• Tidak ada hasil yang ditemukan

Glulam dari Kayu Cepat Tumbuh dengan Perekat Tanin dari Ekstrak Kulit Mahoni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Glulam dari Kayu Cepat Tumbuh dengan Perekat Tanin dari Ekstrak Kulit Mahoni"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

GLULAM DARI KAYU CEPAT TUMBUH

DENGAN PEREKAT TANIN DARI EKSTRAK KULIT MAHONI

ANDI SRI RAHAYU DIZA LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Glulam dari kayu cepat tumbuh dengan perekat tanin dari ekstrak kulit mahoni adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepadaInstitut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Andi Sri Rahayu Diza Lestari

(3)

ANDI SRI RAHAYU DIZA LESTARI. Glulam dari kayu cepat tumbuh dengan perekat tanin dari ekstrak kulit mahoni. Dibimbing oleh YUSUF SUDO HADI, DEDE HERMAWAN dan ADI SANTOSO.

Kesulitan ketersediaan kayu berukuran besar dapat diatasi dengan pembuatan balok laminasi (glulam), dan dengan penggunaan bio-adhesive dapat mengatasi permasalahan lingkungan yang dihasilkan dari penggunaan perekat sintetis yang mengandung formaldehida. Sementara itu, perekat tanin sebagai bio-adhesive dapat digunakan sebagai perekat alternatif dalam pembuatan glulam.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis kayu cepat tumbuh yakni jabon (Anthocephalus cadamba) dan sengon (Falcataria moluccana) dibandingkan dengan pinus (Pinus merkusii) terhadap sifat fisis dan mekanis glulam menggunakan perekat dari tanin mahoni (Swietenia sp). Dimensi glulam yang dihasilkan adalah (3 x 6 x 120) cm dalam tebal, lebar, dan panjang serta terdiri atas 3 lapisan lamina yang masing-masing direkat menggunakan perekat tanin mahoni dan isosianat.

Pengujian sifat fisis dan mekanis glulam mengacu pada standar Jepang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa glulam pinus yang menggunakan perekat tanin dan isosianat memenuhi standar untuk MOR, MOE dan keteguhan rekat. Sementara glulam sengon hanya memenuhi standar untuk keteguhan rekat. Dalam uji delaminasi, glulam sengon tahan terhadap delaminasi air dingin dan air panas. Keseluruhan glulam memiliki nilai formaldehida yang rendah, dan menurut JAS 234-2003 diklasifikasikan dalam F*** dan F****. Secara keseluruhan, hasil yang didapatkan mengindikasikan bahwa kualitas perekat tanin dari kulit mahoni sama dengan MDI untuk pembuatan glulam.

(4)

ANDI SRI RAHAYU DIZA LESTARI. Glulam from fast growing species with tannin adhesive from extract bark of mahogany. Supervised by YUSUF SUDO HADI, DEDE HERMAWAN and ADI SANTOSO.

Manufacturing glued laminated timber (glulam) can overcome the limited availability of large-sized timber, and use of bio-adhesives may resolve environmental problems associated with synthetic adhesives containing high formaldehyde. Tannin adhesive is a bio-adhesive that can be used as alternative glue in the manufacture of glulam.

The purpose of this research was to determine the effect of fast-growing wood species namely jabon (Anthocephalus cadamba) and sengon (Falcataria moluccana) compared with pine (Pinus merkusii) to the physical and mechanical properties of glulam using mahogany (Swietenia sp) tannin adhesive. Glulam with dimension (3 x 6 x 120) cm in thick, width and length respectively was manufactured by 3 layers of lamina using mahogany tannin adhesive and isocyanate.

The glulam was tested for physical and mechanical properties based on Japanese standard. The result showed that pine glulam using mahogany tannin adhesive and isocyanate met the JAS standard for the MOR, MOE, and shear strength. Meanwhile, sengon glulam using mahogany tannin adhesive only met the standard for shear strength. In the delamination test, sengon glulam was resistant to cold- and hot- water immersions. The glulams had low formaldehyde emission levels with F*** and F**** classes according to JAS standard. In overall the results indicated that tannin adhesive from mahogany bark was the same quality with MDI for glulam manufacturing.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Hasil Hutan

GLULAM DARI KAYU CEPAT TUMBUH DENGAN

PEREKAT TANIN DARI EKSTRAK KULIT MAHONI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(7)
(8)

Judul Tesis : Glulam dari Kayu Cepat Tumbuh dengan Perekat Tanin dari Ekstrak Kulit Mahoni

Nama : Andi Sri Rahayu Diza Lestari NIM : E251130141

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr Ketua

Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Agr Prof. Dr. Drs. Adi Santoso, M.Si

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi, Dekan Sekolah Pascasarjana

Fakultas Kehutanan

Dr. Ir. I Nyoman Jaya Wistara, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

NIP. 196312311989031027 NIP. 196204251986031002

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah biokomposit, dengan judul penelitian Glulam dari Kayu Cepat Tumbuh dengan Perekat Tanin dari Ekstrak Kulit Mahoni.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof Dr Ir Yusuf Sudo Hadi, M.Agr selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr Ir Dede Hermawan M.Sc.F.Trop selaku pembimbing kedua dan Bapak Prof (Ris.) Dr Drs Adi Santoso M.Si selaku pembimbing ketiga yang telah memberikan bantuan dan arahan yang sangat membantu penulis dalam penyusunan hingga penyelesaian karya tulis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kementrian Riset dan Teknologi atas Beasiswa PMDSU dan bantuan dana atas penelitian ini. Tak lupa pula penulis sampaikan rasa terima kasih kepada Ayahanda Andi Asri Abbas, SH.MH dan Ibunda Rukminy Moel yang telah mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta memberikan bantuan lewat doa-doa dan dukungan yang diberikan baik berupa materi maupun moril demi keberhasilan penulis selama menjalani proses pendidikan. Demikian pula dengan keluarga besar penulis yang tak hentinya memberikan dukungan kepada penulis selama menjalani pendidikan.

Semoga segala bantuan, bimbingan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis senantiasa mendapat balasan dari Allah subhana wa ta’ala.

Semoga penulisan karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2015

(10)

DAFTAR ISI

halaman

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN ii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

METODE PENELITIAN 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Bahan dan Alat 2

Prosedur Penelitian 2

Analisis Data 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Analisis Kualitatif Ekstrak Tanin dan Perekat Tanin Mahoni 8 Analisis Kuantitatif Ekstrak Tanin dan Perekat Tanin Mahoni 12

Sifat Fisis Glulam 14

Sifat Mekanis Glulam 16

Rasio Delaminasi Glulam 17

Emisi Formaldehida Glulam 18

KESIMPULAN 19

DAFTAR PUSTAKA 19

LAMPIRAN 22

(11)

DAFTAR TABEL

1 Spektrofotometer pita serapan tanin standar dan ekstrak tanin mahoni 9 2 Analisis kuantitatif ekstrak tanin dan perekat tanin mahoni 13 3 Sifat fisis dan mekanis glulam dan kayu solid 15

4 Uji t-Student glulam dan kayu solid 15

5 Analisis ragam sifat fisis dan mekanis glulam 16 6 Uji lanjutan Duncan’s multirange sifat fisis dan mekanis glulam 16

7 Uji delaminasi glulam 18

8 Emisi formaldehida glulam 18

DAFTAR GAMBAR

1 Model pemotongan sampel uji glulam 5

2 Pola sampel uji emisi formaldehida 8

3 Spektrograf ekstrak tanin mahoni 9

4 Kromatograf ekstrak tanin mahoni 10

5 Spektrograf perekat tanin mahoni 11

6 Kromatograf perekat tanin mahoni 11

DAFTAR LAMPIRAN

1 Bagan alur penelitian 23

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ketersediaan kayu berdiamater besar dan berkualitas tinggi yang semakin berkurang menyebabkan peningkatan pemanfaatan kayu cepat tumbuh dengan diameter yang lebih kecil (kurang dari 30 cm). Kayu jenis cepat tumbuh tersebut seperti jabon (Anthocephalus cadamba) dan sengon (Falcataria moluccana) berasal dari hutan tanaman dengan daur panen yang berkisar antara 5-10 tahun (Hermawan et al. 2012). Dengan daur panen yang pendek, proporsi kayu juvenile pada jenis kayu cepat tumbuh lebih besar dibandingkan kayu dewasa (mature wood). Kayu juvenile merupakan jenis kayu yang memiliki kerapatan, keteguhan lentur (MOE), dan keteguhan patah (MOR) yang rendah sehingga jarang digunakan sebagai bahan struktural (Clark et al. 2006). Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dari kayu cepat tumbuh ini adalah dengan pembuatan produk biokomposit seperti glulam (balok laminasi).

Karakteristik glulam yang dihasilkan dipengaruhi oleh sifat mekanis dari masing-masing lamina penyusunnya, sehingga penyusunan lamina-lamina tersebut dapat diatur untuk meningkatkan kekuatan glulam (Komariah et al. 2015). Namun terdapat permasalahan lain dalam industri pembuatan glulam, yakni penggunaan perekat sintetis yang terbuat dari bahan baku non-renewable sehingga sangat meresahkan bagi kelangsungan industri glulam ke depannya. Hal ini menyebabkan pembuatan perekat lain yang bersifat lebih alami dan dapat diperbarui mulai ditingkatkan (Santoso et al. 2014).

Mahoni (Swietenia sp) merupakan salah satu kayu yang banyak terdapat di Indonesia, dengan kekuatan dan tampilan yang indah menyebabkan kayu ini sering dimanfaatkan sebagai bahan bangunan serta bahan baku furniture. Di daerah Jepara, Jawa Tengah, mahoni merupakan salah satu jenis kayu yang banyak digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan furniture seperti lemari, kursi, meja, dan tempat tidur (Fadillah et al. 2014). Pada tahun 2014, kisaran produksi kayu mahoni di Indonesia adalah sebanyak 130,864 m3 (Perum Perhutani 2014). Pemanfaatan kayu mahoni sebagai bahan bangunan serta bahan furniture tentu saja menghasilkan banyak limbah kulit pohon yang belum dimanfaatkan secara optimal. Pada tanaman terutama bagian kulitnya memiliki kandungan tanin yang tinggi (Hagerman 2002), sementara tanin memiliki kandungan senyawa polifenolik yang dapat digunakan sebagai bahan baku perekat alami. Pemanfaatan tanin sebagai alternatif perekat alami sebelumnya telah diteliti dengan menggunakan tanin yang berasal dari mangium (Acacia mangium), merbau (Intsia bijuga), mangrove (Rhizopora sp), dan pinus (Pizzi 1982; Santoso et al. 2014).

(13)

Perumusan masalah

1. Sejauh mana efektifitas perekat tanin mahoni dalam pembuatan glulam menggunakan jenis kayu cepat tumbuh yaitu jabon dan sengon yang dibandingkan dengan kayu pinus

2. Apakah glulam yang dihasilkan memiliki kekuatan yang sama atau lebih baik dari kayu solidnya

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data atau informasi mengenai efektifitas pembuatan glulam dari dua jenis kayu cepat tumbuh yakni jabon (Anthochepalus cadamba Miq), dan sengon (Falcataria moluccana), serta dibandingkan dengan kayu pinus (Pinus merkusii) menggunakan perekat tanin mahoni ditinjau dari sifat fisis dan mekanisnya.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Mei 2015. Lokasi penelitian bertempat di Laboratorium Biokomposit, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Laboratorium Fisika Terpadu, Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Laboratorium Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Produk Majemuk dan Penguji, Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak tanin dari kulit kayu mahoni yang diambil dari Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor. Kayu jabon dan sengon (kisaran umur 5-7 tahun), dan sebagai pembanding digunakan kayu pinus yang diperoleh dari Ciampea, Bogor. Perekat tanin mahoni (kadar padatan 10%) dan perekat isosianat,aquades serta larutan bahan kimia lain yang digunakan dalam pencirian ekstrak tanin dan perekat tanin mahoni.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kilang pengering (kiln dry), deflektometer, alat kempa dingin, alat klem, Band saw, circular saw, mesin ketam (planner), mesin ampelas, meteran, timbangan digital, caliper digital, kuas ukuran lebar 2,5 inci, kaca datar, tabung reaksi, labu erlenmeyer, oven, moisture meter, desikator, Universal Testing Machine (UTM) merk Instron series IX version 8.27.00 dengan kapasitas 5 kN, wadah plastik, pengaduk, pH-meter, viskometer, piknometer 50 ml dan spektrometer FT-IR, serta pirolisis GCMS.

Prosedur Penelitian

(14)

Pembuatan perekat tanin mahoni

Pembuatan perekat tanin mahoni dilakukan dengan mencampurkan ekstrak tanin mahoni dengan formaldehida 37% teknis sebanyak 10% dari bobot ekstrak tanin cair. Kemudian campuran tersebut diaduk sampai homogen.

Analisis kualitatif tanin dan perekat tanin mahoni. Analisis kualitatif yang dilakukan pada tanin dan perekat tanin terdiri atas.

- Analisis gugus fungsi dengan spektroskopis FTIR

- Analisis senyawa yang terkandung dalam tanin dan perekat tanin menggunakan pirolisis GCMS

- Uji kenampakan secara visual, dilakukan dengan cara menuangkan sedikit sampel perekat ke atas kaca datar, kemudian sampel dilaburkan sampai membentuk lapisan film yang tipis. Pengamatan dilakukan secara visual yakni melihat warna serta ada atau tidaknya butiran padat, partikel kasar ataupun benda asing lainnya. Pengujian kenampakan mengacu pada standar SNI 06-4565-1998.

Analisis kuantitatif tanin dan perekat tanin mahoni. Analisis kuantitatif yang dilakukan pada tanin dan perekat tanin adalah sebagai berikut.

- Penetapan kadar abu. Kadar abu ditentukan dengan cara memasukkan 3 g sampel ke dalam cawan yang telah diketahui bobot keringnya. Lalu cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam tanur pengabuan pada suhu 900 – 1000oC, kemudian didinginkan dalam desikator. Pengeringan dan penimbangan dilakukan hingga dicapai bobot tetap.

Kadar abu = x 100% Di mana,

A = Cawan berisi tanin sebelum di oven (g) B = Cawan berisi tanin setelah dioven (g) - Penentuan bilangan Stiasny ekstrak tanin mahoni

Reaktifitas polifenol yang terkandung dalam tanin terhadap formaldehida (bilangan stiasny) ditentukan dengan cara yaitu sebanyak 20 g ekstrak tanin kering dimasukkan ke dalam gelas ukur berisi air sebanyak 40 ml. Kemudian larutan ini ditambahkan dengan NaOH hingga mencapai pH 7. Setelah itu, formalin 37% sebanyak 100 ml dan HCl sebanyak 15 ml ditambahkan ke dalam larutan lalu dipanaskan selama 85 menit pada suhu 90 ºC. Hasil larutan kemudian disaring dan sisa padatan dibilas menggunakan air panas, kemudian dikeringkan ke dalam oven pada suhu 105 ºC lalu ditimbang. Bilangan stiasny ditentukan dengan menggunakan rumus (Akoto and Osei-Brefoh2014): Bilangan stiasny =

x 100

(15)

- Penentuan kadar silika. Penentuan ini dilakukan dengan menggunakan standar TAPPI T 211 om-85 dimana abu yang diperoleh dari pengujian kadar abu dipanaskan di atas penangas air dengan suhu 80 oC sambil ditambahkan HCl 4N sebanyak 20 ml. Larutan kemudian diencerkan dengan menggunakan air destilata lalu disaring dengan menggunakan kertas Whatman dan dicuci hingga bersih menggunakan indikator AgNO3. Kertas saring yang berisi

- Pengukuran pH. Pengukuran pH perekat ditentukan berdasarkan standar SNI 06-4565-1998 dengan cara memasukkan sampel ke dalam gelas piala 100 ml, lalu pH perekat diukur dengan menggunakan pH meter. Nilai pH yang tertera pada alat kemudian dicatat.

- Pengukuran bobot jenis Pengukuran bobot jenis mengacu pada Astu (2005) yang dilakukan dengan menggunakan piknometer berukuran 50 ml yang sebelumnya telah diketahui bobot keringnya. Perekat tanin yang baru dibuat dimasukkan ke dalam piknometer sampai penuh dan tidak ada gelembung udara, selanjutnya piknometer beserta isinya ditimbang. Setelah ditimbang, kemudian perekat dikeluarkan dari piknometer dan diukur volumenya mnggunakan gelas ukur. Bobot jenis dihitung dengan membagi antara bobot jenis perekat dengan bobot jenis air.

- Penentuan pot life. Penentuan pot life dilakukan dengan metode pengukuran waktu gelatinasi dilakukan pada perekat tanin mahoni yang mengacu pada standar SNI 06-4567-1998. Sebanyak 10 ml perekat tanin mahoni dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian dipanaskan dalam penangas air pada suhu 130 oC – 135 oC. Waktu gelatinasi didapatkan dengan mencatat waktu yang diperlukan perekat mulai dari dipanaskan sampai perekat tidak mengalir saat dimiringkan.

Pembuatan Glulam

Glulam yang dihasilkan terbuat dari tiga jenis kayu yakni sengon, jabon, dan pinus yang masing-masing direkat dengan menggunakan perekat tanin mahoni (kadar padatan 10%), dan perekat Isosianat.Jenis glulam ini merupakan glulam 3 lapis berukuran 3 x 6 x 120 (cm) pada dimensi tebal, lebar dan panjang. Masing-masing glulam dibuat sebanyak 3 ulangan dengan tahapan pembuatan sebagai berikut:

(16)

2. Pemilahan lamina. Pemilahan lamina dilakukan dengan menggunakan mesin pemilah kayu (MPK) panter. Nilai yang didapatkan dalam pemilahan diolah untuk mendapatkan nilai MOE masing-masing lamina. Nilai MOE yang didapatkan dikelompokkan dengan rentang tertentu menjadi dua kelompok yang kemudian diberi simbol E1 dan E2 dimana E1 > E2.

3. Penyusunan lamina. Prinsip penyusunan lamina adalah dengan menempatkan lamina yang memiliki nilai MOE yang tinggi (E1) secara sejajar arah serat pada bagian luar (face dan back), dan lamina yang memiliki nilai MOE rendah (E2) pada bagian tengah.

4. Perekatan. Berat labur yang digunakan pada perekatan ini adalah 200 g/m² dengan metode pemolesan perekat pada dua permukaan (double spread).

5. Pengempaan. Pengempaan dilakukan dengan menggunakan mesin kempa dingin (cold press) dengan tekanan 8 kg/cm² selama 4 jam. Kemudian, dilanjutkan dengan pengkleman glulam selama 24 jam.

6. Pengkondisian. Setelah diklem, kemudian glulam dikondisikan selama sekitar 14 hari sebelum dilakukan pengujian sifat fisis dan mekanisMetode pengujian glulam

Pembuatan Contoh Uji

Pengujian sifat fisis dan mekanis glulam mengacu pada JAS (Japan Agricultural Standard) untuk glued laminated timber (JAS 234-2003). Model pemotongan sampel uji glulam ditunjukkan pada Gambar 1.

Di mana, 7 = contoh uji untuk keteguhan lentur dan keteguhan patah, berukuran 5 x 45 x 3 (cm)

(17)

Metode pengujian glulam

Pengujian sifat fisis dan mekanis pada glulam ini berdasarkan standar JAS 234 (2003).

a. Sifat Fisis

- Kadar air. Contoh uji ditimbang dalam keadaan kering udara, lalu dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 103 ± 2oC selama 24 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Metode pengeringan sampai penimbangan ini diulang sampai mendapatkan bobot yang konstan. Kadar air glulam dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

- Kerapatan. Volume aktual dari contoh uji dihitung dengan menggunakan persamaan:

Kemudian contoh uji ditimbang beratnya, setelah itu dilakukan penghitungan kerapatan dengan menggunakan rumus:

Kerapatan =

b. Sifat Mekanis

(18)

b = Lebar contoh uji (cm) h = Tebal contoh uji (cm)

- Keteguhan lentur (MOE). Pengujian keteguhan lentur dilakukan pada saat bersamaan dengan pengujian keteguhan patah. Nilai MOE dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Δy = Perubahan defleksi setiap perubahan beban (cm) b = Lebar contoh uji (cm)

h = Tebal contoh uji (cm)

- Keteguhan geser (shear strength). Pengujian keteguhan geser dilakukan dengan cara menakik kedua pinggiran contoh uji masing-masing 1 cm. contoh uji ditekan pada bidang vertikal dan beban diberikan hingga contoh uji mengalami kerusakan. Nilai keteguhan geser dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Keteguhan geser (kg/cm2) = Dimana,

P = Beban maksimum (kg)

A = Luas permukaan contoh uji (cm2)

- Delaminasi. Uji delaminasi terbagi atas dua cara yakni uji delaminasi air dingin dan uji delaminasi air panas. Untuk uji delaminasi air dingin, dilakukan dengan merendam contoh uji dalam air pada suhu ruangan selama 6 jam. Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pada suhu 40 ± 3oC selama 18 jam. Sementara untuk delaminasi air panas, dilakukan dengan merebus contoh uji dalam air mendidih (100oC) selama 4 jam kemudian direndam dalam air pada suhu ruangan selama 1 jam. Selanjutnya contoh uji dimasukkan dalam oven pada suhu 70 ± 3oC selama 18 jam. Rasio delaminasi dihitung dengan menggunakan rumus:

Rasio delaminasi (%) =

x 100%

Emisi Formaldehida

(19)

selama 24 jam. Selanjutnya, konsentrasi formaldehida pada 10 ml larutan sampel yang sebelumnya telah ditambahkan dengan 10 ml reaktan asetil ammonium reagen ditentukan menggunakan spektrofotometer pada λ = 412 nm.

Gambar 2. Pola sampel uji emisi formaldehida

Analisis Data

Analisis data yang digunakan untuk membandingkan kayu solid dan glulam adalah uji t-Student’s. Ketiga jenis kayu yang digunakan memiliki kerapatan yang berbeda maka analisis data pada penelitian ini menggunakan rancangan acak berblok. Faktor blok adalah jenis kayu (pinus, jabon, dan sengon), dan faktor perlakuan jenis perekat (perekat tanin dan isosianat). Jika faktor pertama berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut menggunakan Duncan’s multi-range.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Kualitatif Ekstrak Tanin dan Perekat Tanin Mahoni

Analisis spektroskopi FT-IR ekstrak tanin mahoni

(20)

digunakan dalam penelitian Hindriani (2005), dimana gugus yang teridentifikasi adalah gugus hidroksil, karbonil vibrasi cincin aromatik, dan eter. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kulit mahoni mengandung senyawaan tanin.

Bilangan gelombang, ʋ (cm-1)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

3919 3780 3425 2916 2592 1728 1620 1450 1389 1250 1095 849 771 663 Gambar 3.Spektrograf ekstrak tanin mahoni.

Tabel 1.Spektrofotometer pita serapan tanin standar dan ekstrak tanin mahoni. No Tanin standar* Ekstrak tanin

mahoni Kisaran serapan** Keterangan**

1 3335 3425 2500-3500 Gugus Hidroksil

2 1710 1728 1650-1800 Gugus karbonil

3 1610 1620 1500-1675 Vibrasi cincin

aromatik

5 1440 1450 1300-1475 Aldehida aromatik

6 1320 1250 1000-1300 Gugus eter

Sumber: *Hindriani (2005), ** Supratman (2010) Analisis pirolisis GCMS ekstrak tanin mahoni

(21)

Gambar 4. Kromatograf ekstrak tanin mahoni.

Berdasarkan hasil analisis FT-IR (Gambar 3) dan diperkuat dengan hasil analisis yang didapatkan dari pirolisis GCMS (Gambar 4) dimana puncak gelombang dengan waktu retensi tertentu menunjukkan bahwa akumulasi senyawa fenolik yang terkandung adalah 7.89%. senyawa fenolik yang terkandung dalam tanin mahoni ini jika direaksikan dengan formaldehida akan membentuk produk yang menyerupai fenol formaldehida (Pizzi 1994), maka tanin mahoni berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku perekat sejalan dan hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Santoso (2011) yang menggunakan tanin mangium.

Analisis spektroskopi FT-IR perekat tanin mahoni

Hasil spektrograf perekat tanin mahoni (Gambar 5) menunjukkan adanya perubahan gelombang pada perekat tanin jika dibandingkan dengan ekstrak tanin. Intensitas gugus hidroksil mengalami pergeseran gelombang ke arah bilangan yang lebih besar yakni 3472 cm-1. Intensitas vibrasi cincin aromatik dan aldehida aromatik mengalami pergeseran gelombang ke arah bilangan gelombang yang lebih kecil yakni 1589 cm-1 untuk vibrasi cincin aromatik dan 1358 cm-1 untuk aldehida aromatik.

(22)

Bilangan gelombang, ʋ (cm-1)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

3780 3703 3472 2850 2700 1589 1450 1358 849 663 602 Gambar 5.Spektrograf perekat tanin mahoni

Analisis pirolisis GCMS perekat tanin mahoni

Hasil kromatografi perekat tanin mahoni (Gambar 6) menunjukkan senyawa fenolik mengalami perubahan baik pada waktu retensi maupun konsentrasinya. Phenol O-Cresol terbentuk pada waktu retensi 13.668 menit dengan konsentrasi 1.38%. Sementara, terbentuk beberapa senyawa baru seperti phenol, 2,3-Dimethylphenol pada waktu retensi 14.105 menit dan 14.599 menit dengan konsentrasi 2.00% dan 2.59%, phenol 1-hydroxy-3-methyl-6-ethylbenzen pada waktu retensi 15,464 menit dengan konsentrasi 1.11 %, 1,2-Benzenediol 4-tert-Butylpyrocatechol pada waktu retensi 17.924 menit dengan konsentrasi 8.42%. Selain itu, terbentuk kandungan senyawa resorsinol yakni 4,5-Dimethylresorcinol dengan konsentrasi yang cukup tinggi yakni 7.74% pada waktu retensi 16.931 menit.

(23)

Berdasarkan analisis FT-IR (Gambar 5) dan pirolisis GCMS (Gambar 6) terhadap perekat tanin mahoni mengindikasikan bahwa penambahan formaldehida pada ekstrak tanin mahoni menghasilkan gugus yang baru yakni aldehida dan jembatan metilen (-CH2-). Selain itu, jumlah kandungan polifenol juga mengalami peningkatan menjadi 23.24% dan terbentuk kandungan senyawa resorsinol. Terbentuknya senyawa resorsinol ini juga mirip dengan yang terbentuk pada perekat tanin mangium (Santoso 2011) dan ekstrak dari serbuk kayu merbau (Santoso et al. 2014).

Kenampakan visual

Kenampakan visual dari ekstrak tanin berwarna cokelat kemerahan. Sementara itu, setelah dilakukan penambahan formaldehida perekat tanin menjadi berwarna cokelat kemerahan yang agak gelap. Baik ekstrak tanin maupun perekat tanin memiliki permukaan halus mengkilap, dan tidak terlihat adanya kotoran/bahan asing dalam larutannya. Hasil uji kenampakan visual dapat dilihat pada lampiran 2.

Analisis Kuantitatif Ekstrak Tanin dan Perekat Tanin Mahoni

Analisis kuantitatif pada tanin dan perekat tanin mahoni meliputi kadar abu, kadar padatan, viskositas, kadar silika, bobot jenis, kadar polifenol, pH, bilangan stiasny, dan pot life. Hasil analisis kualitatif ini ditunjukkan pada Tabel 2.

Kadar abu

Kadar abu ekstrak tanin mahoni yang ditunjukkan pada Tabel 2 adalah sebanyak 0.31%. Persentase kadar abu yang terkandung dalam ekstrak tanin mahoni ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar abu esktrak tanin akasia pada penelitian Astu (2005) yakni 1.69%. Sementara persentase kadar silika yang terkandung di dalamnya adalah sebanyak 3.07%. Hal ini mengindikasikan bahwa ekstrak tanin mahoni mengandung senyawa-senyawa anorganik dengan kadar yang relatif rendah. Setelah dilakukan penambahan formaldehida, perekat tanin mengalami peningkatan persentase nilai kadar abu menjadi 7.08%. Sementara itu, kadar silika yang terkandung dalam perekat tanin juga mengalami peningkatan menjadi 8.48%. kadar abu dan kadar silika yang didapatkan pada perekat ini berada dibawah 25%, mengindikasikan bahwa perekat ini memiliki mutu yang baik. Seperti yang dikemukakan oleh Santoso et al. (1995) mengemukakan bahwa Kadar abu yang tinggi pada bahan (lebih dari 25%) tidak memenuhi syarat sebagai perekat, karena keberadaan senyawa anorganik dapat menurunkan mutu perekatan.

Bobot jenis

(24)

perekat tanin mangium (TRF) dan perekat standar PRF pada penelitian Santoso (2004), dimana penambahan resorsinol menyebabkan peningkatan bobot jenis suatu perekat.

Tabel 2. Analisis kuantitatif ekstrak tanin dan perekat tanin mahoni

Pengujian Ekstrak Kemudian setelah dilakukan penambahan formaldehida perekat tanin mengalami peningkatan nilai viskositas. Perekat tanin mahoni mengalami peningkatan viskositas menjadi 16 cps. Nilai viskositas perekat tanin mahoni ini lebih rendah dibandingkan dengan perekat TRF (Astu 2005) dan PRF (Santoso 2003). Hal ini disebabkan karena bobot jenis dari TRF dan PRF lebih tinggi jika dibandingkan bobot jenis perekat tanin. Seperti yang dikemukakan oleh Cowd (1991), bahwa peningkatan nilai viskositas mengindikasikan terjadinya peningkatan bobot molekul bahan, yang juga berarti telah terjadi reaksi polimerisasi.

Kadar polifenol

(25)

Bilangan Stiasny

Bilangan Stiasny mengindikasikan senyawa polifenol yang terkandung dalam tanin. Ekstrak tanin yang berasal dari kulit kayu mahoni memiliki bilangan Stiasny 79.7%. Nilai bilangan Stiasny tanin mahoni yang didapatkan ini lebih rendah dari bilangan Stiasny tanin mangium yang diperoleh pada penelitian Hindriani (2005) yakni 88%. Namun demikian, nilai bilangan Stiasny pada tanin mahoni tetap mengindikasikan bahwa kandungan ekstrak tanin pada kulit kayu mahoni baik untuk digunakan dalam proses resinifikasi. Hal ini disebabkan karena menurut FAO (2000), bilangan Stiasny yang mencapai kisaran 75% - 100% menunjukkan ekstrak tanin (polifenol) yang sangat reaktif pada proses polimerisasi.

Pot life perekat tanin mahoni

Hasil pengujian waktu gelatinasi mengindikasikan “masa pakai” pot life suatu perekat. Tabel 2 menunjukkan bahwa perekat tanin memiliki waktu gelatinasi 30 menit. Santoso (2003) mengemukakan bahwa proses pematangan disertai dengan perubahan pH yang semakin mendekati netral dan diikuti dengan proses pengerasan perekat, sehingga perekat dengan kondisi pH netral lebih cepat mengeras yang menyebabkan masa pakainya lebih singkat. Berdasarkan Tabel 2, nilai pH ekstrak tanin mahoni adalah 4.0 lalu kemudian setelah dilakukan penambahan formaldehida terjadi peningkatan pH menjadi 12.5. Proses pembuatan perekat pada umumnya dibuat pada kondisi asam ataupun basa dengan tujuan agar perekat yang dibuat “setengah matang” sehingga memiliki masa simpan yang relatif lama, karena pada umumnya proses polimerisasi berlangsung terus dalam resin “setengah matang” sampai seluruh reaktan bereaksi sempurna (Santoso 2003).

Sifat Fisis Glulam

Kerapatan

Sifat fisis glulam dan kayu solid ditunjukkan pada Tabel 3, glulam dan kayu solid sengon memiliki nilai kerapatan yang paling rendah (0.27 - 0.32 g/cm3), diikuti dengan jabon (0.37 - 0.47 g/cm3) dan pinus (0.60 - 0.71 g/cm3). Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kerapatan kayu solid dengan glulam menurut uji t-Student’s (Tabel 4). Hasil yang didapatkan ini sama dengan penelitian Komariah et al. (2015), yang mengindikasikan tidak ada pengaruh tekanan saat pengempaan glulam.

(26)

Tabel 3. Sifat fisis dan mekanis glulam dan kayu solid.

Tabel 4. Uji t-Student’s glulam dan kayu solid.

(27)

Kadar air glulam mencapai 12.49 ± 0.45% dan hal tersebut mencapai kadar air kesetimbangan.

Table 5. Analisis ragam sifat fisis dan mekanis glulam.

Parameter Jenis kayu Perekat

Kerapatan ** NS

**Sangat signifikan (p-value < 0.01); NS = Not significant

Table 6. Uji lanjutan Duncan’s multirange dari sifat fisis dan mekanis glulam.

Jenis kayu Kerapatan MOE MOR Delaminasi air

panas

Pinus 0.63 c* 81472 b 469.91 b 31.82 b

Jabon 0.42 b 50223 a 248.77 a 10.01 a

Sengon 0.28 a 46174 a 197.25 a 0.00 a

*)

Huruf yang sama pada kolom yang sama secara signifikan tidak berbeda.

Sifat Mekanis Glulam

Keteguhan lentur (MOE)

Keteguhan lentur kayu solid ditunjukkan pada Tabel 3. Berdasarkan uji t-Student’s pada Tabel 4 MOE glulam berbeda secara signifikan dan lebih rendah daripada kayu solid, kerapatan glulam (0.44 g/cm3) lebih rendah dari kayu solid (0.49 g/cm3). Kayu yang berasal dari jenis kayu cepat tumbuh yaitu jabon dan sengon sebagian besar mengandung kayu gubal, dan variasi kerapatan pada spesies yang sama cukup tinggi karena berasal dari beberapa log yang yang berbeda.

(28)

Keteguhan patah (MOR)

Nilai MOR dari kayu solid dan glulam ditunjukkan pada Tabel 3. MOR glulam secara signifikan lebih rendah dari kayu solid (uji t-Student pada Tabel 4). Hasil yang didapatkan ini tidak jauh berbeda dengan nilai MOE pada glulam dan kayu solid. Glulam pinus dan kayu solidnya juga memiliki nilai MOR tertinggi dan memenuhi standar JAS 234-2003 ( >75,000 kg/cm2). Jenis kayu berpengaruh terhadap nilai MOR glulam, sementara jenis perekat tidak berpengaruh (analisis ragam pada Tabel 5). Uji Duncan’s multirange pada Tabel 6 juga menunjukkan bahwa nilai MOR glulam pinus secara signifikan berbeda dengan glulam dari kayu cepat tumbuh (jabon dan sengon), sementara glulam sengon dan jabon tidak berbeda secara signifikan. Seperti halnya nilai MOE, kerapatan juga berpengaruh terhadap nilai MOR, kerapatan yang tinggi memiliki nilai MOR yang tinggi, Bowyer et al. (2003) bahwa jenis kayu yang memiliki kerapatan yang tinggi cenderung memiliki kekuatan yang tinggi pula karena kerapatan dan kekuatan patah suatu bahan sebanding.

Keteguhan rekat (Shear strength)

Keteguhan rekat merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas dari suatu perekatan. Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai keteguhan rekat tertinggi dimiliki oleh glulam pinus, kemudian diikuti jabon dan sengon. Pinus dan sengon glulam yang menggunakan perekat tanin memenuhi standar JAS 234-2003 (nilai keteguhan rekat >54 kg/cm2), sementara untuk glulam yang menggunakan isosianat hanya glulam pinus yang memenuhi standar. Pinus adalah jenis kayu lunak (softwood) yang menyebabkan proses perekatan menjadi lebih mudah dibandingkan pada jenis kayu keras (hardwood). Jabon dan sengon termasuk dalam kategori hardwood, akan tetapi sengon memiliki kerapatan yang lebih rendah sehingga perekatannya menjadi lebih mudah dibandingkan jabon. Jika dibandingkan dengan kayu solid, berdasarkan hasil uji t-Student’s (Tabel 3) keteguhan rekat kayu solid tidak berbeda dengan glulam. Demikian pula yang terlihat pada analisis ragam (Tabel 5) dimana jenis kayu dan jenis perekat tidak berpengaruh terhadap nilai keteguhan lentur.

Rasio Delaminasi Glulam

Nilai rasio delaminasi untuk delaminasi air dingin pada Tabel 7 menunjukkan bahwa glulam pinus yang menggunakan perekat tanin dan isosianat memiliki nilai rasio delaminasi tertinggi, kemudian diikuti oleh jabon. Sementara glulam yang berasal dari kayu sengon tidak mengalami delaminasi. Berdasarkan standar JAS 234-2003, glulam sengon dan jabon memenuhi standar yakni <5%.

(29)

Tabel 7.Uji delaminasi glulam.

Jenis kayu Perekat Rasio delaminasi (%) Air dingin Air panas

Berdasarkan sifat glulam yang meliputi keteguhan lentur, delaminasi air dingin, serta MOE dan MOR, kualitas perekat tanin tidak berbeda dengan isosianat (Tabel 3). Hal ini mengindikasikan bahwa perekat tanin yang berasal dari kulit mahoni berpeluang dikembangkan untuk aplikasi lebih lanjut. Untuk mendapatkan sifat mekanis sifat perekat yang lebih baik, disarankan untuk meningkatkan berat labur perekat seperti pada penelitian Komariah et al. (2014) dan juga kadar padatan dari perekat tanin mahoni sebaiknya lebih tinggi dari 10%.

Emisi Formaldehida Glulam

Table 8. Emisi formaldehida glulam.

*) Kategori berdasarkan standar JAS 234-2003

Perekat yang menggunakan formaldehida akan melepaskan emisi formaldehida ke udara. Emisi ini terjadi karena formaldehida tersebut tidak bereaksi sempurna yang akhirnya dilepas ke lingkungan. Emisi formaldehida dengan kadar tertentu akan menyebabkan beberapa masalah kesehatan seperti pusing, mual dan mata berair (Roffael 1993). Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai emisi formaldehida pada jabon dan sengon termasuk dalam klasifikasi F***, dan glulam pinus termasuk dalam klasifikasi F**** sebagai kategori emisi terendah dan terbaik menurut standar JAS 234-2003.

Jenis kayu Emisi formaldehida (mg/L) Klasifikasi*)

Pinus 0.05 F****

Jabon 0.68 F***

(30)

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa glulam yang berasal dari jenis kayu pinus dan kayu cepat tumbuh menggunakan perekat tanin mahoni tidak berbeda dengan kayu solidnya dalam hal kerapatan dan keteguhan rekat. Berdasarkan standar JAS 234-2003, glulam pinus memenuhi standar untuk MOR, MOE, dan keteguhan rekat. Sedangkan pada jenis kayu cepat tumbuh, glulam sengon memenuhi standar untuk keteguhan rekat. Dalam uji delaminasi, glulam sengon tahan terhadap delaminasi air dingin dan air panas. Keseluruhan glulam memiliki nilai formaldehida yang rendah, dan menurut JAS 234-2003 diklasifikasikan dalam F*** untuk glulam jabon dan sengon, dan F**** untuk glulam pinus. Secara keseluruhan, hasil yang didapatkan mengindikasikan bahwa glulam pinus mempunyai sifat mekanis dan keteguhan rekat yang lebih baik dari glulam jenis kayu cepat tumbuh (sengon dan jabon). Ketiga jenis kayu dapat direkat dengan perekat tanin dari kulit mahoni maupun isosianat dengan kualitas yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Astu IPJ. 2005. Ekstrak kulit pohon mangium sebagai bahan perekat tanin resorsinol formaldehida untuk pembuatan glulam. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Bowyer JL, Rubin S, and Jhon GH. 2003. Forest Products and Wood Science: An Introduction, Fourth Edition. Iowa (USA): Iowa State Press.

Clark A, Richard F, Daniels, and Jordan L. 2006. Juvenile mature wood transition in loblolly pine as defined manual ring specific gravity, proportion of latewood, and microfibril angle. Wood Fiber Sci. 38(2):292-299.

Cowd MA. 1991. Kimia Polimer. Bandung (ID): Insititut Teknologi Bandung.

Fajriani E, Ruelle J, Dlouha J, Fournier M, Hadi YS, and Darmawan W. 2013. Radial variation of wood properties of sengon (Paraserianthes falcataria) and jabon (Anthocephalus cadamba). J. Indian Acad. Wood Sci. 10(2):110-117. doi: 10.1007/s13196-013-0101-9

(31)

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2000. Working document (lab manual), quantification of tannins in tree foliage. IAEA Vienna. hlm 1-3.

Hadi YS, Nurhayati T, Jasni J, Yamamoto H, and Kamiya N. 2012. Smoked wood

Hagerman AE. 2002. Tannin Handbook. Miami (USA): Miami University press. Hermawan D, Hadi YS, Fajriani E, Massijaya MY, and Hadjib N. 2012. Resistance of

particleboards made from fast-growing wood species to subterranean termite attack. Insects 2012(3):532-537. doi: 10.3390/insects3020532.

Hindriani H. 2005. Sintesis dan pencirian kopolimer tanin fenol formaldehida dari ekstrak kulit pohon mangium (Acacia mangium) serta aplikasinya sebagai perekat papan partikel [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Japan Agricultural Standard [JAS]. 2003. Glued Laminated Timber. JIS 234. Tokyo (JP): Ministry of Agriculture, Forestry, and Fisheries.

Komariah RN, Hadi YS, Massijaya YM, and Suryana J. 2015. Physical-mechanical properties of glued laminated timber made from tropical small-diameter logs grown in indonesia. J. Korean Wood Sci. Technol. 43(2):156-167

Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, dan Kadir K. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor (ID): Balitbang Kehutanan, Departemen Kehutanan.

Perum Perhutani. 2014. Kolaboratif Sumber Manajemen Hutan. Jakarta (ID): Perum Perhutani.

Pizzi A. 1982. Pine tannin adhesive for particleboard. Holz Roh- Werkst. 40(1982):293-291.

Pizzi A (1994) Advanced Wood Adhesives Technology. A Pizzi editor. New York (NY): Marcel Dekker.

Roffael E. 1993. Formaldehyde Release From Particleboard and Other Wood Based Panels. Kuala lumpur (KL): Forest Research Institute Malaysia.

(32)

Santoso A. 2003. Sintesis dan Pencirian Resin Lignin Resorsinol Formaldehida untuk Perekat Kayu Lamina. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Santoso A. 2011. Tanin dan lignin dari Acacia mangium Willd. Sebagai bahan perekat kayu majemuk masa depan. Orasi pengukuhan professor riset pada tanggal 25 Oktober 2011. Jakarta.

Santoso A, Hadi YS, and Malik J. 2014. Composite flooring quality of combined wood species using adhesive from merbau wood extract. Forest Prod J 64(5/6):179-186.

Supratman U. 2010. Struktur Elusidasi Senyawa Organik. Bandung (ID): Widya Padjadjaran.

Standar Nasional Indonesia [SNI]. 1998. Urea Formaldehida Cair Untuk Perekat Papan Partikel. Jakarta (ID): Badan Standar Nasional.

(33)
(34)
(35)
(36)

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 2. Pola sampel uji emisi formaldehida
Gambar 3. Spektrograf ekstrak tanin mahoni.
Gambar 4. Kromatograf ekstrak tanin mahoni.
Gambar 5. Spektrograf perekat tanin mahoni
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sebenarnya apa yang harus dilakukan oleh kabupaten/kota yang telah mencapai tingkat paripurna? Sudah barang tentu, bagi kondisi kabupaten/kota seperti itu

IT&amp;B Campus dipimpin oleh ketua, yang secara umum bertanggung jawab.. terhadap aktivitas operasional

Status gizi bayi usia 0-6 bulan yang diberi ASI eksklusif di BPS Suratni Bantul Yogyakarta sebagian besar responden adalah gizi baik yaitu 12 orang (80%). Status gizi bayi usia

Persimpangan menjadi bagian terpenting dari jalan perkotaan, sebab sebagian besar dari efisiensi, kea- manan, kecepatan, dan tingkat pelayanan jalan ter- gantung

a. Teknik Persuasif, dengan tujuan untuk menumbuhkan kesadaran seluruh anggota prajurit, untuk ikut secara aktif dalam setiap usaha yang diselenggarakan oleh

Pernyataan ini diperkuat oleh Amilia (2011) bahwa, unsur hara nitrogen N berfungsi mempercepat pertumbuhan tanaman, menambah tinggi tanaman serta merangsang pertunasan,

Bab ini akan membahas hal-hal yang mendasari dibuatnya aplikasi, arsitektur, bahasa pemrograman dan tools yang digunakan dalam pembuatan aplikasi web untuk pelaporan data

Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan Penekanan Tata Ruang Dalam yang Edukatif dan Interaktif melalui Pendekatan Architecture and Human Behaviour menjadi pemasalahan yang