• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis

2.1.1 Pengertian Kepribadian

Kepribadian tidak dimaksudkan bahwa seorang pribadi memiliki pesona, suatu sikap positif terhadap hidup, dan wajah yang tersenyum. Para psikolog cenderung mengartikan kepribadian sebagai suatu konsep dinamis yang mendeskribsikan pertumbuhan dan perkembangan seluruh sistem psikologis seseorang. Definisi kepribadian yang paling sering digunakan dibuat oleh Gordon Allport hampir 60 tahun yang lalu. Dia mengatakan bahwa kepribadian adalah organisasi dinamik dari sistem-sistem psikologis dalam individu yang menentukan penyesuian yang unik terhadap lingkungannya (Robbins dan Judge, 2008:126-127). Menurut Moorhead dan Griffin (2013:63-64) kepribadian (Personality) adalah serangkaian atribut psikologis yang relatif stabil yang membedakan satu orang dengan yang lain. Pada kenyataan, baik faktor biologis maupun lingkungan memainkan peran penting dalam menentukan kepribadian. Sedangkan menurut Kreitner dan Kinicki (2014:131) kepribadian (personality) adalah kombinasi karakteristik fisik dan mental yang stabil yang memberikan identitas kepada individu. Karakteristik atau sifat ini termasuk penampilan, pemikiran, tindakan, dan perasaan seseorang adalah produk pengaruh genetik dan lingkungan yang saling berinteraksi.

(2)

Dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah keseluruhan satu konsep dinamik yang menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan keseluruhan sistem psikologis dalam individu yang menentukan penyesuaian yang unik terhadap lingkungnnya.

2.1.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepribadian

Menurut Purwanto (2010) Beberapa faktor yang bisa mempengaruhi kepribadian antara lain:

1. Faktor biologis

Yaitu faktor yang berhubungan dengan keadaan jasmani, atau fisiologis yang meliputi keadaan pencernaan, urat, syaraf, pernapasan, peredaran darah, kelenjar dan sebagainya. Keadaan jasmani setiap orang berbeda-beda, ini menunjukan bahwa sifat-sifat jasmani yang ada pada setiap orang ada yang diperoleh melalui genetik/keturunan, dan ada pula yang merupakan pembawaan individu itu masing-masing. Keadaan fisik tersebut yang mempengaruhi kepribadian, namun itu merupakan salah satu faktor saja, seperti faktor pendidikan dan lingkungan juga berperan.

2. Faktor sosial

Yaitu manusia-manusia lain di sekitar individu yang mempengaruhi individu bersangkutan. Termasuk juga kedalam faktor sosial adalah tradisi-tradisi, adat istiadat, peraturan-peraturan, bahasa, dan sebagainya yang berlaku dimasyarakat itu.

(3)

3. Faktor kebudayaan

Perkembangan dan pembentukan kepribadian pada diri masing-masing orang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat di mana seseorang itu dibesarkan. Beberapa aspek kebudayaan yang sangat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan kepribadian antara lain: nilai, adat, bahasa, pengetahuan dan keterampilan.

2.1.1.2 Dimensi Kepribadian Big Five

Kreitner dan Kinicki (2014:132) menyatakan bahwa ada lima besar dimensi kepribadian adalah:

1. Extroversion (keterbukaan terhadap lingkungan sosial dan fisik)

Merujuk pada kecenderungan orang untuk senang bergaul, suka berbicara, mudah bersosialisasi, dan tegas.

2. Agreeableness (mudah akur atau mudah bersepakat)

Merujuk pada kecenderungan seseorang mudah percaya, bersifat baik, kooperatif, dan berhati lembut

3. Conscientiousness (sifat berhati-hati)

Ditunjukkan oleh mereka yang digambarkan sebagai seseorang yang dapat diandalkan, bertanggung jawab, berorientasi pada pencapaian, tekun 4. Emotional stability (stabilitas emosional)

Merupakan kecenderungan seseorang mengalami keadaan tenang, aman, tidak mudah khawatir.

(4)

5. Openness to experience (terbuka terhadap hal-hal yang baru)

Sikap spesifik yang dicakupnya adalah intelektual, imajinatif, penasaran, dan berpikiran luas.

2.1.1.3 Ciri-Ciri Kepribadian di Tempat Kerja Lainnya

Moorhead dan Griffin (2013:67-69) menyatakan bahwa ada 6 ciri-ciri kepribadian di tempat kerja lainnya adalah sebagai berikut:

1. Lokus kendali (locus of control) adalah tingkat dimana seseorang percaya bahwa perilakunya mempunyai pengaruh nyata terhadap apa yang terjadi pada mereka. Contoh: bahwa jika mereka bekerja keras mereka akan berhasil.

2. Efektivitas diri (self-efficacy) adalah sebuah sebuah karakteristik kepribadian yang terkait tetapi sedikit berbeda. Efektivitas diri seseorang adalah kepercayaan orang tersebut mengenai kemampuannya untuk melakukan suatu tugas.

3. Otoritarianisme (authoritarianism) adalah tingkat dimana seseorang percaya bahwa perbedaan kekuasaan dan status adalah pantas dalam hierarkis sistem sosial seperti organisasi. Contoh: seseorang yang sangat otoritarian dapat menerima arahan atau perintah dari seseorang dengan otoritas lebih besar hanya karena orang tersebut atasan.

4. Machiavelianisme (machiavelianisme) adalah perilaku yang diarahkan untuk memperoleh kekuasaan dan pengendalian perilaku orang lain. Individu yang lebih bersifat machiavelin cenderung rasional dan tidak

(5)

emosional, mungkin bersedia untuk berbohong guna mencapai sasaran pribadi mereka, menempatkan tekanan kecil pada loyalitas dan persahabatan, dan senang memanipulasi perilaku orang lain.

5. Harga diri (self-esteem) adalah tingkat dimana seseorang percaya bahwa ia merupakan individu yang berharga dan layak. Orang dengan harga diri tinggi lebih berkemungkinan mencari pekerjaan dengan status lebih tinggi, lebih percaya diri dalam kemampuannya untuk mencapai tingkat kinerja lebih tinggi, dan memperoleh kepuasan intrinsik yang lebih besar dari pencapaiannya.

6. Kecenderungan resiko (risk-propensity) adalah tingkat dimana seseorang bersedia untuk mengambil kesempatan dan mengambil keputusan yang berisiko. Contoh: dapat bereksperimen dengan ide-ide baru dan berspekulasi dengan produk baru. Ia juga dapat memimpin organisasi ke arah yang baru dan berbeda.

2.1.2 Kepuasan Kerja

2.1.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Menurut Sutrisno (2009:74) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu sikap karyawan terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan situasi kerja, kerja sama antar karyawan, imbalan yang diterima dalam kerja, dan hal-hal yang menyangkut faktor fisik dan psikologis. Pendapat lain menurut Hasibuan (2010:202) Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral

(6)

kerja, kedisiplinan kerja. Kepuasan kerja dinikmati oleh pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan.

Menurut kreitner dan kinicki (2014:169) berpendapat bahwa kepuasan kerja (job satisfaction) adalah sebuah tanggapan afektif atau emosional terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang. Sedangkan menurut Robbins dan Judge (2008:99) kepuasan kerja adalah perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan yang negatif tentang pekerjaan.

2.1.2.2 Teori Kepuasan Kerja

Menurut Rivai (2011:856) Teori kepuasan kerja yang cukup dikenal adalah:

1. Teori ketidaksesuaian (Discrepancy theory). Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga apabila kepuasan diperoleh melebihi dari apa yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi, sehingga dapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positif. Kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai.

2. Teori Keadilan (Equity theory). Teori ini menggambarkan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung pada ada atau tidaknya

(7)

keadilan (equity) dalam suatu situasi, khususnya situasi kerja. Menurut teori ini komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil, keadilan dan ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi karyawan yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan atau perlengkapan yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaannya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti upah/gaji, keuntungan sampingan, simbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil atau aktualisasi diri. Sedangkan orang selalu membandingkan dapat berupa seseorang diperusahaan yang sama, atau ditempat lain atau bisa pula dengan dirinya dimasa lalu. Menurut teori ini, setiap karyawan akan membandingkan rasio input hasil dirinya dengan rasio input orang lain. Bila perbandingan dianggap cukup adil, maka karyawan akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan, tetapi bisa pula tidak. Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang akan timbul ketidakpuasan.

3. Teori dua faktor (two factor theory). Menurut teori ini kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu bukan suatu variabel yang kontinu. Teori ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfies atau motivator dan dissatisfies. Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari pekerjaan yang menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk

(8)

berprestasi, kesempatan memperoleh penghargaan promosi. Terpenuhnya faktor tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfies adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari gaji/upah, pengawasan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan.

2.1.2.3 Konsekuensi Ketidakpuasan Kerja

Ada konsekuensi ketika karyawan menyukai pekerjaan mereka dan ada konsekuensi ketika karyawan tidak menyukai pekerjaan mereka. Sebuah kerangka teoritis yang sangat bermanfaat dalam memahami konsekuensi dari ketidakpuasan. Respon-respon tersebut didefinisikan sebagai berikut (Robbins dan Judge, 2008:111-112):

a) Keluar (exit): Perilaku yang ditujukan untuk meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru dan mengundurkan diri.

b) Aspirasi (voice): Secara aktif dan konstruktif berusaha memperbaiki kondisi, termasuk menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan beberapa bentuk aktivitas serikat kerja.

c) Kesetiaan (Loyalty): Secara pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan dengan kecaman eksternal dan memercayai organisasi dan manajemen untuk melakukan hal yang benar.

(9)

d) Pengabaian (Neglect): Secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk, termasuk ketidakhadiran atau keterlambatan yang terus-menerus, kurangnya usaha, dan meningkatnya angka kesalahan.

Gambar 1

Respons-respons terhadap Ketidakpuasan Kerja Sumber: Robbins dan Judge (2008:115)

2.1.2.4 Pengukuran Kepuasan Kerja

Menurut Mangkunegara (2011:126) mengukur kepuasan kerja dapat digunakan dengan skala indeks deskripsi jabatan, skala kepuasan kerja berdasarkan ekspresi wajah, dan kuesioner kepuasan kerja minnesota.

a. Pengukuran kepuasan kerja dengan skala indeks deskripsi jabatan

Skala pengukuran ini dikembangkan oleh Smith, Kenall, dan Hulin pada tahun 1969. Dalam penggunaannya, pegawai ditanya mengenai pekerjaannya maupun jabatannya yang dirasa sangat baik dan sangat buruk dalam skala mengukur sikap dari lima area, yaitu kerja, pengawasan, upah, promosi dan co-worker. Setiap pertanyaan yang

AKTIF DESTRUKTIF KONSTRUKTIF Kesetiaan Pengabaian Keluar Aspirasi PASIF

(10)

diajukan harus dijawab oleh pegawai dengan cara menandai jawabannya ya, tidak, atau tidak ada jawaban.

b. Pengukuran kepuasan kerja dengan berdasarkan ekspresi wajah

Mengukur kepuasan kerja ini dikembangkan oleh Kunin pada tahun 1955. Skala ini terdiri dari seri gambar wajah-wajah orang mulai dari sangat diminta untuk memilih ekspresi wajah yang sesuai dengan kondisi pekerjaan yang dirasakan pada saat itu

c. Pengukuran kepuasan kerja dengan menggunakan koesioner Minnesota Pengukuran kepuasan kerja ini dikembangkan oleh Weiss, Dawis, dan England pada tahun 1967. Skala ini terdiri dari pekerjaan yang dirasakan sangat tidak puas, tidak puas, netral, memuaskan, dan sangat memuaskan. Pegawai diminta memilih satu alternatif jawaban yang sesuai dengan kondisi pekerjaannya.

2.1.2.5 Sebab-Sebab Kepuasan Kerja

Menurut Kreitner dan Kinicki (2014:169-170) ada lima model utama sebab-sebab dari kepuasan kerja adalah sebagai berikut:

1. Pemenuhan kebutuhan

Model ini menyatakan bahwa kepuasan ditentukan oleh tingkatan dimana karakteristik sebuah pekerjaan memungkinkan seseorang memenuhi kebutuhannya. Contoh: gaji, tunjangan, keamanan pekerjaan, dan keseimbangan pekerjaan atau kehidupan. Semuanya berhubungan secara

(11)

langsung dengan kemampuan pegawai untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar.

2. Ketidaksesuaian

Model ini menyatakan bahwa kepuasan adalah hasil dari ekspektasi yang terpenuhi. Ekspektasi yang terpenuhi menunjukkan perbedaan antara apa yang ingin diterima seseorang dari suatu pekerjaan, seperti gaji yang sesuai dan kesempatan mendapatkan promosi, dan apa yang sebenarnya dia terima.

3. Pencapaian Nilai

Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi bahwa sebuah pekerjaan memungkinkan adanya pemenuhan terhadap nilai-nilai kerja yang penting bagi seseorang. Para manajer juga bisa meningkatkan kepuasan pegawai dengan membangun lingkungan kerja dan penghargaan-penghargaan serta pengakuan lainnya untuk menguatkan nilai-nilai pegawai.

4. Keadilan

Model ini menyatakan bahwa kepuasan adalah sebuah fungsi dari seberapa adil pegawai diperlakukan ditempat kerja. Para manajer didorong untuk mengawasi persepsi keadilan pegawai dan untuk berinteraksi dengan pegawai dalam cara yang membuat mereka merasa diperlakukan cukup pantas.

(12)

5. Komponen-Komponen Disposisi atau Genetis

Memperhatikan bahwa beberapa rekan kerja atau teman merasa cukup puas dalam berbagai keadaan pekerjaan, sedangkan orang lain selalu merasa kurang puas. Model Disposisi atau Genetis didasarkan pada kepercayaan bahwa kepuasan kerja sebagian adalah fungsi dari sifat pribadi dan faktor genetis.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa indikator atau sebab-sebab kepuasan kerja terdiri dari: imbalan, pekerjaan itu sendiri, peluang promosi, supervisi, rekan kerja, kondisi pekerjaan, dan keamanan pekerjaan.

2.1.3 Komitmen Organisasi

2.1.3.1 Pengertian Komitmen Organisasi

Menurut Robbins dan Judge (2008:100) komitmen organisasional (organizational commitment) adalah suatu keadaan di mana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Jadi, keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seorang individu, sementara komitmen organisasional yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut. Sedangkan menurut Moorhead dan Griffin (2013:73) komitmen organisasi (organizational commitment) adalah sikap yang mencerminkan sejauh mana seseorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya. Seseorang individu yang memiliki komitmen

(13)

tinggi kemungkinan akan melihat dirinya sebagai anggota sejati organisasi. Sedangkan menurut kreitner dan kinicki (2014:165) bahwa komitmen organisasi (organizational commitment) mencerminkan tingkatan dimana seseorang mengenali sebuah organisasi dan terikat pada tujuan-tujuannya. Dapat disimpulkan bahwa organizational commitment adalah keadaan psikologis individu yang berhubungan dengan keyakinan, kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi dan tingkat sampai sejauh mana ia tetap ingin menjadi anggota organisasi.

2.1.3.2 Dimensi Komitmen Organisasi

Robbins dan Judge (2008:101) menyatakan bahwa ada tiga dimensi terpisah komitmen organisasional adalah:

1. Komitmen afektif (affective commitment) adalah perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya. Sebagai contoh: seorang karyawan Petco mungkin memiliki komitmen aktif untuk perusahaannya karena keterlibatnnya dengan hewan-hewan.

2. Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) adalah nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut. Seorang karyawan mungkin berkomitmen kepada seorang pemberi kerja karena ia dibayar tinggi dan mereka bahwa pengunduran diri dari perusahaan akan menghancurkan keluarganya.

(14)

3. Komitmen normatif (normative commitment) adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral dan etis. Sebagai contoh: seorang karyawan yang memelopori sebuah inisiatif baru mungkin bertahan dengan seorang pemberi kerja karena ia merasa meninggalkan seseorang dalam keadaan yang sulit bila ia pergi.

2.1.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Komimen Organisasi

Menurut Dyne dan Graham (2005) dalam Soekidjan (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen adalah sebagai berikut:

1. Karakteristik Personal.

a. Ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu, teliti, ektrovert, berpandangan positif (optimis), cenderung lebih komit. Demikian juga individu yang lebih berorientasi kepada tim dan menempatkan tujuan kelompok diatas tujuan sendiri serta individu yang altruistik (senang membantu) akan cenderung lebih komit.

b. Usia dan masa kerja, berhubungan positif dengan komitmen organisasi.

c. Tingkat pendidikan, makin tinggi semakin banyak harapan yang mungkin tidak dapat di akomodir, sehingga komitmennya semakin rendah.

d. Jenis kelamin, wanita pada umumnya menghadapi tantangan lebih besar dalam mencapai kariernya, sehingga komitmennya lebih tinggi. e. Status perkawinan, yang menikah lebih terikat dengan organisasinya.

(15)

f. Keterlibatan kerja (job involvement), tingkat keterlibatan kerja individu berhubungan positif dengan komitmen organisasi.

2. Situasional.

a. Nilai (Value) Tempat kerja. Nilai-nilai yang dapat dibagikan adalah suatu komponen kritis dari hubungan saling keterikatan. Nilai-nilai kualitas, Inovasi, Kooperasi, partisipasi dan Trust akan mempermudah setiap anggota/karyawan untuk saling berbagi dan membangun hubungan erat. Jika para anggota/karyawan percaya bahwa nilai organisasinya adalah kualitas produk jasa, para anggota/karyawan akan terlibat dalam perilaku yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan hal itu.

b. Keadilan organisasi. Keadilan organisasi meliputi: Keadilan yang berkaitan dengan kewajaran alokasi sumber daya, keadilan dalam proses pengambilan keputusan, serta keadilan dalam persepsi kewajaran atas pemeliharaan hubungan antar pribadi.

c. Karakteristik pekerjaan. Meliputi pekerjaan yang penuh makna, otonomi dan umpan balik dapat merupakan motivasi kerja yang internal. Jerigan, Beggs menyatakan kepuasan atas otonomi, status dan kebijakan merupakan prediktor penting dari komitmen. Karakteristik spesifik dari pekerjaan dapat meningkatkan rasa tanggung jawab, serta rasa keterikatan terhadap organisasi.

d. Dukungan organisasi. Dukungan organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan komitmen organisasi. Hubungan ini didefinisikan

(16)

sebagai sejauh mana anggota/karyawan mempersepsi bahwa organisasi (lembaga, atasan, rekan) memberi dorongan, respek, menghargai kontribusi dan memberi apresiasi bagi individu dalam pekerjaannya. Hal ini berarti jika organisasi peduli dengan keberadaan dan kesejahteraan personal anggota/karyawan dan juga menghargai kontribusinya, maka anggota/karyawan akan menjadi komit.

3. Positional.

a. Masa kerja. Masa kerja yang lama akan semakin membuat anggota/karyawan komit, hal ini disebabkan oleh karena: semakin memberi peluang anggota/karyawan untuk menerima tugas menantang, otonomi semakin besar, serta peluang promosi yang lebih tinggi. Juga peluang investasi pribadi berupa pikiran, tenaga dan waktu yang semakin besar, hubungan sosial lebih bermakna, serta akses untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang.

b. Tingkat pekerjaan. Berbagai penelitian menyebutkan status sosioekonomi sebagai prediktor komitmen paling kuat. Status yang tinggi cenderung meningkatkan motivasi maupun kemampun aktif terlibat.

(17)

2.1.4 Organizational Citizenship Behavior

2.1.4.1 Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Organizational Citizenship Behavior atau kewarganegaraan organisasional sangat terkenal dalam perilaku organisasi saat pertama kali diperkenalkan sekitar 20 tahun yang lalu dengan dasar teori disposisi/kepribadian dan sikap kerja. Menurut Garay (2006:34) dalam Waspodo dan Minadaniati (2012) menjelaskan bahwa OCB merupakan perilaku sukarela dari seorang pekerja untuk mau melakukan tugas dan pekerjaan di luar tanggung jawab atau kewajibannya demi kemajuan atau keuntungan organisasinya. Sedangkan menurut Moorhead dan Griffin (2013:78) keanggotaan organisasi (organizational citizenship) adalah perilaku individu yang memberikan konstribusi keseluruhan positif kepada organisasi. Contoh: seorang karyawan yang melakukan pekerjaan yang dapat diterima dalam hal kuantitas dan kualitas.

Menurut Kreitner dan kinicki (2014:173), perilaku keanggotaan organisasi (organizational citizenship behavior) adalah perilaku-perilaku pegawai yang diluar tugas. Contohnya adalah sikap sebagai pernyataan konstruktif mengenai departemen, pegungkapan minat pribadi dalam pekerjaan orang lain, saran-saran untuk peningkatan, pelatihan pegawai baru, rasa hormat untuk semangat dan tulisan aturan pemeliharaan bangunan, peduli terhadap property perusahaan, serta ketetapan waktu dan kehadiran diatas standar atau tingkat yang dilaksanakan. Pendapat lain mengenai pengertian OCB dikemukakan oleh Robbins dan Judge (2008:40) menjelaskan bahwa

(18)

OCB merupakan perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif.

Dapat disimpulkan bahwa OCB adalah bentuk perilaku atau kontribusi karyawan yang bukan merupakan kewajiban kerja formalnya, yang memiliki 5 (lima) dimensi primer yaitu Alturism, Conscientiousness, Sportmanship, Courtesy, Civic Virtue,.

2.1.4.2 Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Organ, dkk (2006) dalam Soegandhi, dkk (2013) menyatakan bahwa terdapat lima dimensi dari OCB, sebagai berikut:

1. Altruism

Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.

2. Conscientiousness

Perilaku yang ditunjukan dengan berusaha melebihi yang diharapkan perusahaan. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas karyawan. Dimensi ini menjangkau jauh diatas dan jauh ke depan dari panggilan tugas.

(19)

3. Sportmanship

Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan-keberatan. Seseorang yang mempunyai tingkatan yang tinggi dalam sportmanship akan meningkatkan iklim yang positif diantara karyawan, karyawan yang akan lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain sehinggan akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan.

4. Courtesy

Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah-masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain.

5. Civic Virtue

Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi (mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur-prosedur organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber-sumber yang dimiliki oleh organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada seorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni.

(20)

2.1.5 Penelitian Terdahulu

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Nuraida Syahril dan MM. Nilam Widyarini (2007)

Meneliti tentang Kepribadian, Kepemimpinan Transformasional dan Perilaku Kewarganegaraan. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode angket atau kuesioner. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 61 karyawan yang bekerja di perusahaan Minyak Nasional Area Jambil Region Sumatera. Teknik analisis data menggunakan teknik statistik regresi berganda (multiple regression). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepribadian seperti: (1) extraversion dan neuriticism tidak berpengaruh terhadap OCB, (2) agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience memiliki pengaruh signifikan terhadapa OCB. Sedangkan kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh yang signifikan terhadap OCB.

2. Atika Kusuma Wardani dan Miftahun Ni’mah Suseno (2012)

Meneliti tentang Faktor Kepribadian dan Organizational Citizenship Behavior Pada Polisi Pariwisata. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 54 orang polisi pariwisata yang bertugas di lapangan dan sudah bekerja selama minimal 1 tahun. Teknik analisis data menggunakan analisis korelasi r produck moment dari pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) faktor kepribadian seperti: extraversion, agreeableness, dan conscientiousness berpengaruh positif terhadap OCB, (2) sedangkan

(21)

neuroticism dan opennes to experience tidak berpengaruh positif terhadap OCB.

3. Agung AWS Waspodo dan Lussy Minadaniati (2012)

Meneliti tentang Pengaruh Kepuasan Kerja dan Iklim Organisasi Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) Karyawan pada PT. Trubus Swadaya Depok. Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan tetap yang berasal dari empat divisi yang ada pada PT. Trubus Swadaya, yaitu Divisi Redaktur Pelaksana, Divisi Pengembangan Produk, Divisi Pencetak, dan Divisi Akuntansi dan Keuangan dengan sampel penelitian sebanyak 59 orang. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kepuasan kerja dan iklim organisasi secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap organizational citizenship behavior, (2) sedangkan secara parsial masing-masing kepuasan kerja dan iklim organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap OCB.

4. Vannecia Marchelle Soegandhi, dkk (2013)

Meneliti tentang Pengaruh Kepuasan Kerja Dan Loyalitas Kerja Terhadap Organizational Citizenship Behavior pada Karyawan PT. Surya Timur Sakti Jatim. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 119 karyawan tetap di PT. Surya Timur Sakti Jatim dan karyawan yang telah bekerja selama 3 tahun ke atas. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda yang terdiri dari koefisien determinasi, uji F, dan uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kepuasan kerja dan loyalitas kerja

(22)

secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB, (2) sedangkan secara parsial masing-masing kepuasan kerja dan loyalitas kerja berpenaruh positif dan signifikan terhadap OCB.

5. Tety Fadhila Sena (2011)

Meneliti tentang Variabel Antiseden Organizational Citizenship Behavior. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Tengah dengan sampel penelitian sebanyak 58 orang. Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) komitmen organisasi dan kepuasan kerja secara bersama-sama/simultan berpengaruh positif terhadap OCB pegawai, (2) sedangkan secara parsial masing-masing komitmen organisasi dan kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap OCB pegawai.

6. Theopilus William dan Roy Setiawan (2013)

Meneliti tentang Pengaruh Komitmen Organisasi dan Kepuasan Kerja Karyawan Terhadap Organizational Citizenship Behavior di PT. CB Capital. Populasi dan sampel yang digunakan sebanyak 69 karyawan yang bekerja di PT. CB Capital. Teknik annalisis data yang digunakan adalah uji validitas; uji reliabilitas; analisa deskriptif; uji asumsi klasik ( Uji Normalitas, Uji Autokorelasi, Uji Heteroskedastisitas, Uji Multikolinieritas); analisa regresi berganda; uji hipotesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) komitmen organisasi dan kepuasan kerja karyawan secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap

(23)

OCB, (2) sedangkan secara parsial masing-masing komitmen organisasi dan kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap OCB.

2.2 Rerangka Pemikiran

Dasar kepribadian untuk OCB merefleksikan ciri/trait predisposisi karyawan yang kooperatif, suka menolong, perhatian dan bersungguh-sungguh. Diantara sejumlah perilaku positif yang dimunculkan oleh karyawan tersebut, ada yang tidak mengharapkan imbalan dari perusahaan dan dapat digolongkan sebagai extra role atau perilaku pro sosial yang lazim disebut OCB atau karyawan yang bersedia melakukan tugas yang tidak tercantum dalam deskripsi pekerjaan mereka. Orang yang menampilkan perilaku OCB disebut sebagai karyawan yang baik (good citizen), Contoh perilaku yang termasuk kelompok OCB adalah membantu rekan kerja, sukarela melakukan kegiatan ekstra di tempat kerja, menghindari konflik dengan rekan kerja, melindungi properti organisasi, menghargai peraturan yang berlaku di organisasi, toleransi pada situasi yang kurang ideal atau menyenangkan di tempat kerja, memberi saran-saran yang membangun di tempat kerja, serta tidak membuang-buang waktu di tempat kerja (Robbins dan Judge, 2008).

Kepuasan kerja seharusnya menjadi faktor penentu utama dari perilaku kewargaan organisasional (organizational citizenship behavior). Karyawan yang puas tampaknya cenderung berbicara positif tentang organisasi, membantu individu lain, dan melewati harapan normal dalam pekerjaan mereka. Selain itu, karyawan yang puas mungkin lebih mudah berbuat lebih

(24)

dalam pekerjaan karena mereka ingin merespon pengalaman positif mereka. Pada dasarnya, kepuasan kerja bergantung pada gambaran-gambaran mengenai hasil, perlakuan, dan prosedur-prosedur yang adil. Apabila karyawan merasa bahwa proses dan hasil-hasil organisasional tersebut adil, berkembanglah rasa percaya. Selain itu, ketika karyawan saling percaya maka karyawan lebih bersedia untuk terlihat secara sukarela dalam perilaku-perilaku yang melebihi persyaratan kerja formal atau dikenal dengan OCB (Robbins dan Judge, 2008).

Kepuasan kerja dianggap sebagai pemicu tumbuhnya komitmen karyawan, karena ketika karyawan merasa puas dengan pekerjaannya, karyawan cenderung akan lebih berkomitmen terhadap organisasi atau dengan kata lain pegawai yang komit akan bersedia memberikan diri dengan suka rela untuk memajukan satuan kerjanya atau organisasi tempatnya bekerja (Robbins dan Judge, 2008). Komitmen organisasi merupakan sikap yang mencerminkan sejauh mana seseorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya. Seseorang individu yang memiliki komitmen tinggi kemungkinan akan melihat dirinya sebagai anggota sejati organisasi dan berimplikasi pada munculnya berakibat pada berbagai sikap dan perilaku positif, seperti misalnya menghindari tindakan, perilaku dan sikap yang merugikan nama baik organisasi, kesetiaan kepada pimpinan, kepada rekan setingkat dan kepada bawahan, produktivitas yang tinggi, kesediaan menyelesaikan konflik melalui musyawarah dan sebagainya (Moorhead dan Griffin, 2013).

(25)

Berdasarkan uraian tersebut, maka Rerangka pikir teoritis dalam penelitian ini dapat dirumuskan pada bagan berikut ini:

Gambar 2 Rerangka Pemikiran 2.3 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data (Sugiyono, 2012:99). Hipotesis masih akan diuji kebenarannya dengan menggunakan data-data yang paling berguna untuk membuktikan kebenaran daripada hipotesis itu sendiri.

Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian dan tinjauan teoritis seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disusun hipotesis sebagai pendugaan sementara dalam penelitian ini sebagai berikut:

Kepribadian (K1) Kepuasan Kerja (KK2) Komitmen Organisasi (KO3) Organizational Citizenship Behavior (Y)

(26)

1) Kepribadian mempunyai pengaruh positif terhadap Organizational Citizenship Behavior karyawan pada PT. Kereta Api Indonesia (Persero) DAOP 8 Surabaya.

2) Kepuasan kerja mempunyai pengaruh positif terhadap Organizational Citizenship Behavior karyawan pada PT. Kereta Api Indonesia (Persero) DAOP 8 Surabaya.

3) Komitmen organisasi mempunyai pengaruh positif terhadap Organizational Citizenship Behavior karyawan pada PT. Kereta Api Indonesia (Persero) DAOP 8 Surabaya.

4) Salah satu variabel bebas ada yang berpengaruh dominan terhadap Organizational Citizenship Behavior karyawan pada PT. Kereta Api Indonesia (Persero) DAOP 8 Surabaya.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil perbandingan waktu pada gambar 4.13 maka, disc brake yang memiliki nilai waktu berhenti tercepat adalah disc brake dari material komposit

Dengan melihat hal tersebut, adapun tujuan dalam penelitian ini ialah untuk menciptakan kesadaran kolektif masyarakat Toraja di tengah pandemi covid 19 yang

(2) (a) Rata-rata pendapatan peternak plasma lebih besar dari pada peternak mandiri, (b) Rata-rata pendapatan peternak plasma-inti pabrikan lebih besar dari pada

1) Dokumen adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau

Setelah mesin siap operator membuka kertas design dan membentangkan kertas design di atas meja press, setelah itu operator mengambil kain yang telah di potong sesuai

Kelompok Kerja ULP, yang selanjutnya disebut Pokja ULP, adalah kelompok kerja dengan anggota berjumlah gasal, paling sedikit 3 (tiga) orang yang bersertifikat

Sejalan dengan penelitian Ningrum (2011) yang meneliti tingkat pengetahuan ibu tentang dampak pernikahan dini bagi remaja di wilayah desa Protomulyo Kaliwungu

Tujuan dari perencanaan dan perancangan Panti Wredha di Kota Semarang adalah untuk menyediakan wadah bagi para lansia dengan konsep Arsitektur Tropis dan tanpa