Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006 15 RENDEMEN DAN KADAR TANIN KULIT KAYU BAKAU
(Rhizophora mucronata Lamck) DARI DAERAH TAKISUNG Rendemen and Tanin Content in Mangrove Bark
(Rhizophora mucronata Lamck) From Takisung Region Oleh/By
Siti Hamidah
Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat
Jl.A. Yani KM 36 Banjarbaru Kalimantan Selatan ABSTRACT
Tanin is complex compound in the form of polifenol compound, tanin obtained by extracting parts of plant containing tanin, like stem, branch, root, fruit, seed and mangrove bark. Direction of this research is to know diameter influences to rendeman and tanin rate in mangrove bark (Rhizophora mucronata Lamck) through alcohol extraction method, so that can give information about mangrove husk exploiting maximally, and also improve economics socialize.Substance that used specially the mangrove bark which extracted with alcohol, hence got result that increasedly the diameter, rendemen and tanin rate progressively mount also, rendemen tanin mean range from 27,31 - 30,13%, while tanin rate range from 19,03 - 27,01%.Tanin content in mangrove bark from Takisung sufficiently high that is more than 5 %, hence can be made as tanin source and better be taken tree with diameter > 20 cm.
Key words : tannin, tannin content, rendemen, mangrove bark
I. Pendahuluan
Indonesia mempunyai hutan mangrove yang cukup luas, yang diperkirakan luasnya sekitar 4,25 juta hektar yang tersebar di sepanjang pantai dan muara-muara sungai. Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada tanah lumpur, aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Di daerah Kalimantan Selatan, khususnya luas areal hutan mangrove sebesar 25 persen dari luas hutan mangrove di Indonesia (Darsidi, 1982). Jenis hutan ini terdapat hampir di sepanjang pesisir pantai Kalimantan Selatan. Menurut data dari Dinas Perikanan & Kelautan (2004), Kalimantan Selatan memiliki wilayah hutan mangrove sebesar 18.459,11 Ha yang tersebar di 5 kabupaten, yaitu Kotabaru seluas 9.177,90 Ha, Tanah Bumbu seluas 3.651,21 Ha, Tanah Laut seluas 2.550,00 Ha, Kabupaten Banjar seluas 65,00 Ha & Barito Kuala seluas 3.105,00 Ha. Salah satu hutan mangrove di wilayah Tanah Laut terdapat di daerah Tabanio Kecamatan Takisung. Salah satu jenis tanaman yang tumbuh di hutan mangrove tersebut adalah Bakau (Rhizophora mucronata Lamck).
Sukardjo (1978) menyatakan kulit pohon bakau yang dikeringkan atau dihancurkan dan dibuat menjadi tepung, rata-rata mengandung tanin 20-30 % dan kadar tanin tersebut tergolong cukup tinggi dan sangat baik untuk penyamakan kulit sol dan juga kulit untuk pelana kuda serta industri lainnya. Tanin dari kulit kayu bakau termasuk dalam kelompok tanin nabati. Tanin nabati sangat disukai oleh perusahaan pengolahan kulit karena dapat menghasilkan tanin dalam jumlah banyak.
Selama ini penduduk di daerah Tabanio Kecamatan Takisung, hanya memanfaatkan kayu Bakau sebagai tiang dalam pembuatan rumah, perkakas rumah
Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006 16
tangga dan bahan bakar untuk dibuat arang tanpa menggunakan kulitnya. Kulit kayu bakau dianggap sebagai limbah yang tak berguna, dibakar atau disimpan, dan belum dimanfaatkan secara maksimal, hanya sebagian kecil saja digunakan untuk bahan bakar. Daya guna limbah ini masih dapat ditingkatkan dengan cara memanfaatkannya menjadi bahan dasar untuk membuat tanin.
Selama ini bahan-bahan penyamak kulit pada umumnya masih diimpor dari luar negeri, sehingga harga dari bahan penyamak merupakan salah satu faktor utama dalam industri penyamakan kulit dan merupakan komponen biaya yang tinggi. Usaha yang dilakukan untuk mengatasi hal ini yaitu dengan memanfaatkan limbah yang berupa kulit kayu bakau sebagai salah satu bahan baku pembuat tanin. Oleh sebab itu sebagai langkah awal perlu dilakukan penelitian mengenai rendemen dan kadar tanin kulit kayu bakau khususnya yang berasal dari pohon kayu Bakau yang tumbuh di Kecamatan Takisung.
II. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rendemen dan kadar tanin dari kulit Bakau pada berbagai kelas diameter pohon yang tumbuh di daerah Takisung. Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat maupun instansi terkait mengenai rendemen dan kadar tanin kulit kayu Bakau yang dapat dihasilkan dari berbagai kelas diameter pohon kayu Bakau yang tumbuh di daerah Takisung. Hal ini dapat mendukung usaha diversifikasi pemanfaatan kayu bakau sebagai salah satu sumber tanin yang potensial, sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di daerah tersebut dan sebagai salah satu usaha untuk dapat terus mempertahankan eksistensi kayu Bakau di daerah pesisir khususnya di Kecamatan Takisung.
III. METODE PENELITIAN A. Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :parang untuk menguliti kayu, kantong plastik, label plastik, meteran untuk mengukur diameter pohon, alat penggiling, untuk menggiling kulit kayu, saringan berukuran 40 dan 60 mesh untuk memperoleh serbuk kulit kayu, oven untuk mengeringkan hasil ekstraksi, water bath untuk memanaskan ekstraksi kulit kayu, neraca analitik untuk menimbang serbuk kulit kayu, desikator untuk menyimpan sementara tanin setelah dikeluarkan dari oven, labu erlenmeyer untuk meletakkan serbuk kulit kayu selama ekstraksi, labu ukur 250 ml untuk membuat larutan dalam jumlah tertentu, pipet hisap 10 ml untuk mengambil larutan (zat kimia) dalam jumlah tertentu, pipet tetes untuk memindahkan larutan (zat kimia) yang berupa tetesan, kertas saring untuk memisahkan filtrat dan ampas setelah ekstraksi, buret 50 ml untuk titrasi, statif untuk menyangga buret, kamera foto untuk dokumentasi penelitian, kalkulator untuk menghitung data dan alat tulis menulis untuk mencatat data.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :kulit kayu Bakau (Rhizophora mucronata lamck), C16H8N2Na2O8S2 (larutan indigo carmin), H2SO4 (Asam
sulfat), Na2C2O4( Natrium oksalat), KMnO4 (Kalium permanganat), C2H5OH (Alkohol 70
Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006 17 B. Prosedur Penelitian
1. Pembuatan contoh uji
Kulit kayu bakau (Rhizophora mucronata Lamck) diambil dari pohon yang berdiameter <10 cm (A1), 10-20 cm (A2), dan >20 cm (A3). Pada masing-masing kelas diameter tersebut diambil sebanyak 3 pohon, dari pohon yang sehat dan batangnya lurus, sehingga total ada 9 pohon bakau yang diambil kulitnya untuk dijadikan sampel uji.
Kulit kayu yang sudah dikuliti dibuat serpihan-serpihan kecil, kemudian dikeringudarakan, lalu digiling menjadi serbuk kulit dengan menggunakan alat Dismilk dan setelah itu disaring dengan ketentuan lolos saringan berukuran 40 mesh dan tertahan pada saringan dengan ukuran 60 mesh. Serbuk yang telah disaring dimasukkan dalam kantong plastik tertutup dan diberi kode sesuai dengan kelas diameter masing-masing.
2. Perhitungan kadar air
Menurut Dumanauw (1982) penentuan kadar air adalah : • Menimbang botol timbang yang telah dikeringkan dalam oven • Mengisi botol dengan sampel serbuk kulit sebanyak 1 gram
• Mengeringkan dalam oven dengan temperatur (100±5)0C sampai berat
konstan kemudian didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang kembali.
Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui berat serbuk yang akan diekstraksi. Adapun rumus untuk menghitung kadar air adalah sebagai berikut:
Ka
Keterangan :
Bb = Berat serbuk awal
Bk = Berat serbuk kering tanur
Berat serbuk yang akan diekstraksi didapatkan dengan rumus:
Berat serbuk = Berat Serbuk Kering Tanur (1+ %kadar air/100) 3. Penentuan rendemen tanin
Menurut Pari (1990) penentuan rendemen tanin dengan ekstraksi alkohol adalah sebagai berikut:
• Menimbang serbuk kulit kayu bakau dan memasukkan ke dalam labu erlenmeyer • Mengekstraksi serbuk kulit kayu bakau dalam alkohol 70 % dengan perbandingan
antara berat serbuk dengan alkohol 1 : 10
• Melakukan ekstraksi selama 2 jam dengan suhu 70oC
• Menyaring dengan kertas saring untuk memisahkan filtrat dari ampas, kemudian menambahkan alkohol (diulang dua kali), kemudian filtratnya disatukan dengan hasil saringan pertama.
• Memasukkan filtrat dalam oven dengan suhu 65o - 70oC sampai terbentuk padatan
tanin dengan berat konstan dan sebelum ditimbang memasukkan terlebih dahulu ke dalam desikator selama 2 menit.
%
100
Bkt
Bkt
Bb
×
=
Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006 18
Menurut Pari (1990) rendemen tanin dihitung dengan rumus : Rendemen tanin (%)
4. Penentuan Kadar Tanin
Menurut Pari (1990) penentuan kadar tanin dengan ekstraksi alkohol adalah sebagai berikut :
a. Memasukkan 1 gram tanin ke dalam labu erlenmeyer 100 ml, kemudian mengisinya dengan alkohol 50 ml dan dipanaskan selama 30 menit pada suhu 50oC
b. Setelah dingin menyaring larutan ke dalam labu ukur 250 ml dan menambahkan alkohol sampai batas garis pada labu ukur
c. Memipet larutan sebanyak 25 ml dan menambahkan larutan indigo carmin sebanyak 20 ml untuk dititrasi dengan KMnO4. Penambahan larutan indigo carmin
berfungsi untuk menghancurkan senyawa-senyawa selain tanin sehingga yang terbentuk hanya tanin murni. Adapun cara pembuatan larutan indigo carmine selengkapnya adalah : 6 gr Natrium indigotindisulfonat dilarutkan kedalam 500 ml aquadest dan dipanaskan, setelah dingin ditambahkan 50 ml asam sulfat dan aquadest sebanyak 1 liter, kemudian disaring.
d. Menambahkan KMnO4 dengan dua tahap, pertama menambahkan sebanyak 1 ml sampai larutan berubah dari biru menjadi hijau. Pada tahap kedua menambahkan setetes demi setetes sampai berubah menjadi kuning emas. Perubahan warna menjadi kuning emas ini menunjukkan adanya atau terbentuknya tannin. Cara pembuatan larutan KMnO4 0,1 N adalah : menimbang KMnO4 sebanyak 3,2 gr, kemudian dilarutkan ke dalam 1 liter aquadest,didihkan selama 10-15 menit untuk mengusir semua oksigen yang terlarut, kemudian disimpan selama 1 malam, encerkan dan disaring sampai 1 liter dengan aquadest, penyimpanan dilakukan dalam botol berwarna gelap.
e. Untuk larutan blanko dilakukan dengan cara memipet larutan indigo carmin sebanyak 10 ml kemudian memasukkan ke dalam labu erlenmeyer, dan menambahkan alkohol lalu menitrasi dengan KMnO4
Menurut Pari (1990) perhitungan kadar tanin dilakukan dengan rumus :
KT
Keterangan :
KT = Kadar Tanin
FP = Faktor Pengenceran
A = Banyaknya KMnO4 yang ditambahkan pada larutan tanin (ml)
B = Banyaknya KmnO4 yang ditambahkan pada larutan blanko (ml)
1 ml KMnO4 0,1 N ≈ 0,006235 gram tanin
larutan blanko : aquadest
%
100
Udara
Kering
Kayu
Kulit
Serbuk
Berat
Tanur
Kering
Tanin
Padatan
Berat
×
=
%
100
Tanin
Padatan
dari
Contoh Uji
Berat
0,006235
KMnO
N
B)
-(A
FP
4×
×
×
×
=
Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006 19 C. Analisis Data
Model Rancangan Percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan (kelas diameter pohon), pada setiap kelas diameter diambil 3 pohon sebagai ulangan, sehingga ada 9 pohon yang dijadikan tempat pengambilan sampel. Dari setiap pohon yang dijadikan sampel, diambil kembali 3 bagian (pangkal, tengah dan ujung) untuk dijadikan ulangan dalam setiap pohon, sehingga total satuan percobaan ada 27 buah.
Sebelum data dianalisa, terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan yaitu pengujian sebaran normal menurut prosedur lilifors dan uji homogenitas ragam bartlet. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh diameter pohon terhadap rendemen dan kadar tanin kulit kayu bakau (Rhizophora mucronata Lamck), maka dilakukan uji F dengan menggunakan sidik ragam. Jika dari hasil analisis sidik ragam, perlakuan berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji beda. Uji beda yang dilakukan disesuaikan dengan nilai KK (Koefisien Keragaman) yang nanti diperoleh.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Rendemen tanin
Hasil penelitian rendemen tanin kulit kayu bakau (Rhizophora mucronata Lamck) pada tiga kelas diameter ( <10 cm, 10-20 cm, > 20 cm)) dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam yang dilakukan, besar kecilnya diameter pohon kayu bakau berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen tannin dari kulit kayu Bakau yang dihasilkannya.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa semakin besar diameter pohon kayu Bakau maka rendemen tannin yang dihasilkannya semakin besar pula. Tingginya kandungan tanin pada pohon dengan diameter yang besar dikarenakan semakin besar diameter sel-sel parenkim yang terbentuk lebih banyak, dimana sel-sel parenkim pada kulit mengandung sel-sel yang berfungsi sebagai penyimpan cadangan makanan.
Tingginya kandungan tanin yang terbentuk pada pohon diameter besar diduga karena tebal kulit pada diameter yang lebih besar, akan lebih tebal dibanding kulit pada diameter pohon kecil. Seperti pendapat Haygreen & Bowyer (1996) yang menyatakan bahwa pembentukan sel-sel kulit (floem) bersamaan dengan pembentukan sel-sel kayu yang dilakukan oleh sel-sel kambium. Dengan demikian pada diameter pohon (kayu) yang semakin besar berarti jaringan kulit yang terbentuk semakin banyak pula, dimana salah satu sel penyusun jaringan kulit adalah sel parenkim. Sel-sel ini berfungsi sebagai penyimpanan cadangan makanan hasil metabolisme atau bahan lain yang diendapkan (zat ekstraktif termasuk tanin). Oleh karena itu makin banyaknya sel parenkim yang terbentuk maka kulit semakin tebal seiring dengan meningkatnya diameter pohon dan akan semakin banyak pula tanin yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Fengel dan Wagener (1995), menyatakan bahwa selama pohon tumbuh, lapisan kambium di antara xilem dan floem menghasilkan sel xilem ke arah dalam membentuk batang pohon dan sel floem kearah luar membentuk kulit. Semakin banyak floem yang terbentuk, maka semakin banyak pula sel-sel parenkim yang dihasilkan, karena sel-sel parenkim merupakan salah satu komponen yang menyusun floem. Sel-sel parenkim merupakan tempat tanin diendapkan. Diameter pohon bertambah disebabkan karena adanya proses pertumbuhan tiap tahun, dengan bertambahnya diameter pohon maka sel-sel parenkim pada jaringan floem juga akan selalu bertambah, sehingga kulit semakin tebal dan kandungan taninnya juga semakin banyak.
Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006 20
Tabel 1. Rendemen tanin kulit kayu bakau (Rhizophora mucronata Lamck) dari daerah Takisung pada tiga kelas diameter pohon.
Kelas Diameter
Pohon
Ulangan Pangkal Tengah Ujung Jumlah Rata-rata
Pe rla k u a n (Dia me te r Pohon ) A1 (<10 cm) Pohon 1 29,50 27,16 26,50 83,16 27,72 Pohon 2 28,16 27,00 25,50 80,66 26,88 Pohon 3 29,16 26,66 26,16 82,00 27,33 Jumlah 86,83 80,83 78,16 245,83 Rata-rata 28,94 26,94 26,05 27,31 A2 (10–20 cm) Pohon 1 30,50 29,66 27,50 87,66 29,22 Pohon 2 30,83 28,33 26,66 85,83 28,61 Pohon 3 30,00 29,33 27,16 86,50 28,83 Jumlah 91,33 87,33 81,33 260,00 Rata-rata 30,44 29,11 27,11 28,88 A3 (> 20 cm) Pohon 1 33,00 30,66 27,66 91,33 30,44 Pohon 2 32,66 30,16 27,50 90,33 30,11 Pohon 3 32,50 29,50 27,50 89,50 29,83 Jumlah 97,16 90,33 82,66 271,16 Rata-rata 32,38 30,11 27,55 30,12 Jumlah total 275,33 258,50 242,16 777,00 Rata-rata Total 30,59 28,72 26,90 28,77
Semakin tingginya rendemen tannin dengan semakin meningkatnya diameter pohon kayu bakau secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Rendemen tannin kayu Bakau pada tiga kelas diameter pohon Rata-rata rendemen tanin kulit kayu bakau yang diperoleh pada penelitian ini adalah 28,77 %. Dengan kisaran antara 26,06 % - 32,66 %. Hasil yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yaitu berkisar antara 23,25 % - 30,83 % dan lebih kecil dibandingkan dengan penelitian Pari (1990) antara 20,29 % – 41,2 % dengan tanaman yang sama dan menggunakan pelarut air panas. Perbedaaan ini disebabkan oleh perbedaan umur, letak geografis, hal ini juga disebabkan beberapa faktor yang mempengaruhi mutu tanin antara lain jenis pelarut, ukuran partikel kulit dan lamanya ekstraksi. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 Rendemen Tanin (%) A1 A2 A3
Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006 21
dikemukakan oleh Guenther (1987) yang menyatakan bahwa ada beberapa yang dapat mempengaruhi mutu tanin yaitu suhu ekstraksi dibawah 1000 C, jenis pelarut
yang digunakan seperti air, alkohol dan aseton, ukuran partikel dan lama ekstraksi (Guenther, 1987). Demikian pula pendapat dari Prayitno (1982) yang menyatakan bahwa perbedaan kadar tanin disebabkan oleh perbedaan jenis, umur, tempat tumbuh dan pembagian batang.
Menurut Sumardiwangsa (1985) dan juga menurut Soenardi (1985), secara ekonomis tanin dapat disari dari bahan yang mengandung kadar tanin lebih dari 10 %, jika kita bandingkan dengan persyaratan ini maka kandungan tanin yang terdapat pada kayu Bakau dari daerah Takisung sudah dapat memenuhi persyaratan. Dengan demikian kayu bakau dari daerah tersebut dapat dijadikan salah satu sumber tanin yang potensial.
B. Kadar Tanin
Ekstraksi tanin yang dihasilkan pada penelitian rendemen tanin tidak murni 100 %, karena selain terdiri dari tanin ada juga zat non tanin seperti glukosa dan hidrokoloid yang berberat molekul tinggi. Untuk itu kita perlu mengetahui kadar tanin (berupa polifenol) untuk mengetahui kadar tanin aktifnya.
Hasil penelitian mengenai kadar tanin kulit kayu bakau berdasarkan diameter pohon dan bagian batang dapat dilihat pada Tabel 2 . Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa faktor diameter pahon dan bagian batang kulit kayu bakau berpengaruh sangat nyata terhadap kadar tanin yang dihasilkan.
Tabel 2. Kadar tanin kulit kayu bakau (Rhizophora mucronata Lamck) dari daerah Takisung pada tiga kelas diameter pohon
Kelas Diameter
Pohon Ulangan Jumlah Pangkal Tengah Ujung Rata-rata
Pe rla k u a n (Dia me te r Pohon ) A1 (<10 cm) Pohon 1 21,17 21,07 17,03 59,27 19,75 Pohon 2 20,71 18,54 16,31 55,57 18,52 Pohon 3 20,53 19,46 16,39 56,39 18,79 Jumlah 62,41 59,07 49,74 171,24 Rata-rata 20,80 19,69 16,58 19,02 A2 (10–20 cm) Pohon 1 25,79 23,31 22,75 71,86 23,95 Pohon 2 24,61 24,07 22,75 71,44 23,81 Pohon 3 25,47 24,87 24,07 74,42 24,80 Jumlah 75,88 72,26 69,59 217,73 Rata-rata 25,29 24,08 23,19 24,19 A3 (> 20 cm) Pohon 1 28,57 27,90 27,91 84,39 27,13 Pohon 2 28,64 25,84 25,25 79,74 26,58 Pohon 3 28,03 25,54 25,41 78,99 26,33 Jumlah 85,24 79,29 78,59 243,13 Rata-rata 28,4165 26,43 26,19 27,01 Jumlah total 223,54 210,63 192,93 632,11 Rata-rata Total 24,83 23,40 21,99 23,41
Untuk memudahkan interpretasi, maka hubungan diameter pohon kadar tanin dapat dilihat pada gambar 2 berikut ini:
Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006 22
Gambar 2. Kadar tannin kayu Bakau pada tiga kelas diameter pohon
Berdasarkan Tabel 2 dan gambar 2 terlihat bahwa kadar tanin tertinggi terdapat pada pohon kayu bakau dengan diameter > 20 cm (A3) diikuti diameter sedang; A2 (10-20 cm) dan yang paling kecil diameter < 10 cm (A1). Kadar tanin dari kulit kayu bakau diameter > 20 cm (27,01 %) berbeda sangat nyata dengan kadar tanin dari pohon dengan diameter 10-20 cm (24,19 %) maupun pohon diameter < 10 cm (19,02 %). Kadar tanin semakin tinggi dengan meningkatnya atau bertambahnya diameter pohon, diduga ada hubungan dengan semakin meningkatnya rendemen tanin pada pohon yang berdiameter lebih besar dibanding pohon dengan diameter lebih kecil. Dengan meningkatnya diameter pohon merupakan salah satu komponen yang menentukan rendemen tanin disamping zat-zat yang lain.
Secara umum rata-rata kadar tanin yang dihasilkan dari kulit kayu bakau adalah 23,41 % yang berkisar antara 16,58 % - 28,42 %. Kadar tanin yang dihasilkan ini lebih tinggi daripada kadar tanin menurut Sudarmaningsih (1990) yang menghasilkan kadar tanin 11,02 % dan lebih rendah dibandingkan penelitian menurut Pari (1990) yang menghasilkan kadar tanin 39 % -63 % dan lebih tinggi dibandingkan penelitian sebelumnya, Yuniarti (2001) yaitu 17,01 % - 27,02 % dengan menggunakan ekstraksi air panas. Perbedaan mungkin disebabkan beberapa faktor antara lain, perbedaan tempat tumbuh, suhu ekstraksi, ukuran partikel, umur pohon dan lain-lain.
Kadar tanin sebesar 23,41 % mengisyaratkan adanya bahan lain non tanin yang terdapat pada ekstrak/rendemen tanin. Ekstrak tanin tidak murni 100 % karena selain tanin ada juga zat non tanin seperti glukosa dan hidrokoloid. Secara ekonomis jika ditinjau dari kadar tanin kulit bakau yang dihasilkan sebesar 16,58 %-28,42 %, maka kulit kayu bakau dapat dijadikan sebagai sumber tanin. Hal ini sesuai pendapat Soenardi (1985) yang menyatakan bahwa kadar ekstraktif tanin hanya ekonomis apabila kadar tanin lebih dari 5 %. Hasil yang didapat pada penelitian ini jauh lebih tinggi dari nilai yang dipersyaratkan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
1. Diameter pohon dan batang berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen dan kadar tanin. Semakin besar diameter pohon maka rendemen dan kadar tanin semakin meningkat, disebabkan meningkatnya diameter pohon diikuti oleh
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 Kadar Tanin (%) A1 A2 A3
Jurnal Hutan Tropis Borneo No. 18, Maret 2006 23
bertambahnya ketebalan kulit sehingga pada pohon yang berdiameter besar lebih banyak mengandung sel parenkim dibanding bagian lainnya.
2. Ratarata rendemen tanin kulit bakau 28,78 %, dengan kisaran antara 26,06 % -32,39 %, rata-rata kadar tanin kulit kayu bakau adalah 23,41 %, dengan kisaran antara 16,58 % - 28,42 %. Berdasarkan nilai rendemen dan kadar tanin tersebut, secara ekonomi kulit kayu bakau dari daerah Takisung dapat dimanfaatkan sebagai sumber tanin yang potensial.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disarankan sebagai berikut:
1. Kayu bakau dari daerah Takisung secara ekonomis dapat dijadikan sebagai sumber tanin yang potensial, untuk mendapatkan rendemen dan kadar tanin yang tinggi sebaiknya diambil dari pohon yang mempunyai diameter (> 20 cm)
2. Perlu penelitian lanjutan mengenai rendemen dan kadar tanin dari kulit bakau dengan menggunakan metode ekstraksi dan jenis pohon yang berbeda, serta mengetahui komposisi kimia dari tanin yang dihasilkan dari kayu Bakau asal Takisung.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Y.D. Sutarjo, Hermanto,A. Nor. 1996. Ekstraksi Tanin dari Kulit Kayu Bakau untuk Penyamak Kulit. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Samarinda.
Dumanauw, J.F. 1982. Mengenal Kayu. PT.Gramedia, Jakarta.
Fengel dan Wegener. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Edisi Kedua. Gajah Mada Univesity Press. Yogyakarta.
Guenther, E. 1987. Minyak Atsiri. Jilid I. Penerbit Universitas Indonesia. Terjemahan Ketaren. Jakarta.
Haygreen dan Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan Jakarta. Jakarta.
Jamaran, K. 1971. Analisa Kualiatif Senyawa Tanin. Widjaya. Jakarta.
Kasmudjo. 1982. Dasar-Dasar Pengolahan minyak kayu putih. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pari,G. 1990. Beberapa Sifat Fisis dan Kimia Ekstrak Tanin. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 6(8):477-487
Prayitno, T.A. 1982. Pengaruh Umur terhadap Kadar Tanin dalam Pohon. Duta Rimba 8(55):43-44
Raharjo, Sabat, A. Abdullah, M. Aziz, Mannussungi. 1981. Penelitian Pemisahan dan Analisa Tanin dari Kulit Bakau. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Ujung Pandang.
Soenardi, B.S.F. 1985. Sifat-sifat Kimia Kayu. Cetakan Kelima. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Sudarmaningsih. 1990. Pengaruh Penggunaan Tanin Kulit Acacia Mangium Wlld Sebagai Perekat Terhadap Keteguhan Rekat Kayu Lapis Meranti Merah Skripsi. Fakultas Kehutanan Unlam. Banjarbaru. Tidak Dipublikasikan.
Sudarmawangsa,S.,S. Widarma, C.G. Serayar & A. Nur. 1985. Tanin Sebagai Perekat Papan Partikel. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. PP 2-4
Yuniarti. 2001. Pengaruh Diameter dan Ketinggian Kulit Bnatang Terhadap Rendemen Dan Kadar Tanin Pohon Bakau (Rhizophora mucronata Lamk) Skripsi. Fakultas Kehutanan Unlam Banjarbaru. Tidak Dipublikasikan.