• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKTUALISASI TEORI HIERARKI KEBUTUHAN ABRAHAM H. MASLOW BAGI PENINGKATAN KINERJA INDIVIDU DALAM ORGANISASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AKTUALISASI TEORI HIERARKI KEBUTUHAN ABRAHAM H. MASLOW BAGI PENINGKATAN KINERJA INDIVIDU DALAM ORGANISASI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

AKTUALISASI TEORI HIERARKI KEBUTUHAN ABRAHAM H. MASLOW BAGI PENINGKATAN KINERJA

INDIVIDU DALAM ORGANISASI LIANTO

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI WIDYA DHARMA PONTIANAK Abstract

In this article, the theory of Abraham H. Maslow’s Hierarchy of Needs would be the starting point and the foundation for the idea of finding motivation to increase the performance of individuals within the organization. Today, there are various criticisms about the validity of Maslow’s theory. However, as a basic concept for the introduction of individual personality and various structural factors that encourage people to do something, this theory can still resonates loudly. The term "actualization" is meant how Maslow's theory in social psychology can be adopted into individual motivation in the management disciplines and how the theory, which was introduced in the 1950s, can be re-actualized.

Kata-kata Kunci: Hierarki kebutuhan, motivasi, kinerja, kompensasi, manajemen

A. Pendahuluan

Dalam kenyataan, tidak selalu seseorang yang telah digaji cukup akan merasa puas dengan pekerjaannya. Banyak faktor (di samping gaji) yang menyebabkan orang merasa puas atau tidak puas bekerja pada suatu organisasi. Seorang manajer adalah orang yang bekerja dengan bantuan orang lain. Ia tidak menjalankan semua pekerjaan sendirian saja, melainkan mengarahkan orang lain dalam tim untuk melaksanakannya. Jika tugas yang diarahkan tidak dapat dilaksanakan oleh karyawannya, seorang manajer harus mengetahui sebab-sebabnya. Mungkin karyawan yang bersangkutan memang tidak kompeten di bidangnya, mungkin pula ia tidak mempunyai motivasi untuk bekerja dengan baik.

Dari kenyataan ini dipahami bahwa motivasi merupakan unsur hakiki dalam integrasi antara pribadi individu dengan tujuan organisasi. Dalam konteks ini, pemberian motivasi merupakan salah satu fungsi dan tugas dari seorang manajer. Ia harus mampu memotivasi individu-individu yang terlibat untuk dapat memberikan kinerja yang optimal demi pencapaian tujuan organisasi. Penyusunan materi tulisan ini didasarkan pada penelitian kepustakaan (library research). Pokok-pokok pikiran Abraham Maslow dan sejumlah pengarang lain dihimpun dan disajikan secara tematis. Dari segi penulisan, kami memilih metode analitis-kritis.

Artikel ini dibuka dengan paparan selayang pandang profil sang tokoh: Abraham H. Maslow, proposisi-proposisi awal Maslow, dan intisari teori Maslow tentang Hierarki Kebutuhan. Kajian selanjutnya akan menguraikan

(2)

identifikasi atas tiap kebutuhan dan implikasinya terhadap motivasi yang mempengaruhi kinerja individu dalam organisasi. Dan sebelum ditutup dengan kesimpulan, akan dipaparkan tinjauan kritis atas pro dan kontra terhadap konsep Maslow.

B. Sekilas Tentang Abraham H. Maslow

Abraham H. Maslow dilahirkan pada tahun 1908 dalam keluarga imigran Rusia-Yahudi di Brooklyn, New York. Ia seorang yang pemalu, neurotik, dan depresif namun memiliki rasa ingin tahu yang besar dan kecerdasan otak yang luar biasa. Dengan IQ 195, ia unggul di sekolah (Butler-Bowdon, 2005: 273). Ketika beranjak remaja, Maslow mulai mengagumi karya para filsuf seperti Alfred North Whitehead, Henri Bergson, Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Plato, dan Baruch Spinoza. Di samping berkutat dalam kegiatan kognitif, ia juga mempunyai banyak pengalaman praktis. Ia bekerja sebagai pengantar koran dan menghabiskan liburan dengan bekerja pada perusahaan keluarga (Goble, 1987: 28-29).

Maslow hidup dalam zaman di mana bermunculan banyak aliran psikologi yang baru tumbuh sebagai disiplin ilmu yang relatif muda. Di Amerika, William James mengembangkan Fungsionalisme. Psikologi Gestalt berkembang di Jerman, Sigmund Freud berjaya di Wina, dan John B. Watson memopulerkan Behaviorisme di Amerika. Ketika pada tahun 1954 Maslow menerbitkan bukunya yang berjudul Motivation and Personality, dua teori yang sangat populer dan berpengaruh di universitas-universitas Amerika adalah Psikoanalisa Sigmund Freud dan Behaviorisme John B. Watson (Goble, 1987: 17).

Dalam ranah psikologi, Psikoanalisa Freud dianggap mazhab (force) pertama. Sedangkan Behaviorisme disebut mazhab kedua. Agaknya Maslow (kendati pernah mengagumi kedua aliran tersebut) mempunyai prinsip yang berbeda. Sampel penelitian Freud adalah pasien-pasien neurotis dan psikotis di kliniknya. Pertanyaan kita adalah: bagaimana kesimpulan dari sampel orang yang terganggu jiwanya dapat diterapkan pada orang-orang pada umumnya (yang sehat mental). Maslow mempunyai prinsip bahwa sebelum mengerti penyakit mental, orang harus terlebih dahulu memahami kesehatan mental. Di kutub lain, kaum Behavioris menghimpun data dari penelitian atas binatang seperti burung merpati dan tikus putih. Maslow melihat bahwa kesimpulan mereka bisa jadi berlaku bagi ikan, katak, atau tikus, tetapi tidak untuk bangsa manusia (Goble, 1987: 18-23, 33-37).

Berlawanan secara radikal dengan kedua aliran tersebut, Maslow mencari sampel pada manusia-manusia yang dalam masyarakat dilihat sebagai “tokoh”. Ia melibatkan penelitiannya terhadap tujuh tokoh modern dan sembilan tokoh sejarah: Abraham Lincoln dan Thomas Jefferson (presiden AS), Eleanor Roosevelt (First Lady yang dermawan), Jane Addams (pelopor pekerja sosial), William James (psikolog), Albert Schweitzer (dokter dan humanis), Aldous Huxley (penulis), dan Baruch Spinoza (filsuf). Penyelidikan tentang tokoh-tokoh ini (dan yang lainnya) -kebiasaan, sifat, kepribadian, dan kemampuan mereka- telah mengantar Maslow sampai

(3)

pada teori tentang kesehatan mental dan teori tentang motivasi pada manusia (Butler-Bowdon, 2005: 269; Goble, 1987: 49-50). Secara dialektis, tesis Freud dan antitesis Watson et al. melahirkan sintesis Abraham Maslow. Oleh karena itu, teorinya kerap disebut mazhab ketiga.

C. Proposisi Maslow atas Teori Motivasi

Sebelum menguraikan teori tentang Hierarki Kebutuhan, Maslow dalam karya masyhurnya, Motivation and Personality, memaparkan terlebih dahulu sejumlah proposisi yang harus diperhatikan sebelum seseorang menyusun sebuah teori motivasi yang sehat. Maslow mengakui sendiri bahwa sejumlah proposisi sangat benar dalam arti dapat diterima oleh banyak kalangan. Sejumlah proposisi lain barangkali kurang dapat diterima dan dapat diperdebatkan. Hal ini mencerminkan kelegowoan Maslow untuk tidak begitu saja memutlakkan teorinya. Berhubung teori ini berkenaan dengan manusia yang dinamis multidimensional, lumrah kiranya bahwa pandangan tertentu kurang universal. Berikut ini sejumlah proposisi awal untuk memahami jalan pikiran Maslow.

1. Individu sebagai Kesatuan Terpadu

Maslow pertama-tama menekankan bahwa individu merupakan kesatuan yang terpadu dan terorganisasi. Pernyataan ini hampir menjadi aksioma yang diterima oleh semua orang, yang kemudian sering dilupakan dan diabaikan tatkala seseorang melakukan penelitian. Penting sekali untuk selalu disadarkan kembali hal ini sebelum seseorang melakukan eksperimen atau menyusun suatu teori motivasi yang sehat. Maslow memberikan contoh: yang membutuhkan makanan bukanlah perut John Smith semata-mata, melainkan seluruh individu John Smith sebagai kesatuan. Dengan kata lain, makanan akan memuaskan rasa lapar John Smith, dan bukan hanya rasa lapar pada perut John Smith.

2. Cara dan Tujuan

Bila kita telisik keinginan dalam pengalaman sehari-hari, hal penting untuk disadari adalah pembedaan antara cara dan tujuan. Kebutuhan-kebutuhan biasanya lebih merupakan cara atau sarana bagi suatu tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Misalnya kita menginginkan atau membutuhkan uang agar dapat membeli mobil. Analisis selanjutnya menunjukkan bahwa kita menginginkan mobil karena para tetangga memilikinya dan kita tidak ingin merasa kurang daripada mereka. Rupanya ini soal harga diri dan kebutuhan untuk dihormati. Kita dapati bahwa ada gejala dan ada pula arti di balik gejala, yakni apa yang sesungguhnya menjadi tujuan yang lebih dasariah pada akhirnya. Intinya kita harus menemukan tujuan terdalam seseorang ketika menginginkan sesuatu bila tidak ingin terjatuh dalam pemuasan kebutuhan yang tidak tepat sasaran. Tujuan-tujuan itu lebih universal daripada cara-cara yang ditempuh untuk mencapainya. Karena faktor budaya, bisa saja tujuan yang sama, misalnya harga diri, dicapai individu dalam masyarakat tertentu dengan menjadi prajurit, dan dalam masyarakat yang lain dicapai dengan menjadi dokter. Karena perbedaan perilaku individu dalam pemuasan kebutuhan tersebut, orang seringkali membuat

(4)

pembedaan atas tujuan yang sebetulnya sama. Meskipun beragam budaya, sebetulnya umat manusia lebih banyak serupa daripada yang terlihat dan disangka banyak orang.

3. Motivasi Ganda

Seseorang bisa jadi dapat menjelaskan motivasi tertentu yang mendasari perilakunya. Namun tidak jarang terdapat pula aneka motivasi lain yang barangkali tidak disadari dan dikira oleh individu itu. Satu gejala sekaligus dapat menggambarkan bermacam-macam keinginan yang berbeda-beda, bahkan juga kepentingan-kepentingan yang bertentangan satu sama lain. Teori motivasi yang sehat tidak boleh mengabaikan aspek kehidupan alam bawah sadar. Gejala psikopatologis kelumpuhan, misalnya, dapat menggambarkan dipenuhinya sekaligus keinginan akan balas dendam, dikasihani, dan dihormati. Jika gejala ini hanya dilihat sebagai gejala lahiriah tanpa menelaah kemungkinan keinginan atau motivasi bawah sadar, berarti kita telah semena-mena meniadakan kemungkinan untuk memahami seluruh perilaku dan keadaan motivasional seorang individu.

4. Tata Hubungan Motivasi

Manusia adalah makhluk yang punya keinginan dan jarang mencapai keadaan puas sepenuhnya kecuali untuk waktu yang singkat. Apabila keinginan yang satu telah terpenuhi, keinginan lainnya akan timbul menggantikan keinginan sebelumnya. Jika keinginan itu pun terpenuhi, masih ada keinginan lainnya yang akan menyusul, dan begitu seterusnya. Kenyataan ini menuntut kita untuk menelaah tata hubungan semua motivasi satu sama lain. Pada saat yang sama, kita juga harus melepaskan unit-unit motivasi yang tersendiri untuk mencapai pengertian lebih luas yang dicari.

5. Tolak Daftar Dorongan Dikotomis

Tidak ada gunanya membuat daftar dorongan-dorongan (stimulus) yang muncul. Dorongan-dorongan satu sama lain bukanlah hal-hal yang terpilah-pilah. Pendaftaran dorongan secara dikotomis mengabaikan sifat dinamis dari dorongan-dorongan itu, misalnya bahwa segi-segi kesadaran dan ketidaksadaran mungkin berbeda-beda, atau bahwa suatu keinginan tertentu sebenarnya dapat merupakan suatu saluran bagi pengungkapan berbagai keinginan lainnya, dan sebagainya. Pada kenyataannya, dorongan-dorongan juga tidak mengelompokkan diri secara aritmetik dan tersendiri dengan ciri-ciri tersendiri. Biasanya terdapat suatu tumpang-tindih, sehingga hampir tidak mungkin secara jelas dan tajam memisahkan dorongan yang satu dari yang lain.

6. Lingkungan

Aspek yang satu ini tidak boleh dilupakan. Setiap teori motivasi dengan sendirinya harus memperhitungkan fakta pengaruh lingkungan. Motivasi manusia jarang mewujudkan diri dalam suatu perilaku yang lepas dari situasi dan dengan orang-orang lain. Namun pengakuan akan pengaruh situasi lingkungan hendaknya tidak berlebihan, karena pusat telaah kita tetaplah organisme atau struktur watak dari individu. Teori motivasi yang sehat harus mempertimbangkan situasi, tetapi jangan

(5)

terjebak ke dalam teori situasi murni. Telaah tentang motivasi jangan meniadakan atau menyangkal telaah tentang penentu-penentu situasional. Di lain sisi, telaah motivasi jangan pula melupakan sifat intrinsik organisme demi kepentingan pemahaman dunia di mana organisme itu hidup.

7. Kemungkinan Mencapai Hasil

Maslow, sebagaimana juga J. Dewey dan Thorndike, menekankan aspek motivasi yang sering diabaikan kebanyakan psikolog, yakni kemungkinan. Pada umumnya secara sadar kita mendambakan apa yang menurut pikiran kita dapat dicapai. Bila penghasilan seseorang bertambah, ia sadar bahwa dirinya secara aktif mengharapkan untuk memperoleh hal-hal yang diidamkan beberapa tahun sebelumnya. Bila rata-rata orang mendambakan mobil dan rumah, hal itu lumrah dan merupakan kemungkinan yang nyata. Mereka tidak mendambakan pesawat jet atau kapal pesiar karena barang-barang itu ada di luar jangkauan rata-rata kemampuannya. Mungkin sekali bahwa secara tidak sadar pun ia tidak mendambakannya. Faktor kemungkinan untuk mencapai hasil ini penting diperhatikan dalam usaha memahami perbedaan motivasi di antara berbagai kelas dalam masyarakat atau antara individu-individu dari negara atau kebudayaan yang berbeda-beda.

8. Pengetahuan Mengenai Motivasi Sehat

Proposisi ini merupakan nilai lebih dari pandangan Maslow dibandingkan dengan kedua mazhab psikologi sebelumnya. Boleh dikatakan bahwa hal berikut merupakan kritik Maslow atas sampel penelitian mereka. Menurut Maslow, sebagian besar ahli motivasi mendapatkan data dari para psikoterapis yang sedang merawat pasien. Pasien-pasien itu merupakan sumber kekeliruan yang besar karena mereka merupakan contoh yang kurang baik dari suatu populasi. Sebagai asas sekali pun, kehidupan motivasional para penderita gangguan emosi harus ditolak sebagai contoh bagi motivasi sehat. Teori motivasi yang sehat sepatutnya merupakan kesimpulan dari penelitian atas orang-orang yang sehat pula. Oleh karena itu, sampel penelitian Maslow adalah orang-orang yang ternama dalam sejarah manusia.

D. Teori Motivasi Abraham Maslow: Hierarki Kebutuhan

Maslow mengembangkan teori tentang bagaimana semua motivasi saling berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai “hierarki kebutuhan”. Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut. Selanjutnya orang akan berusaha memenuhi kebutuhan tingkat berikutnya. Maslow membagi tingkat kebutuhan manusia menjadi sebagai berikut: (1) Kebutuhan fisiologis: kebutuhan yang dasariah, misalnya rasa lapar, haus, tempat berteduh, seks, tidur, oksigen, dan kebutuhan jasmani lainnya. (2)Kebutuhan akan rasa aman: mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional. (3)Kebutuhan sosial: mencakup kebutuhan akan rasa memiliki

(6)

dan dimiliki, kasih sayang, diterima-baik, dan persahabatan. (4)Kebutuhan akan penghargaan: mencakup faktor penghormatan internal seperti harga diri, otonomi, dan prestasi; serta faktor eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian. (5)Kebutuhan akan aktualisasi diri: mencakup hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya.

Maslow menyebut teori Hierarki Kebutuhan-nya sendiri sebagai sintesis atau perpaduan teori yang holistik dinamis. Disebut demikian karena Maslow mendasarkan teorinya dengan mengikuti tradisi fungsional James dan Dewey, yang dipadu dengan unsur-unsur kepercayaan Wertheimer, Goldstein, dan psikologi Gestalt, dan dengan dinamisme Freud, Fromm, Horney, Reich, Jung, dan Adler (Maslow, 1984: 39).

E. Identifikasi Hieraki Kebutuhan dan Aplikasi Manajemen 1. Kebutuhan Fisiologis

Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman, tempat tinggal, seks, tidur, istirahat, dan udara. Seseorang yang mengalami kekurangan makanan, harga diri, dan cinta, pertama-tama akan mencari makanan terlebih dahulu. Bagi orang yang berada dalam keadaan lapar berat dan membahayakan, tak ada minat lain kecuali makanan. Bagi masyarakat sejahtera jenis-jenis kebutuhan ini umumnya telah terpenuhi. Ketika kebutuhan dasar ini terpuaskan, dengan segera kebutuhan-kebutuhan lain (yang lebih tinggi tingkatnya) akan muncul dan mendominasi perilaku manusia (Ranupandojo & Husnan, 1995: 181; Goble, 1987: 71-72).

Tak teragukan lagi bahwa kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan yang paling kuat dan mendesak. Ini berarti bahwa pada diri manusia yang sangat merasa kekurangan segala-galanya dalam kehidupannya, besar sekali kemungkinan bahwa motivasi yang paling besar ialah kebutuhan fisiologis dan bukan yang lain-lainnya. Dengan kata lain, seorang individu yang melarat kehidupannya, mungkin sekali akan selalu termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan ini (Winardi, 2002: 14).

Aplikasi Manajemen

Pertama-tama harus selalu diingat bahwa bagi orang yang sangat kelaparan, tidak ada perhatian lain kecuali makanan. Seorang pemimpin atau manajer jangan berharap terlalu banyak dari karyawan yang kelaparan. Berbeda dari kebutuhan-kebutuhan tingkat berikutnya, kebutuhan pokok ini hanya bisa dipenuhi oleh pemicu kekurangannya. Rasa lapar hanya dapat dipuaskan dengan makanan. Jangan berharap bahwa nasihat dan petuah saleh dapat memuaskannya. Maslow menggambarkan bahwa bagi manusia yang selalu dan sangat kelaparan atau kehausan, utopia dapat dirumuskan sebagai suatu tempat yang penuh makanan dan minuman. Ia cenderung berpikir bahwa seandainya makanannya terjamin sepanjang hidupnya, maka sempurnalah kebahagiaannya. Orang seperti itu hanya hidup untuk makan saja (Maslow, 1984:41-42). Untuk memotivasi kinerja karyawan seperti ini,

(7)

tentu saja makanan solusinya. Tunjangan ekstra untuk konsumsi akan lebih menggerakkan semangat kerja orang seperti ini dibandingkan dengan nasehat tentang integritas individu dalam organisasi.

Elton Mayo dari Harvard Graduate School of Business Administration pada tahun 1923 melakukan penelitian di sebuah pabrik tekstil di Philadelphia. Ia ingin menemukan penyebab terjadinya pergantian tenaga kerja yang terlalu sering di salah satu bagian produksi di mana pekerjaan yang dilakukan lumayan sukar dan monoton. Ia bertolak dari asumsi kelelahan tenaga kerja dan kebutuhan akan waktu istirahat. Maka ia menjadwalkan serangkaian waktu istirahat. Para karyawan diminta bekerja sama dalam menetapkan jadwal. Hasil yang diperoleh cukup fantastis: pergantian karyawan menurun drastis, produktivitas meningkat, dan semangat kerja menjadi lebih baik. Mayo secara tepat menemukan apa yang dibutuhkan karyawan, yakni waktu istirahat dan penghargaan diri karena memberikan kesempatan kepada mereka untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang biasanya menjadi monopoli pimpinan perusahaan (Goble, 1987: 283). Dengan satu panah, Mayo membidik dua burung; dua kebutuhan terpenuhi dalam waktu yang sama.

2. Kebutuhan Rasa Aman

Segera setelah kebutuhan dasariah terpuaskan, muncullah apa yang digambarkan Maslow sebagai kebutuhan akan rasa aman atau keselamatan. Kebutuhan ini menampilkan diri dalam kategori kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan sebagainya. Kebutuhan ini dapat kita amati pada seorang anak. Biasanya seorang anak membutuhkan suatu dunia atau lingkungan yang dapat diramalkan. Seorang anak menyukai konsistensi dan kerutinan sampai batas-batas tertentu. Jika hal-hal itu tidak ditemukan, maka ia akan menjadi cemas dan merasa tidak aman. Orang yang merasa tidak aman memiliki kebutuhan akan keteraturan dan stabilitas serta akan berusaha keras menghindari hal-hal yang bersifat asing dan tidak diharapkan (Goble, 1987: 73).

Aplikasi Manajemen

Dalam konteks perilaku kinerja individu dalam organisasi, kebutuhan akan rasa aman menampilkan diri dalam perilaku preferensi individu akan dunia kerja yang adem-ayem, aman, tertib, teramalkan, taat-hukum, teratur, dapat diandalkan, dan di mana tidak terjadi hal-hal yang tak disangka-sangka, kacau, kalut, atau berbahaya. Untuk dapat memotivasi karyawannya, seorang manajer harus memahami apa yang menjadi kebutuhan karyawannya. Bila yang mereka butuhkan adalah rasa aman dalam kerja, kinerja mereka akan termotivasi oleh tawaran keamanan. Pemahaman akan tingkat kebutuhan ini juga dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa karyawan tertentu tidak suka inovasi baru dan cenderung meneruskan apa yang telah berjalan. Atau dipakai untuk memahami mengapa orang tertentu lebih berani menempuh resiko, sedangkan yang lain tidak.

(8)

Dalam organisasi, kita seringkali mendapati perilaku individu yang berusaha mencari batas-batas perilaku yang diperkenankan (permisible behavior). Ia menginginkan kebebasan dalam batas tertentu daripada kebebasan yang tanpa batas. Seseorang yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang batas-batas perilaku yang diterima bagi dirinya sendiri dapat mempunyai perasaan terancam. Agaknya ia akan berupaya untuk menemukan batas-batas seperti itu, sekalipun pada saat-saat tertentu, ia harus berperilaku dengan cara-cara yang tidak dapat diterima. Para manajer dapat mengakomodasi kebutuhan akan rasa aman dalam organisasi dengan jalan membentuk dan memaksakan standar-standar perilaku yang jelas. Penting dicatat juga bahwa perasaan manusia tentang keamanan juga terancam apabila ia merasa tergantung pada pihak lain. Ia merasa bahwa ia akan kehilangan kepastian bila tanpa sengaja melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki. Individu yang berada dalam hubungan dependen seperti itu akan merasa bahwa kebutuhan terbesarnya adalah jaminan dan proteksi. Hampir setiap individu dalam tingkat kebutuhan ini akan menginginkan ketenteraman, supervisi, dan peluang kerja yang bersinambung (Winardi, 2002: 14-15).

Dewasa ini marak wacana adanya kemungkinan para karyawan di-PHK karena faktor teknologi yang berkembang. Dalam situasi ini, manajer dapat memotivasi karyawan dengan jalan memberikan suatu jaminan kepastian jabatan (job-security-pledge).

3. Kebutuhan Sosial

Setelah terpuaskan kebutuhan akan rasa aman, maka kebutuhan sosial yang mencakup kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang akan menjadi motivator penting bagi perilaku. Pada tingkat kebutuhan ini, dan belum pernah sebelumnya, orang akan sangat merasakan tiadanya sahabat, kekasih, isteri, suami, atau anak-anak. Ia haus akan relasi yang penuh arti dan penuh kasih dengan orang lain pada umumnya. Ia membutuhkan terutama tempat (peranan) di tengah kelompok atau lingkungannya, dan akan berusaha keras untuk mencapai dan mempertahankannya. Orang di posisi kebutuhan ini bahkan mungkin telah lupa bahwa tatkala masih memuaskan kebutuhan akan makanan, ia pernah meremehkan cinta sebagai hal yang tidak nyata, tidak perlu, dan tidak penting. Sekarang ia akan sangat merasakan perihnya rasa kesepian itu, pengucilan sosial, penolakan, tiadanya keramahan, dan keadaan yang tak menentu (Goble, 1987: 74).

Aplikasi Manajemen

Individu dalam organisasi menginginkan dirinya tergolong pada kelompok tertentu. Ia ingin berasosiasi dengan rekan lain, diterima, berbagi, dan menerima sikap persahabatan dan afeksi. Walaupun banyak manajer dewasa ini memahami adanya kebutuhan demikian, kadang mereka secara keliru menganggapnya sebagai ancaman bagi organisasi mereka sehingga tindakan-tindakan mereka disesuaikan dengan pandangan demikian (Winardi, 2002: 15). Organisasi atau perusahaan yang terlalu tajam dan jelas membedakan posisi pimpinan dan bawahan seringkali mengabaikan kebutuhan karyawan akan rasa memiliki (sense

(9)

of belonging). Seharusnya karyawan pada level kebutuhan ini dimotivasi untuk mempunyai rasa memiliki atas misi dan visi organisasi dan menyatukan ambisi personal dengan ambisi organisasi. Antara pengembangan pribadi dan organisasi mempunyai hubungan resiprok yang hasilnya dirasakan secara timbal balik.

Dalam ranah Perilaku Organisasi, kita kenal apa yang disebut manajemen konflik. Berbeda dari pandangan tradisional yang melihat konflik secara negatif, terdapat pandangan interaksionis yang melihat konflik tidak hanya sebagai kekuatan positif dalam kelompok namun juga sangat diperlukan agar kelompok berkinerja efektif. Konflik bisa baik atau buruk tergantung pada tipenya (Robbins, 2006: 546-547). Tanpa bermaksud menolak atau mendukung salah satu pandangan, dapat dikatakan bahwa potensi konflik dalam organisasi selain mengganggu rasa aman juga dapat menciptakan alienasi yang mengakibatkan disorientasi. Potensi mobilitas yang berlebihan yang umumnya dipaksakan oleh industrialisasi mengancam tercabutnya rasa kerasan dalam kelompok kerja, tantangan untuk adaptasi dalam kelompok baru dan asing, dan akhirnya menimbulkan kebutuhan akan rasa memiliki dan aneka kebutuhan yang masuk dalam hierarki tahap ini.

4. Kebutuhan akan Penghargaan

Menurut Maslow, semua orang dalam masyarakat (kecuali beberapa kasus yang patologis) mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian diri yang mantap, mempunyai dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan rasa hormat diri atau harga diri. Karenanya, Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan penghargaan secara internal dan eksternal. Yang pertama (internal) mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan). Yang kedua (eksternal) menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan diri. Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang karena kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan (Maslow, 1984: 76-77).

Aplikasi Manajemen

Tidak jarang ditemukan pekerja di level manajerial memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ada apa gerangan? Apakah kompensasi gajinya tidak memuaskan? Ternyata tidak selamanya uang dapat memotivasi perilaku individu dalam organisasi. Dari semua indikasi yang terdata, tampaknya organisasi yang menyandarkan peningkatan kinerja karyawan mereka pada aspek finansial, tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Benar bahwa uang adalah salah satu

(10)

alat motivasi yang kuat, tetapi penggunaannya harus disesuaikan dengan persepsi nilai setiap karyawan. Individu tertentu pada saat dan kondisi tertentu barangkali tidak lagi merasakan uang sebagai penggerak kinerja (Bushardt, 2002: 61).

Ketimbang uang, individu pada level ini lebih membutuhkan tantangan yang dapat mengeksplorasi potensi dan bakat yang dimilikinya. Tidak mengherankan bahwa sejumlah top manajer tiba-tiba mengundurkan diri ketika merasa tidak ada lagi tantangan dalam perusahaan tempat mereka bekerja. Keinginan atau hasrat kompetitif untuk menonjol atau melampaui orang lain boleh dikatakan sebagai sifat universal manusia. Kebutuhan akan penghargaan ini jika dikelola dengan tepat dapat menimbulkan kinerja organisasi yang luar biasa. Tidak seperti halnya kebutuhan-kebutuhan di tingkat lebih rendah, kebutuhan akan penghargaan ini jarang sekali terpenuhi secara sempurna (Winardi, 2002: 16).

Sebagai bagian dari sebuah pendekatan yang lebih konstruktif, manajemen partisipatif dan program-program umpan balik positif (positive feedback programs) dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan. Pendelegasian otonomi dan tanggung jawab yang lebih luas kepada karyawan telah terbukti efektif untuk memotivasi kinerja dan performa yang lebih baik. Keberhasilan eksperimen Mayo seperti telah diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa penghargaan finansial terbukti tidak selamanya seefektif penghargaan psikis. Masalahnya, banyak manajer seringkali lupa atau berpikir banyak kali untuk memberikan pujian dan pengakuan tulus bagi prestasi karyawan, dan sebaliknya tanpa pikir dua kali untuk melemparkan kritik atas pekerjaan buruk bawahannya (Winardi, 2002: 77-78; Francella, 2002: 90-91).

Pakar kepemimpinan, William Cohen (1987: 193-196), mengatakan bahwa jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang baik untuk memberikan pengakuan kepada prestasi kerja dalam organisasi. Pengakuan merupakan salah satu motivator manusia yang paling kuat. Psikolog terkenal, B.F. Skinner menambahkan bahwa untuk mendapat motivasi maksimum, orang harus memuji secepat mungkin setelah tampak perilaku yang pantas mendapat pujian. Bahkan Napoleon Bonaparte terkejut menyaksikan kekuatan pengakuan sebagai motivator. Setelah tahu bahwa para prajuritnya bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan medali yang diberikannya, Napoleon berseru: “Sungguh menakjubkan apa yang akan dilakukan orang untuk barang sepele seperti itu.”

5. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri

Menurut Maslow, setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Kebutuhan manusia untuk bertumbuh, berkembang, dan menggunakan kemampuannya disebut Maslow sebagai aktualisasi diri. Maslow juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya

(11)

muncul setelah kebutuhan akan cinta dan akan penghargaan terpuaskan secara memadai (Goble, 1987: 77).

Kebutuhan akan aktualisasi diri ini merupakan aspek terpenting dalam teori motivasi Maslow. Dewasa ini bahkan sejumlah pemikir menjadikan kebutuhan ini sebagai titik tolak prioritas untuk membina manusia berkepribadian unggul. Belakangan ini muncul gagasan tentang perlunya jembatan antara kemampuan manajerial secara ekonomis dengan kedalaman spiritual. Manajer yang diharapkan adalah pemimpin yang handal tanpa melupakan sisi kerohanian. Dalam konteks ini, piramida kebutuhan Maslow yang berangkat dari titik tolak kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri diputarbalikkan. Dengan demikian perilaku organisme yang diharapkan bukanlah perilaku yang rakus dan terus-menerus mengejar pemuasan kebutuhan, melainkan perilaku yang lebih suka memahami daripada dipahami, memberi daripada menerima. Aplikasi Manajemen

Pada tingkat puncak hierarki kebutuhan ini, tidak banyak yang dapat dikatakan tentang bagaimana cara memotivasi individu pada level ini. Bagi orang-orang yang dikatakan telah mencapai kematangan psikologis ini, disiplin diri relatif mudah sebab apa yang ingin mereka lakukan sejalan dengan apa yang mereka yakini benar. Nilai-nilai dan tindakan mereka didasarkan pada apa yang nyata bagi mereka, bukan pada apa yang dikatakan orang lain kepada mereka. Bila pada level kebutuhan sebelumnya, individu biasa dimotivasi oleh kekurangan, orang yang matang ini terutama dimotivasi oleh kebutuhannya untuk mengembangkan serta mengaktualisasikan kemampuan-kemampuan dan kapasitas-kapasitasnya secara penuh. Bahkan menurut Maslow, istilah motivasi kurang tepat lagi untuk diterapkan pada kebanyakan orang yang berada di tahap aktualisasi diri. Mereka itu amat spontan, bersikap wajar, dan apa yang mereka lakukan adalah sekedar untuk mewujudkan diri; sekedar pemenuhan hidup sebagai manusia. Seperti kata Luijpen: “Being man is having to be man”.

F. Pro dan Kontra

Sebagaimana lumrahnya perkembangan suatu teori, tesis Maslow juga mengundang sejumlah antitesis. Itulah dinamika dan dialektika ilmu pengetahuan. Sejumlah kalangan melihat bahwa teori Maslow, kendati tampak sah bagi banyak pihak, namun masih harus dibuktikan secara empiris. Dalam kenyataannya, sulit sekali untuk memisahkan dan mengukur kebutuhan itu. Urutan hierarki spesifik tidak sama bagi semua orang. Juga tidak ada penjelasan kapan suatu kebutuhan sudah cukup terpenuhi. Dan mungkin ada beberapa kebutuhan yang dominan dalam diri seseorang pada saat yang sama (Kleiner, 2002: 359).

Manusia memang makhluk yang dinamis dan multidimensional. Semua teori ilmu pengetahuan tentang manusia mesti berhadapan dengan kenyataan itu. Dari kenyataan ini, orang melihat bahwa teori Maslow semestinya didukung lagi dengan bukti-bukti empiris yang lebih banyak. Hingga saat ini belum cukup bukti yang jelas yang menunjukkan bahwa

(12)

kebutuhan-kebutuhan manusia dapat dikategorikan ke dalam lima kelompok yang berbeda atau berada pada suatu hierarki. Sejumlah ahli menjadi ragu karena sejumlah penelitian memberikan hasil yang berbeda; beberapa penelitian mendukung, sedangkan yang lainnya menolak. Wahba dan Bridwell (1976) menyimpulkan suatu paradoks untuk teori Maslow: bahwa teori ini diterima luas, tapi tidak banyak didukung oleh bukti riset (Steers et al., 1996: 15).

Patut disayangkan bahwa bagian terbesar dari hasil-hasil riset tersebut dicapai dari studi-studi yang tidak menguji teori Maslow secara tepat. Evaluasi di atas menunjukkan sejumlah keterbatasan yang lumrah pada suatu teori ilmiah. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa teori Maslow telah meletakkan batu pertama untuk penelitian struktur individu terutama menyangkut apa yang lebih mendorong perilaku tertentu dalam organisasi. Sumbangan Maslow tidak sedikit untuk perkembangan psikologi organisasi. Bila ditinjau lebih khusus, evaluasi atau riset yang menghasilkan kesimpulan yang tidak mendukung teori bisa saja berangkat dari pemahaman yang tidak komprehensif atas teori dan jalan pikiran Maslow. Tidak jarang terjadi, dalam banyak kasus penelitian, teori yang baik gagal dibuktikan karena metode dan aplikasi riset yang buruk. Tidak adanya keberhasilan sering disebabkan oleh salah pengertian teori, atau penerapan buruk konsep motivasi yang baik.

Dalam buku Motivation and Personality, Maslow berkali-kali mengingatkan agar jangan sesekali memutlakkan kelima tingkat kebutuhan atau membedakannya secara tajam dan kaku. Kiranya Maslow sepenuhnya menyadari sejak awal bahwa berbicara tentang struktur kepribadian manusia yang dinamis, idak segampang membalikkan telapak tangan.

Untuk memahami, menerima, dan menerapkan teori yang hingga kini masih menggema ini, kita harus memahami sejumlah kualifikasi lanjutan agar konsep kita menjadi lebih komprehensif.

Pertama, mengingat teori Maslow merupakan suatu teori umum tentang kebutuhan manusia, maka ketika diterapkan kepada manusia tertentu (dengan budaya tertentu) tentu terdapat kekecualian-kekecualian dalam pengurutan umum hierarki yang ada. Ada orang tertentu yang tidak pernah berkembang melampaui tingkatan pertama atau kedua, sedangkan ada pula orang lain yang demikian terpukau oleh kebutuhan tingkat tinggi sehingga kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah tidak menarik bagi mereka.

Kedua, rantai kausatif tidak selalu berlangsung dari stimulus-kebutuhan-perilaku. Sekalipun Maslow dalam tesisnya menyatakan bahwa apabila seseorang tidak dapat memenuhi dua macam kebutuhannya, maka ia lebih menginginkan pemenuhan kebutuhan yang lebih mendasar. Nyatanya, mungkin tindakan-tindakannya tidak sesuai dengan keinginannya, karena ideal, standar sosial, norma, dan tugas-tugas dapat mempengaruhi dirinya.

Ketiga, suatu tindakan jarang sekali dimotivasi oleh sebuah kebutuhan tunggal. Setiap tindakan cenderung disebabkan oleh berbagai macam kebutuhan. Di lain sisi, dua kebutuhan yang sama tidak selalu akan

(13)

menyebabkan timbulnya reaksi yang sama pada setiap individu. Umumnya dapat kita lihat bahwa individu-individu dapat mengembangkan tujuan-tujuan substitut ketika pencapaian langsung terhadap suatu kebutuhan terhalangi.

Keempat, perlu disadari bahwa banyak di antara tujuan yang diupayakan oleh manusia merupakan tujuan-tujuan jauh dan berjangka panjang yang hanya dapat dicapai melalui suatu seri langkah dan sarana. Bila dalam jangka pendek seseorang tidak menampakkan minat pada tujuan tertentu belum tentu bahwa ia tidak membutuhkannya. Menyadari hal ini, lagi-lagi ditegaskan betapa besar misteri yang meliputi kepribadian manusia. Kata pemeo, dalamnya lautan bisa diduga, dalamnya hati manusia sungguh tak dinyana. Barangkali misteri manusia ini jugalah yang membatasi semua teori tentang manusia. Imuwan Craig Pinder, seperti dikutip Winardi (2002: 76-77), memberikan jalan tengah atas dua kubu pendapat yang pro-kontra sebagai berikut:

“Teori Maslow tetap sangat populer di kalangan para manajer dan mereka yang mempelajari perilaku organisasi kendati tidak banyak studi yang secara resmi dapat mengkonfirmasi atau menolaknya.... Ada kemungkinan bahwa dinamika yang terimplikasi pada teori Maslow tentang kebutuhan bersifat terlalu kompleks untuk diterapkan dan dikonfirmasi oleh riset ilmiah. Jika demikian halnya, maka kita tidak pernah mungkin mendeterminasi berapa valid teori tersebut -atau secara tepat- aspek mana sajakah dari teori tersebut bersifat valid, dan aspek mana yang tidak valid.”

Sekalipun tidak banyak riset yang secara jelas mendukung teori ini, kita tetap dapat menarik pelajaran berharga bagi para manajer. Khususnya dapat dikatakan bahwa suatu kebutuhan yang terpenuhi mungkin akan kehilangan potensi atau daya motivasionalnya. Oleh karena itu, sebagai implikasi atas teori ini, para manajer dianjurkan untuk memotivasi para karyawan mereka dengan jalan merancang program-program atau praktek-praktek yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang muncul atau kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi (Winardi, 2002: 76-77). Stephen P. Robbins (2006: 214), dalam buku Perilaku Organisasi, menulis bahwa “meskipun dikritik habis-habisan..., agaknya [teori Maslow] masih merupakan penjelasan yang paling baik soal motivasi karyawan”. Teori-teori lain yang muncul setelah teori Maslow lebih merupakan penyempurnaan dan penyesuaian daripada penemuan suatu teori yang betul-betul baru. Dari telaah filosofis, dengan kelebihan maupun kelemahan teorinya, Maslow telah berhasil mencetuskan pemikiran yang amat bermanfaat. Kelebihan dari teorinya jelas memberikan sumbangan besar dalam pengetahuan tentang motivasi dan kepribadian manusia. Dan kelemahan teorinya serta-merta tetap berguna karena telah memberikan atau memancing feedback bagi pemikir-pemikir selanjutnya untuk memperbaiki dan menyempurnakannya.

(14)

Dari sekian banyak teori motivasional yang ada, mungkin teori Hierarki Kebutuhan Maslow yang paling luas dikenal. Teori ini mewariskan pesan bagi kita bahwa begitu orang melewati tingkat kebutuhan tertentu, ia tidak lagi terdorong oleh motivasi tingkat di bawahnya. Hal ini memberikan pengertian agar seorang manajer atau pemimpin atau motivator dalam organisasi hendaknya mengenal apa yang dibutuhkan oleh bawahannya. Kebutuhan seorang buruh produksi harian dengan karyawan staff manajerial tentu berbeda. Untuk memberikan motivasi yang dapat meningkatkan performa kepada keduanya, seorang motivator harus memberikan treatment yang berbeda sesuai dengan kebutuhan mereka. Bilamana seorang karyawan mempunyai gaji dan keamanan kerja yang dapat memenuhi kebutuhan fisiologis dan rasa amannya, maka hal itu tidak lagi akan memberikan motivasi. Sama halnya kita tidak akan meresahkan kebutuhan bernapas, kecuali kita mempunyai masalah dalam organ pernapasan kita. Hierarki Kebutuhan Maslow penting bagi kita karena membantu menjelaskan mengapa gaji tinggi, keuntungan yang baik, dan keamanan kerja tidak selamanya dapat memotivasi kinerja. Dengan menelaah apa yang menjadi kebutuhan karyawan dan memberikan pemuasan yang tepat sasaran, seorang motivator benar-benar telah mengelola motivasi. Mengelola motivasi berarti mengajak orang untuk melakukan sesuatu yang kita inginkan untuk dilaksanakan, kapan dan bagaimana itu dilakukan, karena orang ingin melakukannya. Hendaknya hierarki kebutuhan Maslow tidak dilihat secara kaku dan mutlak. Batas-batas antara tingkatan yang satu dengan yang lain tidak terlampau jelas dan lebih menunjukkan saling tumpang tindih. Tidak bisa dipastikan dengan kaku bahwa kebutuhan rasa aman hanya akan muncul setelah kebutuhan akan makanan terpuaskan sepenuhnya. Kebanyakan orang dalam masyarakat kita telah mampu memuaskan sebagian besar kebutuhan dasariah mereka kendati belum dalam arti sepenuh-penuhnya. Yang mau ditekankan adalah bahwa begitu suatu tingkat kebutuhan terpuaskan, maka kebutuhan tersebut tidak lagi akan memiliki pengaruh yang berarti pada motivasi.

DAFTAR PUSTAKA

Bushardt, Stephen C. 2002. “Dapatkah Uang Memotivasi?” dalam A. Dale Timpe, Memotivasi Pegawai (judul asli: Motivation of Personnel), Seri Manajemen Sumber Daya Manusia 3, diterjemahkan oleh Susanto Budidharmo. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Butler-Bowdon, Tom. 2005.50 Self-Help Classics. Diterjemahkan oleh Rachma Christiani Subekti. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Cohen, William A. 1995. Seni Kepemimpinan (judul asli: The Art of The Leader). Diterjemahkan oleh Anton Adiwiyoto. Jakarta: Spektrum.

Francella, Kevin. 2002. “Berilah Penghargaan, Jika Pegawai Berprestasi” dalam A. Dale Timpe, Memotivasi Pegawai (judul asli: Motivation of Personnel), Seri Manajemen Sumber Daya Manusia 3, diterjemahkan oleh Susanto Budidharmo. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

(15)

Goble, Frank G. 1987. Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow (judul asli:The Third Force, The Psychology of Abraham Maslow). Diterjemahkan oleh Drs. A. Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius.

Kleiner, Brian H. 2002. “Memadukan Teori Motivasional yang Utama” dalam A. Dale Timpe, Memotivasi Pegawai (judul asli: Motivation of Personnel), Seri Manajemen Sumber Daya Manusia 3, diterjemahkan oleh Susanto Budidharmo. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Maslow, Abraham H. 1984. Motivasi dan Kepribadian: Teori Motivasi dengan Ancangan Hirarki Kebutuhan Manusia (judul asli: Motivation and Personality). Diterjemahkan oleh Nurul Iman. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo.

Ranupandojo, Heidjrachman dan Suad Husnan. 1995. Manajemen Personalia Yogyakarta: BPFE.

Robbins, Stephen P. 2006. Perilaku Organisasi (judul asli: Organizational Behavior). Diterjemahkan oleh Drs. Benyamin Molan. Jakarta: PT. Indeks. Steers, Richard M. et al. 1996. Motivation and Leadership at Work. New York:

McGraw-Hill.

Winardi, J. 2002. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian di atas hal menarik untuk dianalisis lebih lanjut yaitu melakukan peringkat dari indikator keberhasilan proyek yang dipengaruhi faktor internal site man- ager yang

Baron merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta yang memiliki daya tarik tersendiri dalam bidang pariwisata. Hal ini dapat ditemukan

Determinan Kinerja Pengelolaan Keuangan Desa: Studi pada Kecamatan Gandapura Kabupaten Bireuen Aceh Y: Kinerja Pengelolaan Keuangan Desa X: Kapasitas Aparatur Desa,

Society 5.0 Jepang melalui Google di publik Indonesia, Malaysia, India, dan Amerika Serikat yang sudah dibahas dapat dikatakan mendukung argumentasi Friedman

Hasil analisis faktor eksploratori tentang uji kecukupan sampel untuk instrumen kemampuan representasi matematika P1 dapat dilihat pada Tabel 10 berikut. Kedua nilai

Yani 6,850,000,000 Pengadaan Penyedia Barang/Jasa Pelelangan Umum Mei 2011 7 Pengadaan Sarana Rumah Dinas Serpong 3,525,049,000 Pengadaan Penyedia Barang/Jasa Pelelangan

14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan bahwa kompetensi pedagogik merupakan kemampuan seorang guru dalam mengelola proses pembelajaran yang berhubungan

In Prosiding Seminar Nasional Komunikasi Publik dan Dinamika Masyarakat Lokal Universitas Lampung (pp.. Lampung: UNILA