Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
iKUALITAS PEREKAT TANIN
DARI BEBERAPA KULIT KAYU MANGROVE
SKRIPSI
Oleh :
ULI CYNTHIA RAHAYU SIREGAR 041203033 / Teknologi Hasil Hutan
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Lembar Pengesahan
Judul Skripsi : Kualitas Perekat Tanin dari Beberapa Kulit Kayu
Mangrove
Nama : Uli Cynthia Rahayu Siregar
NIM : 041203033
Departemen : Kehutanan
Program Studi : Teknologi Hasil Hutan
Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing
Iwan Risnasari S.Hut, M.Si
NIP : 132 259 571 NIP : 132 303 842
Irawati Azhar, S.Hut
Mengetahui,
Ketua Departemen Kehutanan
NIP : 132 287 853
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
ABSTRAK
ULI CYNTHIA RAHAYU SIREGAR. Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa
Kulit Kayu Mangrove. Dibawah bimbingan Iwan Risnasari S. Hut, M. Si dan
Irawati Azhar, S.Hut.
Perekat tanin merupakan perekat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang digunakan sebagai bahan perekat kayu lapis eksterior. Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan limbah kulit kayu sebagai perekat. Metode yang dilakukan dengan dua cara yaitu perendaman dengan air pada suhu 700C dan perendaman dengan aseton selama 12 jam pada kulit kayu Mangrove yaitu Avicennia marina (Forssk.) Vierh, Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lam, dan Rhizopohora mucronata Lam. Hasil penelitian menunjukkan metode ekstrak dan jenis kayu berpengaruh nyata pada kadar ekstrak tanin, bilangan stiasny, berat jenis, masa gelatinasi, kandungan padatan tidak menguap, kekentalan perekat tetapi berpengaruh tidak nyata pada derajat keasaman perekat tanin. Secara umum kualitas perekat tanin yang dihasilkan belum memenuhi Standar Nasional Indonesia, hanya berat jenis dan masa gelatinasi perekat yang memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan.
Kata kunci: perekat tanin, kulit kayu.
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
ABSTRACT
ULI CYNTHIA RAHAYU SIREGAR. The Quality of Tannin Adhesive from
Some Mangrove Barks. Under academic supervision of Iwan Risnasari S. Hut,
M. Si and Irawati Azhar, S.Hut.
The adhesive of tannin was made from barks which used to exterior plywood. The purpose in this results is using waste barks as adhesive produce and knowing the quality adhesive in used. This methods had done two different method, soaking with water in temperature 700C and soaking with acetone until 12 hours. In three various Mangrove trees are Avicennia marina (Forssk.) Vierh,
Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lam, dan Rhizopohora mucronata Lam. The result of
research show that exctract tannin and wood kinds significant at extract tannin content, the amount of stiasny, density, gelatin time, non volatile content, viscosity but non significant at acid temperatur. In general quality of the tannin adhesive yielded has not fulfilled Indonesia National Standart, only adhesive density and gelatin time fulfilling qualitification qualitifyed.
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pematangsiantar pada tanggal 14 Februari 1985 dari
ayahanda M. Siregar dan ibunda Sriani. Penulis merupakan anak pertama dari 2
bersaudara. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di Sekolah Dasar Methodist
Pematangsiantar pada tahun 1997, tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) di SLTP Methodist Pematangsiantar tahun 2000, dan tamat Sekolah
Menengah Umum (SMU) di SMU Methodist Pematangsiantar tahun 2003. Pada
tahun 2004 penulis lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara (USU)
melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), Program Studi
Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian.
Penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan
(P3H) di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), tepatnya di Natal dan
Sopotinjak.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten dosen
untuk Praktikum Inventarisasi Hutan tahun ajaran 2006, Praktikum Pengenalan
dan Pengelolaan Hutan tahun ajaran 2007, dan Praktikum Perekat dan Perekatan
tahun ajaran 2008. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Arara
Abadi pada tahun 2008 selama 2 bulan. Penulis melakukan penelitian di
Laboratorium Polimer FMIPA Universitas Sumatera Utara pada bulan Oktober
2008 dengan judul “Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove”
di bawah bimbingan Ibu Iwan Risnasari, S.Hut, M. Si, dan Ibu Irawati Azhar,
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini tepat pada
waktunya. Penelitian ini disusun sebagai syarat untuk dapat melaksanakan sebagai
syarat mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Judul penelitian yang telah
dilaksanakan adalah Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Iwan
Risnasari, S.Hut, M.Si dan Ibu Irawati Azhar, S.Hut atas arahan dan
bimbingannya dalam penyusunan hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Rasimin yang telah meluangkan waktu untuk
pemberian izin dan pengambilan bahan kulit kayu Mangrove. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda, adik serta seluruh keluarga dan
teman-teman atas segala doa dan perhatiannya.
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan dan penyajian dalam
tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan kerendahan hati
penulis akan menerima kritikan dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata
penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan. Terima kasih
Medan, Februari 2009
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
METODOLOGI PENELITIAN ... 11
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Pembuatan Perekat Tanin Formaldehid ... 14
Pengujian Kualitas Perekat ... 15
Berat Jenis ... 15
Masa Gelatinasi ... 15
Kandungan Padatan yang Tidak Menguap ... 16
Kekentalan (Viskositas) ... 16
Derajat Keasaman ... 17
Analisis Data ... 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20
Kadar Ekstrak ... 20
Rendemen ... 22
Sifat Kimia Tanin ... 22
Kadar Tanin Terkondensasi ... 22
Bilangan Stiasny ... 23
Sifat Perekat Tanin Formaldehida ... 24
Berat Jenis ... 24
Masa Gelatinasi ... 28
Kadar Padatan ... 30
Kekentalan (Viskositas) ... 32
Derajat Keasaman ... 34
KESIMPULAN DAN SARAN ... 38
Kesimpulan ... 38
Saran ... 38
DAFTAR PUSTAKA ... 39
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Persentase Perbandingan Zat Kimia Pada Kayu ... 8
2. Nilai Rata-Rata Kadar Ekstrak Tanin Kulit Kayu Mangrove (%) ... 20
3. Nilai Rata-Rata Rendemen Kulit Kayu Mangrove (%) ... 22
4. Nilai Tanin Terkondensasi Kulit Kayu Mangrove (dalam %) ... 23
5. Nilai Rata-Rata Sifat Kimia Kulit Kayu Mangrove (%) ... 24
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Grafik Nilai Rata-Rata Bilangan Stiasny ... 26
2. Grafik Nilai Rata-Rata Berat Jenis ... 28
3. Grafik Nilai Rata-Rata Gelatinasi ... 30
4. Grafik Nilai Rata-Rata Kadar Padatan yang Tidak Menguap ... 32
5. Grafik Nilai Rata-Rata Kekentalan ... 33
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Perhitungan Kadar Ekstraktif ... 41
2. Sidik Ragam Kadar Ekstraktif ... 41
3. Uji Duncan Kadar Ekstraktif ... 41
4. Perhitungan Kadar Tanin Terkondensasi ... 42
5. Sidik Ragam Kadar Tanin Terkondensasi ... 42
6. Perhitungan Bilangan Stiasny ... 42
7. Sidik Ragam Bilangan Stiasny ... 43
8. Uji Duncan Bilangan Stiasny ... 43
9. Perhitungan Bilangan Stiasny Terkoreksi ... 43
10.Sidik Ragam Bilangan Stiasny Terkoreksi ... 43
11.Uji Duncan Bilangan Stiasny Terkoreksi ... 44
12.Perhitungan Unit Poliflavonoid ... 44
13.Sidik Ragam Unit Poliflavonoid ... 44
14.Uji Duncan Unit Poliflavonoid ... 44
15.Perhitungan Berat Jenis ... 45
16.Sidik Ragam Berat Jenis ... 45
17.Uji Duncan Berat Jenis ... 45
18.Perhitungan Masa Gelatinasi ... 46
19.Sidik Ragam Masa Gelatinasi ... 46
20.Uji Duncan Masa Gelatinasi ... 46
21.Perhitungan Kandungan Padatan tidak Menguap ... 47
22.Sidik Ragam Kandungan Padatan tidak Menguap ... 47
23.Uji Duncan Kandungan Padatan tidak Menguap ... 47
24.Perhitungan Kekentalan ... 48
25.Sidik Ragam Kekentalan ... 48
26.Uji Duncan Kekentalan ... 48
27.Perhitungan Derajat Keasaman ... 49
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
29.SNI 06 – 4565 – 1998 ... 49
30.SNI 06 – 4566 – 1998 ... 50
31.SNI 06 – 0060 – 1998 ... 50
32.SNI 06 – 4567 – 1998 ... 51
33.SNI 06 – 0163 – 1998 ... 51
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan produk-produk kayu begitu pesat belakangan ini. Namun,
kayu sebagai bahan baku utama saat ini terbatas ketersediaannya di alam. Maka,
diupayakan untuk menghasilkan produk yang berasal dari limbah kayu. Papan
partikel adalah salah satu produk panel yang dihasilkan dengan memanfaatkan
partikel-partikel kayu dan sekaligus mengikatnya dengan suatu perekat. Perekat
berfungsi untuk mengikat bahan pengisi papan partikel. Selain itu perekat juga
berfungsi untuk melindungi serta mempengaruhi penampilan papan partikel.
Perekat yang umum digunakan untuk pembuatan produk-produk kayu
berasal dari bahan sintesis. Perekat yang terbuat dari bahan sintesis cenderung
tidak ramah lingkungan. Jika dilihat dari segi biaya pun perekat dari bahan
sintesis membutuhkan biaya yang mahal karena bahan-bahan yang diperlukan
sangat mahal. Perekat sintesis juga mengakibatkan dampak emisi bagi lingkungan
dan kebanyakan perekat sintesis di Indonesia masih diimpor dari negara-negara
lain.
Untuk mengurangi dampak negatif lingkungan dan mengurangi biaya
produksi dari penggunaan perekat sintesis perlu dilakukan upaya untuk
menghasilkan perekat yang ramah lingkungan. Salah satu alternatif yang
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Hal ini dikarenakan perekat alami ramah lingkungan dan mudah
didapatkan bahan bakunya. Misalnya saja perekat tanin yang dibuat dari
bahan-bahan kulit kayu bahkan ada yang terbuat dari serpihan-serpihan kayu.
Tanin banyak dihasilkan dari kayu maupun kulit pohon. Ekstrak tanin
murni dari tumbuhan jumlahnya bervariasi tergantung pada jenis maupun tempat
tumbuh. Salah satu penghasil tanin berasal dari kulit kayu Mangrove. Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki hutan Mangrove terluas di dunia
mencapai 25% dari total luas hutan Mangrove di seluruh dunia (18 juta hektar).
Indonesia memiliki hutan Mangrove seluas 4,5 juta hektar atau sebanyak 3,8%
dari total luas hutan secara keseluruhan (Amri, 2007)
Berdasarkan latar belakang yang ada maka penulis melakukan penelitian
untuk mengetahui bahwa kulit kayu yang berasal dari Mangrove dapat dijadikan
sebagai bahan perekat alami sehingga kemungkinan dapat dijadikan salah satu
alternatif pengganti bahan perekat sintesis.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memanfaatkan limbah kulit kayu Mangrove sebagai bahan baku perekat.
2. Mengetahui kualitas perekat yang dihasilkan.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Tersedianya data perekat tanin yang terbuat dari kulit kayu.
2. Sebagai informasi untuk pihak-pihak yang membutuhkan untuk
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah: jenis pelarut, jenis kayu dan interaksi
keduanya diduga mempengaruhi kualitas perekat tanin.
TINJAUAN PUSTAKA
Perekat
Pengetahuan mengenai perekat dan tipe perekat perlu diketahui, sebab
pemahaman yang lebih baik tentang perekat dapat membantu kualitas produk
yang sekaligus mengidentifikasikan bahan yang nyata dan potensial untuk
menentukan perumusan dari produk–produk yang berbeda dan merupakan
pemahaman konsep–konsep tentang struktur kimia materi perekat (Tano, 1997)
Penelitian untuk mengembangkan perekat–perekat yang memuaskan dari
bermacam–macam bahan organik alami telah mempertunjukkan kemampuan
untuk menggantikan petrokemikalia. Dua sumber alami yang mungkin dari resin
tipe eksterior adalah kulit kayu (sebenarnya tanin dari kulit kayu) dan
senyawa-senyawa lignin yang diperoleh dalam pembuatan pulp kayu (Haygreen, 1996)
Perekat adalah penyambungan antara dua atau lebih pada permukaan
benda yang berbeda maupun sejenis untuk dijadikan satu. Keadaan suatu perekat
ditentukan oleh metode aplikasinya. Perekat cair pada umumnya lebih mudah
digunakan, secara mekanis penyebarannya pada permukaan benda yang halus dan
rata akan tercapai, sedangkan untuk permukaan yang tak rata sebaiknya memakai
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Jenis-Jenis Perekat
Perekat berfungsi untuk mengikat bahan pengisi papan partikel. Selain itu
perekat juga berfungsi untuk melindungi serta mempengaruhi penampilan papan
partikel. Menurut Feldman dan Anton (1995) dalam Linggawati (2007), pada
dasarnya jenis perekat dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok, yaitu
perekat alami dan perekat sintetik.
Perekat alami adalah yang diperoleh dari alam secara alami tanpa
mengalami penggabungan dengan senyawa-senyawa kimia lain. Perekat alami
terdiri atas tiga jenis, yaitu:
1. Perekat hewani, merupakan perekat yang berasal dari binatang, seperti
albumin dan kasein.
2. Perekat nabati, merupakan perekat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan,
seperti tepung ubi dan getah karet.
3. Perekat mineral, merupakan perekat yang berasal dari bahan tambang,
seperti parapin, silikat, fosfat, belerang, gypsum, magnesia dan lain-lain.
Perekat sintetik merupakan perekat buatan hasil perpaduan dari dua atau
lebih senyawa kimia. Perekat sintetik terdiri dari dua jenis yaitu:
1. Perekat thermoplastik, merupakan perekat yang mudah lunak atau meleleh
apabila diberikan panas karena mempunyai sifat tidak tahan terhadap
panas dan mengeras apabila didinginkan, seperti polivinilasetat,
polivinilolkohol, polivinilasetal, aklirik dan lain-lain.
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
panas yang cenderung mengeluarkan panas, dan dipercepat dengan
penambahan katalis dan sinar ultraviolet, seperti resin phenolic, plastik
amino, poliepoksida, poliaromatic dan lain-lain.
Feldman dan Anton (1995) dalam Linggawati (2007), juga menyatakan,
perekat nabati dan hewani sudah lama dikenal sebagai perekat, produk ini
memberikan rekatan kuat bila kering, tetapi sambungannya lepas bila lembab.
Perekatannya pun hanya bagus untuk bahan tertentu, misalnya kayu dan kertas.
Kemudian dikenal perekat alamiah lain seperti kasein dan darah binatang (kak)
yang mempunyai daya rekat sangat kuat, namun mudah berjamur dan tidak tahan
air.
Sekarang berkembang serat buatan yang sering disebut dengan perekat
polimer. Perekat polimer mempunyai daya rekat yang jauh lebih kuat
dibandingkan dengan jenis perekat lainnya. Namun, perekat polimer ini kurang
ramah terhadap lingkungan. (Linggawati, 2007)
Keuntungan dan Kerugian Perekat
Menurut Feldman dan Anton (1995) dalam Linggawati (2007),
keunggulan perekat adalah lebih baik dibandingkan sambungan lainnya yakni
mampu menyebarkan tegangan ke segala sisi bahkan konsentrasi teganganya
relatif lebih kecil. Selain itu perekat mampu menyambung dan menggabungkan
dua bahan atau lebih yang tidak sejenis. Perekat juga punya daya tahan leleh
relatif lebih baik serta tahan lembab juga sering dipakai untuk isolasi listrik.
Kelebihan lain dari perekat adalah dapat digunakan untuk penyambungan kecil,
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
lain.
Perekat juga memungkinkan terjadinya produk akhir dengan penampilan
memuaskan, permukaan dan kontur bagus, tak ada rongga-rongga, tak ada bagian
menonjol seperti sekrup dan sebagainya. Perekat juga mudah dan cepat dipakai, di
samping sekaligus menyambungkan banyak komponen. Kekuatan perekat sering
amat tinggi, biayanya ekonomis dibandingkan cara-cara lain (Linggawati, 2007)
Mempergunakan perekat memperingan berat barangnya (bukan sekrup
atau belt), juga menyeragamkan distribusi stress pada segenap bagian benda yang
disambungkan. Bahan yang tak tahan panas dapat disambungkan dengan baik
oleh perekat yang sesuai. Sifat isolasi dan penambalan perekat cukup bagus, tidak
ada kebocoran, tahan lembab dan bahan kimia, bahkan dapat tahan dan kedap
listrik, panas serta suara (Amri, 2007)
Penggunaan perekat juga merugikan dalam hal tertentu. Proses
perekatannya terkadang rumit agar hasilnya baik, karena perlu persiapan,
permukaan yang hendak disambungkan (kimia/mekanis), kondisi suhu, tekanan
dan kelembabannya perlu optimal, waktu curing dapat lama (bahkan suhu tinggi),
juga memerlukan berbagai alat dan asesori lain (Linggawati, 2007)
Perekat juga tidak seratus persen tahan panas, dingin/beku, kerusakan oleh
organisme, bahan kimia, radiasi dan kondisi pemakaian ekstrim. Apabila tidak
sesuai dengan barang yang disambungkan pun dapat menyebabkan korosi dan
sebagainya. Begitu pula, terutama sehubungan perekat basis-pelarut, ada bahaya
racun atau mudah terbakar (Linggawati, 2007)
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
cermat di tiap tahap proses perekatannya. Sambungan harus sudah didesain
memadai menngakibatkan perekatan lemah dan mudah retak/patah. Ada dan
besarnya stress, jenis dan ukuran sambungan, prasyarat kekuatan, semuanya itu
menentukan perekat mana yang sesuai (Amri, 2007)
Keuntungan Perekat Alami Kayu
Pada dasarnya perekat dapat dibuat dari protein nabati, hewani, kulit serta
tulang hewan, dan sintetik. Dengan memisahkan bagian tertentu, memperbaiki
bahan dasar atau mengubah bentuk atau besarnya partikel bahan, mengubah
struktur zat, mengurangi atau menambah struktur zat, untuk mencapai tujuan ini
dapat ditempuh melalui beberapa cara antara lain: mekanis, kimiawi, dan
pengkombinasian (Tano, 1997)
Dahulu perekat dibuat dari satu macam bahan saja. Dewasa ini,
kebanyakan perekat terdiri atas campuran berbagai bahan kompleks, baik organik,
anorganik atau gabungan keduanya. Komponen dasarnya adalah zat perekatnya,
yang menghasilkan kekuatan adhesif dan kohesif pada ikatannya. Ini biasanya
merupakan resin organik, atau dapat pula karet, senyawa anorganik atau bahan
alam lain (Hartomo, 1992)
Menurut Arief (2003) sejarah pemanfaatan Mangrove secara tradisional
oleh masyarakat untuk kayu bakar dan bangunan telah lama berlangsung. Bahkan
pemanfaatan Mangrove untuk tujuan komersial seperti ekspor kayu. Kulit (untuk
tanin) dan arang juga memiliki sejarah penting. Sehingga dirasa perlu untuk
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Berdasarkan pengamatan laboratorium, tanin dari pepagan bakau dapat
digunakan untuk menghasilkan perekat untuk pabrik plywood dan papan partikel.
Sebagai contoh pepagan kering Bruguiera gymnorhiza Lam. mengandung sampai
35% zat-zat tanin (Noor, 1999)
Jenis-Jenis Kayu Mangrove
Avicennia marina (Forssk.) Vierh
Kulit kayu Mangrove secara umum mengandung kadar zat ekstraktif 20–
30%. Avicennia marina (Forssk.) Vierh Merupakan salah satu spesies dari famili
Avicennieceae, tingginya dapat mencapai 12 m, kulit kayu halus, kelabu, dan
hijau loreng (mengelupas pada bercak. Akarnya akar nafas, seperti pensil
(Kitamura, dkk, 1997).
Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lam
Merupakan salah satu dari spesies dari famili Rhizophoraceae, tingginya
mencapai 20 m, abu-abu gelap, kasar, memiliki mulut kulit kayu. Daun berbentuk
elips dengan ujung meruncing, serta susunannya tunggal bersilangan dan memiliki
akar lutut (Kitamura, dkk, 1997). Bruguiera gymnorrhiza memiliki kandungan
tanin 41 % (Damanik, 1987)
Rhizophora mucronata Lam.
Merupakan salah satu dari spesies dari famili Rhizophoraceae, tingginya
mencapai 25 m dengan perakaran tunjang. Susunan daunnya tunggal, bersilangan
dengan kulit kayu kasar abu-abu hingga hitam, beralur (Kitamura, dkk, 1997).
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Tabel 1. Persentase Perbandingan Zat Kimia Pada Kayu
Persentase Kayu Lunak (%) Kayu Keras (%)
Kayu Kulit Kayu Kulit
Lignin 25-30 40-55 18-25 40-50
Polisakarida 66-72 30-48 74-80 32-42
Ekstraktif 2-9 2-25 2-5 5-10
Sumber: Haygreen dan Bowyer (1996)
Kulit Kayu
Batang mempunyai penutup bahagian luar, yaitu kulit kayu yang
melindungi kayu daripada suhu, kemarau dan kecederaan mekanikal yang
melampau. Lapisan dalam kulit kayu mengalirkan makanan yang dihasilkan
dalam daun-daun kepada bahagian aktif tumbesarannya. Kulit kayu bertindak
sebagai pengalir bahan makanan biasanya kaya dengan bahan-bahan kimia seperti
tanin dan pewarna yang diperoleh daripada metabolisme tumbuhan (Saleh, 2007)
Kulit adalah lapisan luar kambium yang mengelilingi batang, cabang, dan
akar yang jumlahnya sekitar 10-15% dari berat pohon. Kulit tersusun atas
beberapa tipe sel dan strukturnya kompleks bila dibandingkan dengan kayu. Kulit
secara kasar dapat dibagi menjadi kulit bagian dalam yang hidup atau floem dan
kulit bagian luar yang mati atau ritidoma (Sjostrom, 1981)
Menurut Haygreen (1996) perbedaan utama antara struktur kayu dan
kulit ialah bahwa trakeid longitudinal yang menyusun sekitar 95 % volume xylem
kayu lunak sama sekali tidak terdapat floem. Sebaliknya di sana banyak terdapat
unsur-unsur yang dikenal sebagai sel tapisan, dan dalam kebanyakan spesies,
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Kandungan Kimia Kulit Kayu
Komposisi kimia kulit sangat kompleks, bervariasi diantara berbagai
spesies pohon dan juga tergantung pada unsur-unsur morfologi yang
bersangkutan. Kekhasan kulit adalah tingginya kandungan konstituen-konstituen
tertentu (ekstraktif) yang dapat larut seperti pektin dan senyawa-senyawa fenol
maupun suberin (Sjostrom, 1981)
Kandungan ekstraktif (berdasar atas ekstraksi yang berurutan dengan
benzene alkohol 95% dan air panas) kulit adalah tinggi dibandingkan dengan
kayu, umumnya sebanyak 15-26% nya berat kulit yang belum diekstraksikan
dibandingkan dengan 2-9% untuk kayu (Haygreen, 1996)
Perekat Tanin Formaldehida
Menurut Pizzi (1983) dalam (Citraningtyas, 2002), kadar tanin dalam kayu
(batang dan kulit batang) berkisar 50-60%. Tanin merupakan komponen zat
organik derivat polimer glikosida yang terdapat dalam bermacam-macam
tumbuhan, terutama tumbuhan berkeping dua (dikotil). Ekstrak tanin terdiri dari
campuran senyawa polifenol yang sangat kompleks dan biasanya tergabung
dengan karbohidrat rendah. Oleh karena adanya gugus fenol, maka tanin akan
dapat berkondensasi dengan formaldehida.
Tanin terkondensasi sangat reaktif terhadap formaldehida dan mampu
membentuk produk kondensasi, berguna untuk bahan perekat termosetting yang
tahan air dan panas. Tanin diharapkan mampu mensubtitusi gugus fenol dari resin
fenol formaldehid guna mangurangi pemakaian fenol sebagai sumber daya alam
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
perekat (Pizzi, 1983) dalam (Citraningtyas, 2002). Santoso dan Sutigno (1995)
menyimpulkan bahwa tanin formaldehida dapat digunakan sebagai bahan perekat
kayu lapis eksterior.
Perekat tanin formaldehid sebagai perekat kayu telah digunakan sejak
tahun 1970-an sebagai perekat eksterior untuk kayu maupun produk-prduk kayu
seperti papan partikel, kayu lapis maupun glulam. Perekat tanin formaldehid
dibuat melalui polikondensasi dengan formaldehid (Ruhendi, dkk, 2007)
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokomposit Departemen
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Laboratorium Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Medan,
Laboratorium Kimia Polimer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara serta Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan pada
bulan Juli hingga Oktober 2008.
Alat dan Bahan
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah parang, mesin penggiling
kulit kayu, oven, neraca analitik, waterbath, desikator, penangas air, penjepit
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
tabung reaksi, stop watch, piknometer, cawan petri, pengaduk, pH meter,
viscometer dan saringan 60 mesh.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kulit kayu Avicennia
marina (Forssk.) Vierh, Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lam, Rhizophora mucronata
Lam. dari Bandar Khalifah Kecamatan Serdang Bedagai, Aquades, Formaldehid,
HCL, NaOH, Etanol, Aseton dan kertas saring.
Prosedur Penelitian
1. Pembuatan Serbuk Kulit
Kulit kayu bagian dalam dan luar, tanpa dipisahkan, dipotong kecil-kecil
dan dikeringkan hingga kering udara. Kemudian digiling dan disaring. Serbuk
yang digunakan adalah serbuk yang lolos pada saringan 60 mesh.
2. Ekstraksi Tanin
Ekstraksi dilakukan dengan 2 metode, pertama dilakukan dengan
menggunakan perendaman dalam air bersuhu 700C dan metode kedua adalah
dengan perendaman dalam wadah gelap dengan pelarut aseton.
2.1 Ekstraksi dengan air
Serbuk kulit direndam dalam air 700C dengan perbandingan 1:5 dilakukan
selama 8 jam. Kemudian serbuk diekstraksi, ekstrak yang diperoleh disaring
dengan menggunakan kain bersih dan kertas saring selanjutnya dievaporasi
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
2.2 Ekstraksi dengan aseton-air
Serbuk direndam dengan larutan aseton-air dalam wadah gelap dengan
perbandingan 1:3. Konsentrasi aseton yang digunakan adalah 80% selama 12 jam.
Ekstrak yang diperoleh disaring dengan menggunakan kain bersih. Selanjutnya
dievaporasi hingga larutan ekstrak lebih pekat kemudian dikeringkan dalam oven
pada suhu 400C untuk memperoleh kristal tanin.
3. Karakteristik Tanin
Kadar Ekstrak
Kadar ekstrak tanin ditentukan berdasarkan bubuk serbuk kering oven
yaitu dengan menentukan kadar air serbuk kering udara. Serbuk kering oven
dihitung dengan menggunakan persamaan:
Bobot Serbuk Kering Oven =
(1 + % KA serbuk kering udara) Bobot serbuk kering udara
Ekstrak kering oven yang diperoleh ditimbang sebagai bobot ekstrak,
kemudian kadar ekstrak dihitung dengan menggunakan persamaan:
Kadar Ekstrak = Bobot ekstrak Bobot serbuk kering oven
x 100 %
Kadar Tanin Terkondensasi (Kusmayadi, 1989 dalam Citraningtyas,
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Penentuan kadar tanin terkondensasi ditentukan dengan menggunakan
serbuk ekstrak kering oven. Adapun prosedur pengujian yang akan dilakukan
adalah sebagai berikut:
a. Masukkan 5 gr ekstrak tanin ke dalam gelas piala yang telah berisi 175 gr air,
kemudian aduk hingga homogen.
b. Tambahkan 28,5 ml HCl (0,2801 N) dan 1 ml larutan formaldehid (37%) ke
dalam larutan tersebut, lalu diaduk selama kurang lebih 5 menit.
c. Diamkan larutan selama kurang lebih 5 jam, hingga terbentuk endapan.
d. Saring endapan dengan menggunakan corong, kemudian bilas dengan air.
e. Keringkan endapan dalam oven dan timbang bobotnya.
f. Hitung kadar tanin terkondensasi dengan persamaan berikut:
Kadar Tanin Terkondensasi (%) = Bobot endapan Bobot ekstrak
x 100%
Bilangan Stiasny (Sujanto, 1995)
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui reaktifitas tanin terhadap
formaldehid. Pengujian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Ekstrak kering sebanyak 0,12 gr dilarutkan dalam 10 ml air kemudian
dipanaskan pada suhu 1000C selama 15 menit.
b. Larutan disaring, kemudian filtrate direaksikan dengan 2 ml formaldehid 35%
dan katalis 1 ml HCl 10 M.
c. Campuran dipanaskan dalam penangas air pada suhu 1000C selama 30 menit.
d. Endapan disaring, diuapkan dan ditimbang.
Bilangan Stiasny diperoleh melalui persamaan:
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Bobot awal
Bilangan Stiasny Terkoreksi (%) =
1,090
Bilangan Stiasny pada persamaan 1
Dimana pembagi 1,090 dipilih bila nilai bilangan Stiasny yang digunakan sebagai
standar sebesar 109,0% (Yazaki, 1998)
Unit Poliflavonoid (%) = Kadar Ekstrak Tanin x Bilangan Stiasny Terkoreksi 100
4. Pembuatan Perekat Tanin Formaldehid
Pembuatan perekat tanin formaldehid dilakukan dengan cara:
a. Campur 50 gr ekstrak tanin dengan etanol 95% hingga larutan menjadi 100ml.
b. Tambahkan formaldehid sebanyak 1% dari berat perekat sambil diaduk.
c. Tambahkan larutan NaOH 50% sebagai katalis sebanyak 1% dari berat
perekat.
5. Pengujian Kualitas Perekat
Berat Jenis
Prosedur pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Timbang piknometer kosong (W1)
b. Masukkan air suling ke dalam piknometer hingga penuh, kemudian tutup,
jangan sampai ada gelembung udara didalamnya.
c. Bersih dan keringkan bagian luar piknometer yang berisi air suling
tersebut, kemudian timbang (W2).
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
e. Masukkan contoh uji perekat ke dalam piknometer hingga penuh dan
tutup, jangan sampai ada gelembung udara.
f. Bersih dan keringkan bagian luar piknometer yang berisi contoh uji
tersebut, kemudian timbang (W3).
g. Hitung bobot jenis dengan persamaan :
Bobot Jenis =
(W2-W1) (W3-W1)
Masa Gelatinasi
Prosedur pengujian masa gelatinasi adalah sebagai berikut:
a. Timbang ±10 gr contoh uji dan masukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian
tutup.
b. Panaskan di atas penangas air pada suhu 1000C, permukaan contoh diletakkan
2 cm di bawah permukaan air.
c. Amati waktu yang dibutuhkan contoh uji dalam tabung tergelatin dengan cara
memiringkan tabung reaksi dan terlihat contoh uji tidak mengalir lagi
Kandungan Padatan yang Tidak Menguap
Pengujian kadar kandungan padatan yang tidak menguap dilakukan
dengan prosedur sebagai berikut:
a. Timbang contoh sebanyak 1,5 gr dan masukkan ke dalam cawan (W1)
b. Kemudian keringkan selama 3 jam pada suhu (105 ± 2)0C, dinginkan dalam
desikator dan timbang (W2)
c. Hitung sisa penguapan dengan persamaan:
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Kekentalan (Viskositas)
Kekentalan perekat diukur dengan menggunakan viskometer, dengan
tahapan sebagai berikut:
a. Timbang ±6 gr contoh uji dipipet ke dalam viskometer kemudian cairan
dihisap melalui labu pengukur dari viskometer.
b. Cairan perekat dibandingkan dengan air kemudian dihitung dengan
menggunakan rumus: η1=ρ1t1 η2=ρ2t2
....(Bird, 1993)
η1 = kekentalan perekat (poice)
η2 = kekentalan air (poice)
ρ1 = massa jenis perekat (gr/cm3)
ρ2 = massa jenis perekat (gr/cm3)
t1 = waktu perekat (detik)
t2 = waktu air (detik)
Derajat Keasaman (pH)
Pengukuran pH dilakukan dengan pHmeter, melalui tahapan sebagai
berikut:
a. Standardisasikan pHmeter dengan menggunakan larutan buffer pH 7 dan pH
10.
b. Tuangkan contoh ke dalam piala 200 ml secukupnya dan lakukan pengukuran
terhadap pH contoh.
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah dengan menggunakan
rancangan acak lengkap dengan dua faktorial yaitu faktor a (jenis kayu) dan factor
b (pelarut) dengan ulangan sebanyak tiga kali.
Yijk = u + ai + bj + (ab)ij + ∑ijk
Dimana : Yijk = angka pengamatan percobaan
u = nilai rataan
ai = efek pada 3 jenis kayu
bj = efek pada larutan air dan aseton
(ab)ij = interaksi antara 3 jenis kayu dengan perlakuan pada larutan
air dan aseton
∑ijk = efek kesalahan percobaan 3 kali ulangan
Selanjutnya dilakukan analisis data dengan uji F. Hipotesis yang
digunakan adalah:
H0 : perlakuan tidak berpengaruh nyata pada kualitas perekat
H1 : perlakuan berpengaruh nyata pada kualitas perekat
Sedangkan kriteria pengambilan keputusan dari hipotesis yang diuji adalah:
F hitung ≤ F tabel, maka perlakuan tidak berpengaruh nyata pada kualitas perekat
F hitung > F tabel, maka perlakuan berpengaruh nyata pada kualitas perekat
Setelah itu, jika uji F nyata untuk mengetahui kombinasi perlakuan maka
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Ekstraksi Kulit Kayu Mangrove
Ekstraktif adalah salah satu komponen kimia yang mudah larut larut dalam
air dan dapat mempengaruhi keawetan suatu kayu serta dapat digunakan untuk
berbagai kepentingan industri (Achmadi, 1990). Kadar ekstraktif kayu digunakan
untuk menghitung seberapa besar kadar ekstrak yang terdapat di dalam kulit kayu.
Nilai rata-rata kadar ekstrak tanin yang diperoleh melalui metode perendaman
yang menggunakan air dan aseton dengan tiga kali ulangan disajikan pada tabel
2.
Tabel 2. Nilai Rata-Rata Kadar Ekstrak Kulit Kayu Mangrove (%)
Jenis Pelarut Jenis Kayu
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Air 700C 11,986 15,854 21,22
Aseton 80%-air 14,221 20,419 34,667
Nilai rata-rata kadar ekstrak tanin berkisar antara 11,986% sampai dengan
34,667%. Nilai tertinggi diperoleh pada perendaman dengan menggunakan aseton
pada kayu Rhizophora, sedangkan nilai yang terendah diperoleh pada kayu
Avicennia dengan perendaman air. Perbedaan kuantitatif ini disebabkan adanya
perbedaan jenis pelarut yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Robinson (1995) bahwa aseton lebih memungkinkan untuk melarutkan senyawa
polimer yang tidak larut oleh air. Oleh sebab itu larutan aseton-air memungkinkan
lebih banyak melarutkan senyawa-senyawa yang terdapat dalam kulit kayu.
Metode ekstrak menggunakan aseton berpengaruh nyata pada kadar
ekstrak yang diperoleh pada penelitian. Perendaman dalam aseton meningkatkan
kadar ekstrak dibandingkan dengan perendaman dalam air. Hal ini disebabkan
adanya tingkat kepolaran suatu senyawa, dimana makin polar molekul pelarut,
konstanta dielektriknya semakin naik (Cotton dan Wilkinson, 1989). Adapun nilai
konstanta dielektrik air sebesar 80,2 sedangkan aseton 20,7 (Furniss et al, 1978).
Jenis kayu juga berpengaruh nyata pada kadar ekstrak pada penelitian ini.
Rhizophora memiliki kandungan zat ekstrakstif yang lebih tinggi dibandingkan
dengan jenis kayu Avicennia dan Bruguiera (lampiran 1). Hal ini disebabkan
perbedaan jenis kayu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pizzi (1983) ekstrak tanin
murni dari tumbuhan jumlahnya bervariasi tergantung pada jenis maupun tempat
tumbuhnya.
Hasil analisis sidik ragam pada lampiran 2 menunjukkan bahwa metode
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
signifikan pada nilai kadar ekstraktif bahan pembuatan perekat tanin.
Penambahan zat pelarut aseton yang digunakan akan meningkatkan nilai kadar
ekstrak kulit kayu. Penggunaan pelarut air hanya menghasilkan peningkatan
jumlah karbohidrat saja sedangkan presentase tanin dalam ekstrak tidak berubah,
bahkan lebih rendah (Pizzi, 1983 dalam Citraningtyas, 2002)
Hasil perhitungan uji Duncan disajikan pada lampiran 3 juga
menunjukkan perlakuan Rhizophora-aseton juga berpengaruh nyata pada kadar
ekstraktif. Semakin tinggi kadar ekstraktif kulit kayu maka semakin baik kualitas
perekat karena kadar tanin murni yang dihasilkan akan semakin tinggi.
Rendemen
Rendemen dinyatakan dalam persen bobot akhir (gram) per bobot awal
(gram) (Santoso, 1995 dalam Ruhendi, 2007). Rendemen yang diperoleh disajikan
pada tabel 3.
Tabel 3. Nilai Rata-Rata Rendemen Kulit Kayu Mangrove (%)
Jenis Pelarut Jenis Kayu
Avicennia Bruguiera Rhizophora
Air 700C 15,385 18,18 22,22
Aseton 80%-air 16,6 20 25
Umur ketiga jenis kayu pada penelitian ini adalah 7 tahun. Nilai rendemen
menggunakan pelarut aseton 80%-air lebih tinggi dibandingkan dengan
menggunakan pelarut air, hal ini dikarenakan aseton dapat melarutkan lebih
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
rendemen tanin (kadar ekstrak) maka akan semakin semakin banyak tanin yang
dapat bereaksi dengan formaldehid sehingga semakin baik kualitas perekat yang
dihasilkan.
B. Sifat Kimia Tanin
B.1. Kadar Tanin Terkondensasi
Nilai kadar tanin terkondensasi dengan perlakuan rendaman air dan
perendaman aseton disajikan pada tabel 4. Tujuan pengujian kadar tanin
terkondensasi adalah untuk menduga banyaknya tanin murni yang dapat
digunakan sebagai pembuatan perekat alami. Nilai ini dapat berbeda tergantung
pada sumber bahan, lokasi, umur, metode, dan kondisi ekstraksi serta letak bahan
ekstraksi pada pohon (Pizzi, 1983). Dalam penelitian ini, perbedaan lebih
difokuskan pada sumber bahan dan metode ekstraksi.
Tabel 4. Nilai Tanin Terkondensasi Kulit Kayu Mangrove (%)
Jenis Pelarut Jenis Kayu
Avicennia Bruguiera Rhizophora
Air 700C 46,333 52,667 60
Aseton 80%-air 67,333 78,467 82,667
Metode ekstraksi menggunakan aseton berpengaruh nyata pada nilai tanin
terkondensasi. Hal ini disebabkan aseton lebih baik dalam melarutkan
senyawa-senyawa polimer yang tidak larut dalam air (Robinson,1995). Jenis kayu
Rhizophora pada penelitian ini berpengaruh pada nilai kadar terkondensasi. Hal
ini disebabkan jenis kayu Rhizophora pada penelitian ini memiliki kadar ekstraktif
yang lebih tinggi dibandingkan Avicennia dan Bruguiera (lampiran 1).
Hasil analisis sidik ragam kadar tanin terkondensasi menunjukkan
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
ini disebabkan adanya zat-zat lain yang masih terkandung dalam ketiga jenis kulit
kayu. Hal ini sesuai dengan penelitian Tan (1992) dalam Ruhendi (2007) bahwa
kemungkinan selain tanin terkondensasi juga masih ada komponen lain dalam
tanin yaitu tanin terhidrolisis, lignan, stilbena dan tropolon.
B.2.Bilangan Stiasny
Menurut Sujanto (1995) dalam Citraningtyas (2002) bilangan stiasny
dapat digunakan untuk menduga banyaknya unit plavonoid di dalam ekstrak tanin
yang dapat bereaksi dengan formaldehida. Semakin tinggi nilai bilangan stiasny
berarti semakin tinggi reaktifitas tanin tersebut. Oleh karena itu bilangan stiasny
merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk menilai kualitas ekstrak
tanin (Citraningtyas, 2002)
Nilai bilangan stiasny dan kadar poliflavonoid dari tanin yang diperoleh
dari seluruh perlakuan dengan metode perendaman air dan aseton disajikan pada
tabel 5 berikut ini:
Tabel 5. Nilai Rata-Rata Sifat Kimia Kulit Kayu Mangrove (%) Kombinasi
Avicennia-Air 11,986 40,278 36,952 10,808
Bruguiera-Air 52,667 56,961 52,255 8,296
Rhizophora-Air 60 66,389 60,907 12,928
Avicennia-Aseton 67,333 82,778 75,943 10,808
Bruguiera-Aseton 78,467 91,667 84,107 17,206
Rhizophora-Aseton 82,667 166,933 153,15 53,183
Bilangan stiasny ditentukan oleh kadar tanin terkondensasi. Semakin
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
(Citraningtyas, 2002). Dari seluruh nilai bilangan stiasny terkoreksi yang
diperoleh hanya satu nilai yang mencapai angka 109,0 seperti bilangan stiasny
standar yang digunakan yaitu pada perlakuan menggunakan pelarut aseton pada
kombinasi perlakuan Rhizophora-aseton. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak
tanin yang dihasilkan pada seluruh kombinasi perlakuan tidak seluruhnya
mengandung poliflavonoid yang murni.
Metode ekstrak menggunakan aseton berpengaruh pada nilai bilangan
stiasny. Hal ini disebabkan aseton dapat melarutkan senyawa-senyawa yang
terdapat dalam kulit kayu (Robinson, 1995 dalam Citraningtyas, 2002)
dibandingkan air yang umumnya tidak menjamin jumlah senyawa polifenol yang
dihasilkan tinggi (Hathway, 1962 dalam Citraningtyas, 2002). Jenis kayu juga
berpengaruh pada nilai bilangan stiasny (gambar 1) hal ini disebabkan perbedaan
dari kandungan poliflavonoid yang terdapat pada masing-masing ekstrak tanin
sehingga mengakibatkan perbedaan reaktifitas formaldehid yang terjadi pada
perekat yang akan dihasilkan. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kandungan
polifalvonoid yang terdapat pada ekstrak tanin maka kualitas perekat tanin yang
dihasilkan juga semakin baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pizzi (1983)
dalam Ruhendi (2007) formaldehida bereaksi dengan tanin untuk menghasilkan
polimerisasi melalui ikatan metylene dengan posisi reaktif molekul-molekul
flavonoid.
Dari hasil analisis sidik ragam pada lampiran 7 menunjukkan bahwa
interaksi metode ekstrak menggunakan aseton dengan jenis kayu Rhizophora yang
digunakan signifikan pada nilai bilangan stiasny bahan pembuatan perekat tanin.
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
ikatan-ikatan hidrogen yang bisa terjadi di alam antara tanin dan protein
tumbuhan atau polisakarida, sehingga bilangan stiasnynya menjadi lebih tinggi
(Wise, 1946 dalam Citraningtyas, 2002)
Hal ini juga ditunjukkan dari hasil uji Duncan (lampiran 8) yang
menunjukkan bahwa perlakuan Rhizophora-aseton berpengaruh nyata pada nilai
bilangan stiasny hal ini disebabkan zat pelarut aseton yang digunakan lebih baik
dalam memutuskan ikatan tanin pada kayu Rhizophora. Pada penelitian ini kulit
kayu Rhizophora memiliki kadar ekstrak tanin yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kedua jenis kulit kayu lainnya (Tabel 2). Kadar ekstraktif kulit kayu
sangat berhubungan dengan unit poliflavonoid. Hal ini sesuai dengan literatur
Citraningtyas (2002) bahwa semakin tinggi kadar ekstraktif yang terdapat pada
kulit kayu maka kualitas tanin sebagai bahan dasar perekat semakin baik, karena
mempunyai hubungan yang linier dengan unit poliflavonoid.
40,278
Gambar 1. Grafik Nilai Rata-Rata Bilangan Stiasny
C. Sifat Perekat Tanin Formaldehida
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Berat jenis perekat berkaitan dengan komponen yang terkandung di dalam
perekat (Meda, 2006 dalam Ruhendi, 2007). Seluruh nilai berat jenis perekat tanin
formaldehida pada penelitian ini yang dibuat dengan menggunakan binder tanin
hasil ekstraksi dengan perendaman dalam aseton, lebih tinggi bila dibandingkan
dengan perekat tanin dari metode perendaman air (Gambar 2).
Metode ekstraksi menggunakan aseton berpengaruh nyata pada nilai berat
jenis. Hal ini disebabkan pelarut aseton dapat memutuskan ikatan-ikatan hidrogen
yang terjadi antara tanin dengan protein tumbuhan dan membentuk polimerisasi
tanin dengan formaldehid sehingga membentuk tanin formaldehid (Wise,1946
dalam Citraningtyas,2002). Menurut Susanti et al (2000) dalam Ruhendi (2007)
bahwa semakin sempurna tingkat polimerisasi membentuk ikatan di antara
komponen-komponen perekat, semakin panjang polimer yang terbentuk sehingga
bobot molekul semakin besar. Bobot molekul yang besar menyebabkan berat jenis
menjadi besar.
Kulit kayu Rhizophora berpengaruh nyata pada nilai berat jenis perekat
tanin formaldehid. Pada penelitian ini kulit kayu Rhizophora memiliki kadar tanin
terkondensasi yang lebih tinggi dibandingkan Avicennia dan Bruguiera (lampiran
4), pada kondisi tersebut tanin dan formaldehida dapat bereaksi dengan baik
membentuk perekat tanin formaldehida sehingga berat molekul dan derajat
polimerisasi perekat menjadi lebih tinggi. Maka berat jenis komponen perekat
yang dihasilkan semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Meda (2006)
dalam Ruhendi (2007) semakin banyak komponen perekat yang berat jenisnya
tinggi, maka berat jenis perekat akan semakin tinggi juga. Dari hasil penelitian
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Rhizophora mucronata diperoleh nilai berat jenis perekat 1,38 (suhu 480C, 2-3
jam ekstraksi dengan pelarut etanol-air).
Dari hasil analisis sidik ragam diperoleh bahwa interaksi metode ekstraksi
menggunakan aseton dan kulit kayu Rhizophora yang digunakan signifikan
terhadap berat jenis perekat tanin. Hal ini disebabkan kulit kayu Rhizophora pada
penelitian ini memiliki kadar tanin terkondensasi lebih tinggi dibandingkan
Avicennia dan Bruguiera karena pada kondisi tersebut tanin dan formaldehida
dapat bereaksi dengan baik membentuk perekat tanin formaldehida sehingga berat
molekul dan derajat polimerisasi perekat menjadi lebih tinggi (Wise,1946 dalam
Citraningtyas,2002). Hasil perhitungan uji Duncan (Lampiran 17) juga
menunjukkan bahwa bahwa perlakuan Rhizophora-aseton berpengaruh nyata pada
nilai berat jenis perekat tanin.
Menurut SNI 06-4566-1998 (lampiran 30), berat jenis berkisar antara
1,260-1,290. Nilai berat jenis perekat Rhizophora-aseton pada penelitian ini 1,286
masih termasuk dalam kisaran SNI 06-4566-1998 dan digunakan untuk
pengerjaan kayu.
Nilai rata-rata berat jenis perekat yang diperoleh dalam penelitian ini dapat
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
0,331
Gambar 2. Grafik Nilai Rata-Rata Berat Jenis
C.2 Masa Gelatinasi
Masa gelatinasi menunjukkan waktu yang dibutuhkan perekat untuk
mengental atau menjadi gel sehingga tidak dapat ditambahkan lagi dengan bahan
lain dan siap untuk direkatkan (Solomon, 1967 dalam Meda, 2006 dalam
Ruhendi, 2007). Masa gelatinasi perekat lebih banyak dipengaruhi oleh kuantitas
kadar tanin terkondensasi dan kadar poliflavonoid. Semakin tinggi kedua
karakteristik tersebut, maka semakin banyak pula tanin yang bereaksi dengan
formaldehid dan pada suhu yang tinggi (1000C) reaksi tanin dengan formaldehida
terjadi dalam waktu yang relatif singkat, sehingga perekat pun lebih mudah
tergelatinasi (Citraningtyas, 2002)
Metode ekstraksi menggunakan aseton berpengaruh pada nilai masa
gelatinasi. Hal ini disebabkan aseton dapat meningkatkan kadar nilai tanin
terkondensasi dan kadar poliflavonoid dibandingkan ekstraksi menggunakan air
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Jenis kayu juga berpengaruh pada nilai masa gelatinasi perekat tanin. Kulit
kayu Rhizophora pada penelitian ini memiliki kandungan tanin murni yang lebih
tinggi dibandingkan pada jenis kulit kayu Avicennia dan Bruguiera. Kadar
terkondensasi yang tertinggi didapatkan pada kulit kayu Rhizophora sehingga
banyaknya kandungan poliflavonoid yang dikandung oleh Rhizophora juga lebih
tinggi dibandingkan jenis kulit kayu Avicennia dan Bruguiera sehingga
menyebabkan kulit kayu Rhizophora berpengaruh pada nilai gelatinasi.
Hasil perhitungan sidik ragam masa gelatinasi menunjukkan bahwa pada
interaksi pada metode ekstraksi aseton dan kulit kayu Rhizophora yang
digunakan berpengaruh nyata pada nilai masa gelatinasi perekat. Hal ini
disebabkan zat pelarut aseton yang dapat melarutkan kulit kayu lebih baik
dibandingkan air sehingga dihasilkan kadar ekstrak tanin yang tinggi sehingga
kadar tanin terkondensasi tinggi dan unit poliflavonoid. Semakin lama gelatinasi
yang dihasilkan maka umur simpan perekat lama karena perekat tidak mudah
mengental (Ruhendi, 2007). Dari hasil perhitungan uji Duncan juga menunjukkan
bahwa perlakuan perendaman dengan menggunakan aseton berbeda nyata dengan
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
66,2203
Gambar 3. Grafik Nilai Rata-Rata Gelatinasi (Menit)
Menurut SNI 06-4566-1998 (lampiran 30), masa gelatinasi minimal 60
menit. Nilai masa gelatinasi perekat Rhizophora-aseton pada penelitian ini 79,667
masih termasuk dalam kisaran SNI 06-4566-1998 dan digunakan untuk
pengerjaan kayu.
C.3 Kadar Padatan
Kadar padatan menunjukkan jumlah molekul perekat yang akan berikatan
dengan molekul sirekat. Menurut Vick (1999) dalam Ruhendi (2007) bahwa
semakin tinggi kadar padatan pada batas tertentu, maka keteguhan rekat papan
yang dihasilkan semakin meningkat karena semakin banyak molekul penyusun
perekat yang bereaksi dengan kayu saat perekatan.
Metode ekstraksi menggunakan aseton berpengaruh nyata pada nilai kadar
padatan. Hal ini disebabkan aseton dapat menghasilkan kandungan padat yang
lebih tinggi dibandingkan air (gambar 4). Hal ini sesuai dengan pernyataan
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
tanin yang diperoleh dari ekstraksi dengan menggunakan air panas, hanya 42-75%
yang berupa polimer tanin, sisanya berupa campuran gula pektin, hemiselulosa,
dan polifenol lain yang mempunyai berat molekul yang rendah (< 300)
dibandingkan aseton yang lebih banyak melarutkan senyawa polimer yang tidak
larut dalam air dan etil asetat (Robinson, 1995 dalam Citraningtyas, 2002)
Jenis kulit kayu Rhizophora yang digunakan juga berpengaruh pada nilai
kadar padatan perekat tanin formaldehid. Hal ini disebabkan jenis kulit kayu
Rhizophora pada penelitian ini memiliki bilangan stiasny dan kadar poliflavoid
(lampiran 6 dan 12) yang lebih tinggi dibandingkan Avicennia dan Bruguiera.
Hasil perhitungan sidik ragam kandungan padatan yang tidak menguap
menunjukkan bahwa pada metode ekstraksi aseton dan jenis kayu Rhizophora
yang digunakan signifikan. Hal ini disebabkan dalam metode ekstrak tanin
indikator yang berpengaruh adalah zat pelarut dari metode ekstrak. Zat pelarut
aseton dapat menghasilkan kadar padatan yang menguap lebih tinggi sehingga
kualitas perekat yang akan dihasilkan semakin baik. Hasil uji Duncan (lampiran
23) juga menunjukkan bahwa perlakuan perendaman dengan menggunakan aseton
berbeda nyata dengan perlakuan menggunakan air yaitu pada perlakuan
(Rhizophora-aseton).
Dalam aplikasi perekatan keteguhan rekat papan akan semakin meningkat
jika kadar padatan yang menguap semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Meda (2006) dalam Ruhendi (2007) bahwa semakin tinggi kadar
padatan maka keteguhan rekat semakin meningkat karena semakin banyak
molekul penyusun perekat yang bereaksi dengan kayu saat perekatan. Dari hasil
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
kulit kayu Rhizophora mucronata diperoleh nilai kadar padatan tidak menguap
35,82% (suhu 480C, 2-3 jam ekstraksi dengan pelarut etanol-air).
Nilai rata-rata kadar padatan perekat tanin formaldehida yang tidak
menguap dapat dilihat pada gambar 4.
29,317
Gambar 4. Grafik Nilai Rata-Rata Kadar Padatan yang Tidak Menguap (%)
C.4. Kekentalan
Kekentalan menunjukkan kemampuan perekat untuk mengalir pada
permukaan yang direkat (Prasetyo, 2006 dalam Ruhendi, 2007). Menurut
Citraningtyas (2002) kekentalan perekat cenderung berkaitan dengan kadar tanin
terkondensasi dan kadar poliflavonoidnya. Dengan lebih tingginya nilai tanin
terkondensasi dan kadar poliflavonoidnya berarti jumlah tanin yang bereaksi
dengan formaldehida juga lebih banyak sehingga komponen perekat akan
terpolimerisasi dengan lebih baik, yang menyebabkan berat molekul, derajat
polimerisasi, dan kerapatan perekat menjadi lebih tinggi. Histogram yang
menunjukkan nilai rata-rata kekentalan perekat tanin formaldehida yang diperoleh
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
44,3949
Gambar 5. Grafik Nilai Rata-Rata Kekentalan (Cps)
Metode ekstraksi menggunakan aseton berpengaruh pada nilai kekentalan
perekat. Hal ini disebabkan aseton dapat meningkatkan jumlah tanin yang
bereaksi dengan formaldehid lebih banyak sehingga komponen perekat akan
terpolimerisasi dengan lebih baik. Namun tidak demikian dengan menggunakan
ekstraksi air perekat ini lebih kental karena pada taninnya lebih banyak
karbohidrat yang lebih mudah larut dalam etanol saat pembuatan perekat. Jenis
kayu Rhizophora juga berpengaruh pada nilai kekentalan perekat. Hal ini
disebabkan Rhizophora memiliki kadar tanin terkondensasi dan kadar
poliflavonoid yang lebih tinggi dibandingkan Avicennia dan Bruguiera (lampiran
4 dan 12).
Hasil sidik ragam menunjukkan interaksi metode ekstraksi menggunakan
aseton dan jenis kayu Rhizophora juga berpengaruh nyata pada nilai kekentalan
perekat (lampiran 25). Aseton dapat melarutkan zat-zat ekstraktif pada ketiga
jenis kayu, walaupun zat-zat lain masih terkandung dalam ketiga jenis kulit kayu.
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
tinggi dibandingkan Avicennia dan Bruguiera (lampiran 1) sehingga nilai
kekentalan tinggi yang dapat menghasilkan perekat dengan kualitas yang lebih
baik. Dari hasil perhitungan uji Duncan (lampiran 26) juga menunjukkan bahwa
perlakuan perendaman dengan menggunakan aseton berbeda nyata dengan
perlakuan menggunakan air yaitu pada perlakuan (Rhizophora-aseton). Dari hasil
penelitian Tan (1992) dalam Ruhendi (2007) yang menggunakan ekstrak tanin
kulit kayu Rhizophora mucronata diperoleh nilai kekentalan perekat 6 poise (suhu
480C, 2-3 jam ekstraksi dengan pelarut etanol-air).
C.5. Derajat Keasaman
Menurut Meda (2006) dalam Ruhendi (2007), secara umum semakin
tinggi pH perekat semakin baik dalam penyimpanan. Nilai rata-rata pH perekat
tanin formaldehida dari seluruh perlakuan pada penelitian ini disajikan pada
gambar 6.
Metode ekstraksi menggunakan aseton berpengaruh pada nilai derajat
keasaman perekat yang dihasilkan. Hal ini disebabkan dalam pembuatan perekat
tanin formaldehida ini juga ditambahkan NaOH yang berfungsi sebagai katalis
untuk mempercepat reaksi antara tanin dengan formaldehida. Sesuai literatur Pizzi
(1983) dalam Citraningtyas (2002) bahwa peningkatan alkalinitas dari katalis
akan menyebabkan pengaktifan fenol secara progresif, khususnya pada kondisi
pH diatas 3 sehingga reaksi antara tanin dengan formaldehida menjadi lebih cepat.
Nilai derajat keasaman yang dihasilkan pada ketiga jenis kayu tidak
berbeda jauh namun berpengaruh nyata pada jenis kayu Rhizophora. Hal ini
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
ekstraktif yang cukup tinggi dan pada penelitian ini Rhizophora memiliki kadar
ekstraktif yang lebih tinggi dibandingkan jenis kayu Avicennia dan Bruguiera.
Hal ini juga dikatakan Ruhendi (2007) bahwa kandungan ekstraktif membuat
kadar keasaman juga tinggi terutama tanin.
Hasil analisis sidik ragam derajat keasaman menunjukkan interaksi yang
tidak nyata antara jenis kayu dan kedua metode ekstrak. Hal ini disebabkan
adanya penambahan zat lain yaitu NaOH yang dapat meningkatkan alkalinitas
keasaman pada perekat yang dihasilkan. Karena pH perekat tergantung reaksi
yang berlangsung antara tanin dan formaldehida dalam membentuk polimer
tanin-formaldehida (Pizzi, 1983 dalam Tan, 1992 dalam Citraningtyas, 2002)
5,387
Gambar 6. Nilai Rata-Rata pH Perekat Tanin Formaldehida
Nilai tertinggi pH perekat diperoleh dari perendaman dengan aseton 80%
selama 12 jam yaitu sebesar 5,657 dan pH perekat dari perendaman dengan air
yaitu 5,847. Dari penelitian Tan (1992) yang menggunakan ekstrak kulit kayu
Rhizophora mucronata diperoleh nilai rata-rata pH perekat tanin formaldehida
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
sumber tanin, ataupun formulasi pembuatan perekat tanin formaldehida
(Citraningtyas, 2002). Dari hasil penelitian Tan (1992) dalam Ruhendi (2007)
yang menggunakan ekstrak tanin kulit kayu Rhizophora mucronata diperoleh nilai
derajat keasaman perekat 6,32 (suhu 480C, 2-3 jam ekstraksi dengan pelarut
etanol-air).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa perekat tanin formaldehida yang
diperoleh dari penelitian ini secara umum berada di luar kisaran nilai kualifikasi
pada Standar Nasional Indonesia. Namun, pada pengujian kualitas berat jenis
perekat dengan perlakuan Rhizophora-aseton dapat memenuhi. Menurut SNI 06–
4566-1998, berat jenis berkisar antara 1,260–1,290 berat jenis perekat
Rhizophora-aseton dapat digunakan untuk pengerjaan kayu. Tanin dan urea
maupun melamine memang berbeda. Sebagai produk alam tanin sudah memiliki
sifat-sifat bawaan yang sulit diubah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Browning
(1956) dalam Citraningtyas (2002) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas tanin antara lain kondisi kulit, jenis pelarut yang digunakan, kemungkinan
adanya logam besi, dan temperatur selama ekstraksi. Selain itu tanin yang
diperoleh dari hasil ekstraksi mengalami penurunan kualitas tanin murni.
Faktor lain yang diduga sebagai penyebab perbedaan kualitas perekat tanin
formaldehida dari nilai standar antara lain belum adanya pengkhususan
peruntukan perekat tersebut. Hal ini menyebabkan secara fisik perekat tanin
formaldehida berbeda dari perekat lain. Contohnya pada nilai derajat keasaman.
Tanin formaldehida pada penelitian ini memiliki derajat keasaman yang jauh lebih
rendah karena perekat ini belum diputuskan peruntukkannya. Karena pada kondisi
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
2007). Lain halnya dengan perekat lain yang akan digunakan sebagai perekat pada
produk papan partikel, kayu lapis ataupun pengerjaan kayu. Pada produk-produk
panel ini, aplikasi perekat yang dibutuhkan perekat dengan pH yang tinggi
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari penelitian dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini:
1. Limbah kulit kayu Mangrove dapat dijadikan sebagai perekat tanin dimana
pada sebagian besar kriteria yang diujikan, metode perendaman dalam
larutan aseton-air memberikan hasil yang lebih baik daripada sistem
perendaman dalam air suhu 700C, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif.
2. Berdasarkan beberapa pedoman standarisasi yang dikeluarkan oleh Badan
Standarisasi Nasional, perekat tanin formaldehida yang dihasilkan dari
penelitian ini, hanya berat jenis dan masa gelatinasi yang memenuhi
kualifikasi yang dipersyaratkan.
B. Saran
Penelitian lebih lanjut mengenai peningkatan kualitas tanin dengan
mempertimbangkan kondisi optimum yang diperlukan dalam reaksi tanin sebagai
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, S. S. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor.
Amri. 2007. Jenis-Jenis Kayu.
Arief, Arifin. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Bird, T. 1993. Kimia Fisik Untuk Universitas. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Citraningtyas, E. R. 2002. Kualitas Tanin Kulit Akasia (Acacia mangium Willd) dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Perekat. Jurusan THH Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Skripsi. (tidak diterbitkan)
Damanik, S. 1987. Ekologi Ekosistem Sumatera. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Haygreen, J. G. dan Bowyer, J. L. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Ukur Kayu. Suatu Pengantar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Hartomo, A. J, dkk. 1992. Memahami Polimer dan Perekat. Andi Offset Yogyakarta. Yogyakarta.
Hermawan, R. W. 1989. Penggunaan Tanin Kulit Kayu Tusam (Pinus merkusii Jungh et de Vriest) Sebagai Perekat Kayu Lapis Eksterior. Jurusan THH. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Skripsi (tidak diterbitkan)
Furniss, B.S. ; A. J. Hannaford; V. Rogers; P. W. G. Smith; A.R. Tatchell. 1978. Vogel’s: Textbook of Practical Organic Chemistry. Including Qualitative Organic Analysis. 4th Edition. Longman Group. Longman House, Burnt, Mill, Harlow, England
Gomez, A. K dan Gomez, A.A. 1995. Prosedur Stastistik Untuk Penelitian Pertanian. Edisi Kedua. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Kitamura, Shozo. 1997. Buku Panduan Mangrove di Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jaya Abadi. Bali.
Uli Cynthia Rahayu Siregar : Kualitas Perekat Tanin Dari Beberapa Kulit Kayu Mangrove, 2009. USU Repository © 2009
Linggawati, Amilia, dkk. 2007. Pemanfaatan Tanin.:Jurnal Natur Indonesia S(1):84-94 (2002).www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_natur/vol5(1)
/amilia.pdf+perekat+dari+tanin&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id
Noor, dkk. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International. Bogor.
Meda, A.A. 2006. Kualitas Komposit dan Likuida Limbah Sabut Kelapa dengan Fortifikasi Poliuretan. Skripsi Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Tidak Diterbitkan.
Pizzi, A. 1983. Tanin-based wood adhesive. Di dalam: Pizzi, A (ed). Wood
Adhesive Chemistry and Technology. New York: Marcell Deller.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB. Bandung.
Ruhendi, Surdiding, dkk. 2007. Analisis Perekatan Kayu. Insitut Pertanian Bogor.Bogor.
Santoso, A. & Sutigno, P. 1995. The effect of glue spread and percentage of filler of tannin formaldehyde resin on plywood bonding strenght. Forest
Product Journal 13: 87-92.
Sjostrom, E. 1981. Wood Chemistry: Fundamentals and Aplications. Academic Press. London. New York.
Sujanto. 1995. Evaluasi Tanin Mangium, Mimosa dan Quebracho sebagai Campuran Perekat Kayu Lapis. Jurusan Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor. Skripsi (tidak diterbitkan)
Susanti, C. M. E. 2000. Autokondesat Tanin sebagai Perekat Kayu Lamina. Jurusan IPK. Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Disertasi (tidak diterbitkan).
Tan, L. 1992. Ekstraksi dan Identifikasi Tanin Kulit Kayu Beberapa Jenis Pohon Serta Penggunaannya Sebagai Perekat Kayu Lapis Eksterior. Jurusan IPK. Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Disertasi (tidak diterbitkan).
Tano, Eddy. 1997. Pedoman Membuat Perekat Sintesis. Rineka Cipta. Jakarta.