• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Mubyarto (1989), berdasarkan pola pemeliharaan usaha ternak di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Mubyarto (1989), berdasarkan pola pemeliharaan usaha ternak di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu :"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Usaha Peternakan Sapi Perah

Usaha di bidang persusuan di Indonesia dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, berdasarkan atas kepentingan orang-orang Eropa terutama pegawai pemerintah Hindia Belanda yang membutuhkan susu segar. Pemerintah Belanda yang di negerinya mempunyai populasi sapi perah Fries Holland (FH), mendatangkan sapi FH ke Indonesia. Perkembangan peternakan sapi perah pada masa tersebut sangat lambat karena pada dasarnya hanya bertujuan untuk memenuhi permintaan susu segar bagi para karyawan Belanda, dan belum ada usaha pengelolaan susu (Budi Usman dkk, 2006).

Menurut Mubyarto (1989), berdasarkan pola pemeliharaan usaha ternak di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu :

1. Peternakan rakyat dengan cara memelihara ternaknya secara tradisional. Pemeliharaan cara ini dilakukan setiap hari oleh anggota keluarga peternak dimana keterampilan peternak masih sederhana dan menggunakan bibit lokal dalam jumlah dan mutu terbatas. Tujuan utama pemeliharaan sebagian hewan kerja sebagai pembajak sawah atau tegalan.

2. Peternakan rakyat semi komersil dengan keterampilan beternak dapat dikatakan cukup. Penggunaan bibit unggul, obat-obatan, dan makanan penguat cenderung meningkat. Tujuan utama pemeliharaan untuk menambah pendapatan keluarga dan konsumsi sendiri.

(2)

3. Peternakan komersil dijalankan oleh peternak yang mempunyai kemampuan dalam segi modal, sarana produksi dengan teknologi yang cukup modern. Semua tenaga kerja dibayar dan makanan ternak dibeli dari luar dalam jumlah besar.

Menurut Susilorini (2008), kondisi peternakan sapi perah di Indonesia, yaitu :

1. Skala usahanya kecil (2-5 ekor), motif produksinya adalah rumah tangga, dilakukan sebagai usaha sampingan tanpa memperhatikan laba rugi dan masih jauh dari teknologi serta didukung oleh manajemen usaha dan permodalan yang masih lemah, dan kualitas secara umum bervariasi dan bersifat padat karya.

2. Secara klimatologis Indonesia beriklim tropis dan kurang cocok bagi perkembangan sapi perah yang berasal dari daerah beriklim sub-tropis.

3. Pemasaran susu yang terbesar adalah industri pengolahan susu dan hanya beberapa peternak yang mampu menciptakan pasar langsung ke konsumen. 4. Kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah.

Pemeliharaan ternak sapi perah untuk kalangan masyarakat khususnya di Provinsi Jawa Barat sudah menjadi bagian dari budaya dan berlaku turun temurun sebagai warisan keluarga. Usaha ternak sapi perah yang dikelola masyarakat pedesaan secara umum masih menerapkan pola budidaya yang berisfat sebagai pokok usaha dan berkesinambungan untuk tabungan keluarga. Kondisi yang demikian memperlihatkan kecenderungan peternak yang belum mempertimbangkan manajemen pemeliharaan sehingga optimalisasi pendapatan dari sektor peternakan belum tercapai secara maksimal.

(3)

2.1.1 Sapta Usaha Peternakan Sapi Perah

Andajani (1989) menyatakan, usaha-usaha untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani peternak telah lama dilakukan. Namun, sejauh itu masih banyak hal-hal yang perlu diperhatikan secara terpadu. Demi meningkatkan produksi maupun produktivitas di sektor peternakan yang sesuai dengan tujuan pembangunan, pemerintah telah menetapkan program peternakan yaitu sapta usaha peternakan sapi perah.

1. Bibit dan Reproduksi

Sifat-sifat reproduksi sapi perah mempunyai hubungan langsung dengan jumlah produksi susu yang dihasilkan. Hal tersebut penting diketahui untuk menggambarkan tingkat keberhasilan tatalaksana reproduksi yang dijalankan oleh peternak yang secara tidak langsung mempengaruhi tingkat pendapatan peternak. Tatalaksana pemeliharaan sapi perah sangat bergantung kepada peternaknya sendiri, dimana tingkat pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman beternak akan sangat menentukan keberhasilan usaha ternak.

Sosroamidjojo (1990) mengemukakan bahwa pemilihan bibit ternak yang baik adalah suatu keharusan dalam usaha peternakan, karena bibit merupakan salah satu faktor utama untuk keberhasilan suatu usaha peternakan. Bibit yang baik dan disertai dengan pemberian pakan dan manajemen pemeliharaan yang baik pula akan membawa keberhasilan usaha ternak. Bibit yang baik menjadi modal utama seorang peternak sapi perah.

Menurut Mukhtar (2006), cara menyeleksi bibit dapat dilihat dari produksi susu, silsilah dan bentuk luar (fisik). Memilih sapi betina dapat dilakukan berdasarkan produksi susu dengan cara melihat catatan produksi susu yang

(4)

lengkap dengan memperhatikan sudah berapa bulan sapi tersebut menghasilkan susu sejak beranak yang terakhir. Perkawinan dilakukan saat sapi betina menunjukkan birahi. Selain dikawinkan dengan pejantan, anak sapi dapat diperoleh dengan metode Inseminasi Buatan (IB).

2. Pakan

Pemberian pakan secara praktis kepada ternak harus disesuaikan dengan keperluan ternak dalam memenuhi kebutuhannya meliputi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, reproduksi, dan laktasi. Menurut Dasuki (1983), makanan pokok bagi ternak-ternak sapi perah terdiri dari hijauan dan konsentrat. Hijauan kaya akan kandungan vitamin dan tinggi kadar serat kasarnya, sedangkan konsentrat kaya akan kandungan protein, lemak, dan mineral, sehingga kedua jenis bahan pakan tersebut mutlak diperlukan dalam ransum.

Suharno (1994) menyatakan adapun pakan berupa rumput atau hijauan dapat diberikan diluar waktu pemerahan. Frekuensi pemberian pakan baik pakan penguat maupun pakan hijauan diatur dua kali sehari. Jumlah pakan yang diberikan biasanya sekitar 10% dari bobot sapi. Air minum harus selalu tersedia dalam jumlah yang cukup, dengan persyaratan air minum harus bersih, segar, dan jernih. Sapi yang sedang laktasi membutuhkan jumlah air minum yang lebih banyak dibandingkan dengan sapi yang tidak laktasi. Kebutuhan air minum pada sapi perah adalah 3−4 liter untuk memproduksi satu liter air susu, atau keseluruhan air minum yang diperlukan setiap harinya berkisar antara 37−45 liter.

(5)

3. Tatalaksana Pemeliharaan

Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi susu adalah lingkungan yang terdiri dari makanan dan tatalaksana pemeliharaan. Menurut Makin (2011), badan sapi harus dibersihkan dan disikat agar susu yang dihasilkan dapat benar benar bersih dari kotoran maupun rambut yang rontok. Kulit sapi mudah sekali kotor terutama karena kotorannya sendiri. Oleh karena itu, sapi sebaiknya dimandikan dan disikat sebelum pemerahan. Kandang sapi juga sebaiknya dibersihkan setiap hari dari kotoran dan sisa-sisa makanan. Terutama pada saat akan diperah, ambing harus dibersihkan dengan air hangat (48,8 – 57 ºC) untuk menstimulasi keluarnya air susu dan mengurangi timbulnya mastitis. Terdapat tiga cara pemerahan dengan tangan, yaitu dengan lima jari (whole hand), perah pijit (knevelen), dan strip model (voipens) (Syarief dan Harianto, 2011). Frekuensi pemerahan pada umumnya dua kali sehari, tetapi lebih bergantung pada kemampuan produksi sapi, makanan dan pemeliharaan.

4. Perkandangan Sapi Perah

Kandang yang efektif untuk sapi perah harus direncanakan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan kenyamanan ternak, aman dan menyenangkan bagi karyawan, efisien dalam menggunakan tenaga kerja dan peralatan, serta mudah dalam pengontrolan penyakit. Menurut Makin (2011), kandang sapi letaknya harus jauh dari pemukiman (minimal 5 meter), lalu lintas umum, dan pembuangan sampah atau kotoran. Sinar matahari dapat masuk, ventilasi baik, lantai kandang yang lebih tinggi 20−30 cm dari tanah, terdapat saluran pembuangan air dan kotoran (drainase), dan memiliki tempat penampungan kotoran. Ukuran kandang untuk sapi induk panjang 1,6 meter dan lebar 1,35 meter.

(6)

5. Pengendalian Penyakit

Sapi perah mempunyai resiko dalam gangguan kesehatan. Sapi perah yang terkena penyakit akan mengakibatkan penurunan produksi susu atau lebih parahnya menyebabkan kematian. Kematian anak sapi perah di daerah tropis sangat tinggi yaitu sekitar 50%. Penyebabnya adalah pengelolaan dan makanan yang jelek. Penyakit yang umum dari pedet adalah mencret, pneumonia dan penyakit yang disebabkan oleh parasit internal (cacing gelang, cacing benang, cacing tambang, cacing paru-paru, cacing pita, coccidia dan parasit lainnya). Mastitis adalah penyakit yang umum mengenai sapi perah yang sedang berproduksi. Pencegahan dan pengobatan penyakit harus dilakukan dengan cara yang baik dan tepat. Pencegahan penyakit bisa dilakukan dengan cara membersihkan kandang, memberikan hijauan yang baik, memberikan obat cacing secara berkala, memberikan vaksinansi dan pemberian vitamin dan mineral agar mempunyai daya tahan terhadap penyakit (Williamson dan Payne, 1993).

Gangguan terhadap kesehatan sapi bisa dialami oleh pedet, sapi dara, sapi laktasi dan pejantan. Penyakit yang menyerang sapi perah dikelompokkan berdasarkan organ atau sistem tubuh yang terkena gangguan. Kelompok penyakit tersebut adalah penyakit reproduksi, penyakit metabolisme/sistem pencernaan, penyakit pada ambing, penyakit pada kaki dan penyakit yang lain (Leaver, 1983).

Penyakit yang menyerang pada sistem reproduksi sapi perah antara lain distokia, kerusakan plasenta, endometritis, keterlambatan birahi, dan keberhasilan kebuntingan. Distokia sering terjadi pada sapi yang baru melahirkan pertama karena anak sapi lebih besar ukurannya daripada ukuran pembukaan pelvis atau posisi anak sapi yang tidak normal. Sapi yang mengalami distokia harus dibantu oleh dokter hewan atau peternak agar proses kelahiran lancar. Kerusakan pada

(7)

plasenta sering terjadi terhadap anak sapi yang lahir secara prematur.

Hypocalcemia dan infeksi bakteri brucellosis menyebabkan plasenta tidak baik. Endometritis terjadi akibat serangan bakteri setelah terjadi kelahiran pada uterus.

Penyebab terjadinya endometritis adalah kebersihan yang tidak terjaga pada saat kelahiran atau beberapa waktu setelah kelahiran. Keterlambatan birahi setelah melahirkan merupakan kejadian yang sering terjadi. Umumnya birahi terjadi setelah 3-6 minggu setelah kelahiran. Keberhasilan kebuntingan pada saat dilakukan Inseminasi Buatan (IB) adalah langkah awal dalam keberhasilan reproduksi. Keberhasilan dalam IB masih sekitar 55%. Penyebab dari ketidakberhasilan IB adalah fertilitas sperma yang rendah, salah mendeteksi birahi, sapi terlalu kurus atau terlalu gemuk dan kecukupan nutrisi rendah (Leaver, 1983). Penyakit yang menyerang sistem metabolisme/pencernaan antara lain

hypocalcaemia, hypomagnesaemia, ketosis dan bloat. Hypocalcaemia atau “milk fever” yang berarti penurunan kadar kalsium darah pada saat melahirkan. Penyakit

ini biasanya disertai dengan penurunan suhu tubuh menjadi subnormal. Kejadian penyakit berlangsung secara akut yang diikuti dengan penurunan kadar kalsium darah (hipokalsemia) secara cepat dari normal (9,5 mg/dl) menjadi ≤5 mg/dl. Gejala paresis muncul seiring dengan penurunan kadar kalsium darah dan diikuti dengan comatose (pingsan). Umumnya, penyakit ini muncul dalam tiga hari setelah melahirkan. Sapi yang terkena Hypocalcaemia diberi calcium

boroglukonat dengan injeksi. Kalsium boroglukonat adalah obat standar untuk milk fever yang diberikan melalui injeksi secara intravenous sebanyak 25% larutan. Pemberian sebanyak 9g Ca merupakan dosis optimum yang dapat mengobati milk fever, tetapi pemberian sebanyak 6g Ca kurang cukup karena penyakit cenderung muncul kembali, dan 12 g Ca terlalu berlebihan (Payne,

(8)

1989). Penyakit lain yang menyerang sistem metabolisme tubuh

hypomagnesaemia. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian karena tubuh

kekurangan magnesium yang diperoleh dari pakan. Kandungan magnesium sekitar 2 mg/100 ml darah menyebabkan kondisi yang kritis. Kecukupan terhadap magnesium sangat diperhatikan dari manajemen hijauan yang diberikan. Ketosis merupakan salah satu penyakit yang menyerang sistem metabolisme tubuh yang menyebabkan kurang nafsu makan dan produksi susu. Keton yang dihasilkan oleh tubuh menyebabkan bau terhadap susu. Pencegahan terhadap penyakit ini adalah induk setelah melahirkan diberikan pakan dengan energi tinggi pada enam minggu pertama. Bloat adalah penyakit yang disebabkan oleh tersergapnya udara didalam perut (kembung) yang diakibatkan oleh gas yang dihasilkan dari proses fermentasi. Bloat terjadi ketika sapi diberikan banyak leguminosa atau rumput yang sedikit dan konsentrat yang banyak. Cara mengobati bloat adalah menambahkan anti busa seperti kacang tanah, minyak parafin yang dicampurkan kedalam air minum.

Mastitis merupakan penyakit yang menyerang jaringan pada ambing sapi yang disebabkan oleh satu atau beberapa jenis bakteri yang masuk kedalam lubang puting. Penyakit mastitis mula-mula subklinis yang tidak terlihat perubahan pada ambing atau pada susu, tetapi jika dibiarkan akan menjadi penyakit yang klinis dimana pada susu terdapat gumpalan yang menyebabkan ambing sapi menjadi keras. Upaya pencegahan untuk penyakit mastitis adalah dengan menerapkan pemerahan yang baik dan penggunaan desinfektan setelah selesai diperah.

Penyakit lain yang sering menyerang sapi adalah penyakit pada bagian kaki. Penyakit ini menyerang bagian kuku yang disebabkan infeksi oleh

(9)

mikroorganisme.Penyakit ini terjadi ketika kuku tidak dipotong dengan baik, permukaan lantai yang basah, dan kandang jarang dibersihkan. Upaya pencegahan yang biasa dilakukan adalah membuat permukaan kaki lebih kering, membersihkan kandang dengan teratur dan membersihkan luka pada kaki dengan 5% formaldehid jika ada yang luka.

Brucellossis adalah penyakit yang disebabkan oleh Brucella abortus.

Penyakit ini menyebabkan aborsi pada saat kebuntingan dan bisa menular melalui makanan. Penyakit ini termasuk penyakit menular sehingga perlu disolasi jika ada sapi yang terkena. Pencegahannya adalah dengan vaksinasi menggunakan vaksin strain 19 atau vaksin RPB51. Penyakit ini perlu perhatian khusus karena pengobatannya masih belum diketahui (Leaver, 1983).

6. Pasca Panen

Makin (2011) menyatakan bahwa susu adalah produk utama yang diharapkan dari sapi perah, maka dari itu pemerahan sebaiknya dilakukan secara intensif. Pemerahan dapat dilakukan dua kali, tiga kali atau lebih dalam sehari tergantung produktivitas sapi. Perubahan jadwal pemerahan dapat mengubah pola produksi susu.

Persiapan yang perlu dilakukan sebelum pemerahan berlangsung adalah pembersihan ruangan atau kandang. Kandang yang kotor dapat menurunkan mutu susu yang dihasilkan sapi dan menjadi sumber penularan penyakit. Memandikan dan membersihkan sapi, terutama di bagian sekitar ambing akan mengurangi resiko terkontaminasinya susu oleh mikroorganisme. Peternak perlu menyiapkan peralatan seperti ember sebagai wadah penampung susu, sabun dan sikat, tempat duduk pemerah, serta akan lebih baik apabila terdapat pakaian kerja khusus.

(10)

Alat-alat yang digunakan haruslah bersih. Lap hangat diperlukan untuk merangsang pengeluaran air susu. Susu yang telah diperah kemudian dapat dimasukkan ke dalam ember susu (milk can) sehingga kebersihannya terjamin. Susu yang telah diperah dapat diolah menjadi berbagai produk olahan susu seperti yoghurt, keju, es krim, dan sebagainya.

Hasil sampingan dari ternak sapi perah selain susu adalah kotoran sapi perah. Kotoran sapi perah dapat diolah dengan bantuan mikroorganisme melalui metode fermentasi. Hasil pengolahan kotoran sapi perah dapat dijadikan pupuk kandang, pupuk organik cair, dan biogas.

7. Pemasaran Susu

Firman (2010) menyatakan bahwa, peternakan sapi perah merupakan usaha yang dijalankan dari hulu hingga ke hilir, dengan tujuan akhir yaitu mendapatkan keuntungan dari usaha ternak sapi perah tersebut. Keuntungan didapatkan dengan memasarkan produk utama dari ternak sapi perah yaitu susu. Susu yang akan dipasarkan haruslah memiliki kualitas baik, yang telah melewati standar pengujian kualitas susu seperti pengujian total solid, kandungan lemak, dan berat jenis susu. Pemasaran susu memiliki rantai tersendiri yang berbeda-beda antara peternak satu dengan yang lainnya.

2.2 Kesehatan Hewan

Menurut Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Pelayanan Jasa Medik Veteriner menyebutkan bahwa Kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan, pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, penolakan penyakit,

(11)

medik reproduksi, medik konservasi, obat hewan, dan peralatan kesehatan hewan, serta keamanan pakan (Kementerian Pertanian, 2010).

Dinas Peternakan bagian pelayanan kesehatan hewan merupakan salah satu instituisi Pemerintah Daerah yang memberikan pelayanan umum kepada peternak yang memiliki orientasi tidak hanya semata-mata mengambil keuntungan atau profit tapi untuk unsur sosial yang dituntut dapat meningkatkan pelayanan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas layanan agar memuaskan para peternak (Ambarwati, 2004).

Menurut Peraturan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 976/kpts/OT.160/F/11/2011 tentang Pedoman Pelayanan Veteriner menyebutkan bahwa kesehatan hewan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, dan karenanya pemerintah perlu menata dan mengatur penyelenggaraan pelayanan veteriner (Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan Direktorat Kesehatan Hewan, 2011).

2.2.1 Pelayanan Jasa Medik Veteriner / Pelayanan Kesehatan Hewan

Ambarwati (2004), mengungkapkan bahwa jasa/pelayanan merupakan suatu kinerja (penampilan) yang tidak berwujud dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan daripada dimiliki, serta pelanggan dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut. Kemudian seperti halnya yang telah dikemukakan oleh Lovelock (1994), bahwa pelayanan terhadap pelanggan dapat dilakukan dengan bantuan teknologi dan media komunikasi. Oleh karena itu agar penyedia jasa selalu dalam posisi unggul dan mendapat kepercayaan penuh, maka pelayanan pelanggan harus bersifat proaktif, up to date, efektif dan efisien.

(12)

Menurut Sianipar (1998) dalam Ambarwati (2004), bahwa pelayanan adalah cara melayani, membantu menyiapkan, mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau kelompok orang. Artinya objek yang dilayani adalah individu, pribadi-pribadi (seseorang), dan organisasi atau anggota sekelompok organisasi.

Kualitas pelayanan kesehatan hewan adalah pelayanan yang menunjukan tingkat kesempurnaan pelayanan terhadap hewan yang sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan, yang juga dapat menimbulkan rasa puas bagi peternak (Oesman, 2006). Peraturan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan tentang Pedoman Pelayanan Veteriner menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan hewan yang selanjutnya disebut pelayanan veteriner adalah segala bentuk pelayanan yang berkaitan dengan kesehatan hewan, termasuk didalamnya kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan (Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan Direktorat Kesehatan Hewan, 2011). Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Pelayanan Jasa Medik Veteriner menyebutkan bahwa Pelayanan kesehatan hewan adalah serangkaian kegiatan yang meliputi pelayanan jasa laboratorium veteriner, jasa pemeriksaan dan pengujian veteriner, jasa medik veteriner, dan/atau jasa di pusat kesehatan hewan pos kesehatan hewan (Kementerian Pertanian, 2010).

2.2.2 Tenaga Kesehatan Hewan

Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Pelayanan Jasa Medik Veteriner menyebutkan bahwa Tenaga kesehatan hewan adalah orang yang menjalankan aktivitas di bidang kesehatan hewan berdasarkan kompetensi dan

(13)

kewenangan medik veteriner yang hierarkis sesuai dengan pendidikan formal dan/atau pelatihan kesehatan hewan bersertifikat (Kementerian Pertanian, 2010). Tenaga kesehatan hewan terbagi atas dua bagian berdasarkan kewenangannya masing-masing, diantaranya:

1. Tenaga medik veteriner adalah dokter hewan atau dokter hewan spesialis yang menjalankan aktivitasnya di bidang pelayanan jasa medik veteriner berdasarkan kompetensi dan kewenangannya.

2. Tenaga paramedik veteriner adalah tenaga kesehatan hewan lulusan sekolah kejuruan, pendidikan diploma atau memperoleh sertifikat untuk melaksanakan urusan kesehatan hewan yang menjadi kompetensinya dan dilakukan di bawah penyeliaan dokter hewan.

2.3 Kinerja

2.3.1 Pengertian Kinerja

Kinerja (performance) merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan yang tergambar melalui pencapaian sasaran, visi misi dan tujuan organisasi. Kinerja tersebut mempunyai kriteria dan standar tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu sehingga dapat diukur dan diketahui pencapaian yang telah dilakukan oleh individu atau sekelompok orang. Menurut Yusanto, dkk (2002) istilah kinerja berasal dari kata job performance dan actual performance yang berarti prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang.

Menurut Mangkunegara, (2006) kinerja sumber daya manusia merupakan prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai

(14)

dan dihasilkan sumber daya manusia persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Suryadi (1999) kinerja dapat diartikan sebagai hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi, sesuai wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Byars (1984) mengartikan kinerja sebagai hasil dari usaha seseorang yang dicapai dengan adanya kemampuan dan perbuatan dalam situasi tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kinerja merupakan hasil keterkaitan antara usaha, kemampuan, dan persepsi tugas yang menujukkan seberapa baik individu atau sekelompok orang dalam hal ini petugas kesehatan hewan melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan di bidang kesehatan hewan.

2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Kinerja individu dalam lingkungan kerjanya menggambarkan kinerja sesungguhnya. Untuk mencapai standar tertentu yang telah ditetapkan, ada beberapa hal yang mempengaruhi individu untuk mencapai standar kinerja atau hasil kerja tertentu. Kinerja dapat dihasilkan dari pendidikan, pengalaman kerja dan profesionalisme. Pendidikan adalah modal dasar dan utama seorang pekerja dalam mencari kerja dan bekerja. Pengalaman dalam bekerja berkaitan dengan masa kerja karyawan, semakin lama seseorang bekerja pada suatu bidang pekerjaan maka semakin berpengalaman orang tersebut. Profesionalisme adalah gabungan dari pendidikan dan pengalaman kerja yang diperoleh oleh seorang pekerja.

(15)

Mangkunegara (2005) menyebutkan bahwa Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah Faktor Kemampuan (ability) dan Faktor Motivasi (motivation).

1. Faktor Kemampuan (Ability )

Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge+ skill) artinya, pekerja yang memiliki IQ

superior, very superior, dan jenius dengan pendidikan yang memadai untuk

jabatannya akan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, dan akan lebih mudah mencapai kinerja maksimal.

2. Faktor Motivasi (motivation)

Motivasi diartikan suatu sikap (attitude) pekerja terhadap situasi kerja di lingkungan kerjanya. Mereka yang bersifat positif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka bersifat

negative (kontra) terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja

yang rendah. Situasi kerja yang di maksud antara lain hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, dan kondisi kerja.

Menurut Sedarmayanti (2009) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja atau prestasi kerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Faktor kemampuan di dapat dari pengetahuan

(knowledge) dan keterampilan (skill) sedangkan motivasi terbentuk dari sikap (attitude) dalam menghadapi situasi kerja.

(16)

2.3.3 Indikator Kinerja

Menurut Wibowo (2010), indikator kinerja (performance Indicator) kadang-kadang digunakan secara bergantian dengan pengukuran kinerja (performance measures), tetapi banyak pula yang membedakannya. Pengukuran kinerja berkaitan dengan hasil yang dapat dikuantitatifkan dan mengusahakan data setelah kejadian, sementara itu, indikator kinerja dipakai untuk aktivitas yang dapat ditetapkan secara lebih kualitatif atas dasar prilaku yang diamati.

Mangkunegara (2009) mengemukakan bahwa indikator kinerja, yaitu: 1. Kualitas Kerja, menunjukan kerapihan, ketelitian, keterkaitan hasil kerja

dengan tidak mengabaikan volume pekerjaan. Adanya kualitas kerja yang baik dapat menghindari tingkat kesalahan, dalam penyelesaian suatu pekerjaan yang dapat bermanfaat.

2. Kuantitas Kerja, menunjukan banyaknya jumlah jenis pekerjaan yang dilakukan dalam suatu waktu sehingga efisiensi dan efektivitas dapat terlaksana sesuai dengan tujuan perusahaan.

3. Pelaksanaan Tugas, meliputi pengalaman, kemampuan bekerja sama, pemahaman tugas, efektifitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya, keahlian dalam menjalankan tugas, inisiatif dan kepedulian terhadap tugas. 4. Tanggung Jawab, menunjukkan seberapa besar pekerja dalam menerima dan

melaksanakan pekerjaannya, mempertanggung jawabkan hasl kerja serta sarana dan prasarana yang digunakan dan perilaku kerjanya setiap hari.

(17)

2.4 Kepercayaan

2.4.1 Pengertian Kepercayaan (Trust)

Robbins (2006) menyebutkan bahwa kepercayaan adalah ekspresi atau pengharapan positif kepada orang lain tanpa melalui kata-kata. Moorman dkk (1999) menjelaskan tentang adanya pernyataan kedua belah pihak yang terlibat dalam suatu hubungan. Salah satu pihak dianggap berperan sebagai controlling

assets (memiliki sumber-sumber pengetahuan) sementara pihak lainnya meilai

bahwa berbagi penggunaan sumber-sumber tersebut dalam suatu ikatan akan memberikan manfaat. Keyakinan pihak yang satu terhadap pihak yang lain akan menimbulkan perilaku interaktif yang akan memperkuat hubungan dan membantu mempertahankan hubungan tersebut.

Kepercayaan juga merupakan keyakinan yang dimiliki dalam hubungan dengan partner kerja terkait dengan sikap jujur dan saling membantu satu sama lain. Kepercayaan dapat tercipta ketika suatu pihak merasa nyaman melakukan pertukaran dengan pihak lain yang dengan penuh kejujuran dan dapat dipercaya. Cara untuk mendapatkan kepercayaan dari pelanggan maka harus melakukan komunikasi secara efektif, mengadopsi norma-norma yang diyakini pelanggan, dan menjauhi penilaian yang negatif (Morgan dan Hunt, 1994).

Kepercayaan menurut Robbins dan Judge (2008) suatu harapan positif bahwa orang lain tidak akan bertindak oportunistik. Istilah oportunistik merujuk pada resiko di dalam hubungan berbasis dalam kepercayaan. Dipandang sebagai orang yang dapat dipercaya, seseorang harus dilihat sebagai seseorang yang jujur, kompeten, dan memiliki ketulusan pada orang lain. Kepercayaan tidak dapat

(18)

diminta atau dipaksakan tetapi harus dihasilkan. Kepercayaan timbul dari suatu proses yang lama sampai kedua belah pihak saling mempercayai.

2.4.2 Dimensi Kepercayaan

Trust merupakan pondasi dari bisnis. Suatu transaksi bisnis antara dua

pihak atau lebih akan terjadi apabila masing-masing saling mempercayai. Kepercayaan (trust) ini tidak begitu saja dapat diakui oleh pihak lain/mitra bisnis, melainkan harus dibangun mulai dari awal dan dapat dibuktikan. Trust telah dipertimbangkan sebagai katalis dalam berbagai transaksi antara penjual dan pembeli agar kepuasan konsumen dapat terwujud sesuai dengan yang diharapkan (Yousafzai dkk, 2003).

Hasil penelitian Meliana, dkk (2013) menyebutkan bahwa hanya ada satu kunci untuk membangun kepercayaan konsumen yaitu dengan pendekatan. Kedekatan ini memiliki tiga titik tolak, yaitu kedekatan Fisik, kedekatan intelektal dan kedekatan emosional.

1. Kedekatan Fisik, adalah bahwa perusahaan harus bisa membangun komunikasi yang baik dengan para konsumennya.

2. Kedekatan Intelektual, kedekatan fisik saja ternyata belum lengkap dalam membangun kepercayaan konsumen. Kedekatan intelektual perlu diterapkan juga agar kepercayaan tidak hanya pada permukaan saja, tapi juga bisa meraih ke pikiran.

3. Kedekatan Emosional, kedekatan fisik dan intelektual memang perlu dibangun, tetapi yang paling penting adalahmempertahankan kedekatan

(19)

secara emosional. Kedekatan emosional inilah yang membuka kunci “kepercayaan”.

Referensi

Dokumen terkait

Kenneth dan John (1990) menyatakan bahawa dalam larutan yang beralkali, perencat kakisan akan bertindak balas dengan ion hidroksil (OH - ) untuk memendakkan sebatian

Danton Sihombing dalam bukunya Tipografi Dalam Desain Grafis (2001) menyatakan bahwa huruf tidak hanya berguna dalam merangkai kalimat yang dapat membawa pesan

Berdasarkan latar belakang penelitian mengenai faktor – faktor yang dapat mempengaruhi kinerja reksa dana syariah, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah terdapat adanya

Sintask dari cache peer ini digunakan untuk berhubungan dengan peer lain, dan peer lain yang dikoneksikan ini tipenya bergantung dari tipe peer yang telah dideklarasikan ini, bias

NOMOR URAIAN KEGIATAN Koef.. diameter 70 Cm ) dr Plat Almunium 2 MM dgn SCOTCHLIGHT serta Plat1. Tambahan.. diameter 90 Cm ) dr Plat Almunium 2 MM dgn SCOTCHLIGHT serta Plat

Ikan adalah salah satu biota air yang dapat digunakan sebagai bioindikator tingkat pencemaran air sungai dengan menentukan kandungan logam berat di dalam tubuh ikan.. Jika di