• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDUGAAN UMUR SIMPAN KERIPIK WORTEL DALAM KEMASAN POLIPROPILEN. Oleh : IFAH LATIFAH F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDUGAAN UMUR SIMPAN KERIPIK WORTEL DALAM KEMASAN POLIPROPILEN. Oleh : IFAH LATIFAH F"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

i PENDUGAAN UMUR SIMPAN KERIPIK WORTEL

DALAM KEMASAN POLIPROPILEN

Oleh :

IFAH LATIFAH F14052971

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(2)

ii Ifah Latifah. F14052971. Pendugaan Umur Simpan Keripik Wortel dalam Kemasan Polipropilen. Di bawah bimbingan I Wayan Budiastra dan Sri Yuliani. 2010.

RINGKASAN

Pemanfaatan wortel menjadi keripik wortel merupakan salah satu usaha untuk mengatasi pendeknya umur simpan wortel segar lokal yang kurang dari seminggu. Selain itu juga gaya hidup yang menuntut tersedianya makanan sehat siap santap (dalam bentuk keripik/snack) dan banyak mengandung serat dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan teknologi pengolahan pangan yang tepat untuk meningkatkan nilai tambah dari wortel. Pengemasan dengan polipropilen diharapkan dapat memperpanjang umur simpan. Kemasannya yang transparan dapat meningkatkan minat konsumen karena warna keripik wortel yang cukup menarik. Untuk menjamin bahwa keripik wortel belum mengalami kerusakan sampai di tangan konsumen, maka perlu dilakukan perhitungan-perhitungan mengenai umur simpan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan parameter mutu kritis keripik wortel yang dikemas dalam kemasan polipropilen selama penyimpanan dan menduga umur simpannya dengan metode akselerasi.

Pada penelitian ini menerapkan dua macam perlakuan pada keripik wortel selama penyimpanan yaitu perlakuan pengemasan dan suhu penyimpanan. Penelitian ini diawali dengan tahap persiapan bahan yaitu pengolahan bahan baku wortel menjadi keripik wortel dengan menggunakan penggorengan vakum. Selanjutnya keripik wortel tersebut dikemas ke dalam kemasan plastik propilen (PP) dengan ketebalan 30 µm, 50 µm, dan 80 µm. Setelah dikemas keripik wortel disimpan ke dalam ruang penyimpanan (inkubator) dengan suhu 30oC (80%RH), 37oC (55%RH), dan 45oC (28%RH). Analisis keripik wortel selama 8 (delapan) minggu untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi selama penyimpanan. Analisis meliputi kecerahan warna (L), kerenyahan (N), kadar air (%bb), kadar asam lemak bebas (%FFA) dan analisis organoleptik sehingga parameter kritisnya dapat diketahui.

Laju penurunan mutu (K) kadar air keripik wortel pada suhu ruang (25oC) dalam kemasan PP 30 µm adalah 0.0887 per hari, 0.0759 per hari dalam kemasan PP 50 µm, dan 0.0579 per hari dalam kemasan PP 80 µm. Laju penurunan mutu (K) kerenyahan dalam kemasan PP 30 µm adalah 0.0075 per hari, 0.0036 per hari dalam kemasan PP 50 µm, dan 0.0178 per hari dalam kemasan PP 80 µm. Laju penurunan mutu (K) FFA dalam kemasan PP 30 µm adalah 0.0380 per hari, 0.0355 per hari dalam kemasan PP 50 µm, dan 0.0314 per hari dalam kemasan PP 80 µm. Laju penurunan mutu (K) kecerahan warna dalam kemasan PP dengan 30 µm adalah 0.0036 per hari, 0.0033 per hari dalam kemasan PP 50 µm, dan 0.0026 per hari dalam kemasan PP 80 µm. Model Arrhenius untuk pendugaan umur simpan keripik wortel pada kemasan PP dengan ketebalan 30 µm adalah ln k = 3620(1/T) - 14.59 (R2 = 0.846), model untuk pendugaan dalam kemasan PP dengan ketebalan 50 µm adalah ln k = 4709(1/T) - 18.38 (R2 = 0.959), dan pada kemasan 80 µm adalah ln k = 1739(1/T) - 8.685 (R2 = 0.875).

Dugaan umur simpan untuk keripik wortel yang disimpan pada suhu ruang (25oC) dan dikemas dalam kemasan PP 30 µm yaitu selama 19 hari, 22 hari pada kemasan PP 50 µm, dan 29 hari pada kemasan PP 80 µm.

(3)

iii PENDUGAAN UMUR SIMPAN KERIPIK WORTEL

DALAM KEMASAN POLIPROPILEN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknik Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh

IFAH LATIFAH F14052971

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

iv

Judul Skripsi : Pendugaan Umur Simpan Keripik Wortel dalam Kemasan Polipropilen

Nama : Ifah Latifah

NIM : F14052971

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M.Agr) (Dra. Sri Yuliani, Apt) NIP.19611019 1986011 002 NIP. 19570717 1986032 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Dr. Ir. Desrial, M.Eng NIP. 19661201 1991031 004

(5)

v RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ifah Latifah, dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 19 Juni 1987. Penulis merupakan putri ketujuh dari delapan bersaudara pasangan Usman Sanusi dan Siti Syamsiyyah.

Pendidikan penulis diawali dari SD Negeri Sukalaksan I Bandung pada tahun 1993 sampai tahun 1999. Pada tahun 1999, penulis melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 4 Bandung dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 10 Bandung sampai tahun 2005.

Pada tahun 2005, penulis mendapat Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Teknik Pertanian (TP), Fakultas Teknologi Pertanian (FATETA). Penulis menjadi anggota aktif dari lembaga Koperasi Mahasiswa (KOPMA) IPB dari tahun 2006 sampai tahun 2008. Penulis manjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA) periode 2006 – 2007 sebagai sekretaris eksekutif dan pada periode 2007 – 2008 sebagai staf Hubungan Masyarakat. Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Mekanika Fluida (2007) dan Ilmu Ukur Wilayah (2009) yang diselenggarakan oleh Departemen Teknik Pertanian.

Pada tahun 2007 penulis pernah mengajukan karya tulis untuk Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang kewirausahaan yang didanai oleh DIKTI dan lolos dengan judul “Produksi dan Komersialisasi CD Pembelajaran Tepat Guna”. Tahun 2008 penulis mengikuti PKM kembali untuk bidang kewirausahaan dan lolos seleksi dengan judul “Produksi dan Komersialisasi Jelly Green Tea”. Selain karya tulis dan organisasi, penulis juga aktif dalam kegiatan olahraga khususnya basket di IPB. Penulis menjadi anggota tim basket putri mewakili fakultas untuk mengikuti Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI).

Pada tahun 2008, penulis melakukan Praktek Lapangan (PL) di PT. PG. Rajawali II unit Pabrik Gula Subang, dengan topik Aspek Keteknikan pada Proses Pengolahan Tebu. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Teknologi Pertanian, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Pendugaan Umur Simpan Keripik Wortel dalam Kemasan Polipropilen”

(6)

i KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penelitian dengan judul “Pendugaan Umur Simpan Keripik Wortel dalam Kemasan Polipropilen” dapat selesai dengan baik.

Pada kesempatan penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang begitu besar kepada semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada :

1. Dr. Ir. I Wayan Budiastra, M. Agr dan Dra. Sri Yuliani, Apt sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan saran hingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Ir. Putiati Mahdar, MApp.Sc sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

3. Nurdi Setyawan, STP, Moh. Reynaldy PP, dan seluruh tim proyek penelitian dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian atas semua bantuan, semangat, motivasi, arahan, dan nasehat yang sudah diberikan.

4. Keluarga yang sudah memberikan doa, dukungan, semangat, nasehat, perhatian, dan kasih sayang yang tulus sehingga penulis selalu termotivasi untuk berusaha memberikan yang terbaik.

5. Isron, Andri, Dadang, dan seluruh teman-teman asrama Sylvasari yang sudah ikut membantu dalam penelitian ini.

6. Teman-teman Wisma Nerita (Nyoti, Endah, Na’ul, Agusti, Yuli, Dinda, Hima, Arni, Martha, Nita) yang selalu mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Teman-teman TEP, TIN dan ITP serta semua pihak yang sudah membantu menyelesaikan skripsi ini dan tidak bisa disebutkan satu persatu.

Akhir kata, semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Januari 2010

(7)

ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi I. PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Tanaman Wortel ... 4

B. Makanan Ringan Berminyak ... 5

C. Pengemasan ... 6

1. Fungsi dan Peranan Kemasan ... 6

2. Kemasan Polipropilen (PP) ... 7

D. Pendugaan Umur Simpan ... 9

1. Reaksi Ordo Nol ... 11

2. Reaksi Ordo Satu ... 12

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 13

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

B. Bahan dan Alat ... 13

C. Tahapan Penelitian ... 13

1. Persiapan bahan ... 13

2. Penyimpanan dengan kemasan ... 14

3. Analisis parameter mutu kritis keripik wortel ... 14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

A. Karakteristik Produk Sebelum Penyimpanan ... 17

B. Perubahan Mutu Produk Selama Penyimpanan ... 17

1. Perubahan Kerenyahan ... 18

2. Perubahan Kadar Air... 20

(8)

iii

4. Perubahan Kecerahan Warna ... 25

C. Organoleptik ... 26

1. Penerimaan Sensori Kerenyahan ... 27

2. Penerimaan Sensori Aroma... 28

3. Penerimaan Sensori Rasa ... 30

4. Penerimaan Sensori Warna ... 31

D. Pendugaan Umur Simpan ... 32

1. Penentuan Ordo Reaksi ... 33

2. Persamaan Arrhenius ... 36

3. Perhitungan Umur Simpan ... 37

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

A. Kesimpulan ... 41

B. Saran ... 41

(9)

iv DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil analisis karakteristik kemasan ... 9 Tabel 2. Karakteristik keripik wortel. ... 18

Tabel 3 Perubahan kadar betakaroten ... 26

Tabel 4. Persamaan garis penurunan mutu keripik wortel dan R2 berdasarkan analisis organoleptik ... 34

Tabel 5. Persamaan garis penurunan mutu keripik wortel dan R2 berdasarkan analisis fisikokimia ... 35

Tabel 6. Persamaan Arrhenius penurunan mutu keripik wortel dan R2 berdasarkan analisis organoleptik ... 36

Tabel 7. Persamaan Arrhenius penurunan mutu keripik wortel dan R2 berdasarkan analisis fisikokimia ... 36 Tabel 8. Nilai mutu awal dan batas mutu kritis keripik wortel berdasarkan analisis

organoleptik ... 37

Tabel 9. Nilai mutu awal dan batas mutu kritis keripik wortel berdasarkan analisis fisikokimia ... 38 Tabel 10. Nilai k pada suhu ruang (25oC) ... 38

(10)

v DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Wortel segar ... 4

Gambar 2. Grafik antara nilai ln k dan 1/T dalam persamaan Arrhenius ... 11

Gambar 3. Bagan alir penelitian... 16

Gambar 4. Keripik wortel yang baru diolah... 17

Gambar 5. Grafik hubungan antara penyimpanan (hari) dengan kerenyahan (N) 19 Gambar 6. Grafik hubungan antara penyimpanan (hari) dengan kadar air (%bb) 20 Gambar 7. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar asam lemak bebas (%FFA) ... 23

Gambar 8. Grafik hubungan penyimpanan (hari) dengan perubahan kecerahan warna (L) ... 26

Gambar 9. Diagram penerimaan sensori kerenyahan selama penyimpanan ... 28

Gambar 10. Diagram penerimaan sensori aroma selama penyimpanan ... 29

Gambar 11. Diagram penerimaan sensori rasa selama penyimpanan ... 30

(11)

vi DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data uji kerenyahan keripik wortel ... 44

Lampiran 2. Data uji kadar air keripik wortel ... 45

Lampiran 3. Data uji kadar asam lemak bebas keripik wortel ... 46

Lampiran 4. Data uji kecerahan warna (lightness) keripik wortel ... 47

Lampiran 5. Data uji kesukaan keripik wortel ... 48

(12)

1 I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wortel merupakan salah satu komoditas sayuran yang sangat dikenal masyarakat Indonesia dan populer sebagai sumber vitamin A karena mengandung senyawa karoten (provitamin A). Menurut data yang diperoleh BPS, pada tahun 2008 produksi wortel di Indonesia mencapai 367 111 ton.

Masalah yang dihadapi dalam agribisnis wortel terjadi pada saat panen raya, dimana ketersediaan wortel sangat banyak dan melebihi permintaan pasar. Akibatnya wortel yang mempunyai daya simpan rendah menjadi cepat busuk. Kondisi ini menuntut usaha penanganan pascapanen yang baik untuk menekan kehilangan hasil dan meningkatkan nilai tambah wortel.

Pemanfaatan wortel segar menjadi keripik wortel merupakan salah satu usaha untuk mengatasi pendeknya umur simpan wortel segar. Selain itu juga sebagai gaya hidup yang menuntut tersedianya makanan sehat siap santap (dalam bentuk keripik/snack) yang banyak mengandung serat dan dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan teknologi pengolahan pangan yang tepat untuk mengurangi kerusakan dan kebusukan.

Keripik wortel harus memenuhi kepuasan konsumen. Menurut Hambali (2007), kemudahan dalam pemakaian serta tidak terjadi penyimpangan terhadap warna, aroma, dan rasa merupakan beberapa parameter yang diinginkan oleh konsumen. Selama proses penanganan, pengolahan, penyimpanan dan distribusi produk pangan, mutu pangan akan mengalami perubahan karena adanya interaksi dengan berbagai faktor, baik faktor lingkungan eksternal atau faktor lingkungan internal (Hariyadi, 2001). Data tentang interaksi-interaksi yang mungkin terjadi sebaiknya diketahui dengan baik sehingga dapat dilakukan perhitungan-perhitungan mengenai umur simpan dalam usaha-usaha meminimalisasi kerusakan dan memaksimumkan masa simpan.

Umur simpan ditentukan oleh faktor kritis yang paling cepat rusak. Faktor-faktor yang memperpendek masa simpan diantaranya bahan mentah berkualitas rendah, kondisi pengolahan yang buruk, kondisi pengemasan yang tidak baik, kondisi penyimpanan atau distribusi penjajaan yang kurang baik.

(13)

2

Pada tahun 2007, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian telah diperoleh teknologi pengolahan wortel siap santap/keripik wortel (langsung makan) dengan cara penggorengan vakum. Kombinasi perlakuan pembumbuan basah dan suhu penggorengan vakum (60-70)°C menghasilkan produk wortel kering yang paling baik dengan kadar protein (7.4%), kadar FFA (0.5 %), vitamin A (302.2 ppm), dan kadar serat (8.8%). Hasil analisis organoleptik, produk wortel kering dengan perlakuan pembumbuan basah dan suhu penggorengan vakum (60-70)°C paling disukai oleh panelis (Setyawan, 2007).

Pengemasan merupakan salah satu proses penting untuk mencegah atau menghambat penurunan mutu produk. Karena itu, pemilihan bahan pengemas yang tepat serta proses pengemasan yang baik sangat penting untuk menentukan masa kadaluwarsa pangan yang dikemas.

Kemasan yang umum digunakan yaitu kemasan plastik. Karena keripik wortel mempunyai warna yang menarik, sehingga kemasan yang sesuai adalah kemasan transparan. Menurut Hambali (2007), jenis plastik yang digunakan untuk kemasan keripik sayur yaitu plastik polipropilen atau PP.

Setelah produk selesai diproses, maka faktor-faktor penyimpanan, distribusi, dan penjajaan juga akan sangat berpengaruh pada umur simpan produk. Jika penyimpanan, distribusi, dan penjajaan dilakukan secara sembarangan terutama dengan kondisi penyimpanan yang tidak memperhatikan suhu, kelembaban, dan cahaya akan berakibat pada pengurangan masa simpan (Hariyadi, 2001).

Ketebalan plastik berkaitan dengan kemampuan gas dan uap air untuk menembus dinding suatu bahan kemasan. Adanya gas dan uap air akan mempengaruhi produk selama penyimpanan. Suhu penyimpanan yang terlalu tinggi juga akan mempengaruhi reaksi enzimatis produk. Sehingga produk akan cenderung lebih cepat rusak jika disimpan dalam ruangan yang mempunyai suhu yang tinggi.

(14)

3 B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menentukan parameter mutu kritis keripik wortel yang dikemas dengan polipropilen selama penyimpanan.

2. Menduga umur simpan keripik wortel yang dikemas dalam polipropilen dengan metode akselerasi.

(15)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Wortel

Wortel (Daucus carota) adalah tumbuhan sayur yang ditanam sepanjang tahun, terutama di daerah pegunungan yang memiliki suhu udara dingin dan lembab, kurang lebih pada ketinggian 1200 meter di atas permukan laut.

Sayuran ini sudah sangat dikenal masyarakat Indonesia dan populer sebagai sumber vitamin A karena memiliki senyawa karoten (provitamin A). Beta karoten merupakan bagian penting dari karoten. Jika tubuh diberi asupan beta karoten maka tubuh akan membentuk vitamin A sesuai yang diperlukan tubuh sehingga menyantap wortel menjadikan cara yang aman untuk memperoleh vitamin A.

Selain itu, wortel juga mengandung vitamin B dan C, serta zat-zat lain yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Sosok tanamannya berupa rumput dan menyimpan cadangan makanan dalam umbi. Mempunyai batang pendek, berakar tunggang yang bentuk dan fungsinya berubah menjadi umbi bulat dan memanjang. Umbi berwarna kuning kemerah-merahan, berkulit tipis, dan jika dimakan mentah terasa renyah dan agak manis (Gambar 1).

Gambar 1. Wortel segar

Menurut para botanis, wortel (Daucus carota) dapat dibedakan atas beberapa jenis, diantaranya:

1. Jenis Imperator, yakni wortel yang memiliki umbi akar berukuran panjang dengan ujung meruncing dan rasanya kurang manis.

2. Jenis Chantenang, yakni wortel yang memiliki umbi akar berbentuk bulat panjang dan rasanya manis.

3. Jenis Mantes, yakni wortel hasil kombinasi dari jenis wortel imperator dan

(16)

5

Adapun klasifikasi wortel dalam taksonomi tumbuhan adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Umbilleferales Famili : Umbilleferae Genus : Daucus

Spesies : Daucus carota

Wortel dapat dipanen 100 hari tergantung dari jenisnya. Pemanenan tidak boleh terlambat karena umbi akan semakin mengeras (berkayu) sehingga tidak disukai konsumen Pembersihan dilakukan dengan cara melepas untaian yang menempel pada umbi wortel kemudian dilakukan pencucian.

B. Makanan Ringan Berminyak

Makanan ringan berminyak merupakan jenis makanan ringan yang mengandung minyak baik yang berasal dari bahan baku maupun dari minyak yang digunakan untuk menggoreng. Pembuatan atau pengolahannya dapat dilakukan dengan menggunakan sistem penggorengan merendam (deep frying) dan sistem penggorengan biasa (pan frying). Penggorengan merupakan proses pemasakan dengan prinsip pengurangan kandungan air bahan dengan menggunakan minyak goreng sebagai medium pemanasan (Hariyadi, P, 2008).

Teknologi penggorengan memungkinkan mengolah aneka produk pangan dalam bentuk keripik (chip). Tekanan rendah memungkinkan mengolah komoditi peka panas seperti buah dan sayuran menjadi hasil olahan berupa keripik (chip). Pada kondisi vakum suhu penggorengan dapat diturunkan menjadi 70 - 85oC karena penurunan titik didih air sehingga produk yang dapat mengalami kerusakan baik warna, aroma, rasa dan nutrisi akibat panas dapat diproses. Selain itu kerusakan minyak dan akibat-akibat yang ditimbulkan dapat diminimumkan, karena proses dilakukan pada suhu dan tekanan rendah (Sofyan. I, 2004).

Menurut Taoukis et al. (1998), makanan kering seperti keripik mengalami kehilangan kerenyahan dengan tekstur yang tidak diterima pada aw (aktivitas air)

(17)

6

antara 0.35-0.50. Aktivitas air merupakan jumlah air yang tersedia untuk pertumbuhan mikroba. Saat aw meningkat, maka akan terjadi rekristalisasi pembebasan air khususnya pada makanan yang mengandung gula atau karbohidrat. Keadaan ini membuat tekstur dan mutu menjadi menurun. Nilai aw kritis mempengaruhi proses pengawetan maupun penyimpanan makanan seperti oksidasi lipid dan pencoklatan non enzimatik.

Keterlibatan uap air pada jenis makanan berminyak akan menyebabkan terjadinya proses hidrolisis pada minyak menjadi asam lemak bebas dan gliserol yang akan menimbulkan ketengikan produk. Adanya gas (oksigen) menyebabkan terjadinya proses oksidasi minyak atau lemak sehingga terbentuk peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya adalah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehida dan keton serta asam-asam lemak bebas. Senyawa aldehida ini akan menyebabkan ketengikan (Ketaren, 1989).

C. Pengemasan

Pengemasan merupakan salah satu proses dalam industri yang memegang peranan penting dalam upaya mencegah terjadinya penurunan mutu produk. Pengemasan harus dilakukan dengan benar, karena pengemasan yang salah dapat mengakibatkan produk menjadi tidak memenuhi syarat mutunya (Bukcle,et al., 1987).

Menurut Agoes (2004) kemasan yang ideal adalah apabila secara kimia inert total, dan memungkinkan bahan makanan mempertahankan karakteristik aslinya namun pada kenyataannya jarang sekali bahan pengemas yang betul-betul inert. Beberapa reaksi tidak dapat dihindari atau dicegah tergantung pada sifat-sifat bahan pengemas dan tipe makanan yang diawetkan.

1. Fungsi dan Peranan Kemasan

Fungsi kemasan yang utama adalah sebagai wadah, pelindung, sarana informasi dan promosi serta memberikan kemudahan-kemudahan baik bagi produsen maupun konsumen (Reksohadinoto, 1991). Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai (a) wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan, dan distribusi; (b) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar

(18)

7

dan kerusakan; (c) menambah daya tarik produk. Menurut Winarno dan Jennie (1983), pengemasan bahan pangan juga bertujuan untuk : (a) mengawetkan bahan pangan, mempertahankan mutu dan kesegaran, menarik selera konsumen; (b) memberikan kemudahan dalam penyimpanan dan distribusi; (c) menekan peluang kontaminasi dari lingkungan sekitar.

Pengemasan sebagai bagian integral dari proses produksi dan pengawetan bahan pangan dapat mempengaruhi mutu produk seperti perubahan fisik dan kimia. Hal ini dikarenakan adanya migrasi zat-zat kimia dari bahan kemasan serta perubahan aroma, warna dan tekstur yang dipengaruhi oleh uap air dan oksigen. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Sebagai akibat adanya peningkatan kadar air pada produk, maka akan tumbuh jamur dan bakteri, pengerasan pada produk bubuk dan pelunakan pada produk kering (Syarief et

al.,1989).

Bahan pangan memiliki sifat kepekaan yang berbeda-beda terhadap penyerapan atau pengeluaran gas (udara) dan uap air. Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan uap air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut (Purnomo dan Adiono, 1987). Produk kering terutama yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Oleh sebab itu harus dikemas dalam kemasan yang mempunyai permeabilitas air yang rendah untuk mencegah produk yang berkadar gula tinggi merekat atau produk-produk tepung menjadi basah sehingga tidak lagi bersifat mawur (Syarief et al., 1989).

Persyaratan kemasan untuk bahan pangan antara lain adalah permeabilitas terhadap udara kecil, tidak menyebabkan penyimpangan warna produk, tidak bereaksi dengan produk sehingga merusak citarasa, tidak mudah teroksidasi atau bocor, tahan panas, mudah diperoleh, dan harganya murah (Winarno dan Jennie, 1983).

2. Kemasan Polipropilen (PP)

(19)

8

propilen. Jenis plastik ini dikembangkan sejak tahun 1950 dengan berbagai nama dagang, seperti : bexphane, dynafilm, luparen, escon, olefane, pro fax.

Film plastik propilen dihasilkan dari polimerasi propilen. Film ini lebih kaku, terang, dan kuat dibandingkan polietilen, stabil pada suhu tinggi, memiliki ketahanan yang baik terhadap lemak, permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang serta memiliki titik lebur tinggi sehingga sulit untuk direkat dengan panas.

Polipropilen mempunyai densitas yang sangat rendah yaitu sekitar 0.9 g/cm3, mudah dibentuk, tembus pandang dan ketahan kikis lebih besar, transparan, lebih mengkilap dan permukaannya halus (Syarief et al., 1989).

Kemasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemasan plastik polipropilen (PP) dengan tingkat ketebalan yang berbeda-beda. Ketebalan plastik polipropilen yang digunakan antara lain 30 µm, 50 µm, dan 80 µm. Pemilihan ketebalan plastik tersebut didasarkan pada ketersediaannya di pasaran.

Sifat-sifat fisik kemasan perlu diuji berdasarkan kaitannya terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan. Menurut Herawati (2008), mekanisme penurunan mutu pada produk sejenis keripik adalah penyerapan air dan oksidasi. Pada tahun 2009, telah dilakukan pengujian sifat fisik kemasan meliputi ketebalan, laju transmisi gas oksigen (O2TR), dan laju transmisi uap air (WVTR) yang dilakukan di Balai Besar Kimia Kemasan, Jakarta. Hasil pengujian sifat fisik kemasan dapat dilihat pada Tabel 1.

Pengujian ketebalan kemasan berkaitan dengan daya tembus uap air dan oksigen terhadap dinding kemasan. Pengujian laju transmisi gas oksigen (O2TR) berkaitan dengan ketersediaan oksigen dalam kemasan. Oksigen berperan dalam reaksi oksidasi yang bisa menimbulkan bau yang tidak enak pada produk atau disebut juga tengik. Begitu pun dengan pengujian laju transmisi uap air. Uap air berperan dalam reaksi hidrolisis pada makanan ringan berminyak sehingga bisa menimbulkan ketengikan pada produk. Tidak dilakukan pengujian terhadap laju transmisi gas lain karena menurut Ketaren (1989), reaksi yang penting pada minyak dan lemak adalah hidrolisis dan oksidasi.

Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa ketebalan kemasan plastik polipropilen berbanding terbalik dengan nilai WVTR. Semakin meningkat

(20)

9

ketebalan kemasan, nilai WVTR akan semakin rendah. Hal ini menunjukkan semakin tebal kemasan maka daya permeabilitas kemasan terhadap air semakin rendah.

Berbeda dengan hasil analisis O2TR terhadap masing-masing kemasan. Nilai O2TR paling tinggi pada kemasan plastik polipropilen dengan ketebalan 50 µm dan menunjukkan nilai yang paling rendah pada kemasan plastik polipropilen yang mempunyai ketebalan 80 µm. Berbeda dengan pernyataan Fick (1855) dalam Kirwan (2003) bahwa kuantitas dari difusi gas sebanding dengan ketebalan lapisan. Hal ini bisa dikarenakan beberapa faktor diantaranya keanekaragaman struktur molekul jenis dan tingkat kepolaran(Kirwan, 2003).

Tabel 1. Hasil analisis karakteristik kemasan

No Ketebalan Polipropilen (µm) WVTR* (g/m2/24jam) O2TR** (cc/m2/24jam) 1 30 8.3685 79.2529 2 50 7.1380 125.8803 3 80 4.1320 67.9188 *Temperatur = 37.8oC, RH = 100% ** Temperatur = 21oC, RH = 55%

Sumber : Laporan hasil uji laboratorium uji dan kalibrasi BBKK, 2009

D. Pendugaan Umur Simpan

Menurut Spigel (1992), penentuan umur simpan secara umum adalah penanganan suatu produk dalam suatu kondisi yang dikehendaki dan dipantau setiap waktu sampai produk mengalami kerusakan. Umur simpan produk berkaitan erat dengan nilai kadar air kritis, suhu, dan kelembaban.

Proses perkiraan umur simpan menurut Hine (1987), sangat tergantung pada tersedianya data mengenai:

1. Mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas.

2. Unsur-unsur yang terdapat di dalam produk yang langsung mempengaruhi laju penurunan mutu produk.

3. Mutu produk dalam kemasan.

(21)

10

5. Mutu produk pada saat dikemas.

6. Mutu minimum dari produk yang masih dapat diterima. 7. Variasi iklim selama distribusi dan penyimpanan.

8. Resiko perlakuan mekanis selama distribusi dan penyimpanan yang mempengaruhi kebutuhan kemasan.

9. Sifat barrier pada bahan kemasan untuk mencegah pengaruh unsur-unsur luar yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan mutu produk.

Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan makanan yang dikemas adalah sebagai berikut:

1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik.

2. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volumenya.

3. Kondisi atmosfir (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan.

4. Ketahanan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat. Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage

Studies (ASS). ESS atau sering disebut metode konvensional adalah penentuan

tanggal kadaluwarsa dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun memerlukan waktu yang lama dan analisis parameter yang relatif banyak. Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi penurunan mutu produk pangan. Kelebihan metode ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi.

Metode akselerasi pada dasarnya adalah metode kinetik yang disesuaikan untuk produk-produk pangan tertentu. Model-model yang diterapkan pada penelitian akselerasi ini menggunakan dua cara pendekatan yaitu : (1) Pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air

(22)

11

sebagai kriteria kadaluwarsa dan (2) pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk produk pangan.

Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi sebagai senyawa kimia akan semakin cepat. Untuk menentukan kecepatan reaksi kimia bahan pangan dalam kaitannya dengan perubahan suhu, Labuza (1982), menggunakan pendekatan Arrhenius.

Persamaan Arrhenius :

... 1)

Dimana, k : konstanta kecepatan reaksi k0 : konstanta pre-eksponensial Ea : energi aktivasi (kkal/mol) R : konstanta gas (1.986 kal/mol) T : suhu mutlak (K)

Persamaan di atas dapat diubah menjadi:

ln k = ln k0 – (Ea/RT) ... 2)

maka akan diperoleh kurva berupa garis linear pada plot nilai ln k terhadap 1/T dengan slope –Ea/R seperti pada gambar berikut ini.

Gambar 2. Grafik antara nilai ln k dan 1/T dalam persamaan Arrhenius

Nilai umur simpan dapat diketahui dengan memasukkan nilai perhitungan ke dalam persamaan reaksi Ordo nol atau satu. Menurut Labuza (1982), reaksi kehilangan mutu pada makanan banyak dijelaskan oleh reaksi Ordo nol dan satu, sedikit yang dijelaskan oleh ordo reaksi lain.

1. Reaksi Ordo Nol

Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi Ordo nol meliputi reaksi kerusakan enzimatis, pencoklatan enzimatis dan oksidasi (Labuza, 1982). Penurunan mutu ordo reaksi nol adalah penurunan mutu yang konstan.

1/T ln k -Ea/R

(23)

12

Kecepatan penurunan mutu tersebut berlangsung tetap pada suhu konstan dan digambarkan dengan persamaan berikut:

... 3)

Untuk menentukan jumlah kehilangan mutu, maka dilakukan integrasi terhadap persamaan:

At – Ao = - kt ... 4)

Dimana, At : jumlah A pada awal waktu t Ao : jumlah awal A

2. Reaksi Ordo Satu

Tipe kerusakan bahan pangan yang mengikuti kinetika reaksi Ordo satu meliputi: ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off-flavor (penyimpangan flavor) oleh mikroba pada daging, ikan, dan unggas, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein, dan lain sebagainya (Labuza, 1982).

Persamaan reaksinya:

... 5)

Untuk menentukan jumlah kehilangan mutu, maka dilakukan integrasi terhadap persamaan:

ln At – ln Ao = - kt

Dimana: At : jumlah A pada awal waktu t Ao : jumlah awal A

(24)

13

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai pengaruh ketebalan kemasan polipropilen (PP) dan suhu penyimpanan terhadap umur simpan keripik wortel dilaksanakan pada bulan Maret 2009 – Oktober 2009. Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian, Balai Besar Industri Agro, Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

B. Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah wortel yang diperoleh dari sentra produksi atau pasar. Wortel dipilih yang segar dan tidak cacat. Bahan penunjangnya yang digunakan antara lain minyak goreng, bahan bakar gas/LPG, larutan CaCl2, kemasan PP, dan bahan-bahan untuk keperluan analisis.

Alat yang digunakan untuk penelitian ini antara lain pisau, slicer, panci, kain kasa, kompor gas, vacuum fryer, sealer, dan peralatan analisis. Peralatan analisis yang digunakan antara lain timbangan untuk mengukur berat basah dan berat kering produk, rheometer untuk mengukur kerenyahan produk, oven untuk mengukur kadar air produk, dan alat titrasi untuk uji asam lemak bebas.

C. Tahapan Penelitian

Pada penelitian ini menerapkan dua macam perlakuan pada keripik wortel selama penyimpanan yaitu perlakuan pengemasan dan suhu penyimpanan. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

1. Persiapan bahan

Keripik wortel sebagai bahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil produksi sendiri yang dilakukan di Balai Besar Industri Agro, Bogor. Proses produksinya melalui beberapa tahapan.

Bahan baku pembuatan keripik wortel adalah wortel segar yang berasal dari Pasar Bogor. Wortel tersebut dipilih yang tidak cacat dan berukuran relatif besar.

(25)

14

Wortel dibawa ke laboratorium pengolahan Balai Besar Industri Agro. Setelah itu, wortel dipotong lalu diiris menggunakan slicer dengan ketebalan yang seragam ( 3 mm) lalu dicuci sampai bersih menggunakan air mengalir. Setelah itu dilakukan perendaman dalam larutan CaCl2 (1000 ppm) selama 30 menit. Setelah wortel direndam, wortel dibekukan di dalam freezer dengan suhu -10oC selama 24 jam.

Wortel yang sudah dibekukan, kemudian digoreng vakum pada suhu 85oC selama 45 menit sehingga menjadi keripik wortel. Setelah penggorengan, keripik wortel dipisahkan dari minyak goreng yang masih menempel dengan menggunakan sentrifuse selama 5 menit.

2. Penyimpanan dengan kemasan

Perlakuan pengemasan dan penyimpanan yang diaplikasikan pada penelitian ini ada dua faktor: (1) keripik wortel dikemas dengan plastik film PP; dengan ketebalan kemasan pada 3 (tiga) tingkat ketebalan 30 µm, 50 µm ,dan 80 µm; dan (2) keripik wortel yang telah dikemas kemudian dimasukkan ke dalam ruang penyimpanan/ inkubator pada 3 (tiga) suhu penyimpanan yaitu suhu 30oC (80%), suhu 37oC (55%), dan suhu 45 C (28%) selama 2 (dua) bulan atau sampai produk rusak. Suhu penyimpanan tersebut diperoleh dengan mengatur suhu inkubator secara digital.

Tiap kemasan diisi dengan 50 gram keripik wortel. Penyimpanan di masing-masing perlakuan dilakukan selama 8 minggu atau 56 hari.

3. Analisis mutu kritis keripik wortel

Analisis yang dilakukan terhadap keripik wortel meliputi sifat fisik, sifat kimia, dan organoleptik yang dilakukan selama penyimpanan.

a. Analisis Sifat Fisik Produk

Analisis mutu fisik keripik wortel selama penyimpanan adalah kerenyahan dan warna. Kerenyahan secara objektif diukur menggunakan alat rheometer dibantu kertas grafik yang ada di laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Warna secara objektif diukur menggunakan alat colortech-PCM di laboratorium Pengemasan, Institut Pertanian Bogor.

(26)

15

b. Analisis Sifat Kimia Produk

Setiap minggunya dilakukan analisis sifat kimia produk meliputi kadar air dengan metode oven (AOAC, 1984) dan kadar asam lemak bebas dengan metode titrasi (SNI 01-4305-1996). Pada awal penyimpanan dilakukan pula pengujian terhadap kadar betakaroten dengan metode spektro, kadar abu (SNI 01-2891-1992), kadar lemak (AOAC, 1984), dan kadar serat pangan dengan metode enzimatis.

c. Analisis Organoleptik

Analisis organoleptik meliputi warna, aroma, sifat renyah/crunchy, dan rasa. Analisis ini menggunakan sistem skor melalui uji kesukaan (hedonik) berdasarkan metode Soekarto (1986). Skor kesukaan ditentukan dengan lima nilai skala hedonik yaitu :1 = Tidak suka, 2 = Agak tidak suka, 3 = Netral, 4 = Agak suka, 5 = Suka. Pengamatan dilakukan setiap 7 (tujuh) hari sekali selama 8 (delapan) minggu pada masing-masing perlakuan.

d. Pendugaan Umur Simpan

Langkah-langkah pendugaan umur simpan dibantu dengan menggunakan program Excel. Analisis meliputi:

1) Menghitung rata-rata setiap kondisi suhu dan waktu penyimpanan.

2) Menghitung nilai slope (k), konstanta (intersep), dan koefisien regresi (R2) dari fungsi waktu penyimpanan (sumbu x) terhadap parameter mutu (sumbu y) pada setiap kondisi suhu penyimpanan. Untuk menghitungnya menggunakan dua model hubungan, model Ordo 0 dan Ordo 1. Model mana yang akan dipilih, berdasarkan pada koefisien regresi yang paling besar.

3) Menghitung nilai slope (Ea/R), konstanta (intersep), koefisien regresi (R2) hubungan nilai slope k terhadap suhu dengan menggunakan rumus Arrhenius.

4) Menghitung umur simpan pada berbagai suhu penyimpanan yang diinginkan.

5) Membandingkan umur simpan berdasarkan parameter organoleptik dan parameter fisikokimia.

(27)

16

Gambar 3. Bagan alir penelitian

Wortel Sortasi Pencucian Pengirisan Perendaman Penirisan Pembekuan Penggorengan Penirisan minyak Keripik Wortel Pengemasan

Polipropilen 30 µm Polipropilen 50 µm Polipropilen 80 µm Penyimpanan

Suhu 30oC Suhu 37oC Suhu 45oC

Analisis :

1. Fisika : kecerahan warna, kerenyahan 2. Kimia : kadar air, asam lemak bebas

3. Organoleptik : warna, rasa, aroma, kerenyahan

Pendugaan umur simpan

Berasal dari sentra produksi atau pasar

Segar, tidak cacat

Menggunakan slicer

dengan ketebalan h = 3 mm Dengan air mengalir yang bersih

Dalam larutan CaCl2 1000 ppm selama 30 menit

Dengan vacuum frying; t = 45 menit,

T = 85oC, P = -72 cmHg

Dalam freezer pada suhu -10oC selama 24 jam

Metode akselerasi

(28)

17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Produk Sebelum Penyimpanan

Kondisi mutu bahan baku akan sangat berpengaruh pada mutu produk akhir yang dihasilkan, termasuk pada masa simpan atau masa kadaluwarsanya. Bahan baku awal sebelum pengolahan adalah wortel segar lokal yang diperoleh dari Pasar Bogor. Wortel yang akan diolah mempunyai kadar air rata-rata 91.8%bb. Wortel segar tersebut kemudian diolah menjadi keripik wortel dengan menggunakan alat vacuum fryer. Penggunaan vacuum fryer diharapkan bisa mempertahankan warna dan rasa produk akhir serta mengurangi kehilangan zat-zat yang berguna selama pengolahan.

Proses pengolahan wortel menjadi keripik wortel dilakukan di Balai Besar Industri Agro, Bogor. Karakteristik keripik wortel hasil penggorengan dengan

vacuum fryer disajikan pada Tabel 2. Gambar 4 menunjukkan penampakan fisik

keripik wortel yang baru diolah.

Gambar 4. Keripik wortel yang baru diolah

B. Perubahan Mutu Produk Selama Penyimpanan

Selama penyimpanan di berbagai suhu, produk mengalami perubahan mutu seperti tekstur, flavor, dan warna. Hal ini disebabkan oleh proses deteriorasi. Deteriorasi merupakan penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya. Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan (Arpah, 2001).

Beberapa parameter perubahan mutu yang diamati pada penelitian ini antara lain kadar air, kerenyahan, kadar asam lemak bebas, dan kecerahan warna.

(29)

18

Tabel 2. Karakteristik keripik wortel.

No Karakteristik mutu produk Nilai

1. Air 3.3%bb

2. Abu 3.9%

3. Betakaroten 6.03 ppm

4. Serat pangan 29.0%

5. Lemak total 56.5%

6. Asam lemak bebas 0.2%

7. Kerenyahan 0.07 N

8. Kecerahan warna L 40.61

1. Perubahan Kerenyahan

Selama penyimpanan, terjadi penyimpangan-penyimpangan yang menyebabkan produk pangan tidak menyerupai tekstur seperti pada awal penyimpanan. Perubahan tekstur tersebut berupa kurang renyah (alot) atau produk susah dipatahkan yang menyebabkan produk tidak dapat dikonsumsi.

Kerenyahan merupakan faktor penting dalam penentuan karakteristik mutu keripik wortel. Selama penyimpanan, nilai kerenyahan (N) mengalami peningkatan. Semakin besar nilai kerenyahan (N) maka semakin alot (kurang renyah) keripik wortel tersebut dan kurang disukai oleh panelis (Gambar 6). Hal ini dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan kelembaban relatif. Data peningkatan nilai kerenyahan terdapat pada Lampiran 1.

Berdasarkan Gambar 5 penurunan kernyahan keripik wortel sangat erat kaitannya dengan karakteristik ketebalan kemasan. Jika dibandingkan sesuai dengan ketebalannya pada suhu yang sama maka kemasan PP dengan ketebalan 80 µm mampu mempertahankan nilai kerenyahan selama penyimpanan. Hal ini berkaitan dengan sifat permeabilitas kemasan terhadap uap air yang diperlihatkan dari nilai WVTR masing-masing kemasan. Pada Tabel 1 terlihat bahwa nilai WVTR dari kemasan PP pada tingkat ketebalan 80 µm paling rendah dibandingkan kemasan PP pada tingkat ketebalan 30 µm dan 50 µm. Kemasan PP 80 µm mampu menahan laju transmisi uap air dari luar ke dalam kemasan begitu

(30)

19

pun sebaliknya. Sehingga kemasan tersebut dapat menghambat penyerapan uap air ke produk.

Selain ketebalan kemasan, suhu penyimpanan juga sangat mempengaruhi perubahan mutu ketenyahan selama penyimpanan. Pada umumnya, keripik wortel yang disimpan di suhu yang lebih tinggi penurunan kerenyahannya relatif lebih kecil. Hal ini dikarenakan kelembaban relatif (RH) yang rendah sehingga penyerapan air ke produk pun sedikit.

Gambar 5. Grafik hubungan antara penyimpanan (hari) dengan kerenyahan (N)

Keterangan gambar :

30Ap = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 50Ap = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 80Ap = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 30Bp = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 50Bp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 80Bp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 30Cp = PP ketebalan 30pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 50Cp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 80Cp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH)

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0 10 20 30 40 50 60 p e n u ru n an ke re n yah an (N ) penyimpanan (hari) 30Ap 30Bp 30Cp 50Ap 50Bp 50Cp 80Ap 80Bp 80Cp

(31)

20

2. Perubahan Kadar Air

Kelembaban relatif yang tinggi dalam ruang penyimpanan menyebabkan produk menyerap sejumlah air dari lingkungan sehingga kadar air pada produk meningkat dan mempengaruhi nilai kerenyahan. Data peningkatan kadar air selama penyimpanan terdapat pada Lampiran 2.

Katz dan Labuza (1981) dalam Nurcahyanti (2005) menduga air melarutkan dan melunakkan matriks pati atau protein yang ada pada sebagian besar bahan pangan yang mengakibatkan perubahan kekuatan mekanik termasuk kerenyahan.

Gambar 6. Grafik hubungan antara penyimpanan (hari) dengan kadar air (%bb) Keterangan gambar :

30Ap = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 50Ap = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 80Ap = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 30Bp = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 50Bp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 80Bp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 30Cp = PP ketebalan 30pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 50Cp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH)

0.0000 1.0000 2.0000 3.0000 4.0000 5.0000 6.0000 7.0000 8.0000 9.0000 10.0000 0 10 20 30 40 50 60 kad ar ai r ( % b b ) penyimpanan (hari) 30Ap 30Bp 30Cp 50Ap 50Bp 50Cp 80Ap 80Bp 80Cp

(32)

21

80Cp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH)

Berdasarkan Gambar 6 keripik wortel yang disimpan pada suhu 30oC (80% RH) cenderung lebih cepat mengalami peningkatan kadar air terutama keripik wortel yang dikemas dalam kemasan PP dengan ketebalan 30 µm dan 50 µm. kadar air keripik wortel yang dikemas dalam PP dengan ketebalan 30 µm dan disimpan pada suhu 30oC dan berkisar antara 3.3-8.6%bb. Keripik wortel yang dikemas dalam PP ketebalan 50 µm mempunyai kisaran kadar air 3.3-6.2%bb. Keripik wortel yang dikemas dalam PP ketebalan 80 µm mempunyai kisaran kadar air 3.3-5.6%bb. Jika dibandingkan sesuai dengan ketebalannya pada suhu yang sama maka kemasan PP dengan ketebalan 80 µm mampu mempertahankan kadar air selama penyimpanan. Begitu pula dengan perlakuan penyimpanan di suhu 37oC (55% RH) dan 45oC (28% RH). Keripik wortel yang dikemas dalam PP ketebalan 80 µm lebih bisa mempertahankan kadar air keripik wortel.

Hal ini berkaitan dengan sifat permeabilitas kemasan terhadap uap air yang diperlihatkan dari nilai WVTR masing-masing kemasan. Nilai permeabilitas uap air pada kemasan PP dengan tingkat ketebalan 80 µm lebih kecil jika dibandingkan dengan kemasan yang tingkat ketebalannya 30 µm dan 50 µm. Sehingga kemasan PP dengan ketebalan 80 µm memiliki kemampuan untuk menahan jumlah uap air yang masuk ke dalam bahan kemasan lebih besar. Semakin sedikit jumlah uap air yang dapat menembus bahan kemasan maka produk di dalamnya menjadi lebih terlindungi dan lebih tahan lama.

Bukcle (1985) menjelaskan bahwa kadar air kritis akan berbeda-beda untuk bahan pangan yang sama, tergantung pada jenis reaksi kerusakan tertentu (misalnya pertumbuhan mikroorganisme, pencoklatan non-enzimatis, autooksidasi dan lain-lain).

Menurut Standar Nasional Indonesia (1996), syarat mutu kadar air maksimal produk keripik umbi-umbian rata-rata sebesar 5% bb. Jika mengikuti SNI maka sekitar 54% dari total sampel sudah mencapai kritisnya. Keripik wortel yang dikemas plastik PP dengan ketebalan 30 µm pada suhu penyimpanan 30oC minggu pertama penyimpanan (7 hari) sudah mencapai kritisnya. Pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH), keripik wortel mencapai kritisnya pada minggu

(33)

ke-22

3 (21 hari) penyimpanan. Sedangkan pada suhu penyimpanan 45oC (28% RH), keripik wortel mencapai kritisnya pada minggu ke-7 (49 hari) penyimpanan.

Keripik wortel yang dikemas plastik PP dengan ketebalan 50 µm pada suhu penyimpanan 30oC minggu ke-2 (14 hari) penyimpanan sudah mencapai kritisnya. Pada suhu penyimpanan 37oC (55% RH), keripik wortel mencapai kritisnya pada minggu ke-4 (28 hari) penyimpanan. Sedangkan pada suhu penyimpanan 45oC (28% RH), keripik wortel mencapai kritisnya pada minggu ke-7 (49 hari) penyimpanan.

Keripik wortel yang dikemas plastik PP dengan ketebalan 80 µm pada suhu penyimpanan 30oC (80% RH) minggu ke-4 (28 hari) penyimpanan sudah mencapai kritisnya. Pada suhu penyimpanan 37oC (55% RH), keripik wortel mencapai kritisnya pada minggu ke-6 penyimpanan (42 hari). Sedangkan pada suhu penyimpanan 45oC (28% RH), sampai penyimpanan minggu ke-8 kadar air keripik wortel masih dibawah SNI sehingga keripik wortel masih diterima.

Jika batas kritis kadar air diambil dari SNI, maka terlihat adanya pengaruh perlakuan kemasan dan suhu penyimpanan. Semakin tebal kemasan maka produk akan lebih tahan lama karena daya tembus kemasan terhadap uap air semakin kecil. Seperti pada keripik wortel yang dikemas dalam plastik PP dengan ketebalan 80 yang disimpan pada suhu 30oC (80%RH) mampu mempertahankan kadar air di bawah standar mutu SNI sehingga pada minggu ke-3 masih diterima. Jika dilihat dari kadar airnya, penyimpanan di suhu yang tinggi juga mampu mempertahankan mutu keripik wortel sehingga dikatakan masih dapat diterima. Hal ini bisa dikaitkan dengan kelembaban relatif lingkungan penyimpanan (RH). Dimana pada suhu yang tinggi RH nya akan lebih kecil dibandingkan dengan suhu di bawahnya. Sehingga proses penyerapan air ke produk tidak terlalu besar. 3. Perubahan Kadar Asam Lemak Bebas

Perubahan kadar asam lemak bebas pada keripik wortel dalam kemasan PP pada berbagai tingkat ketebalan yang disimpan pada suhu 30oC (80%RH), 37oC (55%RH), dan 45oC (28%RH) selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 4. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar asam lemak bebas (%) dapat dilihat pada Gambar 7.

(34)

23

Gambar 7. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (hari) dengan kadar asam lemak bebas (%FFA)

Keterangan gambar :

30Ap = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 50Ap = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 80Ap = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 30Bp = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 50Bp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 80Bp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 30Cp = PP ketebalan 30pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 50Cp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 80Cp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH)

Pada Gambar 7 menunjukkan adanya peningkatan kadar asam lemak bebas pada keripik wortel yang disimpan selama 8 minggu pada masing-masing perlakuan. Berdasarkan Gambar 7 memperlihatkan adanya perbedaan kadar asam lemak bebas di setiap perlakuan ketebalan kemasan selama penyimpanan pada suhu yang sama.

Menurut Standar Nasional Indonesia, syarat mutu kadar asam lemak bebas maksimal produk keripik umbi-umbian rata-rata sebesar 1%. Jika dilihat dari mutu SNI, maka penerimaan keripik wortel pada seluruh perlakuan sudah

0.0000 0.2000 0.4000 0.6000 0.8000 1.0000 1.2000 1.4000 0 10 20 30 40 50 60 FFA (% ) penyimpanan (hari) 30Ap 30Bp 30Cp 50Ap 50Bp 50Cp 80Ap 80Bp 80Cp

(35)

24

mencapai batas kritisnya karena sudah melewati kadar FFA 1% atau sekitar 19% sampel yang sudah melewati batas kritis tersebut.

Sampel-sampel yang sudah melewati batas kritis menurut SNI atau melebihi 1% FFA antara lain; keripik wortel yang dikemas dengan PP pada tingkat ketebalan 30 µm di penyimpanan suhu 30oC (80%RH) sudah mencapai kritis pada minggu ke-8 (56 hari), begitu juga pada penyimpanan di suhu 37oC sudah mencapai kritis pada minggu ke-8 (56 hari), sedangkan pada penyimpanan di suhu 45oC sudah mencapai kritis pada minggu ke-7 (49 hari) atau lebih cepat satu minggu. Keripik wortel yang dikemas dengan PP pada tingkat ketebalan 50 µm di penyimpanan suhu 30oC (80%RH) sudah mencapai kritis pada minggu ke-7 (49 hari), begitu juga dengan penyimpanan di suhu 37oC dan 45oC. Keripik wortel yang dikemas dengan PP pada tingkat ketebalan 80 µm di penyimpanan suhu 30oC (80%RH) sudah mencapai kritis pada minggu ke-8 (56 hari), begitu juga pada penyimpanan di suhu 37oC (55%RH) sudah mencapai kritis pada minggu ke-8 (56 hari). Sedangkan pada penyimpanan di suhu 45oC, keripik wortel sudah mencapai kritis pada minggu ke-7 (49 hari).

Penyimpanan produk di suhu tinggi akan lebih cepat kritis seperti pada sampel-sampel yang pada minggu ke-7 (49 hari) sudah rusak karena penyimpanan di suhu 45oC (28%RH), begitu pun dengan sifat kemasan. Keripik wortel yang dikemas pada PP ketebalan 50 µm lebih cepat rusak. Hal ini bisa dikarenakan dari nilai O2TR kemasan tersebut yang paling tinggi di antara kemasan lainnya. Menurut Winarno (1977), laju oksidasi lemak berbanding lurus dengan peningkatan suhu dan suplai oksigen, sehingga semakin tinggi suhu penyimpanan dan semakin besar suplai oksigen maka semakin cepat produk mengalami ketengikan.

Ketengikan merupakan salah satu kerusakan lemak yang menyebabkan bahan pangan berlemak mempunyai bau dan rasa yang tidak enak. Kerusakan ini dapat menurunkan mutu dan nilai gizi bahan pangan berlemak (Nurcahyanti, 2005).

Reaksi deteriorasi yang menyebabkan timbulnya off-flavor adalah reaksi oksidasi lemak. Menurut Arpah (2001), penyebab reaksi oksidasi adalah oksigen yang terdapat pada udara, peroksida, logam, dan oksidator lainnya.

(36)

25

Menurut Ketaren (1989), tipe penyebab ketengikan dalam lemak dibagi atas tiga golongan yaitu ketengikan oleh oksidasi, ketengikan oleh enzim, ketengikan oleh proses hidrolisis. Ketengikan oleh oksidasi adalah ketengikan yang terjadi karena proses oksidasi oleh oksigen udara terhadap asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Ketengikan oleh proses hidrolisis adalah kerusakan yang terjadi pada minyak atau lemak karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak atau lemak tersebut. Asam lemak bebas pada keripik wortel merupakan salah satu hasil dari reaksi-reaksi tersebut. Sehingga bisa dijadikan sebagai indikator perubahan flavor pada keripik wortel.

4. Perubahan Kecerahan Warna

Warna merupakan faktor yang pertama kali menjadi pertimbangan manusia dalam menilai sutu makanan. Perubahan warna dapat juga mempengaruhi tingkat penerimaan produk pangan. Menurut Arpah (2001), perubahan warna menunjukkan juga perubahan nilai gizi pada beberapa jenis produk pangan, sehingga perubahan warna dijadikan indikator untuk menunjukkan tingkat nilai gizi maksimum yang diterima.

Pengukuran kecerahan warna secara objektif dinyatakan dalam nilai L. Nilai L menunjukkan kecerahan, dengan kisaran mulai dari 0 sampai 100 dengan pengertian makin tinggi nilai L berarti warna produk semakin putih dan sebaliknya (Pomeranz et al., 1976).

Perubahan kecerahan warna pada keripik wortel dalam kemasan PP pada berbagai tingkat ketebalan yang disimpan pada suhu 30oC (80%RH), 37oC (55%RH), dan 45oC (28%RH) selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 4. Grafik hubungan antara lama penyimpanan (minggu) dengan tingkat kecerahan (L) dapat dilihat pada Gambar 8.

Selama penyimpanan, terjadi kecendurungan penurunan nilai L (kecerahan) pada keripik wortel yang menunjukkan semakin lama disimpan kecerahan warna keripik wortel semakin gelap. Pada penyimpanan di suhu 30oC (80%RH) nilai L berkisar antara 40.61 sampai dengan 33.18 . Pada penyimpanan di suhu 37oC (55%RH) nilai L berkisar antara 40.61 sampai dengan 30.08. Sama halnya pada penyimpanan di suhu 45oC (28%RH), nilai L berkisar antara 40.61 sampai dengan 30.08. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu

(37)

26

penyimpanan maka nilai L akan semakin rendah yang secara visual kecerahan warna akan terlihat lebih gelap. Warna gelap ini timbul bisa disebabkan reaksi pencoklatan non-enzimatis yang terjadi karena suhu yang tinggi (Meyer, 1982).

Kadar betakaroten merupakan salahsatu zat pemberi warna pada suatu produk pangan. Tabel 3 memperlihatkan perubahan betakaroten saat wortel masih dalam bentuk segar/ belum diolah, sesudah diolah menjadi keripik, dan keripik wortel yang sudah melewati batas kritis.

Tabel 3 Perubahan kadar betakaroten

No Produk Kadar β-karoten

1 Wortel segar 7080 ppm

2 Keripik wortel (awal penyimpanan) 6031 ppm

3 Keripik wortel (saat produk rusak/ tidak

diterima konsumen) 3990 ppm

Gambar 8. Grafik hubungan penyimpanan (hari) dengan perubahan kecerahan warna (L)

Keterangan gambar :

30Ap = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 50Ap = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 80Ap = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0 10 20 30 40 50 60 L penyimpanan (hari) 30Ap 50Ap 80Ap 30Bp 50Bp 80Bp 30Cp 50Cp 80Cp

(38)

27

30Bp = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 50Bp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 80Bp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 30Cp = PP ketebalan 30pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 50Cp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 80Cp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH)

C. Organoleptik

Pada analisis organoleptik digunakan uji kesukaan (hedonic test). Menurut Arpah (2001) pemilihan uji hedonik ini sangat dianjurkan untuk produk pangan yang tergolong baru. Keripik wortel yang digunakan pada uji kesukaan disajikan dalam berbagai jenis kombinasi perlakuan yaitu tingkat ketebalan plastik PP dan suhu penyimpanan. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih dengan jumlah panelis sebanyak 20 orang. Tingkat skala hedonik yang digunakan adalah 5 skala ordinal, yaitu 1 = tidak suka, 2 = agak tidak suka, 3 = netral, 4 = agak suka, 5 = suka.

1. Penerimaan Sensori Kerenyahan

Perubahan nilai kerenyahan (N) menyebabkan perubahan terhadap penerimaan sensori kerenyahan selama penyimpanan. Selama penyimpanan, nilai kerenyahan (N) semakin besar dan semakin tidak disukai oleh panelis. Gambar 9 menunjukkan perubahan terhadap penerimaan kerenyahan selama penyimpanan. Penilaian sensori terhadap kerenyahan dideteksi dengan sensasi di mulut dan sensasi pendengaran saat keripik wortel mulai digigit pertama kali.

Jika ditentukan batas kritis skor penerimaan terhadap kerenyahan adalah 2 (agak tidak suka) maka 14 sampel keripik wortel atau sekitar 17% telah rusak dan tidak diterima oleh panelis. Pada minggu ke-4 (28 hari) penyimpanan, sampel keripik wortel yang dikemas dalam kemasan PP 30 µm sudah mencapai kritis dan seminggu kemudian kemasan PP 50 µm pada suhu penyimpanan yang sama sudah mencapai kritisnya. Pada minggu ke-5 (35 hari), keripik wortel yang dikemas dalam kemasan PP 30 µm yang disimpan pada suhu 37oC (55%RH) sudah mencapai kritis.

(39)

28

Gambar 9. Diagram penerimaan sensori kerenyahan selama penyimpanan Keterangan gambar :

30Ap = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 50Ap = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 80Ap = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 30Bp = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 50Bp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 80Bp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 30Cp = PP ketebalan 30pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 50Cp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 80Cp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 2. Penerimaan Sensori Aroma

Selama penyimpanan telah terjadi penurunan terhadap penerimaan aroma. Terbentuknya beberapa molekul off-flavor pada produk akan segera merusak aroma secara keseluruhan (Arpah, 2001).

Laju perubahan terhadap penerimaan aroma keripik wortel secara subjektif dapat diketahui melalui uji organoleptik. Pada penelitian ini dilakukan uji kesukaan terhadap keripik wortel selama penyimpanan (8 minggu). Perubahan

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 0 7 14 21 28 35 42 49 56 sko r sen sor i k e re n yah an penyimpanan (hari) 30Ap 50Ap 80Ap 30Bp 50Bp 80Bp 30Cp 50Cp 80Cp

(40)

29

aroma dideteksi oleh sel-sel pembau di dalam hidung yang mampu mencium bau yang terbentuk meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah.

Gambar 10. Diagram penerimaan sensori aroma selama penyimpanan Keterangan gambar :

30Ap = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 50Ap = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 80Ap = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 30Bp = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 50Bp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 80Bp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 30Cp = PP ketebalan 30pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 50Cp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 80Cp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH)

Keripik wortel yang digunakan pada uji kesukaan disajikan dalam berbagai jenis kombinasi perlakuan yaitu tingkat ketebalan plastik PP dan suhu penyimpanan. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih dengan jumlah panelis sebanyak 20 orang. Data hasil uji kesukaan panelis terhadap aroma keripik wortel setiap minggunya dapat dilihat pada Lampiran 5. Diagram penerimaan sensori terhadap aroma keripik wortel disajikan pada Gambar 10.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 0 7 14 21 28 35 42 49 56 sko r sen sor i ar o m a penyimpanan (hari) 30Ap 50Ap 80Ap 30Bp 50Bp 80Bp 30Cp 50Cp 80Cp

(41)

30

Pada awal penyimpanan, skor sensori untuk aroma keripik wortel berada pada skor kesukaan 3.95 (skala 5). Jika diambil batas kritis pada skor 2 (agak tidak suka) maka ada satu sampel telah mengalami kerusakan, yaitu sampel keripik wortel yang dikemas dalam kemasan PP ketebalan 30 µm yang disimpan pada suhu 37oC (55%RH).

3. Penerimaan Sensori Rasa

Penerimaan sensori terhadap rasa keripik wortel dideteksi dengan indera pengecap. Selama penyimpanan telah terjadi perubahan terhadap penerimaan rasa keripik wortel (Gambar 11). Perubahan rasa ini bisa dihubungkan dengan kadar asam lemak bebas produk. Kadar asam lemak bebas yang melebihi 1% bisa menimbulkan sensasi permukaan yang berlendir saat dimakan sehingga bisa mempengaruhi rasa keripik wortel.

Gambar 11. Diagram penerimaan sensori rasa selama penyimpanan

Keterangan gambar :

30Ap = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 50Ap = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 80Ap = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 30Bp = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 50Bp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 80Bp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH)

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 0 7 14 21 28 35 42 49 56 sko r sen sor i r asa penyimpanan (hari) 30Ap 50Ap 80Ap 30Bp 50Bp 80Bp 30Cp 50Cp 80Cp

(42)

31

30Cp = PP ketebalan 30pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 50Cp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 80Cp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH)

Jika skor 2 (agak tidak suka) menjadi batas kritis penerimaan terhadap rasa keripik wortel, maka terdapat 2 (dua) sampel keripik wortel atau sekitar 2.5% sampel telah rusak. Sampel tersebut adalah keripik wortel yang dikemas dalam PP 30 µm yang disimpan pada suhu 30oC (80%RH) setelah 49 hari dan 56 hari penyimpanan.

4. Penerimaan Sensori Warna

Laju perubahan warna keripik wortel secara subjektif dapat diketahui melalui uji organoleptik. Pada penelitian ini dilakukan uji kesukaan terhadap warna keripik wortel selama penyimpanan (8 minggu). Perubahan warna dideteksi oleh indera penglihatan.

Selama penyimpanan telah terjadi perubahan terhadap penerimaan warna keripik wortel (Gambar 12). Perubahan warna ini bisa dihubungkan dengan perubahan kecerahan warna keripik wortel. Semakin lama disimpan keripik menjadi lebih gelap sehingga tidak disukai oleh panelis.

Jika skor 2 (agak tidak suka) menjadi batas kritis penerimaan terhadap rasa keripik wortel, maka terdapat 15 (lima belas) sampel keripik wortel atau sekitar 19% sampel telah rusak. Sampel yang cepat rusak tersebut adalah sampel-sampel yang disimpan dalam suhu 37oC (55%RH) dan 45oC (28%RH). Penyimpanan di suhu yang tinggi bisa menyebabkan kerusakan warna secara nyata.

Sampel-sampel yang disimpan dalam suhu 30oC (80%RH) cenderung selalu lebih tinggi skor penerimaannya. Hal ini dikarenakan laju reaksi pencoklatan terhadap produk lebih rendah bila dibandingkan dengan produk yang disimpan pada suhu 37oC (55%RH) dan 45oC (28%RH).

(43)

32

Gambar 12. Diagram penerimaan sensori warna selama penyimpanan

Keterangan gambar :

30Ap = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 50Ap = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 80Ap = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 30oC (80%RH) 30Bp = PP ketebalan 30 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 50Bp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 80Bp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 37oC (55%RH) 30Cp = PP ketebalan 30pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 50Cp = PP ketebalan 50 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) 80Cp = PP ketebalan 80 pada suhu penyimpanan 45oC (28%RH) D. Pendugaan Umur Simpan

Pendugaan umur simpan keripik wortel dilakukan dengan metode akselerasi (penyimpanan dipercepat) dengan pendekatan model Arrhenius. Prinsipnya, pada metoda akselerasi digunakan suatu kondisi ekstrim yaitu suhu tinggi sehingga dapat mempercepat terjadinya reaksi penurunan mutu produk pangan kemudian umur simpan ditentukan berdasarkan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan (Kusnandar, 2001).

Pendugaan umur simpan bisa berdasarkan uji organoleptik atau berdasarkan analisis fisikokimia. Karena keripik wortel ini tergolong produk yang

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 0 7 14 21 28 35 42 49 56 sko r sen sor i w ar n a penyimpanan (hari) 30Ap 50Ap 80Ap 30Bp 50Bp 80Bp 30Cp 50Cp 80Cp

(44)

33

baru maka pada penelitian ini digunakan uji organoleptik sebagai acuan untuk menduga umur simpan. Selain itu juga uji organoleptik mempunyai nilai regresi (R2) yang besar dibandingkan uji fisikokimia. Nilai regresi (R2) berguna untuk melihat kedekatan persamaan matematika dalam memprediksi nilai mutu pada waktu penyimpanan tertentu.

1. Penentuan Ordo Reaksi

Sebelum dilakukan perhitungan umur simpan, terlebih dahulu ditentukan ordo reaksi yang tepat yang memperlihatkan laju penurunan mutu dari masing-masing parameter mutu. Ordo reaksi yang digunakan adalah Ordo 0 dan Ordo 1. Hal ini sesuai dengan ordo reaksi bahan pangan pada umumnya.

Persamaan Ordo 0 diperoleh dengan cara memplotkan data penurunan mutu di tiga suhu penyimpanan pada sumbu y dalam skala linear dan umur simpan pada sumbu x dalam skala linear. Sedangkan persamaan Ordo 1 diperoleh dengan cara memplotkan data penurunan mutu di tiga suhu penyimpanan pada sumbu y dalam skala logaritmik dan umur simpan pada sumbu x dalam skala linear. Setelah dilakukan plotting, maka ditarik garis lurus sehingga diperoleh persamaan garis sebagai berikut :

y = kx + b

Selain persamaan garis, ditentukan juga koefisien regresinya (r2). Koefisien regresi ini akan menentukan ordo reaksi yang paling mendekati laju reaksi penurunan mutu keripik wortel selama penyimpanan. Tabel 4 dan Tabel 5 memperlihatkan persamaan garis dan juga koefisien regresi (r2) dari penurunan mutu keripik wortel secara organoleptik dan fisikokimia.

Berdasarkan Tabel 4 (analisis organoleptik), laju penurunan mutu warna, aroma, rasa, dan kerenyahan keripik wortel selama penyimpanan mengikuti Ordo 1. Menurut data fisikokimia laju penurunan mutu kerenyahan dan kadar air mengikuti Ordo 0, sedangkan untuk parameter mutu asam lemak bebas dan warna mengikuti Ordo 1 (Tabel 5).

Gambar

Tabel 1. Hasil analisis karakteristik kemasan  No  Ketebalan  Polipropilen  (µm)  WVTR* (g/m2 /24jam)  O 2 TR** (cc/m2 /24jam)  1  30  8.3685  79.2529  2  50  7.1380  125.8803  3  80  4.1320  67.9188  *Temperatur = 37.8 o C, RH = 100%   ** Temperatur = 21
Gambar 4. Keripik wortel yang baru diolah     B.  Perubahan Mutu Produk Selama Penyimpanan
Tabel 3 Perubahan kadar betakaroten
Gambar 10. Diagram penerimaan sensori aroma selama penyimpanan  Keterangan gambar :
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan pupuk subsidi pada usahatani padi yaitu pupuk petroganik, SP36, phonska, urea dan ZA akan mempengaruhi harga dalam biaya yang dikeluarkan

Dr.Slazus dari Nelson R Mandela School of Medicine, Durban, South Africa mengatakan bahwa penggunaan urine sebagai obat untuk menangani konjungtivitis dapat

Berdasarkan dari hasil analisis terhadap seluruh data tentang bagaimana Penggunaan Media Gambar Seri dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Keterampilan Menulis

4-. Pemeriksaan untuk menentukan ineksi hepatitis $irus & akut adalah : a. 0e$ersibel bila penyakit dasar ditangani  b. Pen'egahan renal osteodysthrophy dilakukan pada

Jika diperlukan peralatan untuk melakukan pemantauan atau pengukuran kinerja, organisasi harus menetapkan dan memelihara prosedur untuk mengkalibras dan memelihara peralatan

CV Sentosa Electric dalam melakukan pembelian persediaan bahan baku belum memperhatikan biaya persediaan yang timbul akibat adanya pembelian persediaan bahan baku

Kelompok eksperimen memiliki kemampuan yang lebih baik dibanding- kan dengan kelompok kontrol, dengan demikian hipotensis kerja yang berbunyi: “hasil belajar siswa yang

Demikian juga dari ke empat sub-variabel dari kinerja komite sekolah semuannya termasuk kategori baik; (2) Gambaran kepemimpinan kepala sekolah pada sekolah dasar