BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi
Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985) adalah: Kingdom : Animalia
Filum : Cordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Primata Super Famili : Homonoide Famili : Hylobatidae Genus : Hylobates
Spesies : Hylobates moloch Audebert, 1798
Menurut Supriatna dan Wahyono (2000) spesies tersebut dibagi atas dua sub spesies yaitu Hylobates moloch moloch yang terdapat di Jawa Barat seperti Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Taman Nasional Ujung Kulon, Cagar Alam Gunung Simpang, dan Leuweung Sancang. Sedangkan Hylobates moloch pangolasoni hanya ditemukan di daerah Jawa Tengah dan sekitar Gunung Selamet dan Pegunungan Dieng. 2.1.2 Morfologi
Owa jawa memiliki tubuh yang ditutupi rambut bewarna kecoklatan sampai keperakan atau kelabu. Bagian atas kepalanya bewarna hitam, bagian muka seluruhnya juga bewarna hitam dengan alis bewarna abu-abu yang menyerupai warna keseluruhan tubuh, serta beberapa individu memiliki dagu bewarna gelap. Warna rambut jantan dan betina berbeda, terutama dalam tingkatan umur. Umumnya anak yang baru lahir bewarna lebih cerah. Antara jantan dan betina memiliki rambut yang berbeda. Panjang tubuh berkisar antara 750 - 800 mm. Berat tubuh jantan antara 4 - 8 kg sedangkan betina antara 5 - 7 kg (Supriyatna & Wahyono 2000).
Berdasarkan ukuran tubuh dan perkembangan perilakunya, Kappeler (1981) membagi owa jawa ke dalam empat kelas umur, yaitu:
a. Bayi (infant) adalah individu mulai lahir sampai berumur dua tahun dengan ukuran badan sangat kecil dan kadang-kadang atau selalu digendong oleh induknya.
b. Anak (juvenile) adalah individu yang berumur dua sampai empat tahun, badan kecil, dan tidak terpelihara sepenuhnya oleh induknya.
c. Muda (subadult) adalah individu yang berumur kira-kira empat sampai enam tahun, ukuran badannya sedang, hidup bersama pasangan individu dewasa dan kurang atau jarang menunjukkan aktivitas teritorial.
d. Dewasa (adult) adalah individu yang berumur lebih dari enam tahun, hidup soliter atau berpasangan atau menunjukkan teritorinya.
Ciri khas yang lain adalah lengannya sangat panjang dan lentur, lebih panjang dari kakinya hampir dua kali dari pangan tubuh, dengan jari pendek dan panjang dari telapak tangan. Sendi pada ibu jari dan pergelangan tangannya adalah kontraksi sangat tinggi. Owa jawa memiliki tubuh yang langsing karena beradaptasi terhadap pergerakkannya dan membantu dalam berayun. Suara owa jawa dapat didengar manusia hingga jarak 500 sampai 1500 meter (Kappeler 1984).
2.1.3 Habitat
Menurut Leighton (1986) Hylobates moloch adalah spesies arboreal, tinggal di kanopi hutan bagian atas, serta tidur dan istirahat di bagian pohon dan tajuk tertinggi (emergent trees). Emergent merupakan bagian dari mahkota pohon yang tertinggi diantara pohon di sekitarnya, lapisan ini paling banyak menerima sinar matahari (Nijman 2001).
Owa jawa berada pada kawasan hutan hujan tropis mulai dataran rendah, pesisir, hingga pegunungan dengan tinggi 1400 - 1600 mdpl. Owa jawa jarang ditemukan pada ketinggian lebih dari 1500 mdpl karena sumber pakan yang dibutuhkan jarang sekali ditemukan pada ketinggian tersebut, selain itu temperatur yang lebih rendah dan banyak lumut yang menutupi pohon-pohon juga menyulitkan pergerakan berayun pada owa jawa (Kappeler 1984). Owa jawa menyukai hutan pegunungan primer dengan permukaan tajuknya rapat dan
tersedianya pohon-pohon untuk makan, istirahat, bermain dan tidur (Sawitri et al. 1998). Ada kemungkinan owa jawa hanya terdapat sampai ketinggian 1400 - 1600 mdpl karena lebih dari ketinggian tersebut terjadi perubahan tipe vegetasi yang tidak mendukung sebagai tipe habitat owa jawa, antara lain:
a. Hutan-hutan di atas ketinggian tersebut memilki kelimpahan dan keanekaragaman jenis pohon sumber pakan owa jawa yang terbatas.
b. Struktur pohon dan tumbuhnya lumut pada batang pohon yang sangat menyulitkan untuk gerakan secara berakhiasi.
c. Suhu yang rendah di malam hari.
Menurut Kappeler (1984), owa jawa merupakan penghuni kawasan hutan yang terspesialisasi dan memilki persyaratan sebagai berikut:
a. Owa jawa merupakan satwa arboreal, sehingga membutuhkan hutan dengan kanopi yang rapat.
b. Owa jawa menyandarkan sebagian besar hidupnya pada pergerakannya melalui brankhiasi atau bergelantungan sehingga untuk memperoleh pergerakan yang leluasa bentuk percabangan dari kanopi haruslah tidak terlalu rapat dan relatif banyak dengan bentuk percabangan horizontal.
c. Makanan owa jawa terdiri atas buah dan daun-daunan dan terpenuhi kebutuhannya sepanjang tahun dan wilayah jelajah (home range), sehingga untuk memastikan persediaan makanan sepanjang tahun kawasan hutan bukan merupakan hutan semusim atau hutan periode pengguguran daun dan hutan harus memiliki keragaman jenis tumbuhan yang tinggi.
2.1.4 Pakan
Makanan merupakan sumber energi untuk pertumbuhan, reproduksi dan penunjang kebutuhan pokok lainnya. Menurut Kappeler (1984), pakan owa jawa berupa buah, daun, kuncup bunga, serangga dan madu. Beberapa penelitian, owa jawa menkonsumsi kurang lebih 125 jenis tumbuhan dari 43 famili. Komposisi pakan terdiri dari buah 61% dan daun 38% serta sisanya berbagai jenis makanan seperti bunga dan berbagai serangga (Supriatna & Wahyono 2000). Karena persentase perbandingan pakannya lebih banyak buah dibandingkan daun, maka owa jawa digolongkan ke dalam primata frugivora (Leighton 1986). Iskandar (2007) menyatakan bahwa sumber pakan owa jawa adalah vegetasi tingkat pohon.
Hasil identifikasi pohon pakan yang paling dominan dimanfaatkan owa jawa di Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah darangdan (Ficus sinuata), pasang batarua (Quercus gemiliflorus), rasamala (Altingia excelsa), dan saninten (Castanopsis javanica).
2.2 Populasi dan Distribusi Owa Jawa
Distribusi owa jawa meliputi kawasan hutan di Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah. Owa Jawa menempati hutan hujan tropis dataran rendah sampai perbukitan hingga ketinggian 1500 mdpl. Penyebaran owa jawa di Jawa Barat meliputi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Taman Nasional Ujung Kulon, Cagar Alam Gunung Simpang, Cagar Alam Burangrang, dan Cagar Alam Leuweung Sancang. Sedangkan di daerah Jawa Tengah terdapat di sekitar kawasan Gunung Slamet dan Pegunungan Dieng.
Sumber: Nijman (2001)
Gambar 1 Peta penyebaran owa jawa.
Deforestasi yang berlebihan di Pulau Jawa menyebabkan habitat dan populsi owa jawa terus menerus mengalami penurunan. Menurut Supriatna (2006), owa jawa telah kehilangan lebih dari 96% habitat aslinya. Habitat yang tersisa saat ini merupakan hutan yang berukuran relatif kecil dan terfragmentasi satu sama lain. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), awalnya owa jawa terdapat di sebagian hutan-hutan di Jawa Barat dan menempati habitat seluas 43.472 km2, tetapi saat ini keberadaannya semakin mendesak dan hanya tinggal di daerah yang dilindungi yang luasnya sekitar 600 km2 yaitu Taman Nasional Ujung Kulon, Taman
Nasional Gunung Halimun Salak, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cagar Alam Gunung Simpang, Cagar Alam Burangrang, Cagar Alam Leuweung Sancang, dan Kawasan Wisata Cisolok. Owa jawa di Jawa Tengah masih dapat dijumpai di sekitar Gunung Slamet sampai Pegunungan Dieng. Hal ini diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk Pulau Jawa yang sangat pesat sehingga kawasan hutan hujan tropik menyusut drastis. Selain itu, ancaman perburuan untuk dijadikan sebagai hewan peliharaan merupakan ancaman serius bagi keberadaan owa jawa di alam. Menurut Nijman (2006), populasi owa jawa yang masih tersisa di Hutan Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah berkisar 4000 hingga 4500 individu.
2.3 Aktivitas Harian Owa Jawa
Aktivitas harian merupakan reaksi fisiologis satwa terhadap lingkungan dan sekitarnya. Untuk melakukan aktivitas harian, umumnya owa jawa menggunakan strata vertikal hutan pada lapisan tengah dan atas (Nijman 2001). Menurut Chivers (1980), aktivitas harian meliputi mencari makan, melakukan perjalan dan perpindahan, istirahat, bersuara, dan mencari kutu serta bermain.
Owa jawa merupakan satwa diurnal dan arboreal. Owa jawa umumnya aktif pada pagi hari yaitu pukul 05.30 - 06.50 WIB dan aktif kembali pada sore hari pada pukul 16.00 - 17.00 WIB sebelum akhirnya mencapai pohon tidur. Dalam melakukan aktivitasnya owa jawa biasanya berada pada lapisan kanopi paling atas (Nijman 2001).
Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), owa jawa hidup di pohon (arboreal) dan jarang turun ke tanah. Pergerakan dari pohon yang satu ke pohon yang lainnya dengan bergelayutan (brakhiasi). Daerah jelajah berkisar antara 16 sampai 17 ha dan jelajah hariannya mencapai 1500 meter. Owa jawa aktif dari pagi hingga sore hari (diurnal), siang harinya digunakan untuk beristirahat dengan saling mencari kotoran rambut di kepala (grooming) antara jantan dan betina pasangannya, atau antara induk betina dan anaknya, sedangkan malam harinya tidur pada percabangan pohon. Perilaku sosial merupakan semua kegiatan yang melibatkan individu lain seperti grooming (berkutu-kutuan), bersuara, bermain, dan bereproduksi. Grooming (mencari kutu) dan bermain merupakan hal sangat penting dalam aktivitas sosial, tetapi tidak sebanyak frekuensi bersuara (Burton
1995). Betina berperan penting dalam pertanan teritorial dengan aktivitas bersuara (great call) yang dilakukan setiap pagi hari. Bersuara merupakan salah satu tanda pemberitahuan, menyatakan kehadiran mereka pada kelompok tetangga. Hal ini sebagai petunjuk konfrontasi dalam batas kebersaan, kadang-kadang untuk menunjukkan sifat menyerang (Napier & Napier 1985). Nyanyian owa jawa terdiri dari tiga fase: bagian pembukaan, yakni owa jawa memulai latihan melemaskan badan; nyanyian berikutnya duet antara jantan dan betina, dan suara dari betina yang lambat laun menjadi tinggi (great call). Pada Hylobates moloh jantan jarang bersuara. Owa jawa betina berkuasa dalam perbatasan teritori dengan menggunakan great calls, biasanya satu sampai tiga jam setelah fajar. Ketika betina mulai bersuara kelompok tetangga yang lain ikut serta dalam bersuara tersebut. Betina yang belum dewasa juga ikut serta dalam bersuara.
Hylobates moloh juga bersuara keras, teriakan lebih keras pada saat kehadiran
pengacau seperti manusia atau macan tutul (Burton 1995). 2.4 Pola Penggunaan Ruang
Pemanfaatan tajuk merupakan salah satu aspek penggunaan ruang yang menggambarkan interaksi antara satwa dengan habitatnya. Dengan demikian mobilitas, luas, dan komposisi daerah jelajah merupakan parameter yang lebih banyak digunakan sebagai indikator dari strategi penggunaan ruang oleh satwa liar. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh Santosa dalam Putri (2009) menunjukan bahwa satwa liar tidak menyebar dan mengeksploitasi ruang secara acak, melainkan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor lain dalam diri satwa liar itu sendiri (umur, jenis kelamin, dan morfologi) dan faktor luar atau yang lebih dikenal dengan sebutan faktor ekologi (ketersediaan makanan, kondisi fisik biotik, dan iklim dari habitatnya. Menurut Nijman (2001), owa jawa menggunakan kanopi pohon yang cukup tinggi pada habitatnya yang belum terganggu, sedangkan pada habitat yang terganggu owa jawa menggunakan kanopi pohon sedang.