• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Dinamika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Dinamika"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hubungan perdagangan antar negara yang dikenal dengan perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Dinamika perdagangan internasional diikuti dengan berbagai permasalahan yang kompleks sebagai konsekuensi dari suatu hubungan perdagangan yang wajar terjadi dalam dunia bisnis. Ciri khas perdagangan internasional adalah adanya hubungan dagang yang dilakukan antar lintas batas-batas negara yang dilakukan oleh para pelaku usaha dengan mengikuti suatu sistem tertentu dan spesifik. Jika berbicara tentang perdagangan internasional, hal itu tidak akan lepas dari eksistensi suatu sistem. Dalam perdagangan internasional, eksistensi suatu sistem merupakan patron yang membentuk dan mengarahkan kegiatan-kegiatan perdagangan ke dalam tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan1.

Dalam upaya membangun hubungan perdagangan lintas negara yang tertib, perlu dibuat ketentuan-ketentuan yang berupa aturan-aturan hukum yang bersifat mengatur yang diterima sebagai suatu kesepakatan bersama yang bertujuan menjamin agar terciptanya suatu perdagangan yang fair. Aturan hukum yang dimaksud berfungsi sebagai acuan (guidance) yang berlaku secara umum yang harus ditaati dan diawasi dan diberlakukan secara tegas untuk mengeliminasi atau mengurangi penyimpangan-penyimpangan yang dapat terjadi dalam hubungan perdagangan internasional. Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah adanya eksistensi lembaga/organisasi yang

1 Christhophorus Barutu, 2007, Sejarah Sistem Perdagangan Internasional (Dari Upaya Pembentukan Internasional Trade Organization, Eksistensi General Agreement On Tariffs and Trade Sampai Berdirinya World Trade Organization), Jurnal Hukum Gloris Juris, Fakultas Hukum

Universitas Katholik Atmajaya, Volume 7, Nomor 1, 1 Januari 2007, April, Jakarta,(Selanjutnya disebut Christhophorus Barutu 1), h.5.

(2)

memiliki kekuatan hukum yang mampu mengatur segala masalah yang terkait dalam perdagangan internasional.

Keinginan lahirnya suatu organisasi perdagangan yang bersifat multilateral telah lama timbul untuk mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perdagangan global yang melibatkan kepentingan negara-negara di dunia yang memiliki komitmen bersama mewujudkan perdagangan internasional yang fair dan adil. Untuk mewujudkan integrasi sistem perdagangan dunia, beberapa negara besar mencoba untuk membentuk organisasi perdagangan dunia yang berfungsi untuk mengatur dan mengawasi suatu sistem perdagangan dunia yang ideal, yang dimualai dari upaya pembentukan Internasional Trade Organization (ITO), General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947, sampai terbentuknya World Trade Organization (WTO). Upaya pembentukan organisasi perdagangan dunia ini mencerminkan adanya keinginan yang kuat untuk mewujudkan suatu sistem perdagangan yang fair.

The World Trade Organization (www.wto.org), the succecor to the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), was established in 1995 as the principle international body administering trade agreement among member states. The WTO acts as a forum for trade negotiations, seek to resolve trade disputes, and oversees national trade policies. It is governed by a ministerial conference, which meets every two year, while most operations are handled by its general counsil2.

Membajirnya barang impor ilegal telah membuat produsen domestik menjadi kurang bersemangat untuk berproduksi, dan karena alasan inilah yang menjadikan mereka berubah menjadi importir. Barang-barang ilegal tersebut masuk ke Indonesia bagaikan air hujan yang membanjiri pasar domestik dalam jumlah yang sangat besar. Para produsen domestik merasa terjepit dengan adanya perdagangan yang tidak adil

2 Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research In A Nutshell, ST.Paul, Min,

(3)

(unfair Trade) kompetisi seperti ini, mereka merasa adanya ketidak adilan dan merasa adanya perebutan pasar domestik oleh para importir ilegal3.

Walaupun semua negara anggota WTO telah sepakat untuk menciptakan perdagangan dunia yang bebas, dimana semua hambatan perdagangan baik berbentuk tarif maupun non tarif dihapuskan. Maka arus barang dapat masuk ke semua negara dengan bebas, persaingan dalam merebut pasar menjadi semakin ketat, kemungkinan praktek perdagangan yang tidak sehat seperti dumping, subsidi dan manipulasi dokumen dapat saja terjadi, walaupun anggota WTO diwajibkan untuk melakukan suatu perdagangan yang sehat (Fair Trade). Globalisasi perdagangan menuntut kesiapan setiap anggota untuk bersaing secara sehat dan terbuka4.

Pesatnya dinamika perkembangan perdagangan internasional menyisakan sejumlah permasalahan sebagai implikasi dari kegiatan perdagangan internasional itu sendiri. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat mengkristal dan menjadi hambatan (barrier) yang dapat mendorong terjadinya degradasi hubungan yang harmonis dalam hubungan perdagangan internasional. Dalam hubungan perdagangan internasional antarnegara, komitmen dalam mewujudkan perdagangan yang jujur dan fair merupakan tuntutan sangat penting yang tidak boleh diabaikan. Masalah-masalah terbesar yang mudah diidentifikasi dan yang paling sering terjadi adalah justru terkait dengan pelanggaran prinsip kejujuran dan fair yang mengakibatkan terjadinya praktik dagang yang tidak sehat (Unfair Trade Practices) dalam melaksanakan aktifitas perdagangan internasional5.

3 Direktorat Impor Ditjen Perdagangan Luar Negeri, 2003, Sosialisasi Mal Praktek/ Unfair Trade, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 29 Juli 2003, h.1.

4 Ibid.

5 Christhophorus Barutu, 2007, Antidumping dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan pengaruhnya terhadap peraturan Antidumping Indonesia, Mimbar Hukum, Jurnal Berkala

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Volume 19, Nomor 1, Februari 2007, Yogyakarta, (Selanjutnya disebut Christhophorus Barutu 2),h.53.

(4)

Ada banyak praktik perdagangan yang tidak sehat yang terjadi dalam hubungan perdagangan internasional dan yang paling banyak disorot adalah masalah dumping. Praktik dumping telah lama ditempatkan sebagai salah satu praktik dagang yang curang yang terjadi dalam konteks perdagangan internasional yang menimbulkan kerugian dan dapat memukul dunia usaha suatu negara tempat praktik dumping itu terjadi. Dengan menjual suatu jenis barang produksi ekspor dengan harga lebih rendah dari harga pasar dalam negeri, (negara pengimpor) mengakibatkan matinya pasar barang sejenis dalam negeri. Hal ini membuat barang-barang sejenis tersebut tidak lagi dapat bersaing secara kompetitif dan fair akibat perbedaan harga yang sangat drastis. Namun, dibalik itu semua hanya praktik dumping yang menimbulkan kerugian yang dapat dikategorikan sebagai unfair trade practices.

Bagi pelaku usaha yang melakukan ekspor yang terkena tuduhan dumping dapat berakibat berkurangnya ekspor, berkurangnya omzet penjualan, berkurangnya keuntungan yang didapat, wajib menanggapi serta memberikan informasi dan data-data yang diperlukan dalam penyelesaian sengketa dumping melalui World Trade Organization (WTO). Kemerosotan pendapatan, lebih jauh dapat mengakibatkan penurunan daya bayar perusahaan terhadap ongkos tenaga kerja, penurunan pembiayaan perusahaan, akhirnya penurunan daya produksi dan daya ekspor6.

Praktik dumping merupakan tindakan yang jelas-jelas dapat menimbulkan kerugian yang sangat serius terhadap perekonomian setiap negara yang mana setiap negara memerlukan perlindungan (protection) yang memadai, sehingga lahirlah suatu instrument kebijaksanaan perdagangan yang dikenal dengan istilah antidumping. Dumping adalah suatu praktik penjualan barang di suatu pasaran ekspor dengan lebih

6 Ida Bagus Wyasa Putra, 1997, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis Internasional , Refika Adiatma, Bandung, h. 14.

(5)

rendah dari harga penjualan di pasar domestik, atau di bawah biaya produksi7. Kebijaksanaan anti dumping merupakan ketentuan-ketentuan yang menyoroti praktik dumping dan penjatuhan sanksi/hukuman terhadap pelaku praktik dumping dalam konteks perdagangan internasional.

Ketentuan GATT / WTO tahun 1994 mengatur kesepakatan menghapus hambatan perdagangan tersebut. Namun demikian masih ada juga perusahaan yang melakukan kegiatan curang, dengan menjual barang yang harganya ditekan serendah mungkin untuk dijual di negara lain yang mana barang tersebut juga diproduksi oleh perusahaan lain, tetapi untuk penjualan dalam negeri harga yang ditawarkan masih sama dengan perusahaan pesaingnya. Hal ini bertujuan untuk merebut pangsa pasar luar negeri atau negara lain agar memilih untuk bekerja sama tentunya dengan perusahaan mana yang menjual barang dengan harga yang lebih rendah dari pesaingnya.

Kini ditambah lagi dengan semakin berkembang dan terbukanya pasar bebas yang mengharuskan negara Indonesia juga terbuka dengan dunia perdagangan bebas yang terkadang menjatuhkan harga-harga barang yang sama di pasaran dengan harga barang perusahaan pesaingnya. Tujuan inilah yang sering dikenal dengan praktek dumping. Dumping dalam perdagangan internasional dipandang sebagai perbuatan curang, yakni merupakan persaingan yang tidak jujur (unfair competition). Dumping merupakan strategi persaingan yang biasa ditempuh oleh pengusaha, yakni strategi persaingan harga (price competition). Pengusaha menjual hasil produksinya di luar negeri dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga penjualan di dalam negeri. Agar dapat merebut konsumen sebanyak-banyaknya maka pengusaha

7 Direktorat Jendral Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan Republik Indonesia,

1992, Anti Dumping Code Latar Belakang Penafsiran dan Tinjauan atas Sejumlah Tuduhan Terhadap

Indonesia, Proyek Pengembangan Perdagangan Luar Negeri pusat, Departement Perdagangan Republik

(6)

menempuh strategi persaingan harga dengan menekan harga serendah mungkin untuk barang sejenis dengan perusahaan lain.

Selain strategi persaingan harga, dikenal pula strategi persaingan bukan harga (non price competition) persaingan bukan harga ini dapat ditempuh dengan advertasi, kualitas, atau atribut lainnya seperti kemasan, warna, aroma, dan lain-lain. Dampak persaingan yang tidak jujur (unfair competition) dapat merugikan berbagai pihak / negara dalam perdagangan internasional. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk mengembangkan persaingan yang jujur dalam perdagangan internasional. Untuk mencapai hal tersebut maka munculah GATT (General Agrement on Tariff and Trade) GATT merupakan suatu persetujuan multilateral yang menentukan peraturan perdagangan internasional dengan tujuan untuk menciptakan perdagangan internasional yang bebas, terbuka dan kompetitif. Anggota GATT terdiri dari negara-negara yang ikut menandatangani dan menerapkan peraturan-peraturan yang telah ditandatangani (contracting parties).

Prinsip utama GATT adalah tidak ada diskriminasi (non discrimination) yang tercantum dalam klausa Most Favoured Nation (MFN). Prinsip ini mengharuskan setiap negara penandatangan persetujuan peraturan GATT memberikan perlakuan yang sama dalam kebijakan perdagangan internasional kepada negara penandatangan lain. Kelonggaran tarif yang diberikan kepada suatu negara atas dasar perjanjian bilateral, haruslah diberikan juga kepada negara penandatangan lain tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu. Apabila terjadi perselisihan di antara negara penandatangan, GATT merupakan forum untuk konsultasi dalam penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan juga mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan yang telah ditandatangani.

(7)

Indonesia merupakan salah satu negara anggota organisasi perdagangan dunia (The World Trade Organization/WTO), karena telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization sebagaimana diwujudkan dalam UU No. 7 tahun 1994. Sebagai negara anggota WTO, Indonesia harus mematuhi peraturan peraturan organisasi perdganan dunia tersebut. Keanggotaan tersebut membawa konsekuensi dikenakannya persetujuan-persetujuan yang ada dalam WTO. Salah satu persetujuan dalam WTO adalah persetujuan tentang pelaksanaan pasal IV dari persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan 1994. Isi persetujuan tersebut berkenaan dengan dumping dan anti dumping.

Indonesia termasuk negara yang mendapat tuduhan melakukan praktik dumping dari berbagai negara dalam perdagangan internasional. Berdasarkan data dari pusat data bisnis indonesia, pada tahun 1996 ada tiga puluh empat komoditi ekspor indonesia yang dituduh melakukan praktek dumping. Tuduhan praktek dumping paling banyak dilakukan oleh Australia, hal tersebut tidaklah mengherankan karena dalam skala internasional Australia merupakan negara pengaju anti-dumping terbesar (kompas, edisi 11 Oktober 1996).

Kejayaan jepang sebagai raksasa perdagangan dunia saat ini, disebabkan karena keberhasilannya dalam memproteksi produksi dalam negeri sembari melakukan praktek dumping. Amerika Serikat yang menjadi pelopor dan lokomotif dari perdagangan dunia yang bebas, menurut James Bovard dalam bukunya “The Fair Trade Fraud”, sesungguhnya menerapkan berbagai proteksi tarif maupun non tarif terhadap perusahaan-perusahaan Amerika dari saingannya. Dengan adanya kesepakatan multilateral tentang penghapusan rintangan dagang baik berupa tarif maupun non tarif berakibat pada terbukanya pasar masing-masing negara. Dalam memanfaatkan peluang pasar tersebut banyak pemerintah memberikan insentif yang

(8)

berlebihan dan perusahaan melakukan praktik-praktik dagang yang tidak sehat (unfair trade practice) yang bertentangan dengan kesepakatan WTO.

Seiring dengan semakin liberalnya pasar global, praktik dagang yang tidak sehat semakin marak dan setiap negara mulai sadar dan merasa perlu untuk memberi perlindungan terhadap industri dalam negeri dan perdagangan dalam negerinya. Praktik perdagangan yang tidak sehat, termasuk praktik dumping dan atau subsidi yang dilakukan negara eksportir mengakibatkan kerugian (injury) bagi dunia usaha dan industri dalam negeri barang sejenis di negara pengimpor. Guna melindungi industri dalam negeri dari serbuan tuduhan praktik dumping, maka dibentuklah Komite Anti Dumping Indonesia (selanjutnya disingkat dengan KADI). Tugas pokok KADI yaitu melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya barang dumping dan atau barang mengandung subsidi yang menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri barang sejenis. Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi mengenai dugaan adanya barang dumping dan atau barang mengandung subsidi. Mengusulkan pengenaan bea masuk anti dumping dan atau bea masuk imbalan kepada menteri perdagangan, sedangkan fungsi KADI yaitu merumuskan kebijakan penanggulangan impor barang dumping dan atau barang mengandung subsidi. Meneliti dan melakukan konsultasi penyelesaian berbagai permasalahan yang berkaitan dengan impor barang dumping dan atau barang mengandung subsidi. Mengawasi pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan penanggulangan impor barang dumping dan atau barang mengandung subsidi. Fakta yang sekarang terjadi adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjad makmur, sejahtera dan kuat8.

8 Huala Adolf, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

(9)

Dengan adanya KADI diharapkan dapat membantu industri dalam negeri Indonesia yang berhadapan dengan barang impor yang masuk ke Indonesia dengan cara yang tidak fair yaitu dengan dumping maupun dengan perolehan subsidi dari pemerintah negara pengekspor. Manfaat adanya instrumen anti dumping dan anti subsidi bagi Indonesia yakni dapat melindungi industri dalam negeri yang menghadapi barang impor yang diduga dumping maupun mengandung subsidi. Di lain pihak instrumen tersebut juga dapat digunakan negara lain untuk menghambat barang ekspor Indonesia yang masuk ke negaranya9. Bilamana produsen / eksportir indonesia berhadapan dengan tuduhan dumping dan subsidi dari suatu negara maka selain produsen / eksportir indonesia harus membela diri, pemerintah indonesia juga memberikan pembelaan. Institusi pemerintah yang mempunyai tugas melakukan pembelaan terhadap tuduhan dumping, subsidi maupun safeguard yaitu Departemen Perindustrian dan perdagangan c.q direktorat pengamanan perdagangan, Ditjen Kerjasama Industri dan Perdagangan Internasional (KIPI)10.

Pemerintah diminta lebih serius dalam melindungi industri dalam negeri, terutama dalam menggunakan berbagai instrumen kebijakan impor, untuk memberikan proteksi bagi produksi dalam negeri. Sekalipun indonesia terikat dengan WTO dan mendukung perdagangan bebas, bukan berarti menjadi halangan untuk melakukan proteksi. Masih banyak cara yang bisa dilakukan tanpa harus melanggar perjanjian WTO. Kehadiran Undang-undang anti dumping sangat di harapkan dalam menghadapi perdagangan bebas walaupun selamana ini sejak tahun 1996 Indonesia telah mempunyai ketentuan yang mengatur tentang bea masuk anti dumpig dan bea masuk imbalan (Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996). Namun perlu diketahui bahwa Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 merupakan salah satu peraturan

9 Direktorat Pengamanan Perdagangan, 2003, Unfair Trade Practices dumping & Subsidy,

nurlaila, Yogyakarta 28 Juli 2003, h. 3.

(10)

pelaksana dari Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, sedangkan masalah dumping merupakan masalah yang kompleks, yaitu tidak hanya berkaitan dengan masalah kepabeanan tetapi masih banyak keterkaitan dengan masalah lain, misalnya masalah mutu barang, politik, keuangan, kebijakan, dan sebagainya.

Dalam menerapkan ketentuan anti dumping berdasarkan GATT-WTO, Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 kurang mengakomodasi semua ketentuan GATT-WTO tentang anti dumping. Prosedur penyelesaian sengketa GATT pada dasarnya mempunyai tiga tujuan, yaitu realisasi dari tujuan GATT, perlindungan keuntungan yang berasal dari perjanjian, dan untuk penyelesaian sengketa itu sendiri11, sehingga masih adanya kekaburan yang perlu penafsiran-penafsiran terutama dalam penentuan harga normal, kerugian (Injury), dan Causal Link sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada produsen dalam negeri dimana dalam kasus tindakan dumping sering kali merugikan produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.

Pada penelitian perlindungan industri dalam negeri dari praktik dumping ini ternyata belum ada peraturan perundang-undangannya yang secara khusus mengatur mengenai masalah dumping sebagai hukum nasional dalam arti terdapat kekosongan hukum, atau lebih tepatnya lagi disebut kekosongan undang-undang.

1.2. Orisinilitas Penelitian.

Penelitian tentang “Perlindungan Industri Dalam Negeri Dari Praktik Dumping” dilakukan untuk mengetahui : (1). Bentuk pengaturan perlindungan terhadap ndustri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping, (2). Cara penentuan kerugian (Injury) bagi industri dalam negeri yang

11 Faisal Salam, 2007, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Mandar Maju, Bandung, h. 442.

(11)

memproduksi barang sejenis, (3). Upaya yang dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang dirugikan akibat terjadinya praktik dumping. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal atau penelitian hukum normatif dengan tujuan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Jenis pendekatan yang digunakan adalah : (1). Pendekatan perundang-undangan (statue Approach), (2). Pendekatan perbandingan (Comparative Approach), (3). Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conseptual Approach), (4). Pendekatan konsep (conseptual Approach).

Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil penelitian yang berkaitan dengan dumping adalah dapat dijumpai pada penelitian yang dilakukan oleh Umi martina dalam rangka penulisan tesis untuk penyelesaian studi Pada Program Studi Magiter (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana Konsentrasi Hukum Bisnis (2011). Umi martina menuis tentang “ Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Pelaku Usaha Indonesia Dalam Kasus Dumping” permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah : (1). Apakah pengaturan penyelesaian sengketa dumpinf menurut World Trade Organization (WTO) telah menjamin perlindungan hukum bagi kepentingan pelaku usaha Indonesia yang terkena tuduhan dumping. (2). Bagaimakah pengaturan putusan penyelesaian sengketa dumping melalui World Trade Orgaization (WTO) agar pengaturan tersebut dalam praktik secara nyata dapat melindungi kepentingan pelaku usaha Indonesia.12

Penelitian yang dilakukan oleh Umi martina bertujuan : (1). Untuk mengetahui pengaturan penyelesaian sengketa duping menurut World Trade Organization (WTO) telah menjamin perlindungan hukum bagi pelaku usaha Indonesia yang terkena tuduhan dumping. (2). Untuk mengethaui pengaturan putusan

12. Ni Wayan Umi Martina, 2011, Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Pelaku Usaha Indonesia dalam Kasus Dumping. Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana

(12)

penyelesaian sengketa dumping melalui World Trade Organization (WTO) agar pengaturan tersebut dalam praktik secara nyata dapat melindungi kepentingan hukum pelaku usaha Indonesia.13

Dari hasil penelitian dan pembahasannya disimpulkan, bahwa : (1). Hukum material dan hukum formal yang tersedia dalam skema perjanjian World Trade Organization (WTO) ternyata belum mampu menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum posisi pelaku usaha indonesia dalam berbagai kasus dumping. (2). Pengaturan putusan penyelesaian sengketa dumping melalui WTO Agreement yang hanya menyediakan kewenangan memutus sengketa dumping, hendaknya WTO Agreement diberikan penambahan norma yang mencakup kewenangan untuk mengawasi putusan dan kewenangan melaksanakan putusan (eksekusi), yang justru merupakan kewenangan yang paling menentukan dalam perlindungan hukum bagi kepentingan pelaku usaha Indonesia dalam kasus dumping. Potensi perlindungan hukum bagi pengusaha Indonesia yang dihasilkan oleh skema preventif dan skema represif hukum, baik dalam pengaturan domestik maupun internasional sangat dipengaruhi oleh posisi politik suatu negara dalam konstelasi perdagangan internasional. Dalam kasus tertentu skema perlindungan demikian itu dapat berfungsi cukup baik, namun dalam keadaan lainnya dapat tidak berfungsi sama sekali.14

Penelitian yang dilakukan oleh umi martina mengangkat dan membahas permasalahan yang sangat berbeda dengan permasalahan yang diangkat dan dibahas peneliti. Demikian juga latar belakang masalah, rumusan masalah yang diteliti dan dibahas, tujuan penelitian maupun pembahasannya jauh berbeda dengan latar belakang masalah, rumusan masalah yang diteliti dan dibahas, tujuan penelitian maupun pembahasannya dengan penelitian yang dilakukan peneliti.

13 Ibid, h. 18-19.

(13)

Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Edrianto malrano tentang ”Perlindungan Hukum Anti Dumping Bagi Industri Domestik Terkait Dengan Anti Dumping Duties Dalam Mengantisipasi Era Pasar Bebas (Free Trade) di Indonesia”, ditulis dalam bentuk tesis dalam rangka penyelesaian Program Magister Ilmu Hukum Pada Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Penelitian yang dilakukan Edrianto bertujuan untuk mengetahui : (1). Pelaksanaan perlindungan anti dumping terhadap industri dalam negeri Indonesia. (2). Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan anti dumping yang terjadi akibat lemahnya perangkat hukum yang ada.

Hasil penelitian tesebut menunjukan bahwa : (1). Pelaksanaan perlindungan hukum anti dumping dapat dilakukan dengan tindakan pengamanan bea masuk anti dumping, tindakan safeguard serta sosialisasi-sosialisasi instrumen anti dumping yang dilaksanakan oleh KADI-KPPI di bawah kordinasi Deperindag dan Depkeu. (2). Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam megaasi permasalahan anti dumping, terkait dengan faktor perangkat hukum, faktor pihak pemerintah, faktor dunia industri, dan faktor pihak luar. Proteksi anti dumping yang telah ada belum mampu memberikan hasil yang maksimal seperti yang kita kira. Jika masalah ini tidak ditangani segera maka ini akan menjadi masalah serius kedepannya dan tentu saja hal ini akan menyebabkan kehancuran industri nasional15.

Penelitian yang dilakukan oleh Edrianto membahas masalah yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Edrianto memfokuskan penelitiannya pada pelaksanaan perlindungan anti dumping terhadap industri dalam negeri Indonesia, dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatsi permasalahan anti dumping yang

15 Malrano, Edrianto, Perlindungan Hukum Anti Dumping Bagi Industri Domestik Terkait Dengan Anti Dumping Duties Dalam Mengantisipasi Era Pasar Bebas (Free Trade) Di Indonesia.

http// programpascasarjanaugm.blogspot.com/pdf. Artikel diakses pada hari selasa tanggal 28 Juni 2011. pukul 22.00.

(14)

terjadi akibat lemahnya perangkat hukum yang ada. Penelitian yang dilakukan peneliti menitik beratkan pada bentuk pengaturan perlindungan industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping, cara penentuan kerugian (Injury) bagi Industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang kurang jelas dan terlalu luas, sehingga mengalami kesulitan dalam menentukan adanya kerugian (Injury) atau untuk membuktikan adanya kerugian, hal tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda bagi KADI, dan upaya yang dilakukan produsen dalam negeri yang mengalami kerugian akibat praktik dumping yaitu mengajukan permohonan perlindungan kepada KADI dan jika terbukti adanya dumping atau subsidi dan kerugian atau ancaman kerugian akan ditetapkan besarnya perlindungan yang dapat diberikan dengan menaikan bea masuk impor.

Dengan demikian penelitian yang dilakukan peneliti memiliki kekhususan yang menunjukan orisinilitas penelitian.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan atas latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah yang akan diteliti dan dibahas lebih lanjut dalam tesis ini. Adapun maslah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk pengaturan perlindungan terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping.

2. Bagaimanakah cara penentuan kerugian (Injury) bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.

3. Upaya apakah yang dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang dirugikan akibat terjadinya praktik dumping.

(15)

1.4. Ruang Lingkup Masalah

Agar pembahasan tidak keluar dari permasalahan, maka ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini dibatasi hanya pada pengaturan perlindungan terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik Dumping, cara yang digunakan dalam penentuan kerugian (Injury) bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, dan upaya yang dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang dirugikan akibat terjadinya praktik dumping.

1.5. Tujuan Penelitian 1.5.1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum terkait dengan paradigma science as a proses (Ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam penggaliannya atas kebenarannya16.Dari paradigma tersebut tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum terutama yang berkaitan dengan dumping.

1.5.2 Tujuan Khusus

Di samping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara spesifik bertujuan untuk :

16 Pogram Study Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Hukum Normatif. h.10.

(16)

a. Mengungkapkan bentuk landasan-landasan yuridis sistem perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktik dumping.

b. Untuk mengetahui cara penentuan kerugian (Injury) bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis

c. untuk mengetahui Upaya yang dapat dilakukan oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis yang dirugikan akibat terjadinya praktik dumping.

1.6. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna untuk :

1.6.1 Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan substansi disiplin ilmu hukum, khususnya dalam praktik dumping yang berkaitan dengan industri dalam negeri.

1.6.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan pemikiran yang selanjutnya dapat dijadikan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dari praktik dumping.

1.7. Landasan Teoritis.

Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum dan lain-lain yang akan

(17)

dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian17. Sebagai suatu pemahaman yang cukup tentang persoalan-persoalan, teori-teori hukum dipandang sebagai landasan yang mutlak diperlukan untuk pembuatan kajian ilmiah terhadap hukum positif konkret18. Teori hukum secara essensial bersifat interdisipliner, hal ini mengandung arti bahwa Teori Hukum dalam derajat yang besar akan menggunakan hasil-hasil penelitian dari berbagai disiplin yang mempelajari hukum19.

Penyelesaian sengketa dumping menurut World Trade Organization (WTO) dapat diselesaikan melalui konsultasi, konsiliasi, apabila konsiliasi gagal. Maka Dispute Settlement Body (DSB) membentuk panel untuk memeriksa kasus tersebut. First, Negotiation in an international legal context often involves cultural barriers that may make it more difficult to reach an agreement, second, it often is complicated by language barriers, which increases the changes of misunderstanding; these barriers are often compounded by the use of translator, third, it is often influenced by political consideration20. Pada tangal 4 Juni 1998 pemerintah mengeluarkan paket deregulasi yang mencakup sasaran yang cukup luas, yaitu meliputi sebelas langkah yang terdiri atas kelanjutan penjadwalan penurunan tarif bea masuk, perubahan tarif bea masuk barang modal, penghapusan bea masuk tambahan, penyederhanaan tata niaga impor, ketentuan anti dumping, kemudahan ekspor, kemudahan pelayanan bagi perusahaan eksportir tertentu di sektor tertentu, penyederhanaan perijinan bagi ndustri, penyelenggaraan tempat penimbunan berikat/gudang, kelonggaran kegiatan

17 Supasti Darmawan, 2006, Metodelogi Penelitian Hukum Empiris, Makalah Kedua,

dipresntasikan pada Loka Karya Pascasarjana Universitas Udayana,

18 Jan Gijssels dan Mark Van Hoecke, 2000, Apakah Teori Hukum Itu, Laboratorium Hukum

Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, h.40.

19 H.R Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 59

20 Larry L. Teply, 1992, Legal Negotiation In A Nutshell, ST. Paul, Mina, West Publishing

(18)

ekspor dan impor bagi perusahaan PMA manufaktur, penyederhanaan prosedur impor limbah untuk bahan baku industri.

Prinsip-prinsip dasar GATT/WTO jelas mendukung terciptanya sistem perdagangan internasional yang harmonis, fair, dan terbuka. Namun di sisi lain untuk mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sebagai implikasi dari hubungan bisnis internasional, maka perlu dibentuk ketentuan-ketentuan sebagai instrumen pengamanan perdagangan yang dapat dipergunakan oleh seluruh negara anggota untuk melidungi kepentingannya dari praktik-praktik perdagangan curang yang dilakukan mitra bisnis nya. Jika dilihat dari beberapa pengecualian dari prinsip-prinsip dasar GATT/WTO terdapat beberapa unsur yang terkait dengan pengamanan perdagangan, antara lain, antidumpig, subsidi, dan safeguard.

Tindakan anti dumping, safeguard, dan subsidi merupakan tiga instrumen kebijakan pengamanan perdagangan yang diakui oleh GATT/WTO dan negara-negara anggota diperkenankan untuk mempergunakan ketiga instrumen ini untuk melindungi industri dalam negerinya (domestic industry) dari persaingan curang yang dapat menghancurkan dan merusak tatanan sistem perdgangan yang fair. Pengaturan antidumping, subsidi dan safeguard mulai diakomodasi dalam GATT 1947 dan kemudian dipertegas lagi dalam GATT 1994. Putaran Uruguay yang kemudian membentuk berdirinya WTO mengakomodasi masalah-masalah antidumping, subsidi, dan safeguard dan merupakan bagian dari persetujuan-persetujuan yang dihasilkan yang menjadi lampiran dari WTO agreement, yaitu terdapat dalam lampiran 1A : pesetujuan dalam perdagangan barang, dimana berturut-turut sebagai berikut : persetujuan tentang pelaksanaan pasal VI antidumpig, persetujuan tentang subsidi dan tindakan imbalan, dan selanjutnya persetujuan tentang tindakan pengamanan.

(19)

Instrumen anti dumping dan anti subsidi oleh WTO tidak dibolehkan untuk dijadikan alat proteksi. Instrumen tersebut hanya bertujuan untuk mencegah atau menghapuskan perdagangan yang tidak fair. Meskipun demikian, sebagian besar negara-negara anggota WTO telah menyalahgunakan instrumen tersebut untuk tujuan proteksi industri dalam negeri mereka. Hal tersebut ditunjukan oleh fenomena beberapa tahun terakhir ini, dimana anti dumping menjadi sangat populer. Subsidi dibandingkan anti dumping tidak terlalu banyak mengingat semakin kedepan pemberian subsidi oleh pemerintah semakin berkurang. Indonesia merupakan salah satu negara anggota organisasi perdagangan Dunia berkewajiban untuk berperan aktif dalam mewujudkan tatanan perdagangan dunia yang adil dan saling menguntungkan.

Ketentuan tentang anti dumping sebagaimana tersebut dalam huruf e, diatur dalam peraturan pemerintah No. 34 tahun 1996. pada Bab II PP tersebut disebutkan tentang komite anti dumping Indonesia (KADI). KADI dibentuk untuk mengganti permasalahan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan. Dumping dan barang mengandung subsidi. Komite ini dibentuk oleh Menteri perindustrian dan perdagangan. KADI dipimpin oleh seorang ketua beranggotan unsur-unsur dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Keuangan, dan Departemen atau lembaga Non Departemen terkait lainnya.

Adapun tugas Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) adalah melakukan penelitian terhadap barang dumping dan barang mengandung subsidi. Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi. Mengusulkan pengenaan bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan. Melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh menteri prindustrian dan perdagangan dan, membuat laporan pelaksanaan tugas. Komite anti dumping dapat melakukan penyelidikan atas barang impor yang diduga sebagai barang dumping dan atau barang mengandung subsidi atas

(20)

permohonan industri dalam negeri. Disamping itu komite ini juga dapat melakukan penyelidikan tanpa adanya permohonan dari industri dalam negeri.

Dengan bedirinya WTO pada tahun 1995, maka semua kesepakatan perjanjian GATT 1947 kemudian diatur di dalam WTO plus isu-isu baru yang sebelumnya tidak diatur seperti perjanjian TRIPs (Hak atas Kekayaan Intelektual yang terkait dengan perdagangan), Jasa (GATS) dan aturan investasi (TRIMs) tugas utama WTO adalah mendorong perdagangan bebas, dengan mengurangi dan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan seperti tariff dan non tariff (misalnya regulasi) serta menyediakan forum perundingan perdagangan internasional, penyelesaian sengketa dagang dan memantau kebijakan perdagangan di negara-negara anggotanya. Meskipun dalam unsur pokok WTO tersebut penurunan tariff merupakan hal yang menjadi perhatian utama tetapi kenyataannya masih banyak negara anggota WTO yang menggunakan hambatan non tariff dalam rangka melindungi industri dalam negerinya seperti penerapan trade remedy (dumping, subsidi, dan safeguard) serta berbagai hambatan perdagangan lainnya.

Sejak dibentuknya WTO, dinamika perkembangan penggunaan trade remedy semakin meningkat dan menunjukan trend yang positif. Penggunaan trade remedy tidak hanya dilakukan oleh negara maju tetapi juga oleh negara berkembang. Bahkan diantara sesama negara ASEAN pun penerapan trade remedy sudah tidak terelakan lagi. Untuk kasus-kasus tertentu beberapa negara sangat protektif terhadap industri dalam negerinya sehingga menggunakan segala celah yang ada dalam Agreement baik dumping, subsidi, dan safeguard untuk menjustifikasi penerapan trade remedy tersebut.

Pada intinya GATT mengatur hambatan-hambatan tariff dan non tariff dalam perdagangan internasional. Yang dimaksud dengan hambatan yang bersifat tariff

(21)

adalah hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara, baik yang disebabkan oleh diberlakukannya tariff bea masuk maupun taiff lainnya yang tinggi oleh suatu negara terhadap suatu barang. Barang yang dikenakan tariff tinggi oleh suatu negara akan menjadikan harga jual barang tersebut di negara tujuan menjadi sangat mahal sehingga dapat dipastikan barang tersebut menjadi tidak kompetitif dibanding dengan barang sejenis lain yang diproduksi dalam negeri, sedangkan yang dimaksud dengan hambatan non tariff adalah hambatan terhadap arus barang ke dalam suatu negara yang di sebabkan oleh tindakan-tindakan selain penerapan tarif atas suatu barang. Hambatan ini, misalnya berupa penerapan standar tertentu atas suatu barang ekspor yang sedemikian sulit dicapai oleh para eksportir sehingga barang impor yang tidak memenuhi standar tersebut akhirnya tidak dapat masuk dan dijual di negara importir.21

Dalam persetujuan-persetujuan yang dibentuk oleh GATT dan WTO terdapat beberapa prinsip-prinsip dasar, yaitu perlakuan yang sama untuk semua anggota, prinsip ini diatur dalam artikel I GATT 1994, berdasarkan prinsip ini suatu kebijakan perdagangan antara negara-negara anggota harus dilakukan atas dasar nondiskriminasi. Artinya semua negara terikat untuk memberikan perlakuan yang sama dalam kebijakan impor dan ekspor produk-produk termasuk biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dilakukan seketika tanpa syarat terhadap produk-produk yang berasal atau yang ditujukan ke semua negara anggota GATT22. Misalnya, suatu negara tidak diperkenankan untuk menerapkan tingkat tariff yang berbeda pada

21 A. Setiadi, 2001, Antidumping: Dalam Perspektif Hukum Indonesia, S&R Legal

Co.,Jakarta,.h.1.

22 Astim Riyanto, 2003, World Trade Organization (organisasi Perdagangan Dunia),

(22)

suatu negara dibandingkan dengan negara lainnya23. atau keringanan tariff masuk impor yang diberikan pada suatu negara harus diberikan pula pada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya.

Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat (immediately and unconditionally) terhadap produk yang berasal atau yang ditunjukan kepada semua anggota GATT. Karena itu sesuatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan dikriminasi terhadapnya. Namun dalam prinsip perlakuan yang sama untuk semua anggota ini ada beberapa pengecualian terhadap prinsip ini, beberapa pengecualian diperbolehkan, seperti negara-negara yang berada dalam suatu wilayah dapat membentuk persetujuan perdagangan bebas di mana tidak berlaku untuk barang-barang dari luar kelompok ini. Sebuah negara dapat mengenakan hambatan terhadap produk-produk negara tertentu yang dinilai tidak adil (fair) dalam melakukan perdagangan. Pada bidang jasa, sebuah negara diperbolehkan melakukan diskriminasi dalam batas-batas tertentu. Pengeculian ini hanya diizinkan untuk kondisi-kondisi tertentu.24 Pengecualian lainnya adalah apa yang disebut dengan ketentuan pengamanan (safeguard rule). Pengecualian ini mengakui bahwa suatu pemerintah apabila tidak mempunyai upaya lain, dapat melindungi atau memproteksi untuk sementara waktu industri dalam negerinya.

Prinsip lain yang diatur dalam Article III GATT 1994 yaitu perlakuan internasional (National treatment), dalam prinsip ini mengatur tentang ketentuan bahwa suatu produk /barang yang diimpor dari negara lain tidak boleh diberi perlakuan yang berbeda dengan maksud untuk memberikan proteksi pada produksi

23 Departemen Perindustrian dan Perdagangan, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia, http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.html; artikel diakses pada tanggal 10-03-2010 pukul 13.30

24 Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Direktorat Jendral multilateral

Ekonomi Keuangan dan Pembangunan, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2002, Sekilas

(23)

dalam negeri25. Negara-negara anggota diwajibkan memberikan perlakuan yang sama atas barang-barang impor dan lokal. Dengan kata lain, tidak diperkenankan melakukan diskriminasi antara produk impor dn produk dalam negeri (produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi.

Jenis-jenis tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan ini, antara lain adalah pungutan dalam negeri, undang-undang, peraturan dan persyaratan mempengaruhi penjualan, penawaran penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan produk, pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan campuran, dan pemrosesan atau penggunaan produk-produk dalam negeri26. Pada dasarnya negara-negara maju mengakui bahwa negara-negara berkembang perlu mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan peranannya dalam perdagangan dunia. Prinsip ini bertujuan untuk mendorong negara-negara berkembang ikut proaktif berpartisipasi dalam berbagai perundingan perdagangan internasional. Semua persetujuan WTO memiliki ketentuan mengatur perlakuan khusus bagi negara-negara berkembang yang bertujuan untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi negara-negara berkembang angota WTO untuk melaksanakan persetujuan WTO.

Prinsip-prinsip dasar GATT/WTO jelas mendukung terciptanya sistem perdagangan internasional yang harmonis, fair dan terbuka. Namun di sisi lain untuk mengeliminasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sebagai implikasi dari hubungan bisnis internasional, maka perlu dibentuk ketentuan-ketentuan sebagai instrumen pengamanan perdagangan yang dapat dipergunakan oleh seluruh negara anggota untuk melindungi kepentingannya dari praktik-praktik perdagangan curang yang dilakukan mitra bisnisnya. WTO adalah organisasi perdagangan dunia yang

25 Maria Emelia Retno K, 1994, Dampak Implementasi GATT/WTO terhadap Ekspor-Impor Indonesia, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h.94.

26 Departemen Perindustrian dan Perdagangan, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia, http://www.dprin.go.id/ind/publikasi/djkipi/wto.html; artikel diakses pada tanggal 10-03-2010 pukul 13.30

(24)

berfungsi untuk mengatur dan memfasilitasi perdagangan internasional. Sistem perdagangan internasonal diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan itu bersifat mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan. WTO mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995, yaitu dengan disepakatinya Agreement the World Trade Organization, yaitu persetujuan pembentukan organisasi perdaangan dunia yang ditanda tangani para menteri perdagangan negara-negara anggota WTO pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko27.

Sebelum WTO berdiri, perdagangan multilateral diatur oleh the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1947 yang berlaku secara sementara yang terdiri atas 38 pasal dan hanya mengatur perundingan di bidang tarif. WTO adalah organisasi perdagangan dunia penerus GATT 1947. GATT dan WTO sama-sama merupakan wadah dalam mendorong terciptanya perdagangan internasional yang fair dengan menghilangkan unsur-unsur penghambat yang dapat merusak sistem perdagangan yang ideal. Dengan mengusung misi liberalisasi melalui kesepakatan internasional, setiap negara anggota wajib tunduk pada kesepakatan dan menjalankan sistem perdagangan sesuai ketentuan GATT atau WTO.

Lahirnya WTO menjanjikan harapan akan masa depan perdagangan internasional untuk meletakan kegiatan perdagangan internasional dalam suatu koridor hukum yang mengusung prinsip-prinsip yang adil dan fair. Prinsip umum perdagangan bebas adalah menyingkirkan hambatan-hambatan teknis perdagangan dengan mengurangi atau menghilangkan tindakan-tindakan yang dapat merusak perdagangan. Persetujuan-persetujuan WTO yang mengatur masalah-masalah

27 Christhophorus Barutu, 2007, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO,Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Christhophorus

(25)

perlindungan yang ditunjukan terhadap perlindungan industri, yaitu persetujuan tentang pelaksanaan anti dumping, persetujuan tentang subsidi dan tindakan imbalan dan persetujuan tentang tindakan pengamanan. Ketiga instrumen pengamanan perdagangan ini dikenal pula dengan nama “Trade Remedies”. Ketiganya berperan penting untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik-praktik kecurangan di bidang perdagangan sebagai konsekuensi dari perdagangan bebas.

Tindakan antidumping diberlakukan terhadap tindakan menjual suatu barang di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar dalam negeri (harga normal) dimana selanjutnya pemerintah negara pengimpor dapat mengenakan bea masuk anti dumping untuk menutupi kerugian sebagai dampak dari dumping tersebut. Demikian pula mengenai subsidi di mana produk dijual dengan harga murah karena mendapat subsidi oleh negara pengekspor, pada prinsipnya tindakan subsidi dilarang jika hal tersebut dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan menimbulkan kerugian bagi negara pengimpor dan negara-negara pengimpor dapat memberlakukan tindakan-tindakan imbalan terhadap barang-barang yang dituduh mendapat subsidi dari negara pengekspor.

Kedua instrumen ini, baik anti dumping maupun subsidi digolongkan sebagai intrumen untuk mencegah terjadinya perdagangan yang curang yang dapat menimbulkan kerugian yang serius terhadap industri dalam negeri di negara pengimpor. Dalam WTO keberadaan ketentuan antidumping diatur dalam Anti dumping Agreement (ADA). Dalam persetujuan ini, diatur cara dan mekanisme untuk melakukan investigasi dan jangka waktu pengenaan antidumping yang bertujuan untuk mengatur agar negara-negara pengguna instrumen ini untuk melakukan praktik penyalahgunaan instrumen ini untuk melakukan prokteksi yang berlebihan dan tidak perlu yang dapat menimbulkan ketidakpastiaan dalam perdagangan internasional.

(26)

Berbeda dengan antidumping dan dan subsidi, safeguard merupakan salah satu instrumen pengamanan perdagangan yang hampir mirip dengan antidumping dan subsidi yang sama-sama diperblehkan dalam aturan WTO. WTO mengatur mengenai masalah safeguard dalam Safeguard Agreement. Safeguard sama sekali tidak ada kaitannya dengan praktik dumping dan subsidi, tetapi beredarnya barang impor yang masuk ke pasar domestik telah mengakibatkan terjadinya kerugian terhadap industri serupa di dalam negeri. Jadi, perbedaan antara anti dumping, anti subsidi, dan safeguard terletak pada dasar pertimbangan pengenaan instrumen tersebut. Sama dengan tindakan antidumping, subsidi, safeguard juga dapat disalahgunakan oleh suatu negara demi memberikan perlindungan terhadap industri tertentu di dalam negeri. Penyalahgunaan pemberlakuan ketentuan anti dumping. Misalnya, terjadinya kerugian industri dalam negeri bukan karena barang dumping impor, melainkan karena kesalahan manajemen produksi, tetapi suatu negara tetap melakukan tindakan anti dumping terhadap barang impor tersebut dan hal ini merupakan penyimpangan prinsip ketentuan anti dumping karena kerugian industri disebabkan oleh kesalahan manajemen, bukan karena barang dumping.

Dalam kasus subsidi, negara menjatuhkan tindakan-tindakan imbalan terhadap suatu produk impor, padahal produk impor ini tidak terbukti nyata mendapat subsidi dari negara asalnya yang menyebabkan kerugian pada industri dalam negeri negara pengimpor, dan kerugian yang dialami industri dalam negeri negara importir bukan karena adanya subsidi dari negara pengekspor terhadap barang ekspor, melainkan karena sebab lain. Begitu pula tindakan safeguard dapat disalahgunakan oleh suatu negara, misalnya, suatu sektor industri tertentu mengalami kebangkrutan karena tidak efesien yang mengakibatkan terjadi lonjakan impor untuk mensubsidi supply yang sebelumnya diperoleh dari industri yang bangkrut tersebut. Atas dasar lonjakan impor

(27)

ini, maka pemerintah suatu negara mengambil tindakan safeguard untuk melindungi industri tersebut, padahal kebangkrutan industri tersebut secara tidak efesien, jadi bukan karena adanya lonjakan impor28.

Untuk lebih memahami secara kongkret penyimpangan penggunaan instrumen pengamanan perdagangan salah satunya yaitu, anti dumping dapat dikaitkan dengan pengenaan bea masuk Antidumping (BMAD). Terkait masalah dumping, setiap produsen yang produknya terbukti dumping dikenakan Bea Masuk Anti dumping. Pengenaan BMAD merupakan salah satu instrumen yang diakui WTO untuk mencegah praktik perdagangan yang tidak sehat sehingga berdampak negatif bagi industri suatu negara. Namun instrumen ini juga dapat digunakan sebagai trik-trik perdagangan untuk melindungi industri di dalam negeri di suatu negara atau bahkan mematikan industri di suatu negara. Jika hal tersebut menjadi kenyataan, sudah terjadi gejala suatu paham perlindungan untuk melindungi produsen dalam negeri dari persaingan asing dengan melarang impor atau memberlakukan tarif bea masuk yang tinggi. Dengan demikian, produsen dalam negeri atau industri di dalam negeri cenderung meminta proteksi atau mengajukan petisi anti dumping kepada pemerintah untuk menahan produk impor29.

Suatu negara perlu berhati-hati dalam memutuskan pemberlakuan tarif BMAD dan harus dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan industri dalam negeri secara luas di mana hal ini untuk menghindari jangan sampai pemberlakuan BMAD hanya menjadi instrumen untuk membuat industri dalam negeri menjadi manja di mana industri dalam negeri takut kalah bersaing dengan produk impor karena tidak dapat meningkatkan produktivitas dan menigkatkan efisiensinya. Pemberlakuan BMAD juga jangan sampai menjadi instrumen untuk melindungi industri tertentu

28 Christhophorus Barutu 3, op.cit, h.33. 29 Chritophorus Barutu 3, op.cit, h. 33-34.

(28)

sehingga terbuka peluang monopoli atau praktek kartel30. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam penggunaan instrumen-instrumen tersebut diatas, maka WTO membuat suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang disebut Dispute Settlement Body (DSB) di mana negara-negara anggota WTO dapat mengajukan keberatan melalui DSB jika merasa dirugikan oleh penggunaan instrumen anti dumping, anti subsidi dan, safeguard secara tidak proporsional oleh negara anggota lainnya31.

Menurut catatan WTO, dari ketiga instrumen tersebut tindakan anti dumping merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap industri dalam negeri. Alasannya adalah bahwa instrumen ini paling fleksibel dan paling kecil resikonya. Negara-negara yang saat ini sangat banyak melakukan tindakan anti dumping adalah Uni Eropa, Amerika Serikat, Australia, India, Afrika Selatan, Argentina, Brazil, Mexico dan, Kanada. Dibandingkan tindakan anti dumping, maka tindakan subsidi jarang dilakukan karena negara-negara anggota WTO pada umumya tidak lagi memberikan subsidi ekspor pada industri. Subsidi saat ini sangat banyak diberikan pada sektor-sektor pertanian yang sifatnya green subsidies dan untuk tujuan tertentu, seperti untuk kepentingan penelitian, lingkungan hidup, dan mendorong pembangunan di daerah terpencil32.

Jika dicermati, ada hal yang menarik yang berhubungan dengan masalah subsidi, yaitu subsidi pertanian. Pada saat dimulainya putaran Doha pada tahun 2001, WTO mengeluarkan usulan agar negara-negara anggota mengurangi subsidi yang diberikan kepada petani untuk mengurangi distorsi perdagangan dan memperbesar volume perdagangan global. Tindakan safeguard dilakukan lebih sedikit dibanding

30 Chritophorus Barutu 3, op.cit, h. 34. 31 Chritophorus Barutu 3, loc.cit..

32 Gusmardi Bustami, WTO dan Perlindungan Industri Dalam Negeri,

http://www.geocities.com/herso et2001/wtoperlindunganindustri.pdf ; artikel diakses pada tanggal 31-03-2010. pukul 15.55

(29)

anti dumping karena resikonya lebih besar. Berbeda dengan tindakan anti dumping, tindakan safeguard yang dilakukan dengan pengenaan kuota harus dinegosiasikan dengan pihak negara supplier mengenai besarnya kuota yang dikenakan. Jika ini terjadi, sering akan menghabiskan waktu yang cukup lama. Kemudian, tindakan safeguard akan dikenakan kepada seluruh supplier (bukan kepada perusahaan) secara nondiskriminasi.

Sementara itu, anti dumping dikenakan kepada perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan dumping. Pengecualian hanya diterapkan pada impor yang dikategorikan sebagai de minimis yang dianggap dapat dikecualikan sebagai penyebab terjadinya kerugian. Dalam tindakan safeguard, dapat saja terjadi permintaan kompesasi dari pihak yang terkena (negara supplier) dan jika tidak dipenuhi, dapat dilakukan retalisasi. Misalnya, tindakan safeguard Amerika Serikat terhadap baja yang dilakukan dengan meningkatkan tarif bea masuk yang mendapatkan tantangan keras dari jepang, Uni Eropa, dan Negara lainnya33.

Pada intinya yang dimaksud dengan dumping adalah suatu keadaan di mana barang-barang yang diekspor oleh suatu negara ke negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga jual di dalam negerinya sendiri atau nilai normal dari barang tersebut. Hal ini merupakan praktik curang yang dapat mengakibatkan distorsi dalam perdagangan internasional34.

Praktik dumping merupakan praktik dagang yang tidak fair karena bagi negara pengimpor, praktik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah dari pada barang dalam negeri, akan

33 Gusmardi Bustami, WTO dan Perlindungan Industri Dalam Negeri,

http://www.geocities.com/herso et2001/wtoperlindunganindustri.pdf ; artikel diakses pada tanggal 31-03-2010. pukul 15.55.

34 Frequently Asked Questions-Antidumping, Internasional Trade,

(30)

mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis daam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutannya, seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengangguran, dan bangkrutnya industri sejenis dalam negeri35. Tindakan ini jelas-jelas dapat menimbulkan kerugian yang sangat serius terhadap perekonomian setiap negara, yang mana setiap negara memerlukan perlindungan (protection) yang memadai sehingga lahirlah suatu instrumen kebijaksanaan perdagangan yang dikenal dengan istilah anti dumping. Kebijaksanaan anti dumping merupakan ketentutan-ketentuan dan penjatuhan sanksi/hukuman terhadap pelaku praktik dalam konteks perdagangan internasional.

Berkaitan dengan penggunaan hukum sebagai rekayasa sosial, dalam arti menuju pembangunan hukum yaitu sebagai upaya untuk mengubah suatu tatanan hukum dengan cara perencanaan yang secara sadar dan terarah serta mengacu pada masa depan yang berlandaskan kecenderungan yang nantinya dapat diamati dalam kehidupan sebagai sebuah negara hukum. Dengan demikian pembangunan ataupun pembentukan hukum ini berarti pembaruan tatanan hukum yaitu sebagai suatu sistem hukum, dimana mencakup tiga (3) komponen sub sistem hukum yaitu, pertama, komponen substansi hukum (legal substance), yang disebut juga tata hukum yang terdiri dari tatanan hukum peraturan perundang-undangan yang tidak tertulis, termasuk hukum adat dan yurisprudensi, serta tatanan hukum internal (asas-asas hukum), yang melandasi serta mengkoherensikan. Kedua, yaitu struktur hukum (legal Structure), yaitu bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme yaitu komponen kelembagaan hukum yang terdiri atas berbagai organisasi publik dengan para pejabatnya (legeslatif, eksekutif, yudikatif). dan yang ketiga yaitu budaya hukum (legal Culture) yaitu sikap publik, nilai-nilai yang mendorong bekerjanya sistem

35 Daniel Suryana, Harmonisasi Ketentuan Anti Dumping Ke dalam Hukum Nasional

Indonesia, http://dansur.blogster.com/harmonisasi_ketentuan.html. Artikel diakses pada tanggal 29-03-2010. pukul 22.20

(31)

hukum yang mencakup sikap, perilaku para pejabatnya dan warga masyarakatnya berkenaan dengan komponen-komponennya.

Dalam penelitian ini digunakan beberapa teori yang berkaitan dengan permasalahan yang diharapkan dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Teori yang digunakan antara lain adalah teori hukum alam. Salah satu tokoh dari aliran hukum alam adalah Grotius. Beliau memaparkan ada 4 (empat) norma dasar yang terkandung dalam hukum alam, yaitu :

1. kita harus menjauhkan diri dari harta benda kepunyaan orang lain.

2. kita harus mengembalikan harta kepunyaan orang lain yang berada di tangan kita beserta hasil dari benda orang lain yang sudah kita nikmati. 3. kita harus menepati janji-janji yang kita buat.

4. kita harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh kesalahan kita, lagi pula kita harus di hukum apabila perbuatan kita pantas disalahkan.36

Konsep pemikiran Grotius di atas menjadi dasar munculnya beberapa teori, seperti teori kontrak, teori perbuatan melawan hukum, dan teori hak milik. Teori tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk memberi perlindungan hukum bagi industri dalam negeri dari praktik dumping.

Hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, tetapi pembagian itu tentunya tidak bisa merata atau sama banyaknya. Konsep keadilan yang berkaitan dengan perlindungan industri dalam negeri dari praktek dumping adalah keadilan umum (Justitia Generalis) dan keadilan khusus sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Aquinas. Keadilan umum (Justitia Generalis) adalah keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum, sedangkan keadilan khusus

(32)

adalah keadilan atas daar kesamaan (Proporsionalitas). Keadilan khusus ini di bedakan atas 3 (tiga) , yaitu keadilan distributif (justitia distribution), keadilan komunikatif (justitia comutativa), dan keadilan vindikatif (justitia vindicativa)37

1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian hukum merupakan suatu tata cara kerja suatu keilmuan yang ditandai dengan penggunaan metoda, jika diartikan meta yang diartikan diatas sedangkan thodos merupakan suatu jalan atau suatu cara. Jika diterjemahkan pengertian metoda adalah merupakan suatu jalan atau suatu cara. Van Peursen menterjemahkan pengertian metoda secara harfiah, mula-mula metoda diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh sebagai penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu38.

Penelitian dalam tesis ini merupakan penelitian hukum doctrinal atau penelitian hukum normatif. Jhoni Ibrahim mengemukakan pendapatnya, bahwa penelitian hukum normatif adalah penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif39. Adapun ciri-ciri dari penelitian hukum normatif adalah beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma atau asas hukum, tidak menggunakan hipotesis, menggunakan data skunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum skunder. Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul.40

Kekosongan hukum dan norma kabur yang terjadi dalam hal ini perlu untuk diteliti sehingga dapat memberikan masukan yang dapat digunakan dalam mencari

37 Darji Darmodihardjo dan Shidarta, 2006,Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta,h.155-157.

38 Jhoni Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitin Hukum Normatif, Bayu Publishing,

Malang,h.26.

39 Ibid

40 Peter Mahmud Marzuki,2007, Penelitian Hukum, cet.3, kencana persada media group,

(33)

pemecahan permasalahan. Pada hakekatnya, penelitian mempunyai fungsi menemukan, mengembangkan, atau menguji kebenaran suatu pengetahuan41. Utrecht

mengemukakan pendapat bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechtzeker heid) dalam pergaulan manusia42. Satjipto Rahardjo membahas masalah kepastian hukum dengan menggunakan perspektif sosiologis, dengan sangat menarik dan jelas. Setiap ranah kehidupan memiliki semacam ikon masing-masing. Untuk ekonomi; ikon tersebut adalah efisiensi, untuk kedokteran; mengawali hidup manusia dan seterusnya. Ikon untuk hukum modern adalah kepastian hukum43.

Sedangkan dalam kerangka Bredemeir, fungsi hukum adalah untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat44. Kedudukannya sebagai suatu institusi yang melakukan pengintegrasian terhadap proses-proses yang berlangsung dalam masyarakat, menyebabkan hukum harus terbuka menerima masukan-masukan dari bidang ekonomi, politik dan budaya untuk kemudian diolah menjadi keluaran-keluaran yang produktif dan berdaya guna45.Paul Scholten memberikan definisi asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya46.

Dengan demikian dari pengertian-pengertian diatas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa “penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna

41 Rianto Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, Granit, Jakarta, h.3 42 E. Utrecht, 1961, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta, h.24.

43 Achmad Ali. 2009, Teori hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence),

kencana prenada Media Group, Jakata, h. 289.

44 Bernard L Tanya dkk, 2006, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, h. 127.

45 Ibid

46 Bruggink Alih Bahasa Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti,

(34)

membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada47” penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan

konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten48.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Suatu penelitian hukum normatif tentu harus menggunakan pendekatan. Jhony Ibrahim membagi pendekatan dalam penelitian hukum atas tujuh macam, yaitu49 :

1). Pendekatan Perundang-undangan(Statue Approach). 2). Pendekatan Konsep (Conseptual Approach).

3). Pendekatan Analitis (Analitycal Approach).

4). Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). 5). Pendekatan Historis (Historical Approach).

6). Pendekatan Filsafat ( Philosophical Approach). 7). Pendekatan Kasus (Case Approach).

Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.50 Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

Dalam penelitian ini jenis pendekatan yang digunakan adalah51 :

a). Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach), karena penelitian ini bermaksud untuk memperoleh kejelasan secara normatif dengan mengidentifikasi dan menganalis faktor hukum yang menjadi kendala dalam penerapan prinsip-prinsip hukum perlindungan industri dalam

47 Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h.2 48 Ibid.

49. Jhony Ibrahim, op.cit, h.300. 50. Jhony Ibrahim, op.cit, h.302. 51. Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h.93.

(35)

negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktek dumping, maupun berbagai peraturan lainnya.

b). Pendekatan perbandingan (Comparative Approach), yaitu mencari Undang-undangdan regulasi anti dumping dan membandingkan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku yang berkaitan dengan perlindungan industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktek dumping.

c). Pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conceptual approach), yaitu mencari rumusan norma hukum perlindungan industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktek dumping yang berkembang dalam peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan pokok bahasan dalam penelitian ini.

d). Pendekatan konsep (conceptual approach), yaitu dengan menunjuk prinsip-prinsip hukum yang dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan para sarjana, ataupun doktrin-doktrin hukum, sehingga akan ditemukan ide-ide yang menghasilkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Untuk memecahkan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka diperlukan sumber penelitian. Menurut Peter Mahmud Marzuki sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan atas dua sumber-sumber, yaitu sumber-sumber-sumber-sumber hukum primer, dan bahan-bahan hukum skunder52 sebagai penelitian hukum normatif,

maka bahan hukum primer diperoleh dari asas-asas atau prinsip dan kaedah-kaedah

(36)

atau norma hukum yang berkaitan dengan perlindungan industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dari praktek dumping.

Sedangkan bahan hukum skunder adalah sebagai bahan penunjang untuk memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer, seperti pendapat-pendapat ahli hukum yang termuat dalam media massa, jurnal-jurnal hukum, literatur-literatur hukum (text-book), berbagai hasil pertemuan ilmiah baik ditingkat nasional maupun internasional, internet dengan menyebut situsnya. Untuk bahan hukum tertier diperoleh dari kamus atau ensiklopedia hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.

Penelitian ini adalah jenis penelitian normatif, dimana sumber bahan hukum utamanya adalah bahan hukum primer dan bahan hukum skunder dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum dengan menggunakan sistem kartu (card sistem) baik peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, maupun bahan-bahan pustaka serta hasil-hasil penelitian yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan. Bahan-bahan hukum tersebut diklasifikasikan sesuai dengan bidang-bidang dalam pokok bahasan yang selanjutnya dipilah-pilah sesuai dengan tingkat urgensinya terhadap pokok permasalahan yang dibahas.

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum.

Dalam menganalisis informasi yang diperoleh dari bahan hukum baik bahan hukum primer maupun skunder, ada beberapa langkah yang ditempuh, yaitu deskripsi, inteprestasi, konstruksi, evaluasi, argumentasi dan sistematis.53 Teknik deskripsi

adalah mencakup isi maupun struktur hukum positif,54 analisis terhadap bahan-bahan

53 . Program studi Magister Ilmu Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, op.cit,

h.15.

54 . Philipus M.Hadjon. 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif). Dalam majalah

Referensi

Dokumen terkait

Dan partai LDP sebagai partai yang masih berkuasa secara mayoritas di Majelis Rendah, yang berarti bahwa calon kandidat dari Partai LDP mempunyai peluang lebih besar untuk

Di Laboratorium Program Studi Sistem Informasi UMK saat ini sudah menggunakan komputer sebagai sarana untuk mengerjakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan

Setiap santri/santriah wajib menjalankan sholat sunnah dhuha ketika waktu dhuha yang telah ditentukan oleh tim akademik pondok pesantren Al-Khoir.. Setiap santri/santriah

Peneliti membuat tarian kreasi baru dengan nama tari kreasi Kampuong Lamo arti dari nama tari tersebut adalah kampuong lamo dulunya adalah nama suatu kampug yang

Begitu juga dengan tajaman kapak persegi di situs Loyang Mendale yang menujukkan tipe bifasial, sehingga dapat dikatakan bahwa kapak persegi dan belincung di Pulau Weh

Setelah melakukan aktivitas kolase kupu-kupu dengan biji-bijian yang ada disekitar rumah dan membandingkan ukuran besar kecil biji-bijian yang digunakan untuk membentuk kupu-kupu

Permasalahan  dasar  adanya  gap  antara  akademi  dan  industri  adalah  karena  karakter  dan  sudut 

Adapun hambatan-hambatan yang ditemui oleh Reserse Kriminal Polres Tulang Bawang dalam mengungkap tindak pidana pembunuhan : dapat ditinjau dari faktor subtansi