• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Status dan kedudukan hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran beda

kewarganegaraan.

1.1. Status Kewarganegaraan atas Anak Hasil Perkawinan Campuran beda Kewarganegaraan.

Status Hukum seseorang menentukan tempat tinggalnya sehingga akan menentukan pula hak dan kewajiban menurut hukum. Status hukum seseorang dibuktikan dengan kartu tanda penduduk (KTP) yang sah sebgai penduduk di desa atau kelurahan tempat tinggalnya. Tempat tinggal seorang istri mengikuti tempat tinggal suaminya apabila suami istri adalah warga Negara dari Negara yang sama. Hak dan Kewajiban hukum istri terikat pada tempat kediaman suaminya. Jika suami istri berbeda warga Negara, hak dan kewajiban hukum suami atau istri terikat dengan tempat tinggal di Negara masing-masing, kecuali undang-undang menentukan lain.

Menurut penelitian Meilani (2009) menjelaskan bahwa status anak sebelum adanya Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006, Indonesia berpedoman kepada Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 yang berlaku sejak di undangkan pada tanggal 1 Agustus 1958. Beberapa hal yang diatur dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 adalah mengenai ketentuan-ketentuan siapa yang dinyatakan berstatus Warga Negara Indonesia, naturalisasi atau pewarganegaraan biasa,

(2)

akibat pewarganegaraan, pewarganegaraan istimewa, kehilangan kewarganegaraan, dan siapa yang dinyatakan berstatus orang asing.

Dalam Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran didefinisikan sebagai berikut: ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”

Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian perkawinan internasional sebagai berikut : 26

Perkawinan Internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung unsur using. Unsur using tersebut bisa berupa seorang mempelai mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya.

Perbedaan hukum yang ada telah menyebabkan beberapa macam perkawinan campuran, yaitu :

1. Perkawinan Campuran Antar Golongan (intergentiel) Menerangkan hukum mana atau hukum apa yang berlaku, kalau timbul perkawinan antara 2 orang, yang masing-masing sama atau berbeda kewarganegaraannya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang berlainan. Misalnya WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia asli.

2. Perkawinan Campuran Antar Tempat ( Interlocaal) Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara orang-orang Indonesia asli dari masing-26H. Zain Badjeber, Tanya Jawab Masalah Hukum Perkawinan, (Jakarta, Sinar Harapan,

(3)

masing lingkungan adat. Misalnya, orang Minang kawin dengan orang Jawa.

3. Perkawinan Campuran Antar Agama (interreligius) Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara 2 orang yang masing-masing tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlainan. Misalnya orang Islam dengan orang Kristiani.

Berkaitan dengan status sang istri dalam perkawinan campuran, terdapat asas, yaitu :

1. Asas Mengikuti

Sang istri mengikuti status suami baik pada waktu perkawinan dilangsungkan maupun kemudian setelah perkawinan berjalan.

2. Asas Persamarataan

Perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi kewarganegaraan seseorang, dalam arti mereka masing-masing (suami dan istri) bebas menentukan sikap dalam menentukan kewarganegaraan.

Pada dasarnya, tidak hanya anak hasil perkawinan campuran saja yang mempunyai kewarganegaraan ganda, akan tetapi adapula‚ anak yang berpeluang mempunyai status kewarganegaraan ganda, menurut Pasal 6 UU No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan, yaitu :

b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing;

c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia;

(4)

d. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara Indonesia;

e. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia;

f.Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia; dan

g. Anak Warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia.

Menurut Pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak didefinisikan sebagai berikut:27 “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan.

Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.28 Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua

27Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

28 Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum

(5)

manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain.

Berdasarkan Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan.29 Dengan demikian, anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Hanya saja, seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum.

Meskipun demikian, anak tetap dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang sama-sama mempunyai hak, salah satunya adalah hak kewarganegaraan. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, perlindungan terhadap anak perlu diperhatikan dan dijauhkan dari kehidupan yang diskriminatif. Seperti yang tertuang dalam UU HAM Pasal 13 ayat (1) yang bebunyi : “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

(a) diskriminasi;

(b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; (c) penelantaran;

(6)

(d) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan (e) ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya.

Menurut teori hukum Perdata Internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Dalam teori HPI (Hukum Perdata Internasional) berkembang tiga pandangan tentang cara penyelesaian persoalan pendahuluan, yaitu:30

a. Absorption.

Prinsipnya, melalui absorption, lex cause yang dicari dan ditetapkan melalui penerapan kaidah HPI untuk mengatur masalah pokok (main issue) akan digunakan juga untuk menjawab “persoalan pendahuluan”. Jadi, setelah lex cause untuk masalah pokok ditetapkan melalui penerapan kaidah HPI lex fori, masalah pendahuluannya akan ditundukkan pada lex cause yang sama. Cara ini adakalanya disebut cara penyelesaian berdasarkan lex cause. Kualifikasi serta penentuan kaidah hukum inter apa yang harus digunakan untuk memutus masalah pendahuluannya akan bergantung pada lex causae yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan masalah pokok.

b. Repartition.

Pada dasarnya, melalui repartition, hakim harus menetapkan lex cause untuk masalah pendahuluan secara khusus dan tidak perlu menetapkan lex cause dari masalah pokoknya terlebih dahulu. Dengan mengabaikan sistem hukum mana yang akan merupakan lex cause untuk menjawab masalah pokok, hakim akan melakukan kualifikasi berdasarkan lex fori dan menggunakan kaidah-kaidah HPI-nya yang relevan khusus untuk menetapkan lex cause dari masalah pendahuluan. Cara ini disebut penyelesaian dengan lex fori.

30 Bayu Seto H, Dasar-Dasar Hukum Perdata InternasionaL, (Bandung : Citra Aditya

(7)

c. Pendekatan Kasus demi Kasus.

Ada pandangan yang berpendapat bahwa penetapan lex cause untuk masalah pendahuluan atau incidental question harus dilakukan dengan pendekatan kasuistis, dengan memperhatikan sifat dan hakikat perkara atau kebijakan dan kepentingan forum yang mengadili perkara.

1.2. Perlindungan Hukum Bagi Anak Dari Hasil Perkawinan Campuran.

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, terlebih lagi kita hidup dalam negara demokrasi.

UU No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, menganut prinsip umum dan universal yang diakui keberadaannya oleh negara-negara di dunia. Sejumlah prinsip itu antara lain :31

Pertama, asas ius sanguinis adalah penentuan kewarganegaraan berdasarkan keturunan. Ius sanguinis, menetapkan kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan kewarganegaraan orang tuanya, tanpa mengindahkan di mana ia dilahirkan.

Kedua, asas ius soli, adalah penentuan kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran seseorang. Dengan kata lain, kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan daerah/negara tempat ia dilahirkan.

Ketiga, nondiskriminatif. Kewarganegaraan Indonesia tidak membedakan perlakuan antar warga negara, yang didasarkan perbedaan suku, ras, agama, golongan dan gender.

(8)

Keempat, penghormatan terhadap HAM. Kewarganegaraan Indonesia menghormati hak asasi pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya yang tercantum dalam peraturan perundangan di Indonesia. Deklarasi PBB mengakui, bahwa di semua negara di dunia ada anak-anak yang hidup dalam kesulitan dan membutuhkan perhatian khusus. Diantaranya adalah menghormati hak anak dan mempertahankan identitasnya termasuk kewarganegaraannya, nama dan hubungan keluarga sebagaimana yang diakui oleh undang-undang tanpa campur tangan yang tidak sah (Pasal 8 ayat 1).

Kelima, persamaan di muka hukum dan pemerintahan. Setiap warga negara Indonesia akan mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan dalam pelayanan bidang kewarganegaraan dan kependudukan.

Keenam, mencegah terjadinya apatride (tanpa kewarganegaraan) dan bipatride (kewarganegaraan ganda).

Status kewarganegaraan secara yuridis diatur oleh peraturan perundang-undangan nasional. Tetapi dengan tidak adanya uniformiteit dalam menentukan persyaratan untuk diakui sebagai warga negara dari berbagai akibat dari perbedaan dasar yang dipakai dalam kewarganegaraan maka timbul berbagai macam permasalahan kewarganegaraan. Permasalahan kewarganegaraan yang muncul adalah adanya kemungkinan seseorang mempunyai kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Adapun yang membedakan antara bipatride dengan apatride yaitu :32

1. Dwi Kewarganegaraan (Bipatride)

32Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, (Bandung:

(9)

Bipatride terjadi apabila seorang anak yang negara orang tuanya menganut asas ius sangunis lahir di negara lain yang menganut asas ius soli, maka kedua negara tersebut menganggap bahwa anak tersebut warga negaranya. Sebagai contoh, sebelum ada perjanjian Menteri Luar Negeri Indonesia, Soenario dan Menteri Luar Negeri Cina, Chow, orang China yang berdomisili di Indonesia (ius soli) merupakan Warga Negara Indonesia dan Warga Negara China (ius sangunis).

Untuk mencegah bipatride, maka Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 Pasal 7 dinyatakan bahwa seorang perempuan asing yang kawin dengan laki-laki Warga Negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan melakukan pernyataan dengan syarat bahwa dia harus meninggalkan kewarganegaraan asalnya.

b. Tanpa Kewarganegaraan (Apatride)

Apatride terjadi apabila seorang anak yang negara orang tuanya menganut asas ius soli lahir di negara yang menganut ius sungunis. Sebagai contoh, orang Cina yang pro Koumintang, tidak diakui sebagai warga RRC, sedangkan Taiwan sebagai negara asal pada 1958 belum ada hubungan diplomatik dengan Indonesia, maka mereka juga tidak diakui sebagai Warga Negara Taiwan, sehingga mereka merupakan "defacto apatride". Untuk mencegah apatride, Undang-Undang Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958 Pasal 1 huruf f menyatakan bahwa anak yang lahir di wilayah Indonesia, selama orang tuanya tidak diketahui adalah Warga Negara Indonesia.

(10)

Sementara bagi orang Cina, sebelurn lahirnya Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958, untuk menentukan kewarganegaraan diadakan perjanjian antara Indonesia dengan Cina yang dikenal dengan perjanjian Soenario-Chow pada tanggal 22 April 1955 yang diundangkan dengan Undang-Undang No.2 Tahun 1958, berisi bahwa. semua orang Cina yang berdomisili di Indonesia harus mengadakan pilihan kewarganegaraan dengan tegas dan secara tertulis.

Status kewarganegaraan adalah hal penting bagi setiap individu dan sudah menjadi hak individu tersebut untuk memilih status kewarganegaraannya. Alasan pentingnya kewarganegaraan dalam hukum internasional adalah sebagai berikut :

1. Hak atas perlindungan diplomatik di luar negeri merupakan atributesensial kewarganegaraan. Negara bertanggung jawab melindungi warganya yang berada di luar negeri.

2. Negara di mana seseorang merupakan warga negaranya menjadi bertanggung jawab kepada negara yang satu lagi jika is gagal dalam kewajibannya untuk mencegah tindakan-tindakan salah tertentu yang dilakukan oleh orang ini atau gagal menghukumnya setelah tindakan-tindakan salah ini dilakukan.

3. Pada umumnya, suatu negara tidak menolak untuk menerima kembali warga negaranya sendiri di wilayahnya. Pasal 12 ayat (4) Perjanjian Intemasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 menetapkan: ”Tak seorang pun boleh secara sewenang-wenang dirampas haknya untuk memasuki negaranya”.

4. Kewarganegaraan menuntut kesetiaan dan salah satu bentuk utama kesetiaan itu ialah kewajiban melaksanakan wajib militer bagi negara terhadap mana kesetiaan ini hams diberikan.

5. Suatu negara mempunyai hak umum (kecuali ada traktat khusus yang mengikat) untuk menolak mengekstradisi warga negaranya kepada suatu negara lain yang meminta supaya diserahkan.

6. Status musuh dalam perang ditentukan oleh kewarganegaraan orang yang bersangkutan.

7. Negara-negara sering melaksanakan yurisdiksi pidana atau yurisdiksi lain berdasarkan kewarganegaraan.

(11)

Dalam sebuah negara akan terdapat warga negara dan orang asing. Warga negara mempunyai hak dan tanggung jawab yang besar dibandingkan orang asing. Warga negara, dimanapun ia berada akan tetap mempunyai hubungan dengan negaranya selama ia tidak melepaskan kewarganegaraannya tersebut. Sedangkan orang asing hanya memiliki hubungan dengan negara selama berdomisili di negara tersebut.

1.3. Pelaksanaan perlindungan anak pada peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan atau implementasi dari Undang-Undang belum berjalan sepenuhnya sesuai dengan harapan masyarakat dalam upaya Perlindungan anak. Perlindungan anak di Indonesia dan implementasinya dipertanggungjawabkan serta bermanfaat untuk dikemukakan, beberapa saran yang dapat diperhatikan dan dilaksanakan bersama mengingat situasi dan kondisi yang ada pada saat ini dan dikemudian hari sebagi berikut: 1) Mengusahakan adanya suatu organisasi koordinasi kerjasama di

bidang pelayanan perlindungan anak, yang berfungsi sebagai koordinator yang memonitor dan membantu membina dan membuat pola kebijaksanaan mereka yang melibatkan diri dalam perlindungan anak pada tingkat nasional dan regional.33

2) Berupaya maksimal membuat, mengadakan penjamin pelaksanaan perlindungan anak dengan berbagai cara yang mempunyai kepastian hukum.34

33

Enggi Holt, Asas Perlindungan Anak dan Persamaan Kedudukan Hukum Antara

Perempuan dan Pria Dalam Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia,

(Bandung : PT. . RajaGrafindo Persada, 2013), halaman 177.

(12)

3) Mengusahakan penyuluhan mengenai perlindungan anak serta manfaatnya secara merata dengan tujuan meningkatkan kesadaran setiap anggota masyarakat dan aparat pemerintah untuk ikut serta dalam kegiatan perlindungan anak sesuai dengan kemampuan dan berbagai cara untuk tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

4) Mengusahakan penelitian di bidang perlindungan anak agar lebih dapat memahami permasalahan untuk dapat membuat dan melakasanakan kebijaksanaan secara dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat.

5) Meningkatkan pemenuhan hak-hak sipil dan kebebasan sebagai manifest pertama haknya sebagai manusia, yang mencakup: Nama, status kewarganegaraan, identitas penduduk, dan akta kelahiran; Kebebasan dalam berekspresi, berpikir, berhati nurani, memeluk agama, berserikat, akses terhadap informasi yang layak baik melalui jalur organisasi pemerintah, organisasi masyarakat, maupun organisasi yang dibentuk oleh mereka sendiri.

6) Perlindungan atas kehidupan pribadi.

7) Tidak menjadi subjek penyiksaan, hukum yang kejam, penjara seumur hidup, penahanan semena-mena dan perampasan kebebasan.

Meningkatkan pemenuhan hak-hak sipil dan kebebasan sebagai manifest pertama haknya sebagai manusia, yang mencakup:

1. Nama, status kewarganegaraan, identitas penduduk, dan akta kelahiran;

(13)

2. Kebebasan dalam berekspresi, berpikir, berhati nurani, memeluk agama, berserikat, akses terhadap informasi yang layak baik melalui jalur organisasi pemerintah, organisasi masyarakat, maupun organisasi yang dibentuk oleh mereka sendiri.

3. Perlindungan atas kehidupan pribadi.

4. Tidak menjadi subjek penyiksaan, hukum yang kejam, penjara seumur hidup, penahanan semena-mena dan perampasan kebebasan.

Yang dimaksud dengan asas kepentingan terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang berkaitan dengan anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan Yudikatif, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Dalam hal menjamin dan menghormati hak anak negara dan pemerintah tidak dibenarkan melakukan diskriminasi/membedakan suku, agama, ras, golongan dll, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 mengingat Penyelenggaraan Perlindungan Anak harus berasaskan Pancasila dan UUD’45 dan prinsip dasar Konvensi Hak Anak Perlindungan Anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, antara lain dalam bidang hukum, baik Perdata maupun Pidana, yang dalam tulisan ini dibatasi dalam bidang Pidana.

Mengingat bahwa pertanggung jawaban anak dalam hukum pidana (toerekenvatbaarheid) atas pelanggaranpelanggaran hukum yang dilakukannya adalah belum sempurna seperti orang dewasa, maka perlu adanya ketentuan tentang batas usia minimum bagi anak untuk dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sebagai perbandingan yaitu dalam

(14)

KUHP (lama) belum menentukan batas usia minimum tersebut, karena Pasal 45 KUHP hanya menentukan sebelum batas umur (16 tahun) untuk dapat dijatuhi tindakan ataupun pidana, yang lain jenisnya atau lebih ringan dari pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang dewasa.

Dengan demikian menurut ketentuan tersebut, dapat dikatakan formil juridis anak berumur 0 tahun, satu tahun hingga misalnya sampai 6-7 Tahun dapat dituntut pidana, sedangkan dilihat baik dari segi biologis maupun psychologis anak-anak seumur itu tidak dapat diharapkan mengerti akan sifat baik buruknya suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian. Kebanyakan negara mempunyai batas umur minimum dan batas maksimum seorang anak untuk dapat diajukan ke sidang anak, dengan pengertian batas umur minimum hanya berlaku bagi delinquent child (anak nakal), sedangkan bagi neglected (Independent Child/Anak Terlantar) tidak ada batas usia minimum. Sebagai perbandingan dengan negara-negara tersebut.

B. Hak waris anak yang lahir dari perkawinan campuran beda kewarganegaraan. Perwujudan yang selama ini tercermin pada aturan legal yang bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antarwarga negara serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1958 dalam Pasal 8 Ayat (1), diatur bahwa seorang wanita WNI yang melakukan kawin campur, maka akan kehilangan kewarganegaraan-nya. Begitupun anak yang dilahirkan dari perkawinan antara wanita WNI dengan pria WNA, otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya.

(15)

Sedangkan perwujudan demokratisasi negara dalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru tercermin dari produk hukumnya yang responsif, yakni dalam bentuk persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara dihadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender.

Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 2006 dalam Pasal 2 disebutkan bahwa warga negara asli Indonesia adalah orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Undang-undang ini menyiratkan penolakan konsep diskriminasi dalam perolehan kewarganegaraan atas dasar ras, etnik, dan gender, maupun diskriminasi yang didasarkan pada status perkawinan.

Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena Undang-undang baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.

Definisi anak dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Pada hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUH Perdata memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek

(16)

hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.35

Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan.

Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda pula.

Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.

Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :

35Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata, Suatu

(17)

a. Menjadi warganegara Indonesia Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara Indonesia (Pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri) meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami. b. Menjadi warganegara asing Apabila anak tersebut lahir dari

perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada Pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.

Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Undang-Undang kewarganegaraan yang baru (UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan) memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal.

Berdasarkan Undang-undang ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.

(18)

Kedudukan anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin akan mengikuti kewarganegaraan ayah atau ibunya dengan siapa ia mempunyai hubungan hukum keluarga. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.

Berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan RI yang baru, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal (Statuta personalia adalah kelompok kaidah yang mengikuti kemana ia pergi).

Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Pada umumnya yang sering digunakan ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari istri dan hak-hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.

Dalam sistem hukum Indonesia, Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam

(19)

keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958. Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.

Referensi

Dokumen terkait

Prosedur penjualan adalah ukuran kegiatan sejak diterimanya pesanan oleh pembeli, pengiriman barang, pembuatan faktur dan

“Analisis rasio adalah menyederhanakan informasi yang menggambarkan hubungan antara pos tertentu dengan pos lainnya.” Analisis rasio merupakan bentuk atau cara umum yang

Penelitian ini dirancang untuk menguji pengaruh antar variabel independen yaitu karakteristik auditor dan kompetensi auditor terhadap variabel dependen yaitu kemampuan

Dengan fenomena awal dari hubungan kerja, lingkungan kerja serta motivasi kerja pegawai tersebut, mendorong penulis untuk meneliti seberapa besar pengaruh hubungan kerja,

Gambar 2 Dendogram Hasil Cluster yang Terbentuk.. Setelah jarak antar variabel diukur dengan cara Euclidean , selanjutnya dilakukan pengelompokan variabel secara hierarkis.

Kurikulum sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (19) Undang- undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,

ïò Ì·²¶¿«¿² ¬»²¬¿²¹ Þ¿²µ л®µ®»¼·¬¿² ﵧ¿¬ òòòòòòòòòòòòòòòòòòòò ïê. ¿ò л²¹»®¬·¿²

5.2.How collaborative writing (CW) helps develop students’ critical thinking. This section attempts to answer the second research question that is