• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam kelangsungan hidup hewan. Bagi hewan, komunikasi digunakan untuk mencari pasangan, menandai wilayah kekuasaan/teritori, memperingatkan adanya predator kepada sesama kawanannya, mengenal anggota keluarganya, dan lain-lain. Salah satu hewan yang memiliki sistem komunikas kompleks adalah burung. Sejumlah penelitian menyatakan bahwa kicauan burung memiliki tata bahasa tertentu, dimana tiap pola kicauan memiliki arti dan tujuan tertentu.

Kicauan burung memiliki frekuensi yang beragam, mulai dari 50 Hz (low frequency) hingga 12 kHz (high frequency). Kecenderungan burung untuk berkicau pada frekuensi tertentu (rendah atau tinggi) bergantung pada habitat yang ditinggali burung tersebut. Sebagai contoh, burung yang hidup di hutan dengan vegetasi yang kompleks akan cenderung berkicau pada frekuensi rendah dan bandwidth yang sempit. Struktur hutan yang komplek menyebabkan adanya atenuasi (pelemahan) dan hamburan dari berbagai vegetasi yang ada di hutan. Hal tersebut menyebabkan burung harus mengubah atau menggeser frekuensi kicauannya agar sinyal akustik yang berisi pesan tidak terganggu atau sulit diterima oleh burung lainnya.

Terganggunya penjalaran sinyal akustik kicauan burung tidak hanya disebabkan oleh struktur suatu lingkungan saja. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebisingan latar (ambient noise) ternyata dapat menyebabkan perubahan sinyal akustik pada kicauan burung. Kebisingan latar memiliki ragam jenisnya, bisa suara kendaraan, mesin, bahkan suara hewan pun dapat dikatakan kebisingan tergantung dari konteks “penerima sinyal atau bunyi”. Menurut Buchari (2007), kebisingan merupakan bunyi atau suara yang tidak dikehendaki dan dapat mengganggu kesehatan, kenyamanan, serta

(2)

dapat menimbulkan ketulian. Sebagian besar hutan di dunia didominasi oleh bunyi serangga yang berfrekuensi tinggi. Hal tersebut menyebabkan burung yang biasanya berkicau pada frekuensi tinggi mengubah frekuensinya menjadi lebih rendah agar sinyal kicauannya tidak terganggu oleh bunyi serangga itu. Dalam kasus tersebut, bunyi serangga dapat dikatakan sebagai kebisingan latar bagi burung karena sifatnya yang mengganggu komunikasi antar burung. Sejalan dengan kasus tersebut, kebisingan di daerah kota juga berdampak negatif pada komunikasi antar burung. Suara kendaraan yang berlalu lalang di jalan dan mesin yang digunakan untuk proyek bangunan menyumbang peran besar pada kebisingan latar di daerah perkotaan. Para ilmuwan menyebut kebisingan semacam itu sebagai anthropogenic noise karena disebabkan ulah manusia yang tidak dapat mengontrol suara bising yang dihasilkan oleh kendaraan dan mesin.

Padatnya jumlah penduduk di perkotaan semakin menambah tingkat kebisingan tiap tahun. Anthropogenic noise (kebisingan anthropogenik) berdampak negatif bagi burung. Perambatan sinyal akustik kicauan yang terhalang dapat mengganggu komunikasi burung ketika masa kawin tiba. Dengan suara bising di perkotaan tersebut, burung betina tidak bisa mendengar seluruh elemen lagu atau kicauan yang dilepaskan oleh burung jantan. Tim peneliti di Kanada telah melakukan survei pada 113 daerah di kota Edmonton, Kanada. mereka menemukan bahwa jumlah spesies yang didapatkan di setiap lokasi cenderung lebih rendah bila tingkat kebisingannya tinggi. Peneliti mengungkapkan bahwa burung betina kemungkinan mengang gap lagu atau kicauan sebagai hal yang tidak normal, apabila mereka tidak bisa mendengarnya pada frekuensi rendah. Hal tersebut dikarenakan kebisingan anthropogenik tersusun seluruhnya oleh elemen suara berfrekuensi rendah. Selama periode waktu tertentu, ini bisa memberikan pengaruh terhadap jumlah spesies, di mana burung dewasa yang tidak kawin maka akan menyusutkan populasi burung.

(3)

Selain terganggunya komunikasi ketika musim kawin tiba, berkurangnya jumlah populasi burung kota juga bisa disebabkan faktor lainnya. Kebisingan anthropogenik juga mempengaruhi feeding time pada burung. Resiko mencari mangsa/makan saat kondisi bising dapat mengurangi tingkat keberhasilan makanan yang didapat, hal itu akan menyebabkan penurunan tingkat kesuksesan dalam bertahan hidup bagi burung tersebut.

Dalam mempertahankan teritori, burung juga sangat bergantung pada kicauannya. Ketika spesies lain atau predator memasuki teritorinya, burung akan memberi alarm peringatan sebagai tanda bahaya kepada teman satu kelompoknya melalui kicauan. Kebisingan anthropogenik menyebabkan acoustic masking pada kicauan burung. Bagi mereka yang tidak dapat berkomunikasi dalam kondisi bising, akan meninggalkan tempat tersebut dan mencari daerah baru. Namun, beberapa burung mampu beradaptasi dengan menerapkan strategi tertentu agar dapat berkmunikasi meskipun dalam keadaan bising. Seperti burung British robin yang cenderung diam pada jam-jam sibuk di perkotaan dan memilih untuk lebih aktif berkicau pada malam hari ketika kondisi tidak terlalu bising. Burung nightingale German mengambil langkah yang cukup ekstrim, yakni berkicau hingga intensitas suaranya mencapai 95 dB, cukup untuk merusak pendengaran manusia jika terpapar terus-menerus. Dan beberapa spesies burung Great tits, blackbird, dan House finch memilih berkicau pada frekuensi yang lebih tinggi, yang mana tidak banyak terpengaruh oleh kebisingan latar berfrekuensi rendah. Jumlah spesies burung yang mampu beradaptasi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan burung yang meninggalkan kota atau kehilangan teritorinya. Oleh sebab itu pada sebagian besar kota metropolitan, jumlah populasi burung yang menempati tempat bising semakin berkurang seiring dengan bertambahnya tingkat kebisingan latar.

Bagi sebagian kalangan penikmat kicauan burung, kebisingan latar mungkin bukan hal yang buruk bagi burung. Woufer Halfwerk, ahli ekologi perilaku hewan, dari Universitas Leiden, Belanda melakukan penelitian terhadap kicauan burung yang ada di perkotaan dan membandingkannya

(4)

dengan burung di pedesaan. Menurut analisis Halfwerk, burung yang hidup di wilayah dengan polusi suara mampu berkicau lebih kencang, bahkan lebih variatif, sebagai upaya untuk bisa bersaing dengan suara-suara di sekitarnya. Tujuannya adalah agar suaranya bisa didengar oleh pasangannya, atau justru oleh musuhnya, sebagai penanda bahwa ini merupakan wilayah teritorialnya. Sayangnya, dalam penelitian itu Halfwerk juga menemukan fakta lain di mana burung-burung di kota mengalami degradasi dalam hal reproduksi atau berkembang biak sebagai dampak negatif dari polusi suara. Ini bisa dimaklumi, mengingat sebagian besar pasangan burung memerlukan ketenangan saat berjodoh, bertelur, dan mengerami telurnya.

Fenomena bertambah kencangnya kicauan burung ketika ada paparan kebisingan mirip dengan peningkatan intensitas suara manusia dalam bercakap ketika tiba-tiba muncul kebisingan latar. Fenomena tersebut dinamakan efek Lombard. Hanya saja dampak negatif efek Lombard pada komunikasi manusia tidak separah pada populasi burung sebab burung bergantung sepenuhnya pada kicauan untuk mempertahankan teritorinya dan mencari pasangan.

Minimnya penelitian di Indonesia yang mengkaji dampak negatif kebisingan latar menjadikan masyarakat agak acuh terhadap efek kebisingan anthropogenik pada burung. Memang benar bahwa kebisingan anthropogenik itu sendiri tidak dapat menjadi faktor yang mengurangi jumlah populasi suatu spesies burung. Polusi udara, polusi air, dan pembangunan di habitat burung juga menjadi menjadi faktor penentu keberlangsungan hidup populasi burung. Namun, seberapa pun kecilnya prosentase sumbangan kebisingan antropogenik dalam mengurangi populasi burung, tetap saja hal tersebut perlu untuk ditanggulangi.

Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan adanya suatu penelitian mengenai dampak kebisingan anthropogenik terhadap kicauan burung untuk mengetahui parameter apa saja pada kicauan burung yang terpengaruh oleh kebisingan tersebut dan seberapa besar perubahannya untuk tiap spesies burung yang diteliti. Oleh sebab itu, penulis melakukan penelitian pada tiga jenis burung yang menurut penulis dapat terpengaruh oleh kebisingan latar

(5)

dari segi frekuensi kicauannya. Penelitian tersebut dilakukan dengan merekam burung menggunakan Sound Recorder SONY ICD-PX13 dan menganalisa elemen kicauannya menggunakan perangkat lunak SpectraPlus-DT yang sebelumnya telah diunduh secara gratis di internet lalu diinstalldi notebook. 1.2. Rumusan Masalah

Rumusan Masalah dari penelitian ini adalah

1. Bagaimana efek pemaparan kebisingan latar yang intensitasnya bervariasi pada frekuensi minimum dan dominan kicauan ketiga sampel burung?

2. Adakah dampak pemaparan selama 10 hari penelitian terhadap frekuensi minimum dan dominan awal burung (ketika kondisi tanpa dipaparkan kebisingan)?

3. Bagaimanakah sensitivitas burung terhadap tiap intensitas kebisingan yang dipaparkan?

4. Apakah ada perubahan pada elemen kicauan/syllable sinyal kicauan burung?

5. Apa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi kicauan burung?

1.3. Batasan Masalah

Batasan masalah dati penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini dilakukan pada sembilan ekor burung dengan jenis kelamin semuanya jantan dan umur yang hampir sama.

2. Penelitian ini dilakukan dengan memvariasikan tingkat kebisingan, hari, dan jenis burung.

3. Variasi tingkat kebisingan dilakukan dengan memaparkan kebisingan secara bertingkat, yakni 45.6 dB (tanpa kebisingan), 60,2 dB (tingkat rendah), 68,5 dB (tingkat sedang), dan 76,3 dB (tingkat tinggi). 4. Variasi hari dilakukan selama sepuluh hari dengan waktu (pukul) yang

(6)

5. Variasi jenis burung dilakukan pada jenis burung kicauan yang mudah beradaptasi terhadap lingkungan, yaitu burung bondol peking (Lonchura punctulata), burung pleci (Zosterops literalis), dan burung prenjak (Orthotomus sutorius)

6. Pengambilan sampel dilakukan selama 1 jam untuk tiap sampel dengan perekaman suara selama 10 menit untuk tiap variasi tingkat kebisingan 7. Penelitian menggunakan Sound Recorder SONY ICD-PX13 sebagai

alat untuk merekam kicauan burung, sound level meter untuk alat pengukur intensitas kebisingan, sound speaker sebagai alat penghasil kebisingan, dan SpectraPlus-DT untuk menganalisa data akustik kicauan burung

8. Faktor suhu, kelembaban, musim, dan keadaan geografis tempat tidak diperhitungkan dalam penelitian ini.

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini, yaitu:

1. Menunjukkan efek pemaparan kebisingan latar yang intensitasnya bervariasi pada frekuensi minimum dan dominan kicauan ketiga sampel burung

2. Mendeskripsikan dampak pemaparan selama 10 hari penelitian terhadap frekuensi minimum dan dominan awal burung (ketika kondisi tanpa dipaparkan kebisingan)

3. Memperlihatkan bagaimana sensitivitas burung terhadap tiap intensitas kebisingan yang dipaparkan

4. Menunjukkan ada atau tidaknya ada perubahan pada elemen kicauan/syllable sinyal kicauan burung

5. Menentukan faktor yang terjadinya perubahan frekuensi kicauan burung tersebut

(7)

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pembaca, mahasiswa khususnya program studi fisika, perguruan tinggi, dan masyarakat umum yang khususnya peduli dengan kelangsungan hidup burung, penikmat kicauan burung, maupun yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai kicauan burung ditinjau secara sains. Adapun manfaat penelitian ini, yakni :

1.5.1. Bagi Pembaca

Pembaca yang membaca tulisan ini diharapkan memperoleh informasi tambahan, wawasan, dan pengetahuan mengenai kicauan burung dan pola adaptasinya terhadap kondisi lingkungan sekitar, khususnya kebisingan anthropogenic.

1.5.2. Bagi Mahasiswa

Mahasiswa dapat menambah ilmu pengetahuan tentang kicauan burung, efek Lombard, dan kebisingan. Selain itu, mereka juga dapat mempraktekkan proses analisa kicauan dari berbagai jenis burung yang ingin diketahui sifat khas elemen kicauannya mulai dari perekaman suara dengan sound recorder hingga data processing menggunakan SpectraPlus-DT secara mudah, praktis, cepat, dan tidak membutuhkan biaya yang besar dalam hal pembelajaran maupun penelitian karena hanya dengan meng-download software tersebut melalui computer/notebook. Mereka juga dapat mencoba mengukur intensitas kebisingan di berbagai tempat yang mereka inginkan dan membuktikan secara langsung adanya fenomena efek Lombard pada komunikasi burung.

1.5.3. Bagi Perguruan Tinggi

Penelitian ini dapat digunakan sebagai suatu wacana dalam pengembangan metode penelitian terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi di lingkungan perguruan tinggi. Proses pengambilan data yang biasanya

(8)

dilakukan di alam bebas, diubah menjadi skala laboratorium dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya di perguruan tinggi.

1.5.4. Bagi Masyarakat

Dampak negatif dari kebisingan dan beberapa polusi lainnya terhadap populasi burung di perkotaan diharapkan dapat menyadarkan masyarakat umum agar dapat mengurangi tingkat kebisingan anthropogenic di perkotaan, baik dari kendaraan maupun mesinan. Keberadaan burung di daerah kota sangatlah penting, selain karena kicauannya di alam bebas yang enak didengar, ilmuwan menganggap burung juga bisa digunakan sebagai parameter tingkat polusi di kota tersebut.

1.5.5. Bagi Lembaga Konservasi Satwa

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh lembaga konservasi satwa sebagai salah satu acuan agar mempertimbangkan aspek kebisingan anthropogenic sebagai salah satu faktor berkurangnya populasi burung di perkotaan dalam upayanya melakukan konservasi terhadap spesies-spesies burung.

Referensi

Dokumen terkait

Pendapatan masyarakat, memanfaatkan Tahura Djuanda sebagai sumber pendapatan masyarakat setempat yang bersumber dari wisatawan yang datang ke Tahura Djuanda. Pengeluaran

Kesulitan investor untuk menentukan saham yang dapat di masukkan portofolio, diversifikasi, dan estimasi return risiko dapat diatasi dengan penyusunan portofolio

Berikut merupakan salah satu contoh pengujian yang dilakukan pada aplikasi ARMIPA yaitu pengujian ketepatan titik lokasi pada peta dan kamera dengan markerless

Komunikasi dan Informatika, yang mencakup audit kinerja atas pengelolaan keuangan negara dan audit kinerja atas pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Komunikasi dan

Pada Ruang Baca Pascasarjan perlu dilakukan pemebersihan debu baik pada koleksi yang sering dipakai pengguna maupun

Menurut teori hukum Perdata Internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan laju perubahan tata guna lahan yang cukup tinggi. Kondisi tersebut ditandai dengan laju deforestrasi baik disebabkan

Penyusunan LBP Kementerian Keuangan Tahunan Tahun Angggaran 2020 (Audited), mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan