• Tidak ada hasil yang ditemukan

Magister Pendidikan Bahasa Indonesia NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Magister Pendidikan Bahasa Indonesia NOSI Volume 4, Nomor 3, Agustus 2016"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

INTERFERENSI BAHASA JAWA DALAM PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA PADA KARANGAN SISWA KELAS XI

SMK PGRI LUMAJANG TAHUN PELAJARAN 2015/2016

Sumartono

Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia

Abstrak: Peristiwa interferensi terjadi pada tuturan dwibahasawan sebagai akibat kemampuannya dalam berbahasa lain.Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar interferensi morfologi dan sintaksis dalam penggunaan bahasa Indonesia pada karangan siswa kelas XI SMK PGRI Lumajang Tahun Pelajaran 2015/2016. Tujuan khusus untuk mengetahui seberapa besar interferensi bahasa Jawa dalam penggunaan bahasa Indonesia pada karangan siswa kelas XI SMK PGRI Lumajang Tahun Pelajaran 2015/2016. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik simak dan teknik catat. Sumber data berjumlah 4 karangan siswa dari 25 karangan yang dipilih secara acak (random) dan purposive sampling. Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode deskriptif kualitatif dan metode padan dengan teknik dasar (pilah) dan teknik lanjutan (banding). Peneliti menggunakan desain yaitu: (1) menentukan fokus penelitian; (2) menentukan kesesuaian paradigm pada fokus; (3) menentukan kesesuaian paradigma penelitian pada teori substantif yang dipilih untuk membimbing penelitian; (4) menentukan dari mana dan kata siapa data itu akan dikumpulkan; (5) menentukan tahapan-tahapan penelitian; (6) menentukan instrumen penelitian; (7) merencanakan model-model pengumpulan dan perekaman data; (8) merencanakan prosedur analisis data; (9) merencanakan logistik; (10) merencanakan keterpercayaan. Lincoln dan Guba, (1985:226)

Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, Interferensi sistem dan wujud morfologi bahasa Jawa pada morfologi bahasa Indonesia karangan siswa kelas XI SMK PGRI Lumajang adalah pembentukan konfiks {ke-/-an}, prefiks {ke-}, prefiks nasal {N-} beralomorf /ng/ dan /ny/, serta pembentukan prefiks zero, dan sufiks {-an}. Kedua, Interferensi sistem dan wujud sintaksis bahasa Jawa (termasuk frasa atau kelompok kata) pada pengkalimatan bahasa Indonesia karangan siswa kelas XI SMK PGRI Lumajang adalah penggunaan akhiran {-nya}, penggunaan kata sapaan kekerabatan, dan pembentukan frasa.

(2)

PENDAHULUAN

Keraf (19:2000) bahasa dapat diartikan alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa lambang bunyi suara yang dilakukan oleh alat ucap manusia. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai jenis suku bangsa tidak dapat lepas dari bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa yang mereka gunakan dapat berupa bahasa nasional dan bahasa daerah. Bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia digunakan sebagai alat komunikasi antar suku, sedangkan bahasa daerah digunakan sebagai alat komunikasi untuk warga sesuku. Bahasa daerah sebagai bahasa pertama dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, maka kedua bahasa tersebut mengalami kontak bahasa sehingga pengaruh bahasa daerah masuk ke dalam bahasa Indonesia. Salah satu bahasa daerah yang mengalami kontak bahasa tersebut adalah bahasa yang dipakai oleh sebagian besar masyarakat di provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur yaitu bahasa Jawa.

Sebagai akibat adanya kontak bahasa antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, tidak menutup kemungkinan secara tidak disadari kata-kata dari bahasa Jawa masuk ke dalam bahasa Indonesia, begitu pula sebaliknya. Masuknya Bahasa Jawa kedalam Bahasa Indonesia dapat disebabkan karena penutur Bahasa Indonesia adalah masyarakat dengan Bahasa Jawa sebagai Bahasa ibu. Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu masyarakat Jawa, biasa digunakan pada lingkungan informal baik di keluarga maupun di lingkungan masyarakat secara luas. Tidak dapat dihindari, apabila tanpa disadari bahasa Jawa kemudian terbawa dalam

penggunaan bahasa Indonesia dalam situasi formal seperti dalam proses belajar mengajar.

Kedwibahasaan dapat terjadi pada setiap masyarakat yang mengenal dua bahasa. Tidak dapat dipungkiri apabila bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua yang dikuasai dalam masyarakat Indonesia setelah bahasa daerah. Hal ini terjadi pula pada masyarakat Jawa Timur. Sebagian besar masyarakat Jawa Timur dapat menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Fenomena kedwibahasaan dapat terjadi dalam proses pembelajaran di sekolah, baik sekolah yang berada di daerah perkotaan, pinggiran kota, maupun sekolah yang berada di daerah pedesaan. Kedwibahasaan dapat ditemukan dalam proses pembelajaran berbagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah, termasuk juga pelajaran bahasa Indonesia.

Chaer (65:2003) menyatakan bahwa bilingualisme dan multilingualisme sebagai akibat dari kontak bahasa, dapat tampak dalam kasus yang muncul dalam pemakaian bahasa seperti interferensi, integrasi, alih kode, dan campur kode. Interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang sedang digunakan tersebut. Integrasi adalah masuknya unsur bahasa lain ke dalam suatu bahasa yang unsur-unsur dari bahasa lain tersebut, telah dianggap, diperlakukan, dan dipakai sebagai bagian dari bahasa yang menerimanya atau yang dimasukinya.

(3)

bahasa atau pun ragam bahasa tertentu, ke dalam kode lain (bahasa atau ragam lain). Sementara itu, campur kode adalah peristiwa beralihnya penggunaan suatu kode ke dalam kode yang lain yang terjadi tanpa alasan dan biasanya terjadi dalam situasi santai

Suwito (55:1983)

menjelaskan, bahwa interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan, yaitu bidang tata bunyi, tata kalimat, tata kata, dan tata makna. Disamping itu, Weinrich (14:1953) juga membagi bentuk-bentuk interferensi atas tiga bagian, yaitu interferensi fonologi, interferensi leksikal, dan interferensi gramatikal.

Interferensi fonologi adalah pengaruh bunyi bahasa satu ke bunyi bahasa lain. Interferensi gramatikal adalah pengaruh tata bahasa yang satu ke dalam tata bahasa atau struktur bahasa yang lain. Interferensi gramatikal dibedakan atas interferensi morfologis dan interferensi sintaksis. Interferensi morfologi terjadi pada sistem pembentukan kata. Interferensi sintaksis terjadi pada struktur frase, klausa dan kalimat. Interferensi leksikal adalah pengaruh kata dari bahasa satu ke bahasa lain, Interferensi leksikal bisa disebut dengan intereferensi serpihan kata.

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK PGRI Lumajang) tersebut terletak di Kecamatan Lumajang Kabupaten Lumajang. Masyarakat Kecamatan Lumajang, dan sekitarnya adalah penutur asli bahasa Jawa, sehingga dalam komunikasi sehari-hari bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa. Kontak bahasa yang terjadi antara siswa dan masyarakat di sekitar lingkungan sekolah juga

dilakukan dengan bahasa Jawa. Hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap penguasaan bahasa Indonesia siswa. Bentuk pengaruh tersebut dapat diketahui dari adanya unsur-unsur bahasa Jawa yang masuk dalam bahasa Indonesia pada tulisan siswa.

Penggunaan bahasa Jawa bertujuan agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai berikut: (1) menjaga dan memelihara kelestarian bahasa, sastra, dan aksara Jawa sehingga menjadi faktor penting untuk peneguhan jati diri daerah; (2) menyelaraskan fungsi bahasa, sastra, dan aksara Jawa dalam kehidupan masyarakat sejalan dengan arah pembinaan bahasa Indonesia; (3) mengenali nilai-nilai estetika, etika, moral dan spiritual yang terkandung dalam budaya Jawa untuk didayagunakan sebagai upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional; dan (4) mendayagunakan bahasa, sastra, dan aksara Jawa sebagai wahana untuk pembangunan karakter dan budi pekerti.

(4)

tulisan secara sistematis dalam menyajikan sebuah keterampilan menulis. Adapun keterampilan perwajahan yang meliputi penyusunan format, pemilihan ukuran kertas, tipe huruf, penjilidan, penyusunan tabel, dan lain-lain ini diperlukan untuk mendukung kesempurnaan serta kerapian tulisan. Penguasaan tiga ketrampilan dasar dalam menulis tersebut diharapkan akan lebih mudah mengungkapkan apa yang ingin disampaikan. Hasil tulisan yang baik akan memudahkan orang lain untuk memperoleh informasi yang disajikan.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar interferensi morfologi dan sintaksis dalam penggunaan bahasa Indonesia pada karangan siswa kelas XI SMK PGRI Lumajang Tahun Pelajaran 2015/2016 dan untuk mengetahui seberapa besar interferensi bahasa Jawa dalam penggunaan bahasa Indonesia pada karangan siswa kelas XI SMK PGRI Lumajang Tahun Pelajaran 2015/2016.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti merasa tertarik untuk meneliti interferensi bahasa jawa dalam penggunaan bahasa Indonesia pada karangan siswa kelas XI SMK PGRI Lumajang Tahun Pelajaran 2015/2016.

MANFAAT PENELITIAN

Secara teoritis hasil penelitian ini menambah khasanah teori buku teks dan pengembangan model bahan ajar Interferensi bahasa Jawa dalam penggunaan bahasa Indonesia pada karangan siswa berikutnya. Selain itu dalam pembelajaran bahasa Indonesia, hasil penelitian dan pengembangannya diharapkan dapat

digunakan sebagai acuan model penulisan bahan ajar Interferensi bahasa Jawa dalam penggunaan bahasa Indonesia pada karangan siswa yang berbasis teks oleh para penulis buku.

Secara praktis, hasil penelitian dan pengembangan ini dapat dimanfaatkan untuk (1) memberi informasi pada guru sejauh mana siswa telah menguasai bahasa Indonesia di kelas sehingga seorang guru dapat mengambil simpulan hal-hal mana yang perlu diperbaiki dalam pembelajaran, (2) memberi pengetahuan tentang jenis-jenis interferensi dan kemungkinan timbulnya interferensi yang berguna untuk menetapkan strategi pengajaran, (3) mengetahui seberapa jauh kemampuan dan pengetahuan siswa tentang bahasa Indonesia khususnya bahasa Jawa sehingga dapat dibuat suatu perencanaan menyeluruh mengenai pengajaran bahasa Indonesia, (4) memperoleh informasi mengenai jenis-jenis interferensi serta untuk mengetahui cara untuk mencegah terjadinya interferensi tersebut, (5) mendorong para guru untuk mengembangkan lebih lanjut bahan ajar interferensi bahasa Jawa dalam penggunaan bahasa Indonesia pada karangan siswa.

METODE PENELITIAN

(5)

yang berwujud tuturan (Muhadjir 1996:26).

Subroto (2007:9) berpendapat bahwa penelitian kualitatif pada umumnya berusaha membentuk atau membangun teori melalui data yang terkumpul. Ia juga berpendapat, “secara umum dinyatakan bahwa metode kualitatif adalah metode pengkajian atau metode penelitian suatu masalah yang tidak didesain atau dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik”.

Desain penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif. Unsur-unsur dalam desain penelitian kualitatif menurut Lincoln dan Guba, (1985:226) sebagai berikut. (1) menentukan fokus penelitian; (2) menentukan kesesuaian paradigm pada fokus; (3) menentukan kesesuaian paradigma penelitian pada teori substantif yang dipilih untuk membimbing penelitian; (4) menentukan dari mana dan kata siapa data itu akan dikumpulkan; (5) menentukan tahapan-tahapan penelitian; (6) menentukan instrumen penelitian; (7) merencanakan model-model pengumpulan dan perekaman data; (8) merencanakan prosedur analisis data; (9) merencanakan logistik; (10) merencanakan keterpercayaan.

Dua hal pokok yang harus ada dalam sumber penelitian adalah data dan sumber data. Sudaryanto (1993:3) menyatakan bahwa data adalah informasi atau bahan yang disediakan oleh alam yang harus dicari dan disediakan dengan sengaja oleh peneliti yang sesuai dengan masalah yang diteliti.

Dalam penelitian ini, yang menjadi sumber data penelitian adalah karangan bahasa Indonesia

siswa kelas XI SMK PGRI Lumajang. Sumber data yang diambil berjumlah 4 karangan murid dari 25 karangan yang dipilih secara acak (random) dan

purposive sampling. Data pada penelitian ini adalah kata, frasa dan kalimat yang tidak sesuai

dengan sistem morfologi dan sintaksis bahasa Indonesia baku.

Penetapan siswa kelas XI dengan pertimbangan bahwa sebagian besar siswa kelas XI menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya, pengaruh mata pelajaran mulok bahasa Jawa, dan kemanpuan menulis siswa. Pertimbangan lain, jika diambil siswa kelas X, mereka baru dalam taraf penyesuaian memasuki

sekolah lanjutan dari sekolah menengah pertama, sedangkan untuk siswa kelas XII dipersiapkan untuk memasuki ujian akhir sehingga bila mereka dipilih sebagai objek penelitian akan menganggu proses belajar mengajar mereka.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik simak dengan membaca sumber data tertulis, kemudian dilakukan inventarisasi dengan teknik catat, yaitu mencatat data-data yang terkumpul. Data yang terkumpul dan tercatat adalah data yang berupa kata, frasa dan kalimat yang mengandung interferensi. Data yang telah dicatat, kemudian diklasifikasikan berdasarkan bentuknya morfologi dan sintaksis.

(6)

sekaligus menjadi standar atau pembakunya. Sudaryanto (1993:21) mengemukakan dua teknik yang dapat digunakan dalam pengolahan data ini, yaitu teknik dasar (pilah) dan teknik lanjutan (banding). Sudaryanto (1993:23) membedakan teknik dasar (pilah) unsur penentu dibagi menjadi lima, yaitu referen, organ wicara, tulisan, mitra wicara, dan language

yang lain. Sedangkan teknik lanjutan (banding) dibedakan menjadi tiga, yaitu hubung banding menyamakan, hubung banding memperbedakan, dan hubung banding menyamakan hal pokok. Dalam penelitian ini hanya digunakan tiga teknik, yaitu teknik pilah referen, teknik hubung banding menyamakan, dan teknik hubung banding memperbedakan.

Setelah analisis dilakukan maka dilanjutkan dengan teknik penyajian. Sudaryanto (1993:144) menyatakan bahwa penulisan hasil analisis tentu saja memprasyaratkan kelayakan baca demi pemanfaatan yang terikat pada tujuan tertentu. Untuk itulah dimanfaatkan cara-cara penyajian kaidah yang bersifat informal dan formal.

Pada penelitian ini, digunakan teknik penyajian informal dan formal. Teknik penyajian informal dilakukan dengan perumusan dengan kata-kata. Sudaryanto (1993:145) menyatakan bahwa teknik penyajian formal adalah teknik penyajian dengan perumusan dengan tanda dan lambang-lambang. Tanda yang digunakan pada penelitian ini adalah tanda tambah (+) yang menyatakan penambahan antara bagian satu dengan lainya, tanda panah (→) menyatakan perubahan bentuk menjadi bentuk lain, tanda kurung biasa (()) untuk memisahkan

morfem, frasa atau yang lain, tanda kurung kurawal ({}) untuk menyatakan imbuhan yang dimaksud, tanda kurung dengan garis miring (/ /) untuk menyatakan pemisahan dalam proses perubahan bentuk kata.

HASIL PENELITIAN

Proses morfologis ialah proses pembentukan kata-kata dari satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya (Ramlan, 1985). Lebih lanjut Ramlan mengatakan bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat tiga proses morfologis, yaitu (1) Afiksasi (proses pembubuhan afiks), (2) proses pengulangan, dan (3) proses

pemajemukan, Sedangkan

Kridalaksana (1996), mengatakan bahwa proses morfologis meliputi (1) afiksasi, (2) reduplikasi, (3) komposisi, (4) abreviasi, (5) derivasi zero, dan (6) derevasi balik.

Kata yang dibentuk dari satuan lain pada umumnya mengalami tambahan

bentuk pada kata dasarnya. Kata seperti berjalan, bersepeda, bertiga, ancaman, gerigi, berdatangan terdiri atas enam bentuk dasar jalan, sepeda, tiga, ancam, gigi, dan datang yang masing-masing dilekati bentuk yang berwujud ber-, ber-, ber-, -an, -er-, ber-an. Bentuk (morfem) terikat yang dipakai untuk menurunkan kata dinamakan afiks atau imbuhan.

(7)

berjalan, bersepeda, dan bertiga. Satuan atau morfem terikat, seperti

ber-, meng-, peng-, per- adalah prefiks atau awalan. Apabila satuan gramatik (morfem terikat), dilekatkan di bagian belakang kata, maka namanya sufiks atau akhiran, seperti -anpada kataancaman, -kanpada kata

dapatkan, -i pada katadinamai.

Infiks atau sisipan adalah afiks yang diselipkan di tengah bentuk dasar. Satuan seperti -er- dan - el-pada kata gerigi dan geletar adalah infiks atau sisipan. Gabungan prefiks dan sufiks yang membentuk suatu satuan disebut konfiks.

Ramlan (1789:21)

mengatakan bahwa sintaksis adalah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat klausa, dan frasa.

Selanjutnya Muliono (1988:101) menegaskan bahwa sintaksis studi kaidah kombinasi kata menjadi satuan yang lebih besar; frasa dan kalimat. Batasan ini mengemukakan bahwa satuan yang tercakup dalam sintaksis adalah frasa

dan kalimat dengan kata sebagai satuan dasarnya.

Bergayut dari batasan-batasan yang dikemukakan para ahli bahasa tersebut dapat disimpulkan bahwa sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang membicarakan tentang kaidah penggabungan kata menjadi satuan gramatik yang lebih besar yang disebut frasa, klausa, dan kalimat, serta penempatan morfem suprasegmental (intonasi) sesuai dengan struktur semantik yang diinginkan pembicara sebagai dasarnya.

Pola pembentukan kata dengan konfiks {ke-/-an} merupakan peristiwa interferensi morfologi yang

menyatakan makna

‘ketidaksengajaan’. Berikut ini wujud interferensi morfologi BJ ke dalam BI sebagai akibat penggunaan konfiks {ke-/-an}.

1) ”Di perjalanan aku dan adikku bernyanyi-nyanyi sampai-sampai aku dan adikkuketiduran.” (DI 1)

(neng dalan aku karo adiku nyanyi-nyanyi nganthi aku karo adiku keturon)

2) ”Ayah ketiduran di sofa karena ayah kecapekan.” (DI 2)

(bapak keturon ning sofa sebab kekeselen)

Bentuk ketiduran pada penggalan kalimat di atas merupakan interferensi yang terjadi pada BI dari KD + konfiks {ke-/-an}. Bentuk ini memiliki kata asal adalah tidur, kemudian interferensi yang terjadi adalah ketiduran, namun dalam bahasa Indonesia telah terdapat

bentukan untuk makna

‘ketidaksengajaan’ ini, yaitutertidur.

Bentuk ini merupakan wujud interferensi BJ yang terjadi pada BI karena pada pembentukannya dipengaruhi oleh sistem morfologi BJ dari KDturu mendapat konfiks {ke-/-an}. Sebagai berikut.

/tertidur/ (BI) /ketiduran/ (BJ) /turu/ + {ke-/-an} /ke-turu-an/ /keturon/

(8)

Pada penelitian ini terdapat data interferensi morfologi sebagai akibat diterapkannya prefiks {ke-} dari BJ ke dalam BI, sebagai berikut: 1) ”Dan akhirnya aku solat

bersama-sama di Masjid ketemu kawan-kawanku.” (DI 6)

(lan akhire aku solat bareng-bareng ning masjid kepethuk kanca-kancaku)

2) ”Saya sangat senang bisa ketemu

nenek.” (DI 7)

(aku seneng banget isa kepethuk simbah)

Bentuk ketemu pada

penggalan kalimat di atas merupakan wujud interferensi yang berasal dari prefiks {ke} + morfem dasar temu

atau prefiks {ke}+morfem dasar. Bentuk interferensi dengan prefiks {ke-} tidak mengalami perubahan karena morfem dasar yang ditemui diawali dengan konsonan, yaitu morfem /t/.

Pembentukan ini dipengaruhi oleh sistem morfologi pembentukan BJ, yaitu kepethuk. Pembentukan ini memiliki pola yang sama dengan

ketemu, yaitu

KD + {ke-}→ /ke-KD/

Temu →{ke-} + /KD/→ {ke-}

+ /temu/→ /ketemu/ pethuk→ {ke-} + /KD/→ {ke} + /pethuk/→ /kepethuk/ Pembentukan kata tersebut berpengaruh terhadap BI yang digunakan siswa, sehingga salah atau tidak baku. Bentukan ketemu

sebenarnya telah ada padanannya dalam BI baku. Menurut bahasa Indonesia baku, kata temu + prefiks {ber-} menjadibertemu.

Jadi pembentukan kata yang benar pada kalimat tersebut adalah :

”Dan akhirnya aku bertemu kawan-kawanku saat solat bersama-sama di Masjid.”,”Saya sangat senang bisa

bertemunenek.”

Pembentukan kata dengan prefiks {N} beralomorf dalam bahasa Jawa berpengaruh terhadap pembentukan kata dalam bahasa Indonesia. Pada pola pembentukan prefiks nasal {N-} juga terjadi proses luluh. Menurut Soedjito, (1981:97), peluluhan adalah proses hilangnya fenomena hambat tak bersuara /p,t,t,c,k/ fonem dasar tak bersuara dan semi vocal /w/ akibat digabungkannya dengan awalan {N-}. Fonem-fonem tersebut luluh menjadi nasal yang sealat. Awalan {N-} kemudian direalisasikan menjadi /m-, n-, ň-,ŋ-/ dalam kondisi tertentu.

Pembentukan kata dengan prefiks {N} beralomorf /ng/ dapat diperhatikan pada data berikut ini: 1) ”Meskipun rasa ngantuk masih

meliputi diri saya, namun harus lekas bangun dan pergi ke kamar mandi.” (DI 12)

(Aku isih ngantuk, nanging aku kudu cepet tangi lan lunga menyang kolah)

2) ”Aku diundang untuk hadir di ulang tahunnya aku ngasih kado.” (DI 13)

(Aku diundang teka ning ulang tahune aku ngekei kado)

Dalam morfologi BI tidak terdapat pembentukan kata yang menambahkan afiks nasal pada kata dasar seperti itu. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa bentukan kata

(9)

KD (fonem k,h, dan vokal) + {N}→ luluh → /ŋ/

kantuk → /k/ + {N-} → {N}+/kantuk/→ /ŋantuk/

kasih → /k/ + {N-} → {N}+/kasih/→ /ŋasih/

Pembentukan kata dengan prefiks zero merupakan salah satu wujud interferensi morfologi BJ ke dalam BI. Pembentukan kata dengan pembubuhan prefiks {ber-} berpengaruh terhadap pembentukan yang berkaitan dengan perubahan peristiwa pada suatu kalimat dalam bahasa Indonesia. Tidak munculnya prefiks {ber-} karena dalam bahasa Jawa tidak memiliki prefiks {ber}.

”Prefiks {ber-} memiliki tiga macam bentuk, yaitu {ber-}, {be-} dan {bel-}” (Dendy Sugono, 1994:38). Namun Prefiks {ber-} pada data ini hanya dipisah menjadi dua macam, yaitu } dan {be-}. {ber-} digunakan secara umum, yaitu yang tidak digunakan {be-} atau {bel-}. {be-} digunakan pada kata-kata yang dimulai dengan konsonan /r/, seperti pada beramai-ramai.

Pembentukan kata dengan prefiks zero dapat diperhatikan sebagai berikut:

1) ”Acara yg dimulai dengan doa bersama, yang mendoakan agar akutambahpintar, cantik, menurut pada orang tua.” (DI 42)

(Acara sing diwiwiti donga bereng-bareng dongane aku tambah pinter, ayu, nurut wong tua)

2) ”Semoga di hari ulang tahunku aku di beri umur panjang, sehat selalu,

tambahpandai.” (DI 43)

(Moga-moga ing dina ulang tahunku aku diparingi umur

panjang, waras terus, tambah pinter)

Bentuk kata tambah

merupakan bentuk BJ yang berpengaruh terhadap BI yang digunakan siswa, sehingga pemakaian bentuk kata tersebut tidak benar atau tidak baku. Tidak adanya pembubuhan prefiks {ber-} pada morfem tambah menjadikan perubahan peristiwa yang sebenarnya ingin ditampilkan pada kalimat tersebut tidak terbentuk.

Menurut bahasa Indonesia baku, kata tambah seharusnya ditambah prefiks {ber-} sehingga berubah menjadi bertambah. Setelah morfem dasar dibubuhkan prefiks {ber-} maka perubahan situasi

bertambah pandai akan membuat kalimat tersebut dapat dengan tepat dipahami pembaca. Jadi, kalimat yang benar adalah : ”Acara dimulai dengan doa bersama, yang mendoakan agar aku bertambah pintar, cantik, menurut pada orang tua”. ”...aku diberi umur panjang, sehat selalu,dan

bertambahpandai”.

Sufiks {-an} tidak memiliki variasi bentuk. Jadi, untuk situasi dan kondisi apapun bentuknya sama saja. Bentuk ini berfungsi untuk membentuk kata benda yang dapat menduduki fungsi subjek maupun objek.

(10)

bahasa Indonesia tidak menggunakan sufiks {-an}.

Berikut wujud interferensi morfologi BJ ke dalam BI sebagai akibat penggunaan sufiks {-an}. 1) ”Setelah di sekolahan, aku dan

teman-temanku main dihalaman.” (DI54)

(sak wise tekan sekolahan, aku karo kanca-kancaku main ning latar)

2) ”Pada suatu hari di sekolahan

ku...” (DI 55)

(Sak wijining dina ing sekolahanku.)

Bentuk kata sekolahan pada kalimat tersebut merupakan bentuk kata BI dari KD sekolah dan mengalami perubahan bentuk untuk menyatakan kata benda yaitu menyatakan tempat.

/sekolah/ + sufiks {-an} → /sekolahan/

Namun pembentukan tersebut dipengaruhi pola BJ. Penambahan {-an} untuk menyatakan tempat merupakan pola pembentukan BJ. Penggunaan kata sekolahan pada kalimat tersebut menjadi salah. Jadi, kalimat yang benar adalah: ”Pada suatu hari di sekolah ku...” dan “Setelah di sekolah, aku dan teman-temanku bermain di halaman”.

Interferensi sintaksis terjadi apabila struktur bahasa lain (bahasa daerah) digunakan dalam pembentukan kalimat bahasa yang digunakan. Penyerapan unsur kalimatnya dapat berupa kata, frasa, dan klausa. Suwito (1988:56) mengemukakan bahwa interferensi sintaksis terjadi karena di dalam diri penutur terjadi kontak antara bahasa

yang sedang diucapkan (BI) dengan bahasa lain yang dikuasainya (bahasa daerah atau bahasa asing).

Pola akhiran {-nya} tidak memiliki variasi bentuk seperti sufiks {-an}. Jadi, untuk situasi dan kondisi apapun bentuknya sama saja. Pengimbuhannya dilakukan dengan cara merangkaikanya di belakang kata yang diimbuhinya. Penggunaan bentuk {–nya} merupakan interferensi bahasa Jawa berasal dari bentuk klitika {–e} yang menyatakan hubungan makna pemilikan. Hubungan makna pemilikan menurut Sudaryanto (1992:185) ialah hubungan makna sebagai yang dimiliki dan yang memiliki antar ruas yang satu dengan ruas yang lain.dalam bahasa Indonesia, hubungan pemilikan dinyatakan oleh hubungan dua kata benda yang dinyatakan sehingga tidak perlu ditambah bentuk lain. Dengan adanya perbedaan bentuk dan makna pemilikan tersebut, maka penerapan sistem BJ ke dalam BI menimbulkan interferensi.

Wujud interferensi sintaksis bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan tipe pembentukan kata dengan bentuk -nya sesuai deskripsi data penelitian sebagai berikut:

1) ”Dan aku kerumahnya Lili untuk mengerjakan PR Matematika”. (DI58)

(Lan aku nang omahe Lili nggo garap PR matematika)

2) ”Rumahnya Lili bagus sekali” (DI59)

(Omahe Lili apik banget)

Kata kerumahnya berasal dari bentukan kata BJ omahe. Bentuk

(11)

’kepemilikan’ atau ’kontruksi posesif’, yang dalam konteks kalimat tersebut adalah milik Lili. Dalam bahasa Indonesia baku hubungan yang menyatakan milik dinyatakan oleh hubungan dua kata benda, namun tidak ditambah bentuk {–nya} atau dipilih salah satu saja sebagai petunjuk milik.

Kalimat yang benar adalah : ”Dan aku kerumah Lili untuk mengerjakan PR Matematika.”; ”

Rumah Lilibagus sekali.”

”Dalam srtuktur klausa BI, unsur yang diterangkan (D) lazimnya ditempatkan sebelum unsur-unsur yang menerangkan (M). Demikian pula dengan struktur frasa” (Takdir dalam Mustakim, 1994: 71).

Dalam BJ, makna kepemilikan biasa dinyatakan dengan menambahkan klitika {-e}, yang dalam BI dapat dipadankan dengan {-nya}. Namun pada kenyataannya akan terjadi interferensi jika pola BJ tersebut mempengaruhi pembentukan BI.

Pola penggunaan kata sapaan kekerabatan.

1) ”Setelah sampai di rumah nenek, ternyata di situ ada pakde dan

bude.” (DI 68)

(Sak wise tekan omahe simbah, jebule neng kana ana pakde karo budhe)

2) “Setelah selesai memanen saya dan

pakde bude mencuci tangan dan istirahat.” (DI 69)

(Sak wise rampung manen aku karo pakde budhe ngumbah lan leren)

Pola pakde, bude diatas adalah salah satu bentuk interferensi sintaksis yang

menyatakan istilah kekerabatan. Pada data yang ada merupakan istilah kekerabatan yang dipakai pada masyarakat Jawa. Padahal istilah kekerabatan yang digunakan telah ada padanannya dalam bahasa Indonesia baku, yaitu paman dan bibi.

1) ”Ulang tahunnya Siti Novia Ningrum ditutup bersama-sama dengan mas Ipan dan tantenya.” (DI 73)

(Ulang tahune Siti Novia Ningrum ditutup bareng-bareng karo mas Ipan lan budhene)

2) ”...karena masku juga ulang tahun.” (DI 74)

(…amargo masku ya ulang tahun)

Istilah kekerabatan mas pada data di atas adalah salah satu bentuk interferensi sintaksis yang menyatakan istilah kekerabatan. Namun pada data

yang ada merupakan istilah kekerabatan yang dipakai pada kekerabatan masyarakat Jawa. Padahal istilah kekerabatan yang digunakan telah ada padanannya dalam bahasa Indonesia baku, yaitu kakak.

Pola pembentukan Frasa sebagai berikut.

1) ”...andai aku bisa mendapat juara aku akan dikasih hadiahsamaayah dan ibundaku.” (DI 76)

(”...yen aku isa entuk juara aku

bakal diparingi hadiah karo bapak

lan ibuku.”) (BJ)

2) ”Di saat itu aku di beri hadiah

sama ayahkuplaystation dua.” (DI 77)

(“Wektu kuwi aku diparingi

hadiah karo bapakku playstation

(12)

Kata sama pada kalimat BI adalah salah. Untuk menyatakan hubungan seperti itu sebaiknya digunakan kata oleh. Bentuk sama

adalah pengaruh dari BJ, yaitu berasal dari bentukan kata karo. Dalam bahasa Indonesia baku, kata ini berpadanan dengan kata oleh. Jadi kalimat yang benar atau baku adalah : 1) ”...andai aku bisa mendapat juara

aku akan diberi hadiah oleh ayah dan ibundaku.”

2) ” Saat itu aku diberi hadiah

playstation duaolehayahku.”

SIMPULAN

Berdasarkan dari analisis data dan pembahasan masalah, maka didapat simpulan sebagai berikut. 1. Interferensi sistem morfologi

bahasa Jawa pada morfologi bahasa Indonesia karangan siswa kelas XI di SMK PGRI Lumajang adalah pembentukan konfiks {ke-/-an} yang dalam BJ terdapat proses persandian antara /u/ dan /a/ bersandingan →/o/, prefiks {ke-} yang dalam BI berpadanan dengan {ter-}, prefiks nasal {N-} menjadi / ň-, ŋ-/, pembentukan prefiks zero karena dalam bahasa Jawa tidak memiliki prefiks {ber-}, dan sufiks {-an} untuk membentuk kata benda dalam BI tidak perlu.

Wujud interferensi itu sebagai berikut.

a) Pola pembentukan konfiks {ke-/-an}

b) Pola pembentukan prefiks {ke-}

Pembentukan dengan prefiks {ke-} pada umumnya

menyatakan makna

‘ketidaksengajaan’.

c) Pola pembentukan prefiks nasal {N-} beralomorf /ng-/ dan /ny-/ atau /ŋ,ň/

d) Pola pembentukan prefiks zero

Tidak munculnya prefiks {ber-} pada BJ dikarenakan dalam BJ tidak memiliki prefiks {ber-}.

2. Interferensi sistem sintaksis bahasa Jawa (termasuk frasa atau

kelompok kata) pada

pengkalimatan bahasa Indonesia karangan siswa kelas XI di SMK PGRI Lumajang adalah penggunaan akhiran {-nya}, penggunaan kata sapaan kekerabatan, dan pembentukan frasa. Penggunaan akhiran {-nya} merupakan interferensi yang terjadi akibat penerapan sistem BJ bentuk klitika {–e} atau {–ne} yang menyatakan hubungan makna ‘kepemilikan’.

Wujud interferensi itu.

a) Pola penggunaan akhiran {-nya}

b) Pola penggunaan kata sapaan kekerabatan

c) Pola pembentukan frasa

SARAN

Guru pelajaran bahasa Indonesia disarankan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tanpa adanya interferensi bahasa Jawa yang masuk dalam penggunaan bahasa Indonesia.

(13)

Pembaca hasil penelitian ini hendaknya lebih teliti memilih dan menyesuaikan kebutuhan dalam berbahasa.

DAFTAR RUJUKAN

Ramlan, M. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: UP Karyono Atar, Semi. 2003. Menulis Efektif.

Padang: Angkasa Raya.

Atmazaki. 2006. Kiat-kiat Mengarang dan Menyunting. Padang: Citra Budaya.

Oktavianus. 2006.Analisis Wacana Lintas Bahasa. Padang: Andalas University Press. Chaer,Abdul. 2007.Linguistik Umum.

Jakarta: Rineka Cipta

Widyanto, Asul. 2007. Terampil Menulis.Jakarta : Grasindo Edi Subroto. 2007.Pengantar Metode

Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: UNS Press.

Syarif, Elina. dkk. 2009. Pembelajaran Menulis. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bahasa.

Sudarmanto. 2011. Kamus Lengkap Bahasa jawa. Semarang: Widya Karya

Kurikulum mata pelajaran muatan lokal (bahasa Jawa) untuk jenjang

SMA/SMALB/SMK/MA Negeri dan Swasta Di Provinsi Jawa Tengah. 2011. Semarang.

Sugiarto,Eko.2012.Master EYD. Yogyakarta: Khitah Publising

Busri, Hasan. dkk. 2015. Linguistik

Indonesia. Malang:

Worldwide Readers

Referensi

Dokumen terkait

c. Laporan Jasa Non Atestasi, yang disusun dengan menggunakan Formulir Nomor: X.J.2-3 lampiran 3. Laporan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 wajib disampaikan setiap tahun

2016 , mengundang Saudara untuk keperluan Pembuktian Kualifikasi terhadap semua data dan informasi yang ada dalam dokumen penawaran yang Saudara. sampaikan pada pekerjaan

Pasar Modal, dipandang perlu untuk mengubah Keputusan Ketua Bapepam Nomor 38/PM/1991 tentang Laporan Kepada Bapepam Oleh Akuntan dengan Keputusan Ketua Bapepam yang baru;.. Mengingat

Dengan ini memberitahukan bahwa setelah diadakan Penetapan oleh Pejabat Pengadaan barang/jasa Dinas Perikanan Kabupaten Pesawaran maka diberitahukan Pemenang

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dipandang perlu untuk menyempurnakan Peraturan Nomor X.H.1 Lampiran Keputusan Ketua Badan

[r]

Menimbang : bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dipandang perlu untuk menetapkan Keputusan Ketua Bapepam tentang Pemeliharaan Dokumen Oleh

[r]