• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelepah Kelapa Sawit

2.1.1 Penunasan Pelepah Kelapa Sawit

Jumlah pelepah dapat memberikan pegaruh terhadap produksi kelapa sawit, terutama pada bobot tandan rata-rata dan produksi tandan buah segar. Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil dari tanaman kelapa sawit, salah satunya adalah cahaya. Pengaturan luas permukaan daun pada tanaman kelapa sawit dilakukan dengan pemotongan pelepah tua, yang sering disebut penunasan. Penunasan dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan panen buah atau pada waktu lain secara periodik. Penunasan dilakukan untuk menyeimbangkan antara kapasitas fotosintesis dan pemenuhan permintaan transpirasi (Gromikora, dkk. 2014)

Penunasan pada kelapa sawit merupakan salah satu tindakan budidaya yang dilakukan setiap tahunnya untuk menjaga keseimbangan jumlah pelepah pada tanaman. Kegiatan penunasan ini menghasilkan pelepah yang dapat menjadi sumber bahan organik bagi tanaman. Berbagai tindakan kultur teknis yang dikerjakan oleh suatu perkebunan kelapa sawit dalam usaha meningkatkan produksinya, diantaranya adalah penunasan. Daun kelapa sawit dalam jumlah tertentu, merupakan salah satu faktor yang turut menentukan pertumbuhan dan produktivitas tanaman (Basyar, 1996).

Bunga yang terbentuk terdapat pada ketiak daun. Jumlah daun yang diperlukan untuk metabolisme tanaman, seperti fotosintesis dan respirasi harus dipertahankan optimal sesuai dengan umur tanaman atau Indeks Luas Daun (ILD). Untuk tanaman berumur 3-8 tahun jumlah optimal berkisar 50- 56 pelepah/pohon dan pada tanaman diatas 8 tahun adalah 42-48 pelepah/pohon.Pertumbuhan dan produksi tanaman dianggap sebagai selisih antara produksi fotosintesis dengan kehilangan asimilat akibat proses respirasi. Produksi pelepah daun pada tanaman kelapa sawit selama 1 tahun

(2)

dapat mencapai 20-30 pelepah, kemudian berkurang sesuai dengan umur tanaman menjadi 18-25 pelepah, dengan demikian rerata produksi pelepah daun pada tanaman menghasilkan adalah sekitar dua pelepah setiap bulannya. (Basyar, 1996).

Tabel 2.1 Sifat Fisik dan Morfologi Serat Pelepah Kelapa Sawit (PKS) dan Tandan Kosong Sawit (TKS)

No Parameter Pelepah Tandan Kosong

1 Panjang serat L (mm) - Minimum - Maksimum - Rata rata 0,62 0,23 2,51 1,48 1,30 0,66 2 Diameter Serat (D) 19,48 16,89

3 Diameter Lumen (I) 12,07 9,52

4 Tebal Dinding (w) 3,89 3,69

5 Bilangan Runkel 0,64 0,77

6 Kelangsingan (I/D) 65,52 39,08

7 Kelemasan (I/D) 0,61 0,56

8 Rapat massa tumpukan serpih kg/m3 106,50 190,27

9 Kadar Serat % 42,86 75,58

Sumber : Darnoko dkk, 2001

2.1.2 Kadar Serat Pelepah

Kekuatan pelepah daun antara lain bergantung pada adanya jaringan penguat (schlerenchyma). Jaringan penguat tersebut terdiri dari lapisan dalam yang terdekomposisi oleh lignin, selulose, dan semiselulose (Darmosarkoro dan Sugiyono, 1998).

Hasil analis laboratorium Ilmu Nutrisi Makanan Ternak, Departemen Fakultas Pertanian USU (2000), pelepah daun kelapa sawit mengandung 6,50% protein kasar, 32,55% serat kasar, 4,47% lemak kasar, 9,34% bahan kering dan 56,00% TDN (Waruwu, 2015).

(3)

Tabel 2.2 Komposisi Pelepah Kelapa Sawit

No Parameter Pelepah Sawit Tandan Kosong Sawit

1 Abu, % 2,74 6,23 2 Si02, % 0,84 1,10 3 Holoselulosa % 72,67 66,07 4 Alfa Selulosa 36,74 37,50 5 Sari (ekstraktif), % 1,81 7,78 6 Lignin, % 21,39 20,63 7 Pentosan, % 22,19 25,34 Sumber : Darnoko dkk, 2001 2.1.3 Kadar Hara Pelepah

Observasi terhadap kadar hara pelepah didasarkan pada kenyataan bahwa kadar hara pelepah dapat dijadikan salah satu tolak ukur status hara tanaman kelapa sawit. Kadar K pelepah berkisar antara 2,57 sampai 3,74. Kadar K yang tinggi pada pelepah merupakan pencerminan serapan K pada tanaman. Sementara itu kadar Ca pelepah berkisar antara 0,37 sampai 0,68% dan kadar Mg berkisar antara 0,13 sampai 0,36% (Darmosarkoro dan Sugiyono, 1998).

2.1.4 Jerami Padi

Jerami padi adalah sumber bahan organik yang tersedia setelah panen padi dengan jumlah yang cukup besar, akan tetapi pemanfaatan jerami padi selama ini hanya digunakan pada tanah sawah saja. Sedangkan beberapa tanah seperti Ultisol, Oxisol dan Entisol masih sangat membutuhkan penambahan bahan organik untuk meningkatkan kandungan unsur haranya (Nuraini, 2009). Tanah yang miskin bahan organik juga berkurang kemampuan daya menyangga pupuk anorganik, sehingga efisiensi pemupukan menurun karena sebagian besar pupuk akan hilang melalui pencucian, fiksasi atau penguapan. Kandungan hara NPK dan S dalam jerami berturut-turut adalah N (0.5-0.8 %), P (0.07-0.12 %), K (1.2-1.7 %), dan S (0.05-0.10 %). Kadar hara P, K,

(4)

Na, Ca, Mg, Mn, dan Cu jerami yang dikomposkan lebih tinggi dibandingkan jerami mentah (Idawati dkk, 2017).

2.2 Bahan Organik

2.2.1 Pengertian Bahan Organik

Bahan organik merupakan bahan-bahan yang dapat diperbaharui, didaur ulang, dirombak oleh bakteri-bakteri tanah menjadi unsur yang dapat digunakan oleh tanaman tanpa mencemari tanah air. Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahan organik demikian berada dalam pelapukan aktif dan menjadi mangsa serangan jasad mikro. Sebagai akibatnya bahan tersebut berubah terus dan tidak mantap sehingga harus selalu diperbaharui melalui sisa-sisa tanaman atau binatang (Nugroho, 2012).

Sumber asli bahan organik tanah ialah jaringan tumbuhan dalam keadaan alami bagian diatas tanah, akan pohon, semak-semak, rumput dan tanaman tingkat rendah lainnya tiap tahun menyediakan sejumlah besar sisa-sisa organik. Sebagian besar dari tumbuhan bisa diangkut sebagai hasil panen, akan tetapi beberapa bagian diatas tanah dan semua akar ditinggalkan. Karena bahan ini didekomposisikan dan dihancurkan oleh banyak macam organisme tanah, hasilnya akan menjadi bagian dari horizon dibawahnya, karena di adsorbsi atau pencampuran fisik secara aktif. Sumber bahan organik tanah adalah hewan. Hewan memberikan hasil samping dan meninggalkan bagian tubuh mereka sebagai peredaran hidupnya. Bentuk kehidupan hewan tertentu, terutama cacing tanah, sentipoda dan semut memegang peranan penting dalam perubahan sisa-sisa tumbuhan (Buckman dan Brady, 1982).

Hasil pengomposan bahan organik dinyatakan aman digunakan ketika bahan organik dikomposkan dengan sempurna, salah satu indikasi terlihat dari kematangan kompos yang meliputi karakteristik fisik (bau, warna, dan tekstur) rasio C/N 10-20 dan fitotoksisitas rendah (Djuarnani, dkk 2005).

(5)

Humus merupakan salah satu bentuk bahan organik. Humus berasal dari residu-residu tanaman, binatang dan mikroba. Humus terbentuk sebagai suatu hasil dari proses-proses dekomposisi, maka komposisinya juga tergantung akan berbagai jasad renik yang terlibat dalam pembusukan atau pelapukan residu-residu tersebut (Sutedjo dkk, 1991).

2.2.2 Peran Bahan Organik

Bahan organik memiliki peranan penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah mendukung produktivtas tanaman juga menurun. Kerusakan tanah secara garis besar dapat digolongkan menjadi tiga kelompok utama, yaitu kerusakan sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Kerusakan kimia tanah dapat terjadi karena proses pemasaman tanah, akumulasi garam-garam (salinisasi), tercemar logam berat, dan senyawa organik dan xenobiotik seperti pestisida atau tumpahan minyak bumi (Djajakirana, 2002).

Terjadinya pemasaman tanah dapat diakibatkan penggunaan pupuk nitrogen buatan secara terus menerus dalam jumlah besar. Kerusakan tanah secara fisik dapat diakibatkan karena kerusakan struktur tanah yang dapat menimbulkan pemadatan tanah. Kerusakan struktur tanah ini dapat terjadi akibat pengolahan tanah yang salah atau penggunaan pupuk kimia secara terus menerus. Kerusakan biologi tanah ditandai oleh penyusutan populasi maupun berkurangnya biodervisitas organisme tanah, dan terjadi biasanya bukan kerusakan sendiri, melainkan akibat dari kerusakan lain (fisik dan kimia). Sebagai contoh penggunaan pupuk nitrogen (dalam bentuk ammonium sulfat dan sulfur coatedurea) yang terus menerus selama 20 tahun dapat menyebabkan pemasaman tanah sehingga populasi cacing tanah menurun drastis. Dengan demikian terjadi ketidakseimbangan masukan bahan organik dengan kehilangan yang terjadi melalui dekomposisi yang berdampak pada penurunan kadar bahan organik dalam tanah. Tanah-tanah yang sudah mengalami kerusakan akan sulit mendukung pertumbuhan tanaman. Sifat

(6)

sifat tanah yang sudah rusak memerlukan perbaikan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi kembali secara optimal (Djajakirana, 2002).

2.2.3 Fungsi Bahan Organik

Fungsi dari bahan organik menurut Tobing (2009) adalah : 1) Sebagai sumber granulator, yaitu memperbaiki struktur tanah 2) Sumber unsur hara N, P, S dan unsur hara mikro lainnya 3) Menambah kemampuan tanah untuk menghambat air

4) Menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara (Kapasitas tukar kation tanah menjadi lebih tinggi).

2.2.4 Dekomposisi Bahan Organik

Proses dekomposisi bahan organik dibagi menjadi beberapa tahap, pada tahap awal atau dekomposisi intensif berlangsung, dihasilkan suhu yang cukup tinggi dalam waktu yang relatif pendek dan bahan organik yang mudah terdekomposisi akan diubah menjadi senyawa lain. Pada tahap pematangan utama dan pasca pematangan, bahan yang sukar akan terdekomposisi akan terurai dan membentuk ikatan kompleks lempung-humus. Produk yang dihasilkan adalah antara lain mempunyai ciri : tidak berbau, remah, berwarna kehitaman, mengandung hara yang tersedia bagi tanaman, dan kemampuan mengikat air. Perkembangan proses dekomposisi yang kurang baik pada umumnya disebabkan oleh kandungan campuran kompos tidak sesuai. Selama proses dekomposis berlangsung harus dilakukan monitoring terhadap kelembaban dan suhu dengan tujuan memperbaiki kesalahan pada tahap awal dekomposisi (Sutanto, 2002).

Bahan organik secara umum dibedakan atas bahan organik yang relatif sukar didekomposisi karena disusun oleh senyawa siklik yang sukar diputus atau dirombak menjadi senyawa yang lebih sederhana, termasuk didalamnya adalah bahan organik yang mengandung senyawa lignin, minyak, lemak, dan 10 resin yang umumnya ditemui pada jaringan tumbuh-tumbuhan dan bahan organik yang mudah didekomposisikan karena disusun oleh senyawa sederhana yang terdiri dari C, O, dan H termasuk didalamnya adalah senyawa

(7)

dari selulosa, pati, gula dan senyawa protein. Dari berbagai aspek tersebut, jika kandungan bahan organik tanah cukup, maka kerusakan tanah dapat diminimalkan, bahkan dapat dihindari. Jumlah bahan organik didalam tanah dapat berkurang hingga 35% untuk tanah yang ditanami secara terus menerus dibandingkan dengan tanah yang belum ditanami atau dijamah (Buckman dan Brady, 1982).

Dekomposisi bahan organik secara aerob tidak menimbilkan bau busuk. Selama pengomposan berlangsung akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan energi. Kenaikan suhu dalam timbunan bahan organik menghasilkan suhu yang menguntungkan mikroorganisme, akan tetapi apabila suhu melampaui 65-70 oC, kegiatan mikroorganisme akan menurun karena kematian organisme akibat panas tinggi (Sutanto, 2002). 2.3 Dekomposer

Dekomposer adalah inokulum campuran berbagai jenis mikroorganisme selulotik dan lignolitik untuk mempercepat laju pengomposan pada pembuatan pupuk kandang. Di pasaran banyak beredar bioaktivator, diantaranya Orgadec, EM4, dan Stardec. Dalam bioaktivator ini terdapat berbagai macam genus mikroorganisme fermentor dan dekomposer. Mikroorganisme ini dipilih yang dapat bekerja secara efektif dalam memfermentasikan dan mengurai bahan organik (Walden, 2016).

2.4 Amandemen 2.4.1 Kotoran Sapi

Pupuk kandang merupakan kotoran padat dan cair dari hewan ternak yang tercampur dengan sisa makanan. Nilai pupuk kandang ditentukan olehkomposisi pupuk yang tergantung dari jenis, umur, keadaan individu hewan dan jenis makanan yang dikonsumsi hewan. Pupuk kandang memiliki beberapa sifat yang lebih baik dari pupuk alam yang lainnya antara lain :

(8)

 Sebagai sumber hara N, P, dan K yang amat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman

 Menaikkan daya menahan air

 Banyak mengandung mikroorganisme yang dapat mensintesa senyawa senyawa tertentu sehingga berguna bagi tanaman.

Penambahan pupuk kandang kedalam tanah dapat menjaga stabilitas agregat dan pori-pori makro yang dibutuhkan untuk infiltrasi sehingga mengurangi run off dan erosi. Pupuk kandang yang dapat digunakan antara lain adalah kotoran sapi. Dibandingkan dengan pupuk kandang lainnya kotoran sapi kaya akan unsur hara. Didalam kotoran sapi terkandung unsur-unsur hara seperti N, P, dan K. Kadar N, P, dan K yang terdapat dalam Pupuk Kandang.

Tabel 2.3 Kadar N, P, K yang terdapat dalam pupuk kandang

Unsur (%) Kotoran Ayam Kotoran Sapi

Nitrogen (N) 1,70 0,29

Phospor (P2O5) 1,90 0,17

Kalium (K2O) 1,50 0,35

Sumber : Darnoko dkk, 2001

Pupuk kandang kotoran sapi juga dikategorikan berkualitas tinggi dan lebih cepat tersedia dibandingkan dengan pupuk kandang yang lain serta merupakan pupuk kandang yang mengandung bahan organik, Nitrogen, Fosfor, Kalium tersedia lebih besar. Pupuk kandang sapi mempunyai kadar serat yang tinggi seperti selulosa, pemanfaatan pupuk kandang sapi juga berkaitan dengan kadar air yang tinggi.

2.4.2 Cacing Tanah (Lumbricus rubellus)

Cacing tanah merupakan hewan avertebrata yang hidup di tempat yang lembab dan tidak terkena matahari langsung. Kelembaban ini penting untuk mempertahankan cadangan air dalam tubuhnya. Kelembaban yang dikehendaki sekitar 60-90%. Selain tempat yang lembab, kondisi tanah juga mempengaruhi kehidupan cacing, seperti pH tanah, suhu, aerasi, CO2, bahan

(9)

organik, jenis tanah, dan suplai makanan. Di antara ke tujuh faktor tersebut, pH dan bahan organik merupakan dua faktor yang sangat penting (Yovita, 2011).

Cacing tanah umumnya tidak memakan vegetasi hidup, tapi hanya makan bahan makanan berupa bahan organik mati baik sisa-sisa hewan ataupun tanaman. Cacing tanah lebih senang hidup pada tanah-tanah yang lembab, tata udara baik, hangat sekitar 21 0C, pH tanah 5,0-8,4, banyak bahan organik, kandungan garam rendah. Tetapi C tersedia tinggi, tanah agak dalam, tekstur sedang sampai halus dan tidak terganggu oleh pengolahan tanah (Hardjowigeno, 2010).

Menurut (Djuarnani dkk, 2005) Cacing dapat digunakan untuk mempercepat proses pengomposan. Metode pengomposan dengan cacing atau dekenal dengan istilah vermicomposting lebih efektif dibandingkan dengan metode pengomposan yang hanya mengandalkan bakteri pengurai yang ada di dalam bahan kompos. Beberapa keuntungan penggunaan cacing dalam proses pengomposan sebagai berikut :

 Karena berlangsung secara aerobik, proses pengomposan tidak menimbulkan bau busuk seperti pengomosan pada umumnya.

 Waktu pengomposan akan lebih cepat

 Kotoran cacing yang dihasilkan dapat dijadikan pupuk organik karena mengandung unsur hara makro yang dibutuhkan tanaman dan mudah diserap. Jenis cacing tanah yang bisa digunakan pada pembuatan kompos adalah Lumbricinia rubellus. Cacing jenis ini dapat hidup dalam populasi yang padat. Cacing ini sering ditemukan di bawah timbunan dedaunan atau timbunan kotoran ternak. Cacing jenis ini tidak hidup jauh didalam tanah seperti jenis cacing lainnya, tetapi lebih sering hidup di lapisan mendekati permukaan tanah.

(10)

Seekor cacing dewasa dapat menghasilkan dua telur per minggu dan setiap telur dapat menetaskan 2-3 ekor cacing. Beberapa ciri cacing Lumbricinia rubellus sebagai berikut :

 Bagian atas tubuhnya berwarna kecokelatan atau merah ungu, sedangkan permukaan bawah tubuhnya berwarna pucat.

 Menempati tanah lapisan atas, tetapi kawin dan bertelur di dalam tanah.

 Panjang mencapai 60-150 mm dan diameter 4-6 mm.

Dapat menghasilkan 79-106 kokon per tahun per ekor.

2.4.3 Mikroorganisme Selulotik (MOS)

Untuk mempercepat dekomposisi bahan organik dapat dilakukan beberapa cara yaitu secara fisik, kimia dan biologi. Perlakuan secara biologi umumnya dengan menambahkan inokulum mikroorganisme yang berkemampuan tinggi dalam merombak bahan yang akan di dekomposisikan. Pada perombakan pelepah ini proses biokonversi dilakukan oleh mikroorganisme selulotik. Perombakan selulosa merupakan pemecahan polimer primer anhidroglusa menjadi molekul sederhana yang menghasilkan oligasakarida maupun monomer glukosa atau produk seperti asam-asam organik maupun alkohol. Mikroorganisme selulotik secara alami sangat umum dijumpai pada tanah-tanah pertanian, hutan, pada rabuk atau jaringan tanaman yang membusuk. Mikroorganisme ini terdiri dari berbagai kelompok bakteri mesophilik aerobic seperti Callulomonas sp, Cytophaga sp, bakteri thermopilik (Basidiomisetes), jamur berfilamen (Chaetomium sp, Aspergillus sp, Humicola sp) dan aktinomisetes (Nocardia sp, Streptomyces sp) (Rao, 1984). 2.4.4Mikroorganisme Lokal (MOL)

Mikroorganisme Lokal (MOL) merupakan mikroorganisme menguntungkan yang digunakan untuk peragian atau mempercepat pembusukan dalam proses pembuatan pupuk kandang. Dengan penggunaan MOL dalam pembuatan pupuk kandang bisa mengelimir adanya limbah. Selain itu MOL juga bisa mempercepat pengomposan (Setiawan, 2010).

(11)

Selain digunakan sebagai starter pupuk kandang, MOL juga dipakai sebagai sebagai pupuk cair. Cara aplikasinya dengan mengencerkan MOL terlebih dahulu. Larutan tersebut disiram pada tanah disekitar tanaman. Kesulitan mendapatkan pupuk saat musim tanam membuat petani berfikir keras untuk menghilangkan ketergantungan terhadap pupuk kimia. Penggunaan pupuk organik dapat menjaga kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah dan menetralisasi kimia atau racun dalam tanah (Hardjowigeno, 2010).

2.5 Proses Pengomposan

Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan C/N tanah. Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbohidrat (C) dan Nitrogen (N). Rasio C/N tanah berkisar antara 10-12. Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio C/N tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan tanaman. Namun pada umumnya bahan organik segar mempunyai rasio C/N tinggi (Jerami 50-70, dedaunan tanaman 50-60, kayu-kayuan >400, dan lain-lain). Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (<20). (Simanungkalit dkk, 2012).

Rosmarkam dan Yuwono (2002) menyimpulkan bahwa pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan mikroba agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Mikroba tersebut adalah bakteri, fungi dan jasad renik lainnya. Adapun kunci membuat kompos yang bagus meliputi : rasio karbon/nitrogen, adanya bahan mikroorganisme, tingkat kelembapan, tingkat oksigen dan ukuran partikel.

Yuli dkk (2008) mengatakan bahwa kandungan N dalam kompos berasal dari bahan organik kompos yang didegradasi oleh mikroorganisme, sehingga berlangsungnya proses pengomposan sangat mempengaruhikandungan N dalam kompos.

(12)

2.6 Faktor yang mempengaruhi proses Pengomposan

Menurut Gaur (1982) kelembaban optimum untuk pengomposan aerob antara 50-60%, apabila lebih rendah dari 50%, maka pengomposan akan berlangsung lebih lambat, apabila kelembaban diatas 60% maka hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap. Selain itu faktor-faktor tersebut mempengaruhi proses penguraian limbah organik menjadi kompos oleh bakteri (Warsidi, 2010).

Ada 10 faktor yang mempengaruhi proses berlangsungnya pengomposan. Faktor-faktor tersebut yaitu :

1. Rasio C/N

Rasio C/N (Karbon dan Nitrogen) yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30:1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C (Karbon) sebagai sumber energi dan menggunakan N (Nitrogen) untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup karbon tunkuk energi dan nitrogen untuk sintesis protein.

2. Ukuran Partikel

Aktivitas mikroba berada di antara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.

3. Aerasi

Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara ruang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh porositas dan kelembaban. Apabila aerasi terhambat, akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan

(13)

dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.

4. Porositas

Porositas adalah ruang di antara partikel di dalam tumpukan kompos.Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplai oksigen untuk proses pengomposan.

5. Kelembaban

Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Mikroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40-60% adalah kisaran optimum untuk metabilisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan apabila di atas 60% maka volume udara akan berkurang dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.

6. Temperatur/Suhu

Panas dihasilkan dari aktivitas (fermentasi) mikroba (yang menghasilkan energi berupa kalor/panas). Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur, semakin banyak konsumsi oksigen dan semakin cepat pula proses dekomposisi. Temperatur yang berkisar antara 30-60oC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat.

7. pH

Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar.Tingkat keasaman (pH) yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati normal.

(14)

Kandungan P (Phosphor) dan K (Kalium) juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pembentukan kompos.

9. Kandungan Bahan Berbahaya

Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam seperti Mg, Cu, Zn, Ni, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk dalam kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.

10. Lama Pengomposan

Lama waktu pengomposan bergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan, metode pengomposan yang dipergunakan dan dengan atau tanpa penambahan aktivator pengomposan. Secara alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun.

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Perhitungan Beban Pendingin Lantai 3(tiga) ……….... Ruang Konsultasi &amp; Ruang

Sertifikat tersebut kemudian digunakan untuk melakukan tanda tangan pada gambar hasil pengambilan gambar/citra melalui kamera ponsel pintar dengan aplikasi Android yang telah

Dengan dibuatnya pakaian wanita siap pakai dengan inspirasi motif dari tenun Sumba, kemudian motif Sumba yang dikembangkan dengan teknik cukil kayu, merupakan suatu bentuk

Dari tabel 4.14 nilai MSA pada wisatawan kota Bukittinggi di atas terlihat bahwa dari 13 variabel yang difaktorkan, nilai yang diperoleh dari MSA-nya adalah di atas 0,5

Aplikasi yang dibangun diharapkan dapat mendukung informasi diantaranya sistem input registrasi akun, sistem input dan proses data jadwal keberangkatan, serta sistem input

Dalam penelitian ini melakukan survei di ruas jalan yanf sibuk di ruas jalan kota yogyakarta, dengan ditinjau studi kelayakan kinerja terhadap suatu ruas jalan di Yogyakarta

Nabari Ginting MSi gelandangan adalah orang yang hidup tidak sesuai norma masyarakat, tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap.. Dengan demikian gelandangan

Tahanan referensi lentur kayu gergajian dapat ditingkatkan dengan faktor komponen ganda (C r ) sebesar 1,5 apabila kayu digunakan sebagai sambungan, rangka