :

1) Tanaman perkebunan seperti karet dan kelapa sawit membutuhkan lahan yang luas.

2) Produktivitas rendah karena hama babi dan kera yang susah ditanggulangi masyarakat setempat.

3) Kesuburan tanah dan ketersediaan air rendah.

(6)

tidak mempunyai lahan pertanian. Pada tipologi yang berbasis nelayan, golongan miskin menunjuk pada rumah tangga buruh nelayan yang tidak memiliki sarana penangkap ikan yang lengkap. Biasanya buruh nelayan hanya memiliki sampan saja atau perahu tidak bermotor.

Adapun tipologi di daerah perkotaan, golongan miskin biasanya menunjuk pada rumah tangga yang mengandalkan pendapatan dari buruh dan sektor informal. Khususnya sektor informal sangat bervariasi seperti buruh kasar, pedagang yang tidak bermodal atau bermodal kecil. Kebanyakan orang miskin melakukan pekerjaan ganda. Misalnya di daerah perdesaan seorang sebagai petani sawah dapat saja menjadi buruh tani, tukang dan buruh lainnya. Dikalangan nelayan, seorang buruh nelayan dapat saja merangkap sebagai tukang atau buruh angkat. Demikian juga daerah perkotaan, seorang pegawai rendahan merangkap sebagai tukang ojek atau buruh serabutan.

Hasil survai secara keseluruhan, pekerjaan utama sebagai petani atau buruh tani (54,10%), nelayan kecil atau buruh nelayan (16,30%), tukang atau buruh (3,5%), pedagang kaki lima dan lain-lain (23,20%). Pendapatan yang mereka peroleh antara lain terendah Rp. 200.000,-per bulan (20,10%), Rp. 200.000,- sampai dengan Rp. 399.000,-(28,10%), berpendapatan Rp. 400.000,- sampai dengan Rp. 599.000,-(35,30%) dan yang berpendapatan diatas Rp. 600.000,- (16,50%).

Karakteristik sosial, kebanyakan rumah tangga yang dikepalai perempuan termasuk dalam kategori rumah tangga miskin. Rumah tangga miskin memiliki jumlah anak yang lebih banyak dan sebagian besar menjadi tanggungan keluarga karena masih bayi, usia sekolah, belum bekerja atau belum menikah.

Di tengah banyaknya program anti kemiskinan, ternyata ekonomi rumah tangga miskin banyak yang merasa pesimis melihat perbaikan ekonominya. Hasil survey, ada yang merasa ekonominya lebih baik (4,5%), merasa lebih buruk (28,60%) dan yang menjawab tidak ada perubahan (48,20%) dari tahun sebelumnya. Oleh karena itu, penyebab kemiskinan antara lain;

(7)

2) Ketiadaan alternatif dan tidak mampu mengkreasi peluang baru, maka orang miskin bergantung pada pekerjaan yang tidak memberi pendapatan yang mencukupi.

3) Produktivitas rendah karena orang miskin tidak memiliki aset lahan yang memadai. Pertumbuhan penduduk terus berlangsung, sementara luas lahan tetap dan dipengaruhi sistem pemilikan lahan secara adat.

4) Orang miskin tidak mampu mengakses sumber daya karena ketiadaan teknologi dan minimnya modal.

Orang miskin atau rumah tangga miskin dalam menghadapi kemiskinan yang dialami melakukan upaya adaptasi. Strategi yang mereka lakukan untuk mempertahankan hidupnya secara sosial dan ekonomi. Adapun strategi adaptasi tersebut yaitu;

1) Pekerjaan Tetap

Mereka tidak berusaha pindah pekerjaan. Ini menunjukkan mereka bertahan dengan pekerjaan yang dilakukan sekarang. Alasannya tidak tahu alternatif yang tersedia dan pekerjaan yang dilakukan saat ini tetap lebih baik dibandingkan dengan pekerjaan lain dengan resiko pilihannya.

2) Anggota Rumah Tangga

(8)

Secara umum penyebab kemiskinan, antara lain; 1) Lokalitas Ekosistem

Di kalangan petani perdesaan atau lahan kering ketergantungan terhadap lahan secara mutlak, tetapi lahan terbatas. Sedangkan petani sawah ketersediaan air mutlak. Akan tetapi tidak ada irigasi yang baik atau sumber air terbatas, sehingga produksi lahan sawah rendah. Daerah perladangan dengan tanaman tua yang diusahakan membutuhkan lahan yang luas, tetapi lahan yang ada sangat terbatas. Selain itu status tanahnya sebagai tanah adat atau ulayat atau hutan lindung tidak dapat digunakan sembarangan karena pengaturannya yang berbeda.

Pengaruh ekologis sangat dirasakan di kalangan nelayan sangat rentan terhadap perubahan cuaca yang tidak selalu sama atau tergantung iklim, musim angin dan bulan.

2) Rendahnya Akses

Ada keluarga yang kekurangan lahan, disebabkan tanah ulayat hanya digunakan oleh anak kemenakan pemilik ulayat. Banyak orang miskin di nagari dari kalangan pendatang, sehingga tidak dapat menggunakan lahan yang ada. Tanah telah dibagi habis, sedangkan anggota kaum bertambah. Ada golongan keluarga atau masyarakat yang hidup turun-temurun dalam kekurangan aset ekonomi atau rendah aksesnya terhadap sumber daya setempat.

Di kalangan komunitas nelayan miskin, rendahnya akses kepemilikan alat tangkap ikan seperti perahu motor.

3) Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi diikuti dengan kenaikan harga berbagai alat produksi dan kebutuhan konsumsi telah menyebabkan semakin beratnya kehidupan masyarakat. Termasuk kenaikan harga BBM membuat ongkos produksi naik. Pada masyarakat petani ladang yang terjadi meningkatnya biaya produksi seperti bibit dan pupuk. Sementara pendapatan tidak seimbang dengan biaya pengeluaran yang dibutuhkan untuk pangan dan konsumsi rumah tangga.

(9)

yang paling dirasakan yaitu kenaikan harga kebutuhan dasar dan membiayai modal usaha.

4) Kebudayaan

Semua rumah tangga miskin mempunyai pengetahuan dan keterampilan. Namun hanya tahu terhadap kegiatan atau pekerjaan yang diketahui saja, sehingga tidak ada alternatif pekerjaan lain.

2. Kinerja Anti Kemiskinan

Tahun 2002 Pemerintah Provinsi Sumatera Barat membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan yang diketuai oleh Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dan Gubernur Sumatera Barat sebagai penanggung jawab. Tugas komite tersebut yaitu menyiapkan data, mengkoordinasikan kegiatan, memfasilitasi dana, melakukan pemantauan dan pengendalian. Namun dalam pelaksanaan kegiatan belum menunjukkan hasilnya dalam penanggulangan kemiskinan.

Ternyata, sejak tahun 1983 sudah masuk program pengentasan kemiskinan atau program anti kemiskinan yang dilakukan oleh beberapa departemen atau instansi pemerintah lainnya.

Adapun program kemiskinan yang pernah dialami antara lain: 1) Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dari Departemen Sosial RI 2) Inpres Desa Tertinggal (IDT) dari Departemen Dalam Negeri 3) Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit

Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Usaha Pedesaan (Kupedes), Kredit kelompok Kepada Kelompok Masyarakat (K3M)

4) Program Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE)

5) Program Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera (GEKS) dari BKKBN

6) Program perbaikan rumah tidak layak huni dari Departemen Kimpraswil

7) Program bantuan pendidikan bagi anak miskin 8) Program bantuan pengobatan orang miskin

(10)

10)Bantuan Langsung Tunai (BLT)

11)Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dari Departemen Dalam Negeri

12)Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) 13)Program Pengentasan Perkotaan (P2P)

14)Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PPMP) 15)Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS) 16)Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

17)Subsidi BBM

Menurut bantuan yang diberikan, semua program yang ada terbagi lima; pertama, program yang bersifat jaring pengaman atau program yang berorientasi pemenuhan kebutuhan sesaat dengan model bantuan karitatif seperti Raskin, BLT, Kartu Sehat, BAZIS; kedua, program memberdayakan keluarga miskin dengan bantuan modal usaha seperti IDT, KUBE, GEKS, PDM-DKE dan PMP; ketiga, program pembangunan infrastruktur seperti IDT, PPK dan Subsidi BBM; keempat, program, pengembangan keuangan mikro dengan memberikan bantuan modal kepada kelompok simpan pinjam seperti IDT, PPK, PMP dan P2P; kelima, program bantuan pendidikan seperti BOS dan PPK.

Secara umum program anti kemiskinan yang pernah diikuti belum membuat perekonomian mereka membaik. Pada umumnya (90%) pernah mengikuti program anti kemiskinan, bahkan sebanyak 60% lebih pernah mengikuti dua sampai empat macam program anti kemiskinan. Juga diakui responden, sebagian besar (80%) responden mengaku ekonomi mereka tidak berubah dari sebelumnya dan selebihnya (20%) menyatakan lebih buruk dari tahun sebelumnya. Rata-rata tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar karena penghasilan yang diperoleh dibawah Rp. 600.000,- per bulan.

Dampak program yang dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1) Program Tidak Efektif

(11)

hidup sehari-hari dan tidak membuat mereka menyimpan karena bantuan jumlahnya terlalu kecil. Beras Raskin lebih banyak dimanfaatkan penduduk miskin di perkotaan daripada penduduk miskin di perdesaan.

2) Pengembangan Infrastruktur

Program pengembangan infrastruktur seperti jalan dan jembatan yang dibangun telah memudahkan penduduk setempat untuk memasarkan produksinya, kendaraan bermotor dapat menjangkau desanya. Namun daerah penerima bantuan tetap saja menjadi kantong-kantong kemiskinan.

3) Keuangan Mikro Kurang Berhasil

Program pengembangan keuangan mikro bukan perbankan. Terutama dalam bentuk simpan pinjam tidak bermanfaat dalam waktu jangka panjang. Hal tersebut disebabkan kelompok simpan pinjam tidak bertahan lama dan kelompok cepat bubar. Penyebab lain kemacetan tinggi karena cicilan terlalu besar dan anggapan uang pemerintah tidak perlu dikembalikan. Ikatan anggota dengan kelompok rendah karena kebanyakan anggota dan perlu uang. 4) Bantuan Bergulir Kurang Berhasil

Bantuan yang diterima dalam kelompok tidak bergulir karena sapi yang diterima terlebih dahulu dijual sebelum beranak. Selain itu tidak ada pengawasan dan pembinaan dari penyelenggara pro-gram dan tidak ada perhatian dari tokoh masyarakat setempat. 5) Bantuan Alat Tidak Efektif

Program bantuan peralatan usaha tidak efektif karena penerima tidak mampu mengoperasikan alat yang diterima, tidak mampu membayar cicilan dana bantuan dan pendapatan kecil dengan biaya operasional yang tinggi.

Penyebab ketidakberhasilan program, yaitu; 1) Sifat Program

(12)

2) Pengelolaan

Program bantuan tidak berkelanjutan dan kelompok yang dibentuk tidak efektif.

3) Partisipasi Lokal

Partisipasi organisasi sosial dan tokoh lokal rendah karena mereka tidak melakukan langkah-langkah untuk melanjutkan program. Hal itu dianggap bukan menjadi urusan mereka dan tidak ada mekanisme pertanggungjawabannya. Pemerintah nagari/ kelurahan diperlakukan sebagai ujung tombak yang tumpul karena program-program tidak memberdayakan organisasi lokal.

Gagalnya program anti kemiskinan disebabkan; pertama, program-program tersebut tidak ada yang mendorong lembaga lokal untuk aktif terlibat dan bertanggung jawab terhadap program anti kemiskinan. Lembaga nagari/kelurahan tidak aktif memantau dan membenahi program yang ada; kedua, komunitas perdesaan beranggapan penanggulangan kemiskinan merupakan tugas pemerintah.

3. Keragaan Energi Sosial Lokal

1) Peran Institusi Formal

(13)

2) Peran Institusi Informal

Lembaga informal yang ada merupakan lembaga yang tidak terkait dengan pemerintah seperti Kerapatan/Lembaga Adat

Nagari (K/LAN), Badan Musyawarah Adat dan Syara (BMAS),

organisasi berbasis agama dan kekerabatan. Khususnya organisasi yang berbasis keagamaan seperti majlis taklim dan kelompok yasinan, perannya muncul ketika perayaan hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha dan lain-lain. Lembaga tersebut mempunyai tugas mengumpulkan zakat, infaq dan shadaqah untuk dibagikan kepada keluarga miskin.

3) Peran Kekerabatan

Kebutuhan anggota kerabat atau keluarga yang dialami selalu dikaitkan dengan fungsi keluarga luas matrilineal. Bantuan sosial ekonomi diberikan kepada seluruh anggota keluarga yang memerlukan. Terutama berkaitan dengan keperluan yang sifatnya mendadak seperti sakit, kebakaran, meninggal dan musibah lainnya. Unsur matrilineal menjadi pokok perhatian yaitu; pertama, harta pusaka sebagai sumber ekonomi keluarga luas matrilineal; kedua, pola tempat tinggal keluarga luas matrilineal dalam menjalankan perannya; ketiga, aktualisasi adat.

Hubungan sosial ekonomi dimulai dari hubungan timbal balik. Semangat akan timbul saat membantu dalam pelaksanaan perkawinan. Bantuan yang diberikan biasanya dalam bentuk uang dan tenaga, sedangkan dalam biaya pendidikan tidak karena menjadi urusan masing-masing. Bantuan terhadap orang miskin, lanjut usia dan yatim piatu menjadi urusan paruiknya. Mereka lebih baik dipelihara oleh paruik dan masyarakat setempat yang telah saling mengenal dan dijamin lebih baik. Masyarakat tidak mau dan merasa malu menempatkan lanjut usia dan anak yatim ke panti asuhan. Peran tokoh lokal membantu orang miskin dalam bentuk memberikan fasilitas atau modal usaha.

4) Nilai-nilai dan Solidaritas Lokal

(14)

keluarga dan masyarakat. Pepatah Minangkabau; bakampung mamaga kampung, tagak basuku mamaga suku, tagak banagari mamaga nagari, sandar menyandar bagaikan aur dengan tebing. Nilai yang terkandung dalam pepatah tersebut mencerminkan kehidupan keluarga yang saling tolong menolong dan saling bekerja sama.

Namun, dalam perkembangannya nilai-nilai tersebut tidak lagi dijalankan. Masyarakat menggunakan kata individualis untuk menyebut perilaku dari sebagian masyarakat yang tidak lagi memikirkan sanak saudara dan para tetangga dalam kehidupan sehari-hari. Organisasi sosial yang sangat dikenal yaitu Kelompok simpan pinjam, Kongsi dan Julo-julo.

Kelompok simpan pinjam terdiri dari beberapa orang yang mengelompokkan diri yang mengandalkan tenaga untuk kepentingan anggota atau kelompoknya. Ada kelompok laki-laki atau kelompok perempuan. Kelompok juga yang berhubungan dengan pihak luar atau organisasi sosial untuk memperoleh pinjaman. Kelompok simpan pinjam sering cepat bubar karena menjadi pengurus tidak semuanya disenangi masyarakat, kecurigaan anggota terhadap pengurus sangat tinggi.

Kongsi suatu istilah yang dimulai dari individu yang menjual jasa dalam pengolahan lahan pertanian terhadap anggotanya. Kegiatannya bertujuan untuk mengatasi kesulitan mereka dalam membayar tenaga kerja. Biasanya, awal kegiatan kongsi berjalan baik dan selanjutnya sering anggota kongsi malas dengan berbagai alasan. Upah yang dibayarkan berbeda berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sebesar Rp. 20.000,- per hari dan perempuan sebesar Rp. 10.000,- per hari.

(15)

Kesimpulan dan Saran

Pemetaan kemiskinan telah menggambarkan kantong-kantong kemiskinan dalam beberapa kabupaten dan kota yang menjadi lokasi penelitian. Kantong-kantong kemiskinan tersebut berdasarkan tingkat nagari/kelurahan yang terbagi dalam kelompok petani lahan kering, persawahan dan nelayan. Dirumuskannya strategi pengentasan kemiskinan berbasis institusi lokal yang disebutkan berbasis nagari/kelurahan.

Adanya model strategi pengentasan kemiskinan berbasis institusi lokal yang akan diujicobakan pada tingkat nagari/kelurahan yaitu;

a. Konsep

Pengentasan kemiskinan berbasis institusi lokal diartikan program yang bertumpu kepada kekuatan komunitas lokal dengan mengandalkan organiasi sosial yang telah ada. Tujuannya agar komunitas lokal dan tokoh masyarakat pelaku aktif pengentasan kemiskinan. Orang miskin sebagai pelaku utama dan pihak lain sebagai mitra. Partisipasi diperlukan mulai dari tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan pemeliharaan.

b. Prinsip

Organisasi sosial dan tokoh masyarakat harus aktif dan proaktif dalam pengentasan kemiskinan yang disusun sesuai potensi dan aspirasi masyarakat. Diperlukan badan atau organisasi sosial yang bertugas mengkoordinasikan upaya pengentasan kemiskinan. Diperlukan pendampingan yang menguasai tentang strategi dan teknik penanggulangan kemiskinan. Program bersifat pemberdayaan komunitas.

c. Sasaran

(16)

Ketentuan panitia antara lain;

- Lembaga tersebut dibentuk melalui musyawarah di nagari/kelurahan masing-masing,

- Panitia beranggotakan kaum laki-laki dan perempuan secara proporsional

- Struktur organisasi tediri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara dan sekurang-kurangnya lima anggota,

- Tokoh-tokoh terseleksi yang mempunyai komitmen tinggi, - Mempunyai anggaran khusus,

- Menggali sumber-sumber lokal,

- Perlu pemecahan faktor-faktor struktural lokal Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain: 1) Rekruitment Tenaga Pendamping

Pendamping dalam nagari/kelurahan sebanyak dua orang. Pendamping selalu berkoordinasi dengan peneliti dan pemerintahan nagari/ kelurahan.

2) Upaya Penyadaran

Pendamping melakukan upaya penyadaran kepada lembaga-lembaga dan tokoh masyarakat nagari/kelurahan agar mereka aktif melakukamn usaha pengentasan kemiskinan.

3) Membentuk Panitia

Berkoordinasi dengan nagari/kelurahan dengan mengikutsertakan tokoh-tokoh masyarakat untuk membentuk panitia.

4) Pelatihan

Dilakukan terhadap panitia penanggulangan kemiskinan agar memahami kegiatannya.

5) Pendataan

Melakukan pendataan rumah tangga miskin dengan merumuskan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan persepsi setempat.

6) Merumuskan Program

(17)

7) Membuat Peraturan

Panitia dan tokoh masyarakat perlu membuat peraturan dalam pengentasan kemiskinan di daerahnya.

8) Pelaksanaan Program

Panitia penanganan kemiskinan melaksanakan kegiatan sesuai dengan rencana yang telah dibuat.

9) Membangun Keterlibatan

Keterlibatan organisasi-organisasi sosial dan pemerintah dalam melakukan monitoring pengentasan kemiskinan.

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal, 1997. “Ikatan Kekerabatan sebagai Sebuah Jaringan Sosial Ekonomi: Diskusi tentang Isu-isu Perubahan pada Ikatan Kekerabatan

Matri-lineal Minangkabau” dalam Jurnal Pembangunan dan Perubahan Sosial,

Nomor 3 - 4.

Ancok, Djamaluddin, 1995. “Pemanfaatan Organisasi Lokal untuk Mengentaskan Kemiskinan” dalam Awan Setya Dewanta, dkk (ed),

Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial di Indonesia. Yogyakarta; Aditya.

Chambers, R, 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. Jakarta; LP3ES

Hikmat, Harry, 2003. “Pemberdayaan Pranata Sosial Pengalaman Empiris”

dalam Umi Ratih Santoso, dkk (ed), Menemukan Model Pemberdayaan

Pranata Sosial dalam Penguatan Ketahanan Sosial Masyarakat; Perspektif Teoritik, Metodologis dan Empiris. Jakarta; Pusbangtansosmas.

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, 2006. Rencana Pembangunan Jangka

Menangah (RPJM) Provinsi Sumatera Barat Tahun 2006 – 2010: Agenda 6 Mempercepat Penurunan Tingkat Kemiskinan. Padang; Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.

Departemen Sosial RI, 2005. Data dan Informasi PMKS dan PSKS Tahun

2004. Jakarta; Pusdatin Kesos.

Sherraden, M, 2006. Aset untuk orang Miskin: Perspektif Baru Usaha Pengentasan

(18)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Metode Adam-Bashforth-Moulton ordo lima memberikan alternatif metode dalam mendapatkan solusi dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi dengan jumlah komputasi yang lebih

Informasi tersebut menunjukkan bahwa isi pesan yang disampaikan dalam strategi komunikasi program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Sentra Usahtama Jaya

Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul 'Ulama (LTM NU) berupaya melakukan revitalisasi fungsi masjid melalui kegiatan kepedulian sosial kepada masyarakat. Penelitian ini menjelaskan

D) Insersi tabung pada cavum thoraks sebelah kiri. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya edema perifer yang luas. Suara jantung normal. Pada pemeriksaan dengan auskultasi suara paru

4 Dakwah harus dilakukan dengan berbagai cara agar selalu dapat diterima oleh masyarakat, hal ini yang kemudian menjadikan dakwah sebagai sebuah proses perubahan sosial,

Kandou Manado periode Oktober 2009 – Oktober 2013.Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan melakukan studi retrospektif, yaitu dengan melakukan pendataan jumlah

Bila dilihat dari tiap-tiap indikator bahwa sebagaian besar menunjukkan nilai rasio yang sangat baik yang terdaftar dalam tabel 4.54 rekapitulasi penilaian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam beretorika antara Prabowo Subianto, dan Joko Widodo. Baik dalam segi ethos, pathos maupun logos. a) ethos dari