TINJAUAN MAQA>S{ID AL-SHARI>’AH TERHADAP SURAT
KETUA MAHKAMAH AGUNG NOMOR 73/KMA/HK.01/IX/2015
TENTANG PENYUMPAHAN ADVOKAT
SKRIPSI
Oleh:
ANDRE NASRUL KAMAL NIM. C03212035
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM
PRODI HUKUM PIDANA ISLAM
SURABAYA
i
TINJAUAN MAQA>S{ID AL-SHARI’AH TERHADAP SURAT
KETUA MAHKAMAH AGUNG NOMOR 73/KMA/HK.01/IX/2015
TENTANG PENYUMPAHAN ADVOKAT
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu Ilmu Syariah
Oleh
:
Andre Nasrul Kamal NIM: C03212035
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Maqa>{si>d Al-Shari’ah terhadap Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang Penyumpahan Advokat” Skripsi ini adalah hasil dari penelitian kepustakaan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang diantaranya: Bagaimana pertimbangan ketua mahkamah agung dalam Surat Ketua Mahkamah Agung nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang penyumpahan advokat?, Tinjauan maqa>s{id
al-shari>’ah terhadap pertimbangan ketua mahkamah agung dalam Surat Ketua
Mahkamah Agung nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang penyumpahan advokat?
Dengan adanya permasalahan di atas, maka penyusun mengkaji dan meneliti untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi atau penelaahan terhadap buku, literatur, catatan, dan laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dipecahkan. Sedangkan untuk menganalisis hasil penelitian menggunakan teknik deskriptif analisis verifikatif dengan pola pikir deduktif, yaitu dengan cara memaparkan data dengan jelas dalam hal ini data terkait dengan Surat Ketua Mahkamah Agung.
Kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukaan oleh penulis dapat diketahui bahwa: ketua Mahkamah Agung menerbitkan Surat Ketua Mahkamah Agung yang baru Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 perihal penyumpahan advokat dengan beberapa pertimbangan yakni dikarenakan banyaknya organisasi-organisasi advokay yang mengklaim sebagai organisasi-organisasi advokat yang sah, kurangnya tenaga advokat di beberapa daerah di Indonesia serta menjamin hak untuk bekerja dan memperoleh penghidupan yang layak bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan putusan tersebut Mahkamah Agung secara explicit mengakui serta melegalkan seluruh organisasi advokat, dengan kata lain Mahkamah Agung menetapkan tatanan organisasi advokat menjadi multibar yang sebelumnya singlebar. Kedua, Surat Ketua Mahkamah Agung tersebut sesuai dengan prinsip maqa>s{id al-shari>’ah. Surat Ketua Mahkamah Agung tersebut bertujuan untuk melindungi kemaslahatan organisasi advokat sekaligus agar terhindar dari mafsadat.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Kajian Pustaka ... 10
E. Tujuan Penelitian ... 12
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12
G. Definisi Operasional ... 13
H. Metode Penelitian ... 14
BAB II MAQA<S{ID AL-SHARI<’AH ... 22
A. Definisi Maqa>s{id al-Shari>’ah ... 22
B. Tujuan Penerapan al-Shari><’Ah ... 24
C. Maslahah Menurut Al-Gazali ... 27
D. Prinsip dalam Maqa>s{id al-Shari>’ah ... 35
BAB III GAMBARAN UMUM POLEMIK DALAM ORGANISASI ADVOKAT DAN DESKRIPSI SURAT KETUA MAHKAMAH AGUNG NOMOR 73/HK.01/IX/2015 TENTANG ADVOKAT .... 40
A. Latar Belakang Dikeluarkannya Surat Ketua Mahkamah Agung No. 73/HK.01/IX/2015 tentang Advokat ... 40
B. Deskripsi Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang Advokat ... 46
BAB IV ANALISIS MAQA>S{ID AL-SHARI>’AH TERHADAP SURAT KETUA MAHKAMAH AGUNG NOMOR 73/KMA/HK.01/IX/2015 TENTANG PENYUMPAHAN ADVOKAT ... 52
A. Pertimbangan Ketua Mahkamah Agung dalam Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang Penyumpahan Advokat ... 58
B. Analisis Maqa>s{id al-Shari>’ah terhadap Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang Advokat ... 58
BAB V PENUTUP ... 62
A. Kesimpulan ... 62
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbincangan mengenai hukum di Indonesia pastinya tidak terlepas
dari lembaga penegak hukum, tidak terkecuali organisasi advokat. Istilah
advokat bukan asli bahasa Indonesia namun berasal dari bahasa Belanda
yaitu Advocaat, yang berarti orang yang memberikan jasa hukum baik
diberikan di dalam atau di luar sidang.1 Sedangkan pengertian advokat
menurut pasal 1 butir 1 undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang
advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam
maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan
ketentuan undang-undang yang mengatur.2 Organisasi advokat sendiri
adalah sebuah wadah profesi advokat yang didirikan dengan tujuan
meningkatkan kualitas profesi advokat dengan dasar pendirian organisasi
advokat adalah undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat.
Tugas utama advokat antara lain membela kepentingan klien yang
terkena masalah hukum dan melindungi kepentingan klien pada saat
berlangsungnya proses peradilan.3 Pada awal orde baru para advokat
Indonesia memiliki banyak organisasi advokat, namun sebenarnya yang
1 Ishaq, Pendidikan Keadvokatan, (Jakarta: sinar Grafika, 2010), 2. 2 Ibid., 3
2
paling diakui keberadaannya dalam lingkup Nasional adalah Persatuan
Advokat Indonesia atau lebih dikenal dengan nama Peradin. Dikarenakan
memang Peradin didirikan dengan tujuan mentransformasikan ke dalam
sebuah organisasi advokat yang lebih besar. Dengan berkembangnya waktu
Peradin berhasil menjalankan peran yang signifikan bagi perbaikan tidak
hanya profesi advokat, melainkan juga sistem hukum dan peradilan
Indonesia. Namun pada kelanjutannya Peradin dilemahkan dengan berbagai
cara diantaranya, dengan melegitimasi pembentukan berbagai organisasi
advokat baru seperti Himpunan Penasihat Hukum Indonesia (HPHI), Pusat
Bantuan dan Pengabdian Hukum (Pusbadi), serta Forum Studi dan
Komunikasi Advokat (Fosko Advokat)4.
Setelah munculnya berbagai organisasi advokat, pemerintah
mengambil keputusan untuk menjadikan organisasi dalam satu wadah
tunggal yang telah disetujui yakni dengan nama Ikatan Advokat Indonesia
(Ikadin). Ikadin didirikan di Jakarta pada tanggal 10 November 1985 yang
ide pendiriannya pertama kali ditawarkan dalam kongres Peradin 1980 di
Surabaya5. Meskipun Ikadin sudah lahir tetap saja bermunculan berbagai
organisasi advokat baru, baik yang pembentukannya dilatarbelakangi oleh
konflik internal maupun alasan lain, dan akhirnya terbentuklah Komite
Kerja Advokat Indonesia (KKAI) oleh Ikadin, AAI, IPHI, Asosiasi
Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar
3
Modal (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan Himpunan
Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), ditambah dengan Asosiasi
Pengacara Syariah Indonesia (APSI).6
Dalam perkembangan organisasi advokat selanjutnya telah lahir dasar
untuk mengemban profesi sebagai advokat serta wujud untuk mempertegas
pengakuan negara terhadap profesi advokat yakni undang-undang nomor 18
tahun 2003 tentang advokat, namun dalam undang-undang nomor 18
Tahun 2003 tentang advokat yang perlu dikaji adalah pasal 4 ayat (1) dan
pasal 28 ayat (1). Dalam pasal 28 ayat (1) diamanatkan untuk membentuk
wadah tunggal organisasi advokat dan pada akhirnya pada tanggal 21
Desember 2004, kedelapan organisasi advokat yang tergabung dalam
KKAI tersebut membulatkan tekad untuk membentuk organisasi advokat
melalui Deklarasi Pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia pada tanggal
21 Desember 2004 yang kemudian lahirlah PERADI (Perhimpunan
Advokat Indonesia).
Terbentuknya Peradi ternyata tidak otomatis membuat advokat berada
pada satu naungan organisasi, seiring berjalannya waktu tetap berdiri
berbagai organisasi advokat di Indonesia, beberapa organisasi menyatakan
diri sebagai organisasi advokat yang sah dan sesuai dengan mandat dari
undang-undang nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat, bahkan dalam
perkembangannya di internal organisasi advokat itu sendiri malah terjadi
4
perpecahan, sehingga muncul lagi organisasi advokat lain yaitu KAI
(Konggres Advokat Indonesia) dan AAI (Asosiasi Advokat Indonesia).
Kemudian dalam pasal 4 ayat (1) disebutkan: “Sebelum menjalankan
profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji
dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi Negeri di
wilayah domisili hukumnya”. Bunyi sumpah advokat sesuai dengan
undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang advokat dalam pasal 4 ayat2
yaitu:
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji : a). Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar Negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia; b). Bahwa saya untuk memperoleh profesi ini,langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga’ c). Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan; d). Bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara klien yang sedang atau akan saya tangani; e). Bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai advokat; f). Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat”.7
Di sisi lain Surat Ketua Mahkamah Agung nomor 089/KMA/2010
Tanggal 25 Juni 20010 yang pada pokoknya ketua Pengadilan Tinggi dapat
mengambil sumpah para advokat yang telah memenuhi syarat dengan
ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh pengurus
Peradi, sesuai dengan penjelasan di atas ternyata kesepakatan itu tidak
5
dapat diwujudkan sepenuhnya bahkan Peradi yang dianggap sebagai wadah
tunggal sudah terpecah belah dan masing-masing saling mengklaim sebagai
pengurus yang sah.
Dari permasalahan tersebut, Mahkamah Agung dengan berbagai
pertimbangan membuat keputusan dengan menerbitkan Surat Ketua
Mahkamah Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan
advokat dengan harapan dapat memecahkan polemik yang sedang terjadi
dalam organisasi-organisasi advokat yang saling menyatakan dirinya
sebagai organisasi yang sah menurut undang-undang nomor 18 Tahun 2003
tentang advokat. Mengingat kewenangan Mahkamah Agung yang
tercantum dalam UUD 1945 sebagai berikut:8
1. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada
tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang
menentukan lain;
2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang; dan
3. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
Para ahli pun berpendapat tentang tugas Mahkamah Agung yaitu tugas
hakim/badan peradilan sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya
6
dan sebuah Mahkamah Konstitusi.9 Serta Mahkamah Agung juga memiliki
beberapa fungsi yaitu:
1. Fungsi mengadili, yaitu memeriksa dan memutus perkara permohonan
kasasi dan peninjauan kembali.
2. Fungsi menguji peraturan perundang-undangan, yaitu untuk menilai
apakah suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak
bertentangan dengan perundang-undangan yang dibawahnya.
3. Fungsi pengaturan, yaitu untuk mengisi kekosongan hukum.\
4. Fungsi memberi nasehat dan pertimbangan hukum, yaitu memberikan
nasehat hukum kepada presiden dalam hal permohonan grasi dan
rehabilitasi serta memberi pertimbangan hukum ke lembaga tinggi
negara lain.
5. Fungsi membina dan mengawasi yaitu membina dan mengawasi
peradilan dan hakim di bawahnya.
6. Fungsi administrasi yaitu mengelolah administrasi keuangan dan
organisasinya sendiri.
Apabila dihubungkan dengan polemik yang terjadi dalam
organisasi-organisasi advokat, Mahkamah Agung mempunyai kewajiban untuk
mengisi kekosongan hukum, dengan ini Mahkamah Agung mengambil
tindakan dengan mengeluarkan atau menerbitkan Surat Ketua Mahkamah
Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan advokat.
7
Dalam surat ketua Mahkamah Agung tersebut berisikan bahwa setiap
organisasi advokat bisa mengajukan penyumpahan untuk para anggotanya
kepada Pengadilan Tinggi Negeri.10
Dalam hukum Islam sendiri menentukan sebuah hukum harus
berdasarkan atas kemaslahatan hidup manusia dengan mendatangkan
manfaat dan menghindari madharat, untuk meninjau hal tersebut ada
sebuah metodologi untuk mengetahui apa tujuan dari ditetapkannya hukum
yakni maqa>s{id al-shari>’ah. Dimana Imam al-Sha>tibi dalam kitab
al-muwa>faqat berkata: “sekali-kali tidaklah syariat itu dibuat kecuali untuk
merealisasikan manusia baik di dunia maupun di akhirat dan dalam rangka
mencegah kemafsadatan yang akan menimpa mereka”.11 Tujuan dari
hukum syariat adalah untuk merealisasikan kemaslahatan hidup manusia
dengan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat, dari sini penulis
tertarik untuk mengkaji lebih dalam dengan menggunakan analisis maqa>s{id
al-shari>’ah untuk mengetahui apakah dari Surat Ketua Mahkamah Agung
nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015 sudah mencerminkan kemaslahatan atau
sebaliknya yakni kemad}aratan.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari paparan latar belakang di atas maka pokok yang akan dikaji dalam
pembahasan ini adalah:
10 Surat Ketua Mahkamah Agung No. 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang advokat lembaran Negara Republik Indonesia
8
1. Surat Ketua Mahkamah Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015
tentang Penyumpahan Advokat
2. Pertimbangan Ketua Mahkamah Agung dalam Surat Ketua Mahkamah
Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan advokat
3. Dampak dari terbitnya Surat Ketua Mahkamah Agung nomor
73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan advokat
4. Tata cara pelaksanaan sumpah di muka sidang terbuka pengadilan
tinggi wilayah domisili
5. Status advokat yang belum melakukan sumpah advokat
6. Kedudukan organisasi advokat
7. Peran dan fungsi organisasi advokat
8. Tinjauan maqa>s{id al-shari>’ah terhadap pertimbangan ketua Mahkamah
Agung dalam Surat Ketua Mahkamah Agung nomor
73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan advokat.
Dari beberapa identifikasi masalah di atas, perlu diperjelas batasan
atau ruang lingkup persoalan yang akan dikaji/diteliti dalam penelititan ini
agar penelitian ini dapat terarah permasalahan yang akan dikaji/diteliti,
adapun batasan masalah dalam pembahasan ini yaitu:
1. Pertimbangan Ketua Mahkamah Agung dalam Surat Ketua Mahkamah
Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan advokat
2. Tinjauan maqa>s{id al-shari>’ah terhadap pertimbangan Ketua Mahkamah
Agung dalam Surat Ketua Mahkamah Agung nomor
9
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat diangkat berdasarkan latar belakang di
atas adalah:
1. Bagaimana Pertimbangan Ketua Mahkamah Agung dalam Surat Ketua
Mahkamah Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang
penyumpahan advokat?
2. Bagaimana Analisis maqa>s{id al-shari>’ah terhadap pertimbangan Ketua
Mahkamah Agung dalam Surat Ketua Mahkamah Agung nomor
73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan advokat?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang
sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada.12
Penelitian mengenai organisasi advokat ini banyak diteliti oleh peneliti
sebelumnya. Tema yang berkaitan diantaranya yaitu:
1. Penelitian saudara Kusaeri pada tahun 2004 tentang respon lembaga
bantuan hukum Surabaya terhadap undang-undang nomor 18 Tahun
10
2003 tentang advokat, Penelitian ini memfokuskan membahas tentang
tanggapan lembaga bantuan hukum terhadap undang-undang nomor 18
Tahun 2003 tentang advokat yang masih belum jelas mengenai
existensi advokat syari’ah yang secara yuridis mempunyai kewenangan
untuk melakukan advokasi/pendampingan hukum dan mempunyai
kewenangan sama dengan advokat yang berbasis perguruan tinggi
umum sehingga perlu untuk diajukan judicial review.13
2. Penelitian saudara M. Johan Kurniawan pada tahun 2011 tentang
eksistensi dan wewenang advokat dalam mendampingi terdakwa
ditinjau dalam hukum Islam yang membahas tentang konsep
perwakilan dalam sebuah perkara ditinjau dari sudut pandang hukum
Islam. Berdasarkan kajian yang diteliti dari penelitian tersebut adalah
pada existensi dan wewenang advokat menurut undang-undang nomor
18 tahun 2003 tentang advokat dalam mendampingi terdakwa adalah
memberikan bantuan hukum kepada terdakwa, baik di dalam
persidangan maupun di luar persidangan; bisa sebagai wakil dalam
beracara maupun tidak atau memberikan jalan yang harus ditempuh
ketika seseorang tersangkut perkara di pengadilan.14
Dari dua penelitian yang sudah ada, terlihat bahwa dari segi tema ada
kesamaan yakni mengenai organisasi advokat, perbedaan utama dengan
penelitian yang sudah ada yaitu terletak pada pembahasannya, penelitian
13Kusaeri, “Respon Lembaga Bantuan Hukum Surabaya terhadap Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang advokat”, (Skripsi--IAIN Sunan Ampel 2003).
11
sebelumnya membahas tentang tanggapan dari lembaga bantuan hukum
terhadap undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat yang lebih
fokus pada eksistensi advokat berbasis perguruan tinggi syari’ah.
Sedangkan penelitian yang kedua, menganalisis konsep perwakilan dalam
berperkara yang dilihat dari sudut pandang hukum Islam
Mengingat pembahasan mengenai analisis maqa>s{id al-shari>’ah
terhadap Surat Ketua Mahkamah Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015
tentang penyumpahan advokat belum pernah dikaji dan untuk menghindari
multi tafsir dalam Sura\t Ketua Mahkamah Agung nomor
73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan advokat, terlebih melihat
fenomena yang terjadi saat ini dimana banyak organisasi advokat yang
saling berselisih.
E. Tujuan Penelitian
Setiap penulisan ilmiah tentu memiliki tujuan pokok yang akan dicapai
atas pembahasan materi tersebut. Oleh karena itu, penulis merumuskan
tujuan penelitian skripsi sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pertimbangan Ketua Mahkamah Agung dalam
Surat Ketua Mahkamah Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015
tentang penyumpahan advokat.
2. Untuk mengetahui analisis maqa>s{id al-shari>’ah terhadap pertimbangan
Ketua Mahkamah Agung dalam Surat Ketua Mahkamah Agung nomor
12
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini mencakup kegunaan
teoritis dan kegunaan praktis yaitu:
a. Segi teoritis yaitu dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan, pemikiran, dan pengetahuan bagi penelitian
selanjutnya serta dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya pada program studi Hukum Pidana Islam
(Jinayah), jurusan Hukum Publik Islam, Fakultas Syariah dan Hukum.
b. Segi praktis yaitu diharapkan para akademisi dapat dijadikan rujukan
dalam berijtihad, juga sebagai acuan dalam meningkatkan kualitas
hukum, khususnya pada Mahkamah Agung, dalam pengambilan
keputusan bila nantinya menghadapi problematika yang serupa.
G. Definisi Operasional
Perlu dijelaskan secara operasional untuk memahami maksud kajian
dan uraian lebih lanjut, agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam memberi
orientasi terhadap penelitian ini.
1. Maqa>s{id al-shari>’ah secara etimologi adalah gabungan dari dua kata:
maqa>s{id dan al-shari>’ah. Maqa>s{id adalah bentuk plural dari maqs}ad
yang merupakan derivasi dari kerja qas}ada-yaqs}udu yang mempunyai
banyak arti, seperti menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah, adil,
13
berlebih-lebihan dan kekurangan, sementara kata shari>’ah , secara
etimologi bermakna jalan menuju mata air. Dari kedua kata bila
dinisbatkan maka yang segera terlintas adalah tujuan-tujuan hukum
syara’ (Fiqh), baik maqa>s{id al-shari>’ah sebagai teori penggalian hukum
maupun sebagai contoh penerapan hukum dengan basis maqa>s{id
al-shari>’ah15. Dalam penelitian ini penulis mengkonsentrasikan maqa>s{id
al-shari>’ah pada maslahah al-mursalahnya untuk mengetahui tujuan
dari penetapan Surat Ketua Mahkamah Agung nomor
73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan advokat. Maslahah
al-mursalah sendiri mempunyai definisi secara bahasa dapat diartikan
segala sesuatu yang dapat mewujudkan kebaikan dan terhindar segala
macam mad}arrah (bahaya) atau mafsadah (kerusakan) dalam
kehidupan manusia.16
2. Surat Ketua Mahkamah Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015
tentang penyumpahan advokat adalah surat keputusan (beschikking)
yang dikeluarkan ketua Mahkamah Agung, pada penelitian ini Surat
Ketua Mahkamah Agung mengenai penyumpahan advokat.17
H. Metode Penelitian
15 A. Halil Thahir, Ijtihad Maqasidi Rekonstruksi Hukum Islam Berbasis Interkoneksitas Maslahah..., 15.
16 Ibid.,16.
14
Metode penelitian adalah tata cara yang digunakan untuk
mengumpulkan atau mengolah bahan dan menemukan kebenaran dalam
suatu penelitian yang dilakukan. Penelitian ini dapat digolongkan dalam
jenis penelitian kualitatif (kepustakaan) dengan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis dari dokumen,
undang-undang, bahan-bahan pustaka (library research), artikel-artikel dan
sumber-sumber yang berkaitan dengan Surat Ketua Mahkamah Agung nomor
73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan advokat. Untuk
mendapatkan hasil yang akurat dalam menjawab rumusan masalah dalam
penelitian ini, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan adalah data yang akan dihimpun atau
digali melalui sumber-sumber data yang berkaitan dengan Surat Ketua
Mahkamah Agung No. 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang
penyumpahan advokat. Data yang digunakan untuk menjawab
pertanyaan dalam rumusan masalah adalah:
a) Pertimbangan Ketua Mahkamah Agung dalam Surat Ketua
Mahkamah Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang
penyumpahan advokat
(1) Surat Ketua Mahkamah Agung nomor 089/KMA/VI/2010
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009
(3) Undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat
15
(1) Definis maqa>s{id al-shari>’ah
(2) Prinsip maqa>s{id al-shari>’ah
(3) Tujuan penerapan al-shari’ah
(4) Maslahah al-mursalah
2. Sumber data
Sumber data yakni sumber penggalian data, baik primer maupun
skunder.18 dalam penelitian ini penulis menggunakan dua sumber data
yaitu:
a) Sumber primer
Sumber primer adalah sumber data yang paling utama, terikat
dengan penelitian yang dilakukan, dan memungkinkan untuk mendapat
sejumlah informasi yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian,
sumber primer dari penulisan ini yaitu:
1) Surat Ketua Mahkamah Agung nomor
73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan advokat
2) Surat Ketua Mahkamah Agung nomor 089/KMA/VI/2010
3) Undang-undang nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat
b) Sumber sekunder
Sumber sekunder adalah sumber data yang bersifat membantu dan
melengkapi sumber primer, sumber skunder dari penulisan ini yaitu :
1) Pandangan ulama tentang maqa>s{id al-shari>’ah
16
2) A. Halil Thahir, Ijtihad Maqasidi Rekonstruksi Hukum Islam
Berbasis Interkoneksitas Maslahah, LKIS printing cemerlang:
Jogjakarta, 2015.
3) Asmawi, “teori maslahat dan relevansinya dengan perundang
-undangan pidana kghusus di Indonesia”, Badan litbang dan
diklat KEMENAG RI, Jakarta, 2010.
4) Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana
Ilmu, Jakarta, 1997.
5) Miftahul Arifin, Usul Fiqih Kaidah-Kaidah Penerapan Hukum
Islam, Citra Media, Surabaya, 1997.
6) Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel
Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi, Surabaya, 2014.
7) Henry P. Pangabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik
Sehari-Hari, sinar harapan, jakarta, 2001.
8) Binziad Kadafi, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Studi
tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Pusat
Study Hukum dan Kebijakan Indonesia: Jakarta, 2001.
9) Ishaq, Pendidikan Keadvokatan, sinar Grafika: Jakarta,2010.
10) Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Kencana: Jakarta, 2011
17
Teknik pengumpulan data adalah teknik pengumpulan data yang
secara riil (nyata) digunakan dalam penelitian, bukan yang disebut
dalam literatur metodologi penelitian.19 Penulis mengumpulkan data
ini dengan cara dokumentasi, yaitu mencari pokok-pokok bahasan yang
sesuai dengan pembahasan karya ilmiah ini. Kemudian penulis
membaca, menulis, mengkaji, merangkum, dan mengumpulkan data
yang berkaitan dengan Surat Ketua Mahkamah Agung nomor
73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan advokat, tersebut.
4. Teknik Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari penggalian sumber-sumber data tersebut
diolah dengan tahapan sebagai berikut:
a. Editing yaitu Melakukan pemeriksaan kembali terhadap data yang
diperoleh secara cermat baik dari sumber primer maupun sumber
sekunder, dengan tinjauan maqa>s{id al-shari>’ah terhadap Surat
Ketua Mahkamah Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang
penyumpahan advokat.
b. Organizing yaitu mengatur dan Menyusun data secara sistematis
mengenai kajian maqa>s{id al-shari>’ah terhadap Surat Ketua
Mahkamah Agung no 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang
penyumpahan advokat sehingga dapat memperoleh gambaran yang
sesuai dengan rumusan masalah serta mengelompokkan data yang
diperoleh.
18
c. Analyzing yaitu dengan memberikan analisis lanjutan terhadap
hasil editing dan organizing data yang telah diperoleh dari
sumber-sumber data dengan menggunakan teori-teori dan maqa>s{id
al-shari>’ah sehingga dapat diperoleh kesimpulan.
d. Translitrasi yaitu teknik mengubah bahasa Arab ke bahasa latin
(bahasa Indonesia) agar dapat dipahami oleh orang-orang yang
membaca, sehingga tidak terjadi kesalah pahaman dalam
memahami penelitiaan ini.
5. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan deskriptif analisis verifikatif dengan
pola pikir deduktif, yaitu dengan cara memaparkan data dengan jelas
dalam hal ini data terkait dengan Surat Ketua Mahkamah Agung
nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan advokat,
kemudian dianalisis dan diverifikasi dengan teori maqa>s{id al-shari>’ah.
Metode ini digunakan penulis untuk mengetahui tujuan dari
diterbitkannya Surat Ketua Mahkamah Agung nomor
73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan advokat.
I. Sistematika Pembahasan
Yang dimaksud sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah
19
bahasan skripsi.20 Agar tercapainya pembahasan penelitian ini menjadi
sistematis dan kronologis yang sesuai dengan alur berpikir ilmiah, maka
dibutuhkan sistematika pembahasan yang tepat, adapun sistematika
pembahasan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan awal yang memaparkan secara global tentang
latar belakang masalah yang dikaji. Hal ini merupakan langkah awal untuk
melangkah pada bab-bab selanjutnya. Bab ini meliputi, latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan dan kegunaan penelitian, devinisi operasional, metode
penelitian dan sistematika pembahsan.
Bab kedua, akan menjelaskan secara detail semua tentang maqa>s{id
al-shari>’ah, diantaranya berisi tentang definisi maqa>s{id al-shari>’ah, tujuan
penerapan al-shari>’ah, prinsip maqa>s{id al-shari>’ah, dan maslahah al
mursalah.
Bab ketiga, akan menjelaskan secara detail semua tentang deskripsi
singkat polemik dalam organisasi advokat, penjabaran Surat Ketua
Mahkamah Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan
advokat dan pertimbangan ketua Mahkamah Agung dalam Surat Ketua
Mahkamah Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan
advokat.
Bab keempat, memuat tentang analisis mengenai Surat Ketua
Mahkamah Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan
20
advokat dan analisis maqa>s{id al-shari>’ah terhadap Surat Ketua Mahkamah
Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan advokat.
Bab kelima, memuat penutup yang berisi kesimpulan tentang
pertimbangan ketua Mahkamah Agung dalam Surat Ketua Mahkamah
Agung nomor 73/KMA/HK.01/1X/2015 tentang penyumpahan advokat,
kandungan maslahah dalam Surat Ketua Mahkamah Agung nomor
73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang penyumpahan advokat, serta saran yang
BAB II
MAQA<S{ID AL-SHARI<’AH
A. Definisi Maqa>s{id al-Shari>’ah
Secara bahasa maqa>s{id al-shari>’ah terdiri dari dua bahasa, yakni:
maqa>s{id dan shari>’ah. Kata maqa>s{id merupakan bentuk jama’ dari maqs}ad
yang berarti maksud dan tujuan, sedangkan kata shari>’ah mempunyai
pengertian hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia agar
dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat.
Jika keduanya dinisbatkan maka maqa>s{id al-shari>’ah berarti maksud atau
tujuan disyariatkan hukum Islam.1 Dengan demikian maqa>s{id al-shari>’ah
mempunyai arti kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum,
dalam arti lain maqa>s{id al-shari>’ah adalah tujuan-tujuan yang hendak
dicapai dari suatu penetapan hukum.2
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa yang menjadi bahasan
utama dalam maqa>s{id al-shari>’ah adalah hikmah dan illat ditetapkan suatu
hukum. Dalam kajian ushul fiqh, hikmah berbeda dengan illat. Illat adalah
sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara objektif (zahir), dan ada
tolak ukurnya (mund}abit) dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib)
yang keberadaannya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan
hikmah adalah sesuatu yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya
23
hukum dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. Dalam kajian filsafat
hukum Islam yang menjadi titik utama sama dengan maqa>s{id al-shari>’ah
sehingga dapat dikatakan bahwa istilah maqa>s{id al-shari>’ah identik dengan
filsafat hukum Islam.3
Menjaga dan memelihara kemaslahatan serta untuk menghindari
mafsadat umat manusia adalah tujuan dari diterapkannya syariat,
sebagaimana dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 201-202.4
ّنل ع نق ةنسح رخآ يف ةنسح ينّدل يف نتآ نّب لوقي نم م نم
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (Qs. al-Baqarah : 201-202).”5
Dari ayat tersebut secara explicit menggambarkan bahwa hukum Islam
compatible bagi segala kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia.
Hukum Islam (syari'ah) melalui teks-teks sucinya (al-nusu>s al-muqaddasah)
dapat mewujudkan maslahat pada setiap ketentuan hukumnya dan tidak
satupun masalah hukum yang muncul kecuali sudah ada di dalam al-Qur’an
dan Hadis sebagai petunjuk jalan, hukum Islam selaras dengan fitrah yang
memperhatikan segenap sisi kehidupan manusia dan menawarkan tuntunan
hidup yang berkeadilan bahkan hukum Islam selaras dengan moralitas
3 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam…,123.
24
kemanusiaan yang luhur, yang membebaskan manusia dari cengkraman
kuasa hawa nafsu yang destruktif, dengan kata lain hukum Islam bervisi
dan bermisi mulia serta senantiasa memperhatikan realisasi maslahat bagi
setiap hamba-Nya, karena itu maslahat menjadi dasar bagi para mujtahid
untuk mengetahui hukum Allah atas perkara yang tidak ditegaskan dalam
al-Qur’an, sehingga memiliki relevansi dengan konteks zaman.6
B. Tujuan Penerapan al-Shari>’ah
Tujuan dari penerapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan hidup manusia dengan mendatangkan manfaat dan
menghindari madharat. Maslahat secara umum dapat dicapai melalui dua
cara:
1. Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang
disebut dengan istilah jalb al-manafi’, manfaat ini bisa dirasakan
secara langsung saat itu juga atau tidak langsung pada waktu yang
akan datang.
2. Menghindari atau mencegah kerusakan dan keburukan yang sering
diistilahkan dengan dar al-mafsid.
Adapun yang dijadikan tolak ukur untuk menentukan baik buruknya
(manfaat dan mafsadahnya) sesuatu yang dilakukan adalah apa yang
menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntunan kebutuhan
25
bagi kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat, yakni kebutuhan primer,
sekunder dan tersier. Dalam karyanya al-muwa>faqat imam al-Sha>tibi
berkata bahwasannya “Sekali-kali tidaklah syariat itu dibuat kecuali untuk
merealisasikan manusia baik di dunia maupun di akhirat dan dalam rangka
mencegah kemafsadatan yang akan menimpa mereka”.7
Untuk memperoleh penjelasan yang lebih jelas dari tujuan maqa>s{id
al-shari>’ah, maka perlu diketahui bahwa dalam maqa>s{id al-shari>’ah terdapat
tingkatan kepentingan atau kebutuhannya. al-Gaza>li mengkategorikan
berdasarkan segi substansinya (quwwatiha fi dza>tiha) dimana menjadi 3
tingkatan.8 Tingkatan-tingkatan tersebut yakni:
1. Al-Umur al-daru>riyya>t (pokok) adalah memelihara
kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia, Tujuan
primer dalam hukum Islam ialah tujuan hukum yang mesti ada demi
adanya kehidupan manusia. Apabila tujuan itu tidak dicapai, maka
akan mengganggu kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat,
bahkan merusak kehidupan itu sendiri. Kebutuhan hidup yang primer
ini hanya bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam
yang disebut al-d{aru’riyya>t al-khams, kelima tujuan itu ialah,
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara
keturunan, dan memelihara harta.9
7Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), 225.
8 Yusuf al-Qaradawi, Fiqh Maqashid syariah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, terjemahan, Arif Munandar Riswanto, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007) 27.
26
2. Al-Umur al-ha>jiya>t (primer) adalah kebutuhan yang dapat
menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Tujuan
sekunder dalam hukum Islam ialah terpeliharanya tujuan kehidupan
manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder hidup manusia
itu. Kebutuhan hidup sekunder ini bila tidak terpenuhi atau terpelihara
akan menimbulkan kesempitan yang mengakibatkan kesulitan hidup
manusia. Untuk memenuhi kebetuhan yang dapat menghindarkan dari
kesulitan dalam hidupnya. Tidak terpeliharanya kelompok ini tidak
mengancam eksistensi kelima pokok di atas, tetapi hanya akan
menimbulkan kesulitan.10 Kebutuhan hidup yang bersifat sekunder ini
terdapat dalam hal adat, muamalah, ibadah, uqubah, dan jinayat.
3. Al-Umur al-tah{si>niyyat (sekunder) adalah bertitik tolak kepada segala
sesuatu yang membuat indah keadaan manusia, dan membuat hal itu
sebagai dengan tuntutan norma dan akhlak mulia. Tujuan tersier dalam
hukum Islam ialah tujuan hukum yang ditujukan untuk
menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa
yang baik dan yang paling layak menurut kebiasaan dan menghindari
hal-hal yang tercela menurut akal sehat, seperti halnya dalam bidang
ibadah, Islam mensyariatkan bersuci (toharoh) untuk badan, pakaian,
tempat, menutup aurat. Islam menganjurkan berhias ketika hendak
pergi ke masjid dan sebagainya, dalam bidang muamalah, Islam
mengharamkan memalsu, menipu, melampaui batas, menggunakan
27
setiap yang najis dan bahaya juga melarang seseorang menyaingi
secara tidak sehat atas jual beli orang lain dan sebagainya, dalam
bidang uqubah, Islam melarang membunuh anak-anak dan kaum
wanita dalam peperangan, juga melarang penyiksaan dan sebagainya,
dan dalam bidang adat, seperti memelihara adab makan, adab minum,
menjauhi makanan-makanan yang najis dan tidak berlebih-lebihan.11
C. Maslahah Menurut Al-Gazali
Imam al-Gazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al- Gazali al-Tufi al-Shafi’i lahir pada tahun 450 H / 1058 M
di sebuah kota kecil di Khurasan (Iran) bertepatan dengan setelah tiga
tahun kaum Saljuk (satu persukuan bangsa Turki) yang berkuasa di
baghdad.12 Orang tua al-Ghazali adalah seorang pemintal benang dari bulu
dan dikenal sebagai orang yang saleh dan hidup sederhana.
Pada waktu kecil, atas wasiat ayahnya sebelum meninggal, al-Ghazali
menimba ilmu pada Ahmad bin Muhammad al-Razikani. Kemudian dia
mengembara ke Nisabur untuk belajar di Madrasah Niza>miyyah yang
dipimpin oleh al-Haramayn al-Juwaini al-Shafi’i (478 H). Di madrasah ini
al-Ghazali mendalami berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti tasawuf,
fiqh, tauhid, filsafat dan logika. Kecerdasan dan kedalaman ilmu
pengetahuan al-Ghazali dia buktikan dalam sebuah forum diskusi ilmiah
yang dihadiri oleh para ulama cendekia dan Niza>m al-Muluk, pendiri
11 Ibid., 255.
28
Madrasah Niza>miyah yang juga menjabat sebagai Perdana Mentri Sultan
Saljuk Malik Syah. Penampilan al-Ghazali yang memukau seluruh ulama
dan termasuk juga Niza>m al-Muluk, menghantarkannya untuk
mendapatkan kepercayaan sebagai tenaga pengajar di Madrasah Niza>miyah
pada tahun 484 H. Dan lima tahun kemudian al-Ghazali diangkat menjadi
kepala madrasah tersebut.
Secara bahasa, maslahah dalam terminologi usu>l al-fiqh diartikan
segala sesuatu yang dapat mewujudkan kebaikan dan terhindarnya segala
macam mad{arah (bahaya) atau mafsadah (kerusakan) dalam kehidupan
manusia. Dengan demikian, ada atau tidaknya maslahah. Sebaliknya bila
terjadi bahaya, ketimpangan, ketidak adilan dan sebagaimana, berarti hal
yang demikian itu disebut mafsadah (kerusakan) atau madarah (bahaya).
Al-Ghazali mendefinisikan maslahah adalah memelihara tujuan-tujuan
syari’at serta yang dijadikan pertimbangan hukum adalah tujuan atau
maslahah menurut pandangan Allah Swt. Tidak semata maslahah dalam
persepsi manusia, kemaslahatan tersebut bukan berarti untuk kepentingan
Tuhan, melainkan untuk kemaslahatan dan kebaikan umat manusia dalam
menjalani hidup di dunia hingga akhirat kelak. Ditinjau dari aspek diakui
atau tidaknya oleh syari’at, menurut al-Ghazali maslahah terbagi dalam
tiga kategori:
1. Maslahah mu’tabarah yaitu maslahah yang sejalan dengan kehendak
29
haramnya minum segala sesuatu yang memabukkan karena diqiyaskan
dengan arak (al-khamr).
2. Maslahah batilah (mulghah) yaitu maslahah yang bertentangan dengan
kehendak Allah Swt.
3. Maslahah nash (teks al-Qur’an maupun al-Hadits) membiarkannya
tanpa ada kejelasan, apakah termasuk muslahah mu’tabarah
(dibenarkan menurut syara’), atau maslahah mulghah (ditolak oleh
syara’). Kemaslahatan jenis ini disebut maslahah mursalah (lepas tanpa
ketentuan). Kemaslahatan tipologi ini, menurut al-Ghazali, selagi
termasuk dalam hal yang mendesak dan mencakup kemaslahatan
umum adalah boleh melakukannya, seperti dibolehkannya menyerang
orang-orang kafir yang menjadikan orang-orang Islam sebagai tameng,
walaupun tindakan tersebut bisa jadi mengakibatkan jatuhnya korban
dari salah satu kaum muslimin yang dijadikan tameng tersebut.13
Di sisi lain, al-Ghazali juga mengkategorisasi masalahat berdasarkan
segi kekuatan substansinya (quwwatiha fi dza>tiha) dimana maslahat itu
dibedakan menjadi tiga yaitu:14
1. Maslahat level al-daru>ra>t,
2. Maslahat level al-h~a<<>ja>t
3. Maslahat level al-tab~si>natlal-tazyi>nat.
13 Ibid., 38
30
Masing-masing bagian disertai oleh maslahat penyempurna/pelengkap.
Pemeliharaan lima tujuan/prinsip dasar yang berada pada level al-d~arura>t
merupakan level terkuat dan tertinggi dari maslahat. Kelima tujuan/prinsip
dasar mencakup sebagai berikut:
1. Memelihara Agama (Hifzh al-Di>n).
Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya,
dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a) Memelihara agama dalam peringkat daru>riyya>t, yaitu memelihara
dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat
primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu
diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama.
b) Memelihara agama dalam peringkat ha>jiyya>t, yaitu melaksanakan
ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti
shalat jamak dan shalat qashar bagi orang yang sedang bepergian.
Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan
mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit
bagi orang yang melakukannya.
c) Memelihara agama dalam peringkat tah{si>niyyat, yaitu mengikuti
petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia,
sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan.15
Agama merupakan persatuan antara aqidah, dalam hal amaliyah,
Islam mewajibkan mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa, dan
31
ibadah haji. Sedangkan dalam hal khuluqiyah, Islam mewajibkan anak
berbakti kepada kedua orang tuanya, tidak boleh sombong dan
angkuh.16
2. Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs)
Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a) Memelihara jiwa dalam peringkat daru>riyya>t, seperti memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat
terancamnya eksistensi jiwa manusia.
b) Memelihara jiwa, dalam peringkat haj>iyya>t, seperti diperbolehkan
berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal.
Kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam
eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c) Memelihara jiwa dalam peringkat tah{si>niyyat, seperti
ditetapkannya tata cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya
berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan
mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit
kehidupan seseorang.17
Untuk melestarikan jiwa, Islam mensyariatkan perkawinan untuk
kelangsungan keturunan serta kelanggengan jenis manusia. Dan juga
16 Miftahul Arifin, Usul Fiqih Kaidah-Kaidah Penerapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra Media, 1997), 250.
32
dengan memelihara jiwa, Islam mensyariatkan hukum qishas atau
hukum setimpal, diyat atau denda, dan kafarah atau tebusan terhadap
orang yang menganiaya jiwa.18
3. Memelihara Akal (Hifzh al-‘Aql)
Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a) Memelihara akal dalam peringkat darur>iyya>t, seperti diharamkan
meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak dijalankan
maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
b) Memelihara akal dalam peringkat ha>jiyya>t, seperti dianjurkannya
menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka
tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang,
dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
c) Memelihara akal dalam peringkat tah{si>niyyat. Seperti
menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu
yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etiket, tidak
akan mengancam eksistensi akal secara langsung.
Untuk memelihara akal, Islam mensyariatkan haramnya khamer
dan setiap yang memabukkan.
4. Memelihara Keturunan (Hifzh al-Nasl)
Memelihara keturunan, jika ditinjau dari tingkat kebutuhannya,
dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
33
a) Memelihara keturunan dalam peringkat darur>iyya>t, seperti
disyariatkan untuk menikah dan larangan untuk zina. Kalau
keduanya ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
b) Memelihara keturunan dalam peringkat haj>iyya>t, seperti
ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada
waktu akad nikah dan diberikan hak talaq kepadanya. Jika mahar
itu tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan
mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl.
Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan,
jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah
tangganya tidak harmonis.
c) Memelihara keturunan dalam peringkat tah{si>niyyat, seperti
disyariatkan khitbah atau walimat dalam perkawinan. Hal ini
dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal
ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan,
dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan. 19
Untuk memelihara kehormatan, Islam mensyariatkan hukuman
dera seratus kali bagi lelaki atau perempuan yang berzina. Dan
hukuman dera delapan puluh kali bagi penuduh zina.
5. Memelihara Harta (Hifzh al-Ma>l)
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat.
34
a) Memelihara harta dalam peringkat daru>riyya>t, seperti syariat
tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta
orang lain dengan cara yang tidak sah. Apabila aturan ini
dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
b) Memelihara harta dalam peringkat ha>jiyya>t, seperti syariat tentang
jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka
tidak akan mengancam eksistensi harta, melainkan akan
mempersulit orang yang memerlukan modal.
c) Memelihara harta dalam peringkat tah{si>niyyat, seperti ketentuan
tentang menghindarkan diri dari penipuan. Hal ini erat kaitannya
dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan
berpengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat
yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang
kedua dan pertama. 20
Untuk mendapatkan harta, Islam mensyariatkan wajib usaha
mencari rezeki dan menetapkan hukum jual beli serta mudlarabah (bagi
hasil). Dan untuk memelihara dan menjaga harta, Islam menetapkan
haramnya pencurian dan memberi hukuman potong tangan kepada
pencuri, baik lelaki maupun perempuan.
35
D. Prinsip dalam Maqa>s{id al-Shari>’ah
Untuk memahami maqa>s{id al-shari>’ah perlu diketahui bawasannya
maqa>s{id al-shari>’ah terbagi menjadi 2 hal pokok, yakni maksud
syari’ (qashdu al-syari’) dan maksud mukallaf (qashdu al-mukallaf).21
a. Qasd al-sya>ri’ fi wad’i al-shari>’ah (tujuan Sha>ri>’ dalam
menetapkan syariat).
Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain selain untuk
mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul
mashalih wa dar’ul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah,
aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk
kemaslahatan manusia itu sendiri.
b. Qasdu al-Sya>ri’ fi Wad’i al-Shari’ah li al-Ifha>m (tujuan Sha>ri’
dalam menetapkan syari’ahnya agar dapat dipahami).
Bagian ini merupakan pembahasan yang paling singkat karena
al-Qur’an turun dengan bahasa Arab, maka untuk dapat memahaminya
dengan benar, seseorang harus menguasai betul kaidah-kaidah bahasa
36
"Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”22
ني ّم ىبرع سلب
"dengan bahasa Arab yang jelas.23"
Disamping itu, syari’at Islam bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi umat Muhammad yang berpredikat “ummiyyah”
(tidak bisa membaca dan menulis). Dengan demikian, syari’at Islam
juga bersifat “ummiyyah”.24
c. Qashdu al-Sya>ri’ fi Wad’i al-Syari>’ah li al-Takli>f bi Muqtada>ha>
(tujuan Sha>ri’ dalam menetapkan syari’at untuk dilaksanakan
sesuai dengan yang dituntut oleh Allah).
Bagian ini menyatakan bahwa maksud Syari’ dalam
menentukan syari’at adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan yang
dituntut-Nya. Masalah yang dibahas dalam bagian ini ada pada dua
masalah pokok yaitu: Pertama, taklif yang di luar kemampuan
manusia (at-taklif bima laa yuthaq). Pembahasan ini tidak akan
dibahas lebih jauh karena sebagaimana telah diketahui bersama bahwa
tidaklah dianggap taklif apabila berada di luar batas kemampuan
37
mengisyaratkan perbuatan di luar kemampuan manusia, maka harus
dilihat pada konteks, unsur-unsur lain atau redaksi sebelumnya.
Misalnya, firman Allah: “Dan janganlah kalian mati kecuali dalam
keadaan muslim”, Ayat ini bukan berarti larangan untuk mati karena
mencegah kematian adalah di luar batas kemampuan manusia. Maksud
larangan ini adalah larangan untuk memisahkan antara keislaman
dengan kehidupan di dunia ini karena datangnya kematian tidak akan
ada yang mengetahui seorangpun.
Kedua, taklif yang di dalamnya terdapat masyaqqah, kesulitan
(al-takli>f bima> fihi masyaqqah). Dengan adanya taklif, Sha>ri’ tidak
bermaksud menimbulkan masyaqqah bagi pelakunya (mukallaf) akan
tetapi sebaliknya di balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukallaf.
Dalam masalah agama misalnya, ketika ada kewajiban jihad, maka
sesungguhnya tidak dimaksudkan dengannya untuk menceburkan diri
dalam kebinasaan, tetapi untuk kemaslahatan manusia itu sendiri yaitu
sebagai wasilah amar makruf nahi munkar. Demikian pula dengan
hukum potong tangan bagi pencuri, tidak dimaksudkan untuk merusak
anggota badan akan tetapi demi terpeliharanya harta orang lain.
d. Qashdu al-Sha>ri’ fi Dukhu>l al-Mukallaf Tahta Ahka>m al-Syari’ah
(tujuan sha>ri’ dalam membawa manusia ke bawah naungan
hukum).
Maslahah yang menjadi tujuan syariat Islam adalah maslahah yang
38
kehidupan akhirat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, maslahah
yang hanya memenuhi aspek duniawi dan mengesampingkan aspek
akhirat adalah bukan tujuan syariat. Untuk itu, dalam mewujudkan
maslahah harus terbebas dari nafsu duniawi.
Untuk mengetahui maqa>s{id al-shari>’ah setidaknya dibutuhklan 3
syarat, yaitu:25
1. Memiliki pengetahuan bahasa arab. Syarat ini menjadi suatu yang
mutlak dikuasai karena al-Qur’an sebagai sumber utama hukum
Islam bahasa arab.
2. Memiliki pengetahuan tentang sunnah. Pengetahuan tentang
sunnah sebagai syarat ijtihad tidak hanya terbatas dalam hal-hal
yang berkaitan dengan kualitas sunnah dan makna yang ditunjuk
oleh teks sunnah, tapi juga mensyaratkan adanya pengetahuan
tentang tujuan-tujuan (Maqa>s{id) dari sunnah itu sendiri, baik
Maqa>s{id yang bersifat umum (‘amah) maupun yang bersifat
khusus (khasah) dengan tetap mempertimbangkan aspek kekuatan
kemaslahatan yang terkandung di dalamnya yakni maslahah
daruriyat (pokok), hajiyyah (primer), Tahsiniyyah (sekunder).
3. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat. Melakukan analisis
terhadap lafal perintah (al-ammar) dan larangan (al-nahy) dan
39
analisis terhadap ’illah (alasan ditetapkannya hukum) yang
BAB III
GAMBARAN UMUM POLEMIK DALAM ORGANISASI ADVOKAT DAN DESKRIPSI SURAT KETUA MAHKAMAH AGUNG NO. 73/HK.01/IX/2015
TENTANG ADVOKAT
A. Latar Belakang Dikeluarkannya Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/HK.01/IX/2015 tentang Advokat
Dalam sejarah perkembangan organisasi advokat sering terjadi
perseteruan antar oraganisasi advokat yang saling mengklaim sebagai
organisasi yang legal, polemik dalam organisasi advokat dimulai dari
bersatunya berbagai organisasi advokat menjadi satu wadah yakni
Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) dikarenakan memang peradin
didirikan untuk mentransformasikan oraganisasi advokat kedalam
oragnisasi yang lebih besar, namun pada kelanjutannya peradin menjadi
lemah karena disahkannya organisasi advokat lainnya seperti Himpunan
Penasihat Hukum Indonesia (HPHI), Pusat Bantuan dan Pengabdian
Hukum (Pusbadi), serta Forum Studi dan Komunikasi Advokat (Fosko
Advokat), dan lain-lain.1 Selanjutnya dalam perkembangan terakhir
organisasi advokat dijadikan menjadi satu wadah tunggal lagi yakni dengan
didirikannya Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), namun masih
saja bermunculan berbagai organisasi advokat di Indonesia, beberapa
organisasi menyatakan diri sebagai organisasi advokat yang sah dan sesuai
41
dengan mandat dari undang-undang nomor 18 tahun 2003, bahkan dalam
perkembangannya di internal organisasi advokat itu sendiri malah terjadi
perpecahan dengan berdirinya Konggres Advokat Indonesia (KAI) dan
Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).
Di samping itu Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia juga merupakan salah satu
pemegang kekuasaan kehakiman bersama dengan Mahkamah Konstitusi
dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi
badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan
Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara. Mahkamah Agung yaitu tugas hakim/badan peradilan sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan dibawahnya dan sebuah Mahkamah
Konstitusi2. Mahkamah Agung memiliki beberapa fungsi menurut UUD
1945 ada 5, yaitu:
1. Fungsi Peradilan
a) Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung
merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina
keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan
peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan
42
undang diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia diterapkan
secara adil, tepat dan benar.
b) Di samping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah
Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat
pertama dan terakhir.
c) Semua sengketa tentang kewenangan mengadili, permohonan
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (pasal 28, 29,30,33 dan 34 undang-undang
Mahkamah Agung nomor 14 tahun 1985).
d) Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan
muatannya oleh kapal perang.
e) Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (pasal 33
dan pasal 78 undang-undang Mahkamah Agung nomor 14 tahun
1985).
f) Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil,
yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan
perundangan di bawah undang-undang tentang hal apakah suatu
peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan
peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (pasal 31 undang-undang
Mahkamah Agung nomor 14 tahun 1985).
2. Fungsi Pengawasan
a) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
43
agar peradilan yang dilakukan pengadilan diselenggarakan dengan
seksama dan wajar dengan berpedoman pada asas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan
hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (pasal 4 dan
pasal 10 undang-undang ketentuan pokok kekuasaan nomor 14
tahun 1970).
b) Terhadap pekerjaan pengadilan dan tingkah laku para hakim dan
perbuatan pejabat pengadilan dalam menjalankan tugas yang
berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok kekuasaan kehakiman,
yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan.
c) Setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan
tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta
memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa
mengurangi kebebasan hakim (pasal 32 undang-undang Mahkamah
Agung nomor 14 tahun 1985).
d) Terhadap penasehat hukum dan notaris sepanjang yang
menyangkut peradilan (pasal 36 undang-undang Mahkamah Agung
nomor 14 tahun 1985).
3. Fungsi Mengatur
a) Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila
44
tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi
kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan (pasal 27 undang-undang
nomor 14 tahun 1970, pasal 7 undang-undang nomor 14 tahun
1985).
b) Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri
bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang
sudah diatur undang-undang.
4. Fungsi Nasihat
a) Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau
pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada
Lembaga Tinggi Negara lain (pasal 37 undang-undang Mahkamah
Agung nomor 14 tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan
nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka
pemberian atau penolakan grasi (pasal 35 undang-undang
Mahkamah Agung nomor 14 tahun 1985). Selanjutnya perubahan
pertama UUD 1945 pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung
diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada
Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi,
namun demikian dalam memberikan pertimbangan hukum
mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan
45
b) Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan
memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan
dalam rangka pelaksanaan ketentuan pasal 25 undang-undang
nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman. (pasal 38 undang-undang nomor 14 tahun
1985 tentang Mahkamah Agung).
5. Fungsi Administratif
a) Badan-badan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana
dimaksud pasal 10 Ayat (1) undang-undang nomor 14 tahun 1970
secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini
masih berada di bawah departemen yang bersangkutan, walaupun
menurut pasal 11 (1) undang-undang nomor 35 tahun 1999 sudah
dialihkan di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
b) Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung
jawab, susunan organisasi dan tata kerja kepaniteraan pengadilan
(undang-undang nomor 35 tahun 1999 tentang perubahan atas
undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman).
Mengingat fungsi makamah agung di atas, Mahkamah Agung
mepunyai kewajiban untuk mengisi kekosongan hukum yang ada
khususnya dalam ruang lingkup oragnisasi advokat guna melerai
46
organisasi advokat, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pada
tanggal 25 September 2015 menerbitkan Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 perihal penyumpahan
advokat.3
B. Deskripsi Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor
73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang Advokat
Sebagai lembaga tinggi negara yang bertempat di Jl. Merdeka Utara
Nomor 9-13 Jakarta (6’10’13LU 106’49’35’BT/6.17028’106.82639’BT),
dengan diketuai oleh Prof Dr. M. Hatta Ali, S.H., M.H., Mahkamah Agung
menerbitkan Surat Ketua Mahkamah Agung nomor
73/KMA/HK.01/IX/2015 dengan faktor banyaknya surat yang masuk ke
Mahkamah Agung dari berbagai pengurus advokat dan perorangan maupun
lembaga negara tentang penyumpahan advokat dan terkait putusan
Mahkamah Konstitusi nomor 101/PUU-VII/2009 tanggal 29 Desember
2009 serta surat Ketua Mahkamah Agung nomor 089/KMA/VI/2010
tanggal 25 Juni 2010 tentang penyumpahan advokat jo nomor
052/KMA/HK.01/III/2011 tanggal 23 Maret 2011 tentang penjelasan Surat
Ketua Mahkamah Agung nomor 089/KMA/VI/2010, Mahkamah Agung
memberikan petunjuk sebagai berikut:
47
1. Bahwa berdasarkan pasal 4 ayat (1) undang-undang nomor 18 tahun
2003 tentang advokat, sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib
bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh
di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
2. Bahwa berdasarkan Surat Ketua Mahkamah Agung nomor
089/KMA/VI/2010 tanggal 25 juni 2010 yang pada pokoknya Ketua
Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumbah para advokat yang telah
memenuhi syarat, dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut
harus diajukan oleh pengurus Peradi sesuai dengan jiwa kesepakatan
tersebut tidak dapat diwujudkan sepenuhnya, bahkan Peradi yang
dianggap sebagai wadah tunggal sudah terpecah dengan
masing-masing mengklaim sebagai pengurus yang sah. Di samping itu berbagai
pengurus advokat dari organisasi-organisasi lainnya juga mengajukan
permohonan penyumpahan
3. Bahwa UUD Negara Republik Indonesia 1945 menjamin hak untuk
bekerja dan memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,
hak mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja (tidak terkecuali advokat) sesuai dengan ketentuan
pasal 27 ayat (2) dan pasal 28D ayat (2).
4. Bahwa di beberapa daerah tenaga advokat dirasakan sangat kurang
karena banyak advokat yang belum diambil sumpah atau janji sehingga
tidak bias beracara di pengadilan sedangkan pencari keadilan sangat