• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAMPIRAN I PEDOMAN WAWANCARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAMPIRAN I PEDOMAN WAWANCARA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN I PEDOMAN WAWANCARA

A. (Akademisi Perpajakan) Prof. Dr. Gunadi, M.Sc, Ak.

1. Menurut Bapak, apakah pengertian CFC rules itu dan tujuan dari CFC rules?

2. Menurut Bapak, apakah Pasal 18 ayat 2 UU PPh sudah mengatur secara spesifik atas penghasilan yang diperoleh dari badan diluar negeri?

3. Bagaimana otoritas perpajakan di Indonesia menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat adanya CFC tersebut?

4. Sepengetahuan Bapak, apakah peraturan dan penerapan CFC rules sudah memadai dan apakah pelaksanaan CFC rules di Indonesia sudah dilaksanakan dengan optimal sebagai anti penghindaran pajak?

5. Menurut Bapak, apabila peraturan tersebut belum memadai dan penerapannya belum optimal, apakah masukan Bapak agar CFC rules dapat dilaksanakan lebih optimal sebagai anti penghindaran pajak? 6. Berdasarkan ketentuan CFC rules diberlakukan atas penghasilan yang

dihasilkan dari 32 negara yang terlampir dalam KMK No. 650/KMK.04/1994. Menurut Bapak, mengapa tax haven itu hanya dibatasi sejumlah 32 negara/wilayah saja?

7. Menurut Bapak, bagaimana mekanisme pengawasan yang efektif untuk menjaring WPDN Indonesia yang mempunyai saham CFC di salah satu negara tax haven tersebut?

8. Berdasarkan SE-22/PJ.04/1995 tanggal 26/04/05 butir 4, sesuai dengan asas self assessment, WPDN harus melaporkan dividen CFC legislation Indonesia dan SPT Tahunannya pada saat dividen tersebut dinyatakan telah diperoleh menurut ketentuan UU perpajakan. Menurut Bapak apakah aturan ketentuan tersebut sesuai dengan kenyataannya pada saat ini?

(2)

(lanjutan) B. (Direktorat Jenderal Pajak)

Kepala Seksi Penghindaran dan Kerjasama Perpajakan Internasional (PKPI) Bapak Jul Safenta Tarigan

1. Permasalahan-permasalahan apa yang timbul di Indonesia akibat adanya CFC sehubungan dengan pengenaan pajak penghasilan?

2. Bagaimana otoritas perpajakan di Indonesia menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat adanya CFC tersebut?

3. Bagaimanakah pelaksanaan peraturan dan penerapan CFC rules di Indonesia sebagai anti penghindaran pajak?

4. Berdasarkan pasal 18 ayat 2 kita melihat yang termasuk dalam CFC Rules apabila memiliki penyertaan sekurang-kurangnya 50%. Berarti ini ada kepemilikan secara langsung atas badan usaha luar negeri. Bagaimana yang tidak tercakup dalam penyertaan 50% tersebut?

5. Saat ini ketentuan pelaksanaan CFC rules di Indonesia baru mengatur mengenai pemajakan atas dividen. Apakah ada pemikiran untuk menyusun peraturan atas jenis-jenis penghasilan lainnya yang dihasilkan WPDN yang mempunyai kendali atas badan di luar negeri? 6. Apakah UU PPh terbaru No. 36 Tahun 2008 yang telah dikeluarkan

sudah cukup menampung kelemahan/kekurangan peraturan CFC rules sekarang sehingga dapat dilaksanakan lebih optimal sebagai anti penghindaran pajak?

7. Berdasarkan ketentuan CFC rules diberlakukan atas penghasilan yang dihasilkan dari 32 negara yang terlampir dalam KMK No. 650/KMK.04/1994. Menurut Bapak, mengapa tax haven itu hanya dibatasi sejumlah 32 negara/wilayah saja?

8. Mungkinkah disusun mekanisme pengawasan yang efektif untuk menjaring WPDN Indonesia yang mempunyai saham CFC di salah satu negara tax haven tersebut?

9. Sepengetahuan Bapak, bagaimana ketentuan yang berlaku di negara Amerika Serikat dan United Kingdom?

(3)

(lanjutan) 10. Dalam KMK No, 650/KMK.04/1994 pasal 2 disebutkan bahwa WP

yang dimaksud yaitu bersama-sama dengan WPDN lainnya memiliki sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham yang disetor. Menurut Bapak, bagaimana DJP mendeteksi penanaman modal yang dilakukan secara bersama-sama dengan WPDN lainnya?

11. Misalnya kepemilikan A 40% dan B 20%. Apakah ini bisa dideteksi oleh DJP bahwa ada suatu gabungan kepemilikan yang mengendalikan di CFC? Dan bagaimana jika kedua WPDN tersebut berada di KPP yang berbeda?

12. Bagaimana contoh hitungan jumlah dividen yang harus dilaporkan menjadi penghasilan dalam negeri jika belum dibagikan?

13. Menurut Bapak, bentuk kerjasama apa yang telah dilakukan untuk negara tax haven? Tidak ada, Sudah ada beberapa negara yang memberikan kerjasama tersebut?

14. Bank Indonesia merupakan pusat/sentral informasi atas setiap transaksi alinan dana yang masuk dan keluar atas transaksi yang dilakukan oleh WP. Menurut Bapak, bentuk kerjasama seperti apa yang telah terjalin selama ini dengan pihak DJP?

15. Sampai sejauh mana pihak DJP bisa meminta informasi ke Bank Indonesia apabila DJP mencurigai adanya WP yang melakukan penghindaran pajak?

(4)

(lanjutan) C. (Praktisi Pajak)

Konsultan Pajak KAP Earnes & Young Rachmanto Surahmat

1. Jenis-jenis penghasilan apa yang tercakup dalam CFC? Apa saja jenis penghasilan CFC yang diatur dalam ketentuan perpajakan kita?

2. Menurut Bapak, apakah Pasal 18 ayat 2 UU PPh sudah mengatur secara spesifik atas penghasilan yang diperoleh dari badan di luar negeri?

3. Permasalahan-permasalahan apa yang timbul di Indonesia akibat adanya CFC?

4. Apakah UU PPh yang baru No. 36 Tahun 2008 yang telah dikeluarkan sudah cukup menampung kelemahan/kekurangan peraturan CFC rules sekarang sehingga dapat dilaksanakan lebih optimal sebagai anti penghindaran pajak?

5. Menurut Bapak pengaturan kepemilikan berdasarkan pasal 18 ayat 2 kita melihat yang termasuk dalam CFC Rules apabila memiliki penyertaan sekurang-kurangnya 50%. Bagaimana kepemilikan di luar ketentuan tersebut?

6. Menurut Bapak, upaya-upaya apa yang harus dilakukan pemerintah agar pelaksanaan dan penerapan CFC Rules Indonesia dapat berjalan efektif dan optimal untuk menjaring WPDN Indonesia yang mempunyai saham CFC terutama di salah satu negara tax haven tersebut?

7. Menurut Bapak, bagaimana ketentuan yang berlaku di negara Amerika Serikat dan United Kingdom?

(5)

(lanjutan) D. (Account Representative)

Kantor Pelayanan Pajak Taman Sari I Robert Marudut

1. Penyusunan profile W ajib Pajak merupakan salah satu cara untuk mendeteksi penghindaran pajak. Menurut Bapak, bagaimana profile-profile tersebut dibuat?

2. Apakah data profile-profile yang dikumpulkan dari masing-masing KPP dapat disatukan ke pusat hingga menjadi suatu jaringan online ke semua KPP diseluruh Indonesia?

(6)

LAMPIRAN II TRANSKIP HASIL WAWANCARA

(Akademisi Perpajakan)

Guru Besar Universitas Indonesia Prof. Dr. Gunadi, M.Sc, Ak.

Wawancara dilakukan pada tanggal 27 Agustus 2008 pada pukul 15.30 sampai dengan 16.00 di kantor Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

1. Menurut Bapak, apakah pengertian CFC rules itu dan tujuan dari CFC rules?

Ya…CFC rules adalah kependekan dari controlled foreign corporation. Jadi maksudnya adalah corporate luar negeri yang dikontrol oleh perusahaan dalam negeri. Jadi wajib pajak berada luar negeri tetapi merupakan asosiasi atau afiliasi dari dalam negeri. Umumnya foreign corporation itu dipakai s e b a g a i s u a t u base company suatu dasar untuk menampung s u a t u penghasilan-penghasilan yang mestinya harus dikenakan pajak tetapi mereka ditangguhkan pemajakannya. Karena umumnya penghasilan pajak di luar negeri itu modelnya deffered taxation, pemajakan ditangguhkan sampai nanti penghasilan-penghasilan itu dibayarkan (di-remitte) ke Indonesia. Jadi dia menunda sampai saat nanti pembayaran pajak, distribusi penghasilannya itu. Jadi selama mungkin untuk menunda pembayaran pajak. Avoidance-nya hanya pada saat time-nya saja (memberikan waktu saja), tidak dibayar ke Indonesia/tidak dibagikan atau tidak dibawa pulang ke Indonesia Selama mungkin tidak dibawa pulang selama itu dia tidak membayar pajak. Itu tujuan utamnya. Umumnya didirikan di negara-negara pajaknya rendah. CFC rules maksudnya untuk menangkal itu, kemungkinan avoidance p a j a k (penangguhan dividen, bunga, royalti, yang penghasilan-penghasilan passive income itu). CFC rules merupakan anti avoidance yaitu dengan mendirikan base company, yaitu penghasilan-penghasilan yang misalnya harus masuk segera ke Indonesia tetapi ditampung ke /dibayar ke negara base company, misalkan bunga yang tidak langsung dibayar ke Indonesia tetapi dibayar ke

(7)

(lanjutan) base company. Jadi perusahaannya sebagai dasar untuk penampung penghasilan pasif.

2. Menurut Bapak, apakah Pasal 18 ayat 2 UU PPh sudah mengatur secara spesifik atas penghasilan yang diperoleh dari badan diluar negeri? Mengatur hanya designated yaitu negaranya bukan tipe jenis penghasilan. Karena ada beberapa pendekatan, yang pertama jenis penghasilannya, yang kedua negaranya. Kalau kita pada negaranya.

3. Bagaimana otoritas perpajakan di Indonesia menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat adanya CFC tersebut?

Yang jelas harus pro aktif. Umumnya di CFC perusahaan-perusahaan akan mencoba untuk ke suatu negara yang tidak mempunyai tax treaty sehingga untuk pertukaran infomrasi jadi sulit juga. Jadi kita punyai data data misalnya kita harus membentuk seperti semacam pohon perusahaan dari corporate tree-nya. Groupnya ketahuan dimana-dimana. Kita harus meneliti dari neracanya itu. Ada ga dia punya investasi dimana gitu. Perusahaan dimana itu harus kita teliti dan kita kumpulkan dan petakan (mapping) atau istilah dibuat profiling. Profile yang modalnya besar tentu menanam modal dimana-dimanaitu itu yang kemudian kita gali dan melakukan pengamatan SPT. Jadi, petugas-petugas harus aktif.

4 Sepengetahuan Bapak, apakah peraturan dan penerapan CFC rules sudah memadai dan apakah pelaksanaan CFC rules di Indonesia sudah dilaksanakan dengan optimal sebagai anti penghindaran pajak?

Saya kira aturannya cukup, cuma memadai mungkin dalam bidang enforcementnya atau self enforcing dari peraturan itu karena mungkin sekali bahwa mereka tidak melaporkan. Kalau mereka tidak melaporkan darimana kita tau. Kita hanya percaya pada self assessment. Dia punya perusahaan disana tapi tidak lapor, indikasi darimana kalau dia tidak perlu lapor. Sehingga diperlukan suatu self enforcing. Kalau di kita didahulukan, kalau sampai bulan ke empat tidak dilapor, maka dianggap deemed profit. Jadi kalau mereka tidak menunjukan data-data di SPT tentu sulit. …

(8)

(lanjutan) Kalau dia punya perusahan Mauritius. Bagaimana kita menentukan laba dia berapa sih profit sharing dia..kalau dia tidak melaporkan, kita hanya menduga dia punya perusahaan disana. Tapi kalau dia laporkan bahwa profit dia nihil..jadi itu non sense juga kan. Jadi kalau nihil, ngapain dia melakukan invest jauh-jauh kesana luar negeri.

5. Menurut Bapak, apabila peraturan tersebut belum memadai dan penerapannya belum optimal, apakah masukan Bapak agar CFC rules dapat dilaksanakan lebih optimal sebagai anti penghindaran pajak? Ya…Boleh dikatakan belum optimal. Karena tujuannya anti avoidance tentu harus ada sesuatu : yg pertama suatu enforcement, yang kedua suatu sanksi yang ketiga harus ada semacam dokumentasi yatu dokumentasi dari yang bersangkutan, kalau ga ada dokumen, kita ga punya data. Karena diluar negeri juga merupakan suatu pendataan. Ini kan sulit. Misalnya di Mauritius kita harus punya data tentang Mauritius, Caymand Island juga, dll. Berapa sih average profit. Kalau disana base company, kalau bunga itu berapa, royalti itu berapa,dll. Masalahnya betul apa. Misalnya dia membayar bunga apa dia membayar bunga kesana, itu anak perusahaannya. Disini tidak dibagi-bagi. Uang dari sini, tapi dibawa disana untuk membayar bunga. Itu sebagai avoidance-nya.

6. Berdasarkan ketentuan CFC rules diberlakukan atas penghasilan yang dihasilkan dari 32 negara yang terlampir dalam KMK No. 650/KMK.04/1994. Menurut Bapak, mengapa tax haven itu hanya dibatasi sejumlah 32 negara/wilayah saja?

Itu tidak dibatasi, tapi kondisi saat itu. Itu mesti di update terus. Kita harus membuat suatu kriteria, berapa tarif pajak yang dianggap sebagai tax haven country. Mereka harus mempelajari kondisi dari hari ke hari, mungkin juga disana terjadi tax reform. Kalau sekarang misalnya PPh kemungkinan tarifnya turun. Atau kita bisa menyurati otoritas pajak disana, kerjasama pertukaran informasi, kita bikin MoU pada negara-negara kecil itu. Tanpa ada informasi kan susah.

(9)

(lanjutan) Apakah ada pendapat untuk menyempurnakan ketentuan tersebut sehingga dapat diberdayakan dengan optimal? Ya tentu ..itu salah satu bentuk anti avoidance maksudnya meningkatkan peraturan pajak kita bahwa pajak kita bisa tidak dihindari. Dengan istilahnya income flight, income diterbangkan keluar negeri. Yang pertama itu income dalam negeri tetapi pura-puraya kita byr bunga diluar negeri. Padahal itu ga ada, jangan sampai kita itu di-incomeflight-kan. Itu harus diefektifkan pelasksanannya yang kedua selain income flight kemungkian terjadi capital flight yaitu pelarian modal. Ini jadi susah karena investasi kita terganggu. Jadi dengan aturan-aturan sedemikian rupa kita buat sehingga sesutu itu bisa ditegaskan dan dapat dilaksanakan dengan baik. Misalnya ditentukan suatu norma apa, berapa persen kalau dia tidak melaporkan, kalau melaporkan. Kita harus menjalin kerjasama yang baik disana, untuk mengetahui berapa sih yang pantas untuk profit disana. Yang ketiga kalau dia tidak melapor, kita bisa minta kepada otoritas pajak disitu. Untuk ini benar tidak SPT-nya, sudah masuk belum, berapa profitnya dia tentu sudah ketahuan. Jadi selama itu tidak ada tentu repot juga, atau dilakukan tax audit secara keseluruhan dari sana dan disini.kemudian digabungkan.

Kalau go public berarti sudah tranparansi, karena nantinya bagi dividen. Selain sudah diaudit, dari pemegang saham diawasi, listing, bagi dividen. Dengan diaudit ingin tampil bagus kemungkinan labanya tidak dibuat kecil, tetapi labanya dibuat baik.

7. Menurut Bapak, bagaimana mekanisme pengawasan yang efektif untuk menjaring WPDN Indonesia yang mempunyai saham CFC di salah satu negara tax haven tersebut?

Tentu kita harus melihat dulu kriteria tax haven dulu. Setelah itu pengawasan itu bisa internal dan eksternal. Kalau internal kita lihat pada data-data yang ada pada kita. Kalau eksternal kita dari internet, majalah, dsb. Pengawasan ini juga menyangkut data di luar negeri jadi juga harus ada kerjsama. Ya..saling menguntungkan. Ini juga sekaligus menjalin kerjsama yang baik dengan

(10)

(lanjutan) negara-negara yang berrsangkutan. Jadi kalau ada dispute dia kasih tahu sama kita. Jadi kalau tidak ada kerjasama jadi repot juga.

8. Berdasarkan SE-22/PJ.04/1995 tanggal 26/04/05 butir 4, sesuai dengan asas self assessment, WPDN harus melaporkan dividen CFC legislation Indonesia dan SPT Tahunannya pada saat dividen tersebut dinyatakan telah diperoleh menurut ketentuan UU perpajakan. Menurut Bapak apakah aturan ketentuan tersebut sesuai dengan kenyataannya pada saat ini?

Yaitu kembali pada pinsip kita kalau self assessment, bahwa segala sesautu itu dianggap baik. Jadi kita cek dari laporan dia adakah lapor neraca itu benar, lengkap dan jelas. Dan yang kedua kalau sudah ketahuan dia punya investasi disana, trus kita liat SPT disana, seperti apa sih, berapa laba disana. Labanya harus kita minta, berapa proposi saham disana. Karena dia di accure (current taxation) karena belum diterima tetapi dianggap dibagi pada bulan Juli. Kan gitu. Ini harus kita pastikan bahwa jumlah yang berikan itu betul. Untuk menyakinkan harus ada data-data lain kita perlukan dan dari data-data itu kita sesuai dnegna psl 12 ayat 3 bahwa dan dapat kita nyatakan itu tidak benar. Ajdi kita harus punya data. Tanpa data kita tidak kuat kalau mereka sudah melaksanakan self assessment dengan benar. Dan terakhir minta informasi, mengecek ke negara sana. perusahaan itu berada. Jadi ada pertukaran informasi.

(11)

(lanjutan) (Direktorat Jenderal Pajak)

Kepala Seksi Penghindaran dan Kerjsama Perpajakan Internasional (PKPI) Julseventa Tarigan

Wawancara dilakukan pada tanggal 5 Nopember 2008 pada pukul 15.00 sampai dengan 16.00 di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak

1. Permasalahan-permasalahan apa yang timbul di Indonesia akibat adanya CFC sehubungan dengan pengenaan pajak penghasilan?

Tarik dari income yaitu world wide income, kemudian di pasal 24 ada aturan pelaksanaan bahwa penghasilan yang dilaporkan meliputi seluruh penghasilan dari manapun. Itu awal permasalahan. Kemudian self assessment itu harus dirace. Kalau orang bikin perusahaan diluar negeri permasalahannya apa? Tidak ada permasalahan karena sudah ada aturannya, pasal 4 ayat 1. WP menghitung, menyetorkan dan melaporkan pajak penghasilannya. Lihat di SPT di bagian bawah belakang bawah yang ditandatangani. Jadi WP menandatangai itu, berarti kantor pajak menghormati self assessment yang dijalankan WP. bagaimana kantor menyakini bahwa SPT yang dilakukan oleh WP itu sudah benar, lengkap dan jelas? Itu permasalahan fiskus. Itu masalah administratif. Itu sudah ada aturannya.

2. Bagaimana otoritas perpajakan di Indonesia menyelesaikan permasalahan yang timbul akibat adanya CFC tersebut?

Dia harus bisa membuktikan bahwa SPT yang dilaporkan itu tidak benar. Bagaimana kantor bisa tahu penghasilan WP? Pertukaran informasi, kendalanya mungkin waktu, P3B, kalau sampai berbulan-bulan dilakukan pemeriksaan. Itu sampai dengan administrasi. Kalau sudah dapat data baru bisa dilakukan enforcement. Sekarang tax auditor sendiri ngerti ga sih CFC. Data mungkin dari WP yaitu dari laporan keuangan konsolidasi, kalau dia kurang yakin, dia bisa minta ke kantor pusat, memperoleh informasi dari luar negeri. Ini bisa ada jalannya.

(12)

(lanjutan) 3. Bagaimanakah pelaksanaan peraturan dan penerapan CFC rules di

Indonesia sebagai anti penghindaran pajak?

Ini susah dijawab. Saya tidak bisa bilang banyaknya SKP karena penerapan KMK No. 650. Saya ga tau. Susah untuk merekord penerapan KMK 650. Pelaksanaan ini saya tidak tahu jawabannnya. Kalau kita memeriksa semua aturan kita pakai, campur semua peraturan didalamnya. Kalau buat peraturan harus dilaksanakan dengan self-assessment. Kalau tidak dilaksanakan maka ini sebagai dasar dari pelaksanaan judgment terhadap WP.

4. Berdasarkan pasal 18 ayat 2 kita melihat yang termasuk dalam CFC Rules apabila memiliki penyertaan sekurang-kurangnya 50%. Berarti ini ada kepemilikan secara langsung atas badan usaha luar negeri. Bagaimana yang tidak tercakup dalam penyertaan 50% tersebut?

Yang tidak langsung berlaku ketentuan umum. Kecuali Iindonesia memeiliki substance over from rules, stepping avoidance. CFC kita direct atau bersama-sama 50%. Berarti KMK No. 650 berlaku 1 tiers, tidak ada anti avoidance yang lain. Tidak ada peraturan yang mengatur mengenai indirect.

5. Saat ini ketentuan pelaksanaan CFC rules di Indonesia baru mengatur mengenai pemajakan atas dividen. Apakah ada pemikiran untuk menyusun peraturan atas jenis-jenis penghasilan lainnya yang dihasilkan WPDN yang mempunyai kendali atas badan di luar negeri? Dividen kita punya masalah karena dia pihak yang terafiliasi untuk mengatur pengeluaran dividen. Pajak kalau tidak punya aturan dia mengikuti akunting. CFC itu untuk dividen yang mau ditunda penggunaaan, anti tax deferral Dia menunda pembayaran) bukan avoidance (dia tidak mau bayar). Itu beda. Jadi, yang menjadi fokus peraturan adalah dividen untuk aturan Indonesia.

6. Apakah UU PPh terbaru No. 36 Tahun 2008 yang telah dikeluarkan sudah cukup menampung kelemahan/kekurangan peraturan CFC rules sekarang sehingga dapat dilaksanakan lebih optimal sebagai anti penghindaran pajak?

Yang baru keluar UU tetapi di dalam pasalnya pasal 18 ayat 2 tidak ada perbedaan. Tidak ada perubahan di UU PPh dan aturan pelaksanaan belum

(13)

(lanjutan) tahu karena KMK No.650 mau di-revised. Pasal 3B dan 3C setahu saya merupakan anti stepping, tidak bisa dianggap sebagai CFC. CFC itu membelokkan income supaya masuknya nanti. Kalau anti stepping itu tidak ingin diketahui pelakunya. Jadi, menggunakan intermediary. Bedakan. Jadi, di KMK belum ada perbaikan, belum bisa di-publish.

7. Berdasarkan ketentuan CFC rules diberlakukan atas penghasilan yang dihasilkan dari 32 negara yang terlampir dalam KMK No. 650/KMK.04/1994. Menurut Bapak, mengapa tax haven itu hanya dibatasi sejumlah 32 negara/wilayah saja?

Mohon maaf kita tidak punya recording- nya atas ketentuan ini. Ada beberapa negara tidak tax haven tidak masuk. Dulu tax haven sekrang tidak. Tapi yang jelas sekarang tidak up to date. Mungkin kita tidak pake list, tapi tax gap atau mungkin juga indirect tapi ini belum pasti karena masih dibahas untuk revisinya. Jadi kita harus tahu key element apa dari CFC rules.

Banyak negara tidak menentukan jumlah seperti ini, tapi berdasarkan pada jumlah pajak terhutang. Ada beberapa negara menentukan tax haven berdasarkan jumlah pajak terhutang, misalnya perhitungan pajak di suatu negara kurang dari 75% dari perhitungan pajak Indonesia, maka negara itu dinyatakan sebagai tax haven. Bagaimana pendapat Bapak?

Saya setuju. Itu baik sekali., jadi selalu di-up t o date mengikuti perkembangan.

Apakah ada pendapat untuk menyempurnakan ketentuan tersebut sehingga dapat diberdayakan dengan optimal?

Ada kemungkinan, kita lagi revisi KMK 650. Mungkin salah satu nya ini. Tapi masih dibahas. Jadi, 32 negara dalam lampiran KMK bisa disorot sebagai kelemahan untuk direkomandasi.

8. Mungkinkah disusun mekanisme pengawasan yang efektif untuk menjaring WPDN Indonesia yang mempunyai saham CFC di salah satu negara tax haven tersebut?

(14)

(lanjutan) Kantor pajak mempunyai kekuatan untuk melaksanakan law enforcement. Dia harus mempunyai informasi dan yang lain yang berguna untuk menguji darimana asalnya. Bagaimana caranya, yaitu dengan kerjasama dalam P3B, Bagi yang belum bikin dong perjanjian pertukaran informasi. Baru ditunjukin ke WP kalau KPP punya informasiasi. Jadi WP merasa khawatir kalau dia tidak melaporkan maka orang pajak akan mendatanginya. Jadi kita bisa tahu dengan mengabarkan bahwa WP punya income diluar negeri dan dia harus melaporkannya dalam SPT. Ya.dengan begitu kasih tahu ke public kalau kita punya informasi tentang mereka. Kita punya kerjasama yang baik dengan luar negeri. Kita punya treaty network yang luas 58 P3B, kecuali dengan Arab Saudi kita punya pasal pertukaran informasi. Di negara tax haven kita punya perjanjian khusus. Jadi banyak cara yag dilakuan kantor pajak. WP yang tidak menjalankan KMK 650 bisa dipidana berdasarkan UU KUP, yaitu WP yang menyampaikan spt dengan tidak benar, akan dipidana, Jadi public tahu kalau pajak melakukan enforcement. Jadi banyak cara yang bisa dilakukan. Jika WP memperoleh income dari luar negeri maka dengan surat menyurat ke WP yang mengatakan kami mengetahui /melihat SPT saudara memperoleh income dari luar negeri. Kami harap Saudara sudah melaporkan income dengan benar. Jadi, pihak pajak harus mengetahui profile WP dengan baik. 9. Sepengetahuan Bapak, bagaimana ketentuan yang berlaku di negara

Amerika Serikat dan United Kingdom?

Maaf, saya tidak pernah secara khusus riset peraturan dari Amerika dan UK. Secara umum kembali ke teori. Kalau saya melihat dari antropologis dari masing- masing negara. Peraturan dibuat berdasarkan karakter dari WP masing- masing negara.

10. Dalam KMK No, 650/KMK.04/1994 pasal 2 disebutkan bahwa WP yang dimaksud yaitu bersama-sama dengan WPDN lainnya memiliki sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham yang disetor. Menurut Bapak, bagaimana DJP mendeteksi penanaman modal yang dilakukan secara bersama-sama dengan WPDN lainnya?

(15)

(lanjutan) Yang membentuk perusahan CFC itu adalah WPDN baik orang WP/badan. Secara umum badan akan menyampaikan SPT & laporan keuangan kepada DJP. WP yang melakukan pembukuan tentu melaporkan SPT-nya. Dari pembukuan itu, DPJ dapat membuat suatu database mengenai investasi orang-orang Indoensia pada perusahaan luar negeri sehingga pihak DJP dapat mengetahui perusahaan luar negeri itu dari database dimiliki oleh beberapa WP Indonesia. Itu pake pembukuan. Mengenai WP OP yang tidak memakai pembukuan memang sulit karena mereka tidak ada pencatatan namun mereka wajib menyampai SPT termasuk daftar harta. Di dalam harta itu terdapat investasinya pada perusahaan luar negeri. Itu juga menjadi basis data bagi pihak DJP.

11. Misalnya kepemilikan A 40% dan B 20%. Apakah ini bisa dideteksi oleh DJP bahwa ada suatu gabungan kepemilikan yang mengendalikan di CFC? Dan bagaimana jika kedua WPDN tersebut berada di KPP yang berbeda?

Yg paling utama adalah self assessment. WP harusnya sudah memahami karena ini UU, karena sudah diundangkan dan dianggap sudah diketahui oleh public. Mereka megnetahui dan menyampaikan SPT dengan membuat pernyataan bahwa mereka sudah mengisi SPT dnegan lengkap, benar dan jeals sesuai dengan UU perpajakan yang berlaku. Dan mereka juga sudah dianggap mereka mngerti peraturan salah satunya peraturan CFC. Meskipun mereka punya 10% tetapi mereka tau yg berinvestasi di luar negeri yang juga dimiliki oleh perusahan lain di Indonesia. Dan dia juga kalau berinvestasi tentu tau siapa yang menajdi partner saya dalam berinveasti di CFC. Apalagi CFC dngan perusahaan tertentu yang berhubungan dengan tax deferral. Dan apabila partnernya lebih dari 50% tentu dia lebih aware atas peraturan CFC ini. Kl saya cuma 5% tentu juga tahu siapa yang 95% yang tentu thau kewajibannya masing2 yaitu self assessment. Maka semuanya wajib menyampaikan. Salah satu aja menyampaikan SPT dnegan benar dengan mencantumkan dalam daftar harta. Maka orang ini dengan investasi 5% sudah mencantukan dividen dgn pengakuan penghasilan KMK 650, itu

(16)

(lanjutan) artinya DJP sudah mempunyai suatu petunjuk mengenai CFC yang dimiliki bersama-sama dengan WPDN lainnya. Karena cuma 5% koq sudah mencatat dividen. Ini database administrasi yg dimiliki oleh DJP. Ini tentu akan ditindak lanjuti. Ini juga kembali ke aparat apakah memahami akan informasi sekecil itu.

Cara yang kedua ada yaitu permintaan informasi. Beberapa di 32 negara ini ada treaty partner kita, tetapi beberapa negara yg lain ada yang tidak. Untuk WP yang tidak punya treaty partner tentu sulit permintaan informasi. Namun yang punya treaty dengan kita, maka mereka jika pihak DJP bertanya mereka akan memberikan infomrasi yang diperlukan siapa pemegang saham atas CFC di negara tersebut.

Kl kasus 5%, maka AR melakukan formulir Alat Keterangan, ada perusahaan CFC yang dimilik oleh WPDN Ttentu AR bertanya sama WP tersebut dengan menanyakan nama perusahaannya apa disana. Dan dia tentu dapat infomrasi mengenai teman partnernya tersebut. Maka akan diterbit ALKET untuk dikirim ke KPP masing- masing untuk dicek apakah sudah dilaporkan di SPT atau tidak. Dan ini masuk database. Jadi mekanismenya adalah mekanisme pengolahan data.

12. Bagaimana contoh hitungan jumlah dividen yang harus dilaporkan menjadi penghasilan dalam negeri jika belum dibagikan?

WP yang menginvestasikan ke luar negeri tentu tau berapa jumlah investasi di luar negeri. Dan tentu tau berapa laba disana karena WP berinvestasi disana. Mungkin disana juga WP harus membuat SPT dan laporan fiskal. Kalau perusahaan melakukan pembukuan tentu akan memperoleh infomrasi lebih banyak lagi. Berdasarkan KMK besarnya penyertaan dikalikan laba setelah pajak. Itulah yang menjadi dividen WP. Jadi WP pasti tahu berapa jumlah dividen yang diperoleh karena pengakuan dividen itu paling lambat bulan ke-4 setelah penyampaian SPT di luar negeri atau bulan ke-7 apabila tidak ada kewajiban menyampaikan SPT. Tentu WP sudah tahu dividen yang diperoleh untuk periode tersebut. Apabila baru dibagikan setengah oleh

(17)

(lanjutan) badan luar negeri. WP harus menyampaikan secara keseluruhan. Apabila hanya menyampaikan yang sebagian tersebut, WP harus membetulkan SPT-nya dengan pengakuan dividen secara keseluruhan (termasuk yang belum dibagikan)

13. Menurut Bapak, bentuk kerjasama apa yang telah dilakukan untuk negara tax haven? Sudah ada beberapa negara yang memberikan kerjasama tersebut?

Di katakan tax haven karena mereka lack of information. Sudah ada beberapa negara kita mempunyai treaty dengan negara tax haven yaitu seperti Mexico, Saudi Arabia, Qatar dan Venezuela. Bentuk kerjasamanya ya ..treaty. Karena dalam perpektif sekarang ini Indonesia adalah tempat investasi bukan negara pengekspor modal. jadi perjanjian ini untuk menjaga investasi di Indonesia.

14. Bank Indonesia merupakan pusat/sentral informasi atas setiap transaksi alinan dana yang masuk dan keluar atas transaksi yang dilakukan oleh WP. Menurut Bapak, bentuk kerjasama seperti apa yang telah terjalin selama ini dengan pihak DJP?

Tidak ada yang spesifik dnegan CFC. Mungkin bukan BI tapi PPATK. Karena mereka lebih tahu aliran dana dari transaksi keuangan. Kita sesuai degnan UU baru bisa mengakses rekening bank. DJP tidak punya akses aliran dana. Itu dalam rangka adanya indikasi tindak pidana perpajakan.dan penagihan pajak. Ini sangat terbatas. Kalau di luar negeri pemeriksaan bisa melihat dari rekening bank. Mungkin ini salah satu yang harus diperbaiki untuk kedepan.

15. Sampai sejauh mana pihak DJP bisa meminta informasi ke Bank Indonesia apabila DJP mencurigai adanya WP yang melakukan penghindaran pajak?

Kalau ada tindak pidana, pihak DJP harus meminta melalui Menteri Keuangan, tidak bisa DJP langsung. Melalui BI kita bisa minta langsung nomor rekening WP apabila pihak DJP mengetahui namanya yang jelas dan

(18)

(lanjutan) lengkap. Untuk penagihan juga bisa sampai melihat saldo-saldonya. Dan bisa melakukan pemblokiran atas rekening tersebut.

(19)

(lanjutan) (Konsultan Pajak KAP Earnes & Young)

Rachmanto Surahmat

Wawancara dilakukan pada tanggal 1 Nopember 2008 pada pukul 14.55 sampai dengan 15.15 di Kantor Earnest & Young

1. Jenis-jenis penghasilan apa yang tercakup dalam CFC? Apa saja jenis penghasilan CFC yang diatur dalam ketentuan perpajakan kita?

Jenis penghasilan itu dua yaitu passive sama active income. Sekarang bukan tergantung dari jenis penghasilan tetapi penghasilan yang diperoleh dari negara yang mempunyai tarif pajak yang relatif sangat rendah.

Base company income sebetulnya bisa dimasukkan dalam kategori active income, itu sama. Karena base company income itu biasanya berbentuk capital gain. misalnya pengalihan harta. Jadi bukan business profit dalam arti active income. Ini sebenarnya hanya masalah klasifikasi saja. Intinya bagaimana perlakuannya terhadap penghasilan tersebut yang di peroleh di negara yang tarif pajaknya lebih rendah. Disini peraturan kita yang diatur dalam PPh kita ini hanya passive income. Ga ada yang lain, karena disitu hanya disebut dividen, Yang lainnya tidak diatur disana.

2. Menurut Bapak, apakah Pasal 18 ayat 2 UU PPh sudah mengatur secara spesifik atas penghasilan yang diperoleh dari badan di luar negeri? Mengatur tapi hanya passive income yaitu dividen, tidak mengatur secara keseluruhan. Masih ada celah penghindaran didalamnya (jenis-jenis penghasilan)

3. Permasalahan-permasalahan apa yang timbul di Indonesia akibat adanya CFC?

Bukan timbul sebenarnya. Tapi itu mencegah WP Indonesia tidak menginvestasikan ke tax haven karena disana bisa menjadi tax shelter disitu. Intinya disitu. Maksudnya CFC rules itu, tujuannya mencegah orang menanamkan modal di negara tersebut karena begitu tidak dapat dipajaki di Indonesia tanpa CFC rules. Jadi permasalahan dari WP tertampung dari CFC rules.

(20)

(lanjutan) 4. Apakah UU PPh yang baru No. 36 Tahun 2008 yang telah dikeluarkan sudah cukup menampung kelemahan/kekurangan peraturan CFC rules sekarang sehingga dapat dilaksanakan lebih optimal sebagai anti penghindaran pajak?

Dengan dikeluarkannya tambahan ayat 3B dan 3C dalam pasal 18 ayat 2 belum mengatur secara tegas penerapan aturan CFC. Peraturan baru tersebut tidak memberikan petunjuk yang jelas bagaimana penerapan atas aturan CFC sebab hanya perubahan saham yang tercakup.

5. Menurut Bapak pengaturan kepemilikan berdasarkan pasal 18 ayat 2 kita melihat yang termasuk dalam CFC Rules apabila memiliki penyertaan sekurang-kurangnya 50%. Bagaimana kepemilikan di luar ketentuan tersebut?

Pemilikan secara tidak langsung tidak bisa dalam pasal 18 ayat 2 karena tidak diatur. Jadi sebenarnya peraturan itu harus flexsible, harus lebih luas. B u k a n y a h a n y a indirect investment a t a u p u n indirect ownreship J a d i kepemilikan tidak langsung tidak tertangkap ke peraturan itu. Ini bisa menjadi celah adanya penghindaran pajak. Makanya peraturan tersebut perlu disempurnakan lagi.

6. Menurut Bapak, upaya-upaya apa yang harus dilakukan pemerintah agar pelaksanaan dan penerapan CFC Rules Indonesia dapat berjalan efektif dan optimal untuk menjaring WPDN Indonesia yang mempunyai saham CFC terutama di salah satu negara tax haven tersebut?

Yang penting untuk memperoleh data yang akurat kalau perusahaan memakai kantor akuntan yang reputasinya bagus dan PSAK mewajibkan itu. Kalau itu dipenuhi maka Dirjen Pajak akan memperoleh laporan keuangan yang baik. Terus adanya pengontrollan yang baik dari pihak pajak.

7. Menurut Bapak, bagaimana ketentuan yang berlaku di negara Amerika Serikat dan United Kingdom?

Kalau di Amerika ada beberapa aturan yang jelas. Kalau ada transaksi yang berhubungan dengan CFC maka atas transaksi itu sudah diatur dengan jelas. Kalau di Inggris, bila sekian persen rate dibawah rate Inggris yaitu misalnya

(21)

di bawah 25% maka termasuk dalam kategori tax haven kategori. Untuk lebih jelasnya Anda bisa baca buku.

(22)

(lanjutan) (Kantor Pelayanan Pajak Taman Sari I)

Account Representative Robert Marudut

Wawancara dilakukan pada tanggal 23 Desember 2008 pada pukul 15.00 sampai dengan 15.30 di Kantor Pelayanan Pajak Taman Sari I

1. Penyusunan profile Wajib Pajak merupakan salah satu cara untuk mendeteksi penghindaran pajak. Menurut Bapak, bagaimana profile-profile tersebut dibuat?

AR yang mempunyai pekerjaan melakukan analisis dan melakukan profile atas Wajib Pajak. AR tahap pertama membangun informasi. Informasi dari KPP memutuskan menghimbau membetulkan SPT atau diperiksa. Itu hal umum yang dilakukan. Dalam profile termasuk ada analisa laporan keuangan, perusahaan itu menggunakan asset (apa saja assetnya), asset itu diapakai untuk apa, hutang juga dll. Baru analisis kegiatan usaha, dll. Dari profile ini dapat dilihat setiap pergerakan untung rugi perusahaan-perusaahaan. Sehingga akan kelihatan perbedaan antar perusahaan bila perusahan tersebut bergerak dibidang yang sama. Apakah dia melaporkan rugi terus sedangkan prusahan sama mengalami keuntungan. Ini dapat dipakai sebagai acuan untuk diteliti.

2. Apakah data profile-profile yang dikumpulkan dari masing-masing KPP dapat disatukan ke pusat hingga menjadi suatu jaringan online ke semua KPP diseluruh Indonesia?

Bikin peraturan untuk jangka panjang. Untuk memproyeksi ke depan. Online itu sarana. Jika WP tidak melaprokan dnegan baik itu bisa menjadi problem besar. Maka dari UU lebih ditegaskan untuk wajib menyampikan dengan adanya sanksi pidana. Ada sarana hukum yang jelas. Ini berarti orang menjadi takut tidak melakukan perbuatan yang tidak baik. Perbaikan sistem informasi dan landasan hukum yang baik.

(23)

LAMPIRAN III

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 650/KMK.04/1994

TENTANG

PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI

YANG SAHAMNYA TIDAK DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1994, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek;

b. bahwa penangguhan pembagian laba atas penyertaan pada badan usaha di luar negeri untuk waktu yang tidak terbatas dapat dipakai untuk menghindari pemenuhan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan;

c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas dan untuk mencegah penghindaran pemenuhan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan, dipandang perlu untuk menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek, dengan Keputusan Menteri Keuangan;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459) dan dengan

(24)

Undang-Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Tahun 3567);

3. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

MEMUTUSKAN : Menetapkan :

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENETAPAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN ATAS PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI YANG SAHAMNYA TIDAK DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK

Pasal 1

(1) Untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan, saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam

negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan

di bursa efek, ditetapkan pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban

penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut

untuk tahun pajak yang bersangkutan.

(2) Apabila tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan pajak

penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau tidak ada kewajiban penyampaian surat

pemberitahuan tahunan pajak penghasilan, saat diperolehnya dividen ditetapkan pada bulan ketujuh

setelah tahun pajak berakhir.

Pasal 2

Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah Wajib Pajak yang :

a. memiliki sekurang-kurangnya 50% (limapuluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri; atau

b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki sekurang-kurangnya 50% (limapuluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.

(25)

Pasal 3

Badan usaha di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 adalah badan usaha yang

bertempat kedudukan di negara atau tempat seperti tersebut dalam lampiran Keputusan ini.

Pasal 4

(1) Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib menghitung dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

(2) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam negeri dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak saat dividen tersebut dianggap diperoleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.

(3) Apabila kemudian terjadi pembagian dividen dalam jumlah yang melebihi dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka kelebihan jumlah tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.

Pasal 5

(1) Penghitungan dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak dilakukan apabila sebelum jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 1, badan usaha di luar negeri dimaksud sudah membagikan dividen yang menjadi hak Wajib Pajak.

(2) Apabila kemudian terjadi pembagian dividen selain dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.

Pasal 6

(1) Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar negeri dapat dikreditkan untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Undang- undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.

(2) Dalam hal terjadi pembagian dividen yang saat perolehannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, pajak yang dibayar atau dipotong di luar negeri atas dividen tersebut dikreditkan pada tahun pajak dibayar atau dipotongnya pajak tersebut

(26)

sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.

Pasal 7

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 8

Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 29 Desember 1994 MENTERI KEUANGAN, ttd

(27)

LAMPIRAN IV

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

26 April 1995 SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE - 22/PJ.4/1995 TENTANG

DIVIDEN DARI PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI YANG SAHAMNYA TIDAK DIPERDAGANGKAN DI BURSA

EFEK (SERI PPh UMUM NOMOR 10) DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan telah ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 650/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan di Bursa Efek sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, dengan ini diberikan beberapa penegasan sebagai berikut :

1. Ketentuan tentang saat diperolehnya dividen dari penyertaan pada badan usaha di luar negeri tersebut

berlaku bagi wajib pajak dalam negeri baik orang pribadi maupun badan yang memiliki sekurang-

kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor baik sendiri-sendiri maupun

bersama-sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya pada badan usaha di negara-negara

sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas, yang sahamnya

tidak diperdagangkan di bursa efek manapun.

2. Penentuan saat diperolehnya dividen sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan

tersebut berlaku terhadap laba setelah pajak yang diterima atau diperoleh badan usaha luar negeri

sebagaimana dimaksud pada butir 1 dalam tahun buku yang berakhir setelah tanggal 30 Juni 1994.

3. Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dari badan usaha luar negeri tersebut

yang berasal dari laba setelah pajak tahun buku yang berakhir pada tanggal 30 Juni 1994 dan

(28)

sebelumnya diakui sebagai penghasilan wajib pajak dalam negeri yang bersangkutan dan harus

dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) tahun pajak

diterimanya dividen tersebut.

4. Sesuai dengan asas Self Assesment, wajib pajak dalam negeri wajib melaporkan dividen sebagaimana

dimaksud dalam butir 2 di atas dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak saat dividen tersebut menurut

ketentuan ditetapkan telah diperoleh.

5. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas, penentuan saat

diperolehnya dividen terkait dengan ada atau tidak adanya batas waktu atau kewajiban penyampaian

SPT Tahunan PPh oleh badan usaha luar negeri tersebut.

Dalam hal di negara tempat kedudukan badan usaha luar negeri tersebut tidak ada batas waktu atau

kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh, maka dividen ditetapkan telah diperoleh pada bulan ke

tujuh setelah tahun pajak berakhir. Contoh :

a. Apabila tahun buku badan usaha luar negeri tersebut berakhir pada tanggal 31 Desember 1995, maka dividen ditetapkan telah diperoleh dalam bulan Juli 1996.

b. Apabila tahun buku badan usaha luar negeri tersebut berakhir pada tanggal 31 Maret 1996 dividen ditetapkan telah diperoleh dalam bulan Oktober 1996.

Dalam hal di negara tempat kedudukan badan usaha luar negeri tersebut ada batas waktu kewajiban penyampaian SPT Tahunan PPh, maka dividen ditetapkan telah diperoleh pada bulan ke empat setelah berakhirnya batas waktu penyampaiannya.

Contoh :

Apabila batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh di negara tempat kedudukan badan usaha luar negeri tersebut berakhir pada tanggal 31 Maret 1996, maka dividen ditetapkan telah diperoleh dalam bulan Juli 1996.

6. Besarnya dividen yang ditetapkan telah diperoleh wajib pajak dalam negeri adalah sebanding dengan besarnya penyertaannya dalam badan usaha luar negeri tersebut.

Misalnya PT.A dan PT.B mempunyai penyertaan masing- masing 30% dan 20% dari modal yang disetor pada Z Ltd. yang berkedudukan di Cayman

(29)

Island dan untuk tahun buku yang berakhir pada 31 Desember 1995 Z Ltd. memperoleh laba setelah pajak sebesar US$ 50.000,00 sedang nilai tukar US$ terhadap Rupiah dalam bulan Juli 1995 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan adalah Rp. 2.200,00 untuk setiap US$, maka dividen yang ditetapkan telah diperoleh PT. A adalah sebesar 30% x US$ 50.000,00 X Rp. 2.200,00 = Rp. 33.000.000,00, dan dividen yang ditetapkan telah diperoleh PT. B adalah sebesar 20% X US$ 50.000,00 X Rp. 2.200,00 = Rp. 22.000.000,00.

7. Pelaporan dalam SPT Tahunan PPh wajib pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada butir 2 di atas dilakukan dengan memperhatikan tahun buku wajib pajak dalam negeri yang bersangkutan.

Contoh :

a. Apabila tahun buku wajib pajak dalam negeri berakhir pada tanggal 31 Desember, maka untuk dividen yang ditetapkan telah diperoleh dalam bulan Juli 1996 atau Oktober 1996 sebagaimana dimaksud dalam contoh pada butir 4 di atas harus dilaporkan dalam SPT

Tahunan PPh tahun pajak 1996,

b. Apabila tahun buku wajib pajak dalam negeri yang bersangkutan berakhir pada tanggal 31 Juli, maka untuk dividen yang ditetapkan telah diperoleh dalam bulan Juli 1996 harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak 1996, sedang dividen yang ditetapkan telah diperoleh dalam bulan Oktober 1996 dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak 1997.

8. Oleh karena pada waktu memperhitungkan dividen yang ditetapkan telah diperoleh tersebut belum ada pajak yang secara nyata dibayar diluar negeri, maka dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak dilaporkannya dividen yang ditetapkan telah diperoleh tidak boleh diperhitungkan kredit pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 640/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 tentang Kredit Pajak Luar Negeri (PPh Pasal 24). Dengan demikian dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak 1996 dan SPT Tahunan PPh tahun pajak 1997 sebagaimana dimaksud dalam contoh pada butir 7 di atas tidak boleh dikreditkan PPh Pasal 24 yang berkenaan dengan dividen yang ditetapkan telah diperoleh dalam bulan Juli 1996 dan bulan Oktober 1996.

Dalam hal dikemudian hari ternyata wajib pajak dalam negeri yang bersangkutan menerima pembagian dividen, maka PPh Pasal 24 diperhitungkan dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak diterimanya dividen. Dalam hal dividen yang sebenarnya diterima di kemudian hari tersebut lebih besar dari jumlah dividen yang ditetapkan telah diperoleh, maka selisihnya harus dilaporkan sebagai penghasilan dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak diterimanya dividen tersebut.

(30)

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

(31)

LAMPIRAN V

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

7 Juli 1995 SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR SE - 35/PJ.4/1995 TENTANG

PENEGASAN LEBIH LANJUT ATAS DIVIDEN DARI PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA DI LUAR NEGERI

YANG SAHAMNYA TIDAK DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK (SERI PPh UMUM NOMOR 16)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Dengan Surat Edaran Nomor : SE-22/PJ.4/1995 tanggal 26 April 1995 (Seri PPh Umum Nomor 10) telah diberikan penegasan sehubungan dengan telah ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 650/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen atas Penyertaan Modal pada Badan Usaha di Luar Negeri yang Sahamnya Tidak Diperdagangkan di Bursa Efek. Sehubungan dengan masih adanya pertanyaan berkenaan dengan Keputusan Menteri Keuangan tersebut, dengan ini diberikan penegasan lebih lanjut sebagai berikut :

1. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas, Wajib Pajak dalam negeri baik sendiri ataupun secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha yang bertempat kedudukan di negara- negara sesuai dengan lampiran Keputusan Menteri Keuangan tersebut, wajib menghitung dan melaporkan dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri. Yang dimaksud dengan laba setelah pajak adalah laba usaha sesuai dengan laporan keuangan yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang lazim berlaku di negara yang bersangkutan dan telah diaudit oleh akuntan publik, setelah dikurangi dengan pajak penghasilan yang terutang di negara tersebut.

2. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas, penghitungan dividen sebagaimana dimaksud pada butir 1 tidak dilakukan apabila sebelum jangka waktu yang ditetapkan dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan tersebut badan usaha di luar negeri sudah membagikan dividen yang menjadi hak Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan dividen yang menjadi hak Wajib Pajak adalah dividen yang sekurang-kurangnya sama besarnya dengan dividen yang dihitung

(32)

sebanding dengan penyertaan Wajib Pajak pada badan usaha di luar negeri. Dalam hal demikian maka dividen tersebut harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) tahun pajak yang meliputi bulan diterimanya dividen.

Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

(33)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Stenny Mariani L Tobing

Tempat dan Tanggal Lahir : Pekanbaru, 23 Juni 1980

Alamat : Jl. M. Saun Kav. 14-15, Perumahan Tanah Baru Indah, Tanah Baru, Depok

Nomor Telepon, surat elektronik : 77211848, stenmoon@yahoo.com Nama orang tua : Ayah : J.D.S.L. Tobing (almarhum)

Ibu : D. Panggabean (almarhumah) Riwayat Pendidikan Formal :

SD (1986-1992) : SD Kristen Kalam Kudus Pekanbaru SMP (1992-1995) : SMP Kristen Kalam Kudus Pekanbaru SMA (1995-1998) : SMK Negeri 1 Pekanbaru

Referensi

Dokumen terkait

Keputusan Menteri Keuangan No.554/KMK.04/2000, tentang Kriteria wajib pajak patuh yang dapat diberikan pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Keputusan Menteri Keuangan

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 6/KMK.04/2001 tentang Pelaksanaan Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 554/KMK.04/2000 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG ALOKASI DEFINITIF DANA BAGI HASIL PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 DAN PASAL 29 WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI DAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 dengan tarif 2% dari peredaran bruto kurang adil karena bisa jadi terlalu besar bagi para orang pribadi pengusaha tertentu

Kepala cabang bertugas dan berwenang untuk memastikan operasional di cabang berjalan baik dan mencapai terget. Supervisor bertugas dan berwenang untuk melakukan

bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 486/KMK.03/2002 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-.../PJ/2002 tanggal ...2002,

Pasal l8 ayat (2) tentang kewenangan Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk menetapkan saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada