• Tidak ada hasil yang ditemukan

JOURNAL OF INDONESIAN ADAT LAW (JIAL)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JOURNAL OF INDONESIAN ADAT LAW (JIAL)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

JOURNAL OF INDONESIAN ADAT LAW (JIAL)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

ISSN (Cetak) : 2581 - 0952

ISSN (Online) : 2581 - 2092

ASOSIASI PENGAJAR HUKUM ADAT

(APHA) INDONESIA

(3)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)

JIAL adalah wadah informasi dan komunikasi keilmuan di bidang Hukum Adat yang berisi artikel ilmiah hasil penelitian dan gagasan konseptual dan kajian lain yang berkaitan dengan Ilmu Hukum Adat. Diterbitkan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, terbit tiga kali dalam satu tahun, April, Agustus dan Desember.

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Vol. 2 No. 2, Agustus 2018 Published by :

Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia

Alamat : Fakultas Hukum Universitas Trisakti Kampus A Gedung H Lantai 6, Jl. Kyai Tapa No. 1 Grogol Jakarta Barat.

Telp. +62 878 8325 6166, +62 813 1667 2509 E-mai : apha.sekretariat@gmail.com

Edited & Distributed by :

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)

Alamat Redaksi : Jl. Haji Nawi Raya No. 10 B Jakarta, Indonesia Telp. +62-21-7201478

Website : http://jial.apha.or.id E-mai : jurnaljial.apha@gmail.com

Copyright 2018

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) ISSN (Cetak) : 2581 - 0952

(4)

TEAM EDITOR

Ketua Editor

M.Syamsudin (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Editor Pelaksana

Ni Nyoman Sukerti (Universitas Udayana Denpasar)

Nurul Miqat (Universitas Tadulako Palu)

M.Hazmi Wicaksono (Universitas Bina Nusantara, Jakarta)

Rosa Widyawan (Lembaga Studi Hukum Indonesia)

Dewan Editor

Jamal Wiwoho (Universitas Sebelas Maret, Surakarta)

Dominikus Rato (Universitas Negeri, Jember)

Sulistyowati Irianto (Universitas Indonesia, Jakarta)

Aminuddin Salle (Universitas Hasanudin, Makasar)

Wayan P. Windia (Universitas Udayana, Bali)

Catharina Dewi Wulansari (Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

Jeane Neltje Saly (Universitas Tarumanegara, Jakarta)

Sulastriyono (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Ade Saptomo (Universitas Pancasila, Jakarta)

MG Endang Sumiarni (Universitas Atmajaya, Yogyakarta)

St. Laksanto Utomo (Universitas Sahid Jakarta)

Asisten Editor

Irwan Kusmadi

Nelson Kapoyos

Admin

Arga Mahendra

(5)

DAFTAR ISI

Pengelolaan Hutan Berbasis Kearifan Lokal pada Masyarakat

Hukum Adat Moronene Hukaea Laea di Bombana Sulawesi

Tenggara

Heryanti

1-29

Penyelesaian Sengketa pada Suku Osing

Noor Fajar Al Arif F dan Jazim Hamidi

30-44

Kepemilikan dan Pengolahan Tanah dalam Perspektif Hukum

Tanah Adat

Aarce Tehupiory

45-64

Sistem Kewarisan pada Masyarakat Banjar

Gusti Muzainah

65-85

Peran Kelembagaan Adat Moloku Kie Raha dalam Mewujudkan

Sistem Pemerintahan yang Baik di Maluku Utara

Nam Rumkel, Tri Syafari & Yahya Yunus

86-105

Implikasi Reklamasi Pantai bagi Hak Masyarakat Lokal di

Wilayah Pesisir

Rina Yulianti

106-129

Dispensasi Kawin dan Perkembangannya: Fenomena Perzinahan

di Kabupaten Banyumas

(6)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)

ISSN (Cetak) : 2581 – 0952, ISSN (Online) : 2581 - 2092

www. jial.apha.or.id Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018. Hlm. 130-142

DISPENSASI KAWIN DAN PERKEMBANGANNYA:

FENOMENA PERZINAHAN DI KABUPATEN

BANYUMAS

Siti Muflichah

Fakultas Hukum Universitas Jenderal SoedirmanPurwokerto Jl. HR. Bunyamin Grendeng Purwokerto, Telp (0281) 638339

E-mail: Lilykmuflichah@yahoo.com

ABSTRAK

Studi ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan tentang dispensasi kawin dikaitkan dengan UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Subjek penelitian ini adalah pihak-pihak yang berwenang dan berhubungan langsung dan tidak langsung dengan penetapan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Purwokerto dan Pengadilan Agama Banyumas. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan nara sumber agar diperoleh hasil yang lebih mendalam dan tepat. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penarikan kesimpulan dilakukan secara induktif, yaitu dari data dan fakta empiris di lapangan, setelah dilakukan analisa kemudian ditarik kesimpulan. Hasil kajian menunjukkan bahwa Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dispensasi menikah berbenturan dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengenai umur anak dan Pasal 26 ayat 1 butir c UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak. Berdasarkan segi kesehatan batas umur perkawinan merupakan jaminan agar calon suami isteri telah masak jiwa raganya, supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian serta mendapat keturunan yang baik dan sehat sesuai dengan hak reproduksi sebagaimana diatur Pasal 72 Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Kata-Kata Kunci: Dispensasi nikah; perlindungan anak dan kesehatan

ABSTRACT

This study aims to analyze developments regarding marriage dispensation associated with Law Number 36 of 2009 concerning Health and Law Number 35 of 2014 concerning Child Protection. The subjects of this study were the authorities

(7)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

- 131 -

and related directly and indirectly to the determination of marriage dispensation in the Purwokerto Religious Court and the Banyumas Religious Court. Data collection is done by direct interviews with resource persons to obtain more in-depth and precise results. Analysis of the data used in this study is descriptive qualitative. Withdrawal of conclusions is done inductively, namely from empirical data and facts in the field, after analysis is then drawn conclusions. The results of the study indicate that Article 7 of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and marriage dispensation collided with Article 1 number 1 of Law Number 35 of 2014 concerning Amendment to Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection concerning the age of children and Article 26 paragraph 1 point c of Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection which states that parents are obliged and responsible for preventing the occurrence of marriage at the age of children. Based on the health aspect, the age limit of marriage is a guarantee that the prospective husband and wife has cooked their soul, so that they can realize the goals of marriage well without ending divorce and getting good and healthy offspring in accordance with Article 72 of Law No. 36 of 2009 about health.

Keywords: Marriage dispensation; child protection and health

PENDAHULUAN Latar Belakang

Perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga memiliki unsur batin/rohani yang mempunyai peranan penting. Menikah merupakan sunnatullah, sunnah para rasul dan merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Tujuan perkawinan ialah untuk membangun rumah-tangga yang bahagia, harmonis, tenteram, dan sakinah (Nasution, 1996: 28). Perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi sakral, untuk selamanya dan tidak boleh diputus begitu saja (Syahrani, 2000: 67). Pasal 2 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan

(8)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

- 132 -

Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama.

Menikah adalah ibadah dalam hukum islam, namun adanya Sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia, muncul suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, lunturnya moral value atau nilainilai akhlak yaitu pergaulan bebas di kalangan remaja dan hubungan zina menjadi hal biasa sehingga terjadi kehamilan di luar nikah. Akibatnya orang tua menutupi aib tersebut dengan menikahkan anaknya tanpa mempertimbangkan lagi usia dan masa depan anaknya. Pada akhirnya terjadi trend dispensasi nikah sebagai solusi fenomena perzinahan.

Hamil diluar nikah pada perkawinan di bawah umur selalu menjadi alasan mengajukan dispensasi ke Pengadilan Agama. Hal ini didasari Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, apabila penetapan izin pernikahan sudah dikeluarkan oleh Pengadilan Agama, maka kedua mempelai bisa melaksanakan perkawinan. Walaupun terdapat celah hukum, secara esensial bahwa zinah adalah haram, dengan demikian esensi pernikahan yang suci menjadi ternoda. Pernikahan usia dini lebih berdampak pada kesehatan wanita yang masih terlalu muda. Hal ini dapat dilihat dari berbagai hal yang tidak diinginkan terjadi. Kehamilan dan persalinan bagi remaja perempuan mempunyai pengaruh yang dalam dan berkepanjangan terhadap kesejahteraan, pendidikan, dan kemampuannya untuk memberikan sumbangsih kepada masyarakat.

Dampak bagi kesehatan reproduksi sering terjadi pada pasangan wanita pada saat mengalami kehamilan dan persalinan. Kehamilan pada masa remaja mempunyai resiko medis yang cukup tinggi, karena pada masa remaja, alat reproduksi belum cukup matang untuk melakukan fungsinya. Rahim baru siap melakukan fungsinya setelah umur 20 tahun, karena pada usia ini fungsi hormonal melewati masa kerjanya yang maksimal. Rahim pada seseorang wanita mulai mengalami kematangan sejak umur 14 tahun yang ditandai dengan dimulainya menstruasi. Pematangan rahim dapat pula dilihat dari perubahan ukuran rahim secara anatomis. Pada seorang wanita, ukuran rahim berubah sejalan dengan umur dan perkembangan hormonal (Aisyah, 2015: 41).

(9)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

- 133 -

Di sisi lain Pasal 72 Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa, setiap orang berhak: (1). menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah; (2). menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama; (3) menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama; (4) memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Di lain sisi Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa, orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: (1) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak; (2) menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; (3) mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan (4) memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.

Pasal 26 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dengan tegas melarang terjadinya pernikahan anak di bawah umur yang belum mencapai usia 18 tahun, begitu juga batasan usia nikah dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974. Namun, pada saat yang sama Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di dalamnya juga memperbolehkan seseorang untuk mengajukan permohonan dispensasi Kawin. Sepintas ada kontradiksi antara UU Perlindungan Anak dengan UU Perkawinan perihal perkawinan anak di bawah umur. Untuk itu, adanya kontradiksi pasal-pasal dari kedua Undang-undang tersebut dibutuhkan ketelitian yang mendalam dalam mencari titik temu dalam penyelesaian dispensasi nikah.

(10)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

- 134 - Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut rumusan masalahnya adalah bagaimana perkembangan tentang dispensasi kawin jika dikaitkan dengan UU no 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU no 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ?

Metode Penelitian

Bahan materi dalam penelitian ini meliputi bahan /materi norma-norma hukum dan realitas hukum empiris. Bahan/materi norma-norma hukum, yang meliputi: (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan; (b) UU no 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; © Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ; dan (d) PP Nomor 9 Tahun 1975. Sementara itu bahan/materi realitas hukum empiris; proses penetapan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Purwokerto dan Pengadilan Agama Banyumas.

Subjek penelitian ini adalah pihak-pihak yang berwenang dan berhubungan langsung dan tidak langsung dengan penetapan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Purwokerto dan Pengadilan Agama Banyumas. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan nara sumber agar diperoleh hasil yang lebih mendalam dan tepat.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut: (a) reduksi data; (b) penyajian data disertai dengan analisis dari peneliti, yang menjelaskan perkembangan tentang dispensasi kawin jika dikaitkan dengan UU no 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU no 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dianalisis dengan teori sistem hukum dengan analogi induktif- deduktif; dan © penarikan kesimpulan adalah mencari arti pola-pola penjelasan, konfigurasi yang mungkin dilakukan secara cermat yang dipadukan dengan data yang diperoleh. Penarikan kesimpulan dilakukan secara induktif, yaitu dari data dan fakta empiris di lapangan, setelah dilakukan analisa kemudian ditarik kesimpulan.

(11)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

- 135 - HASIL DAN PEMBAHASAN

Rohan A. Rasyid berpendapat bahwa dipensasi kawin adalah dispensasi yang diberikan Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melaksanakan perkawinan. Bagi pria yang belum mencapai 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai 16 tahun (Rasyid, 1998: 32). Perkawinan di bawah umur tidak dapat diizinkan kecuali pernikahan tersebut meminta izin nikah atau dispensasi nikah oleh pihak Pengadilan Agama untuk bisa disahkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama (KUA), dan sebelum mengajukan permohonan izin menikah di Pengadilan Agama terlebih dahulu kedua calon pasangan yang ingin menikah harus mendapat izin dari kedua orang tua.

Pasal 7 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekutrang-kurangnya berumur 16 tahun. Dalam batas usia pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) sama dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat 2 menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai batas usia 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.

Berbeda jauh dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa perkawinan di bawah umur jelas bertentangan dengan undang-undang tersebut. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Dari pengertian anak tersebut, dapat dikatakan bahwa untuk seseorang yang belum berusia 18 tahun seharusnya memperoleh haknya yaitu berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak tersebut juga berkaitan dengan hak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Hal inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan, baik bagi pelaku perkawinan di bawah umur terlebih lagi bagi orang tua.

Dalam konteks hak anak, sangatlah jelas seperti yang tercantum dalam pasal 26 ayat 1 butir c UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya

(12)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

- 136 -

perkawinan di usia anak-anak. Pada prespektif hak anak pencantuman kalimat tersebut merupakan keharusan yang harus menjadi perhatian bersama, hal ini disebabkan anak-anak yang terpaksa menikah dalam usia yang masih tergolong anak dilihat dari aspek hak anak, mereka akan terampas hak-haknya, seperti hak bermain, hak pendidikan, hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan usianya. Peran orang tua sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak yaitu berperan dalam mensosialisasikan nilai-nilai kebaikan dan norma yang berlaku atau yang diharapkan masyarakat kepada anak mereka yang dimulai dari masalah-masalah kecil yang terjadi dalam keluarga sesuai dengan tahap perkembangan usia anak (Mahmutaromah, 2008: 301).

Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan dispensasi kepada anak-anak untuk menikah di bawah umur. Padahal, pernikahan sudah pasti harus melibatkan orang tua, karena pada prinsipnya orangtua-lah yang menikahkan anaknya. Dalam pasal tersebut di atas, tidak secara tegas tercantum larangan untuk menikah di bawah umur disertai adanya dispensasi dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang kompeten. Undang-Undang Perkawinan disalahkan karena dituding memberikan toleransi yang besar terhadap perkawinan di bawah umur. Salah satu yang dipersoalkan Undang-Undang ini adalah Pasal 7 ayat (1), yang mengatur tentang batasan usia pernikahan, yang dikategorikan sebagai usia anak-anak. Pasal ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (2), yang memberikan definisi anak adalah sebelum usia 18 tahun. ” Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” (Pasal 1 ayat (2) UU Perlindungan Anak).

Pada Pasal 15 KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan. Demikian juga soal dispensasi perkawinan di bawah umur. Bedanya, di dalam KHI disebutkan sebuah alasan mengapa dispensasi itu bisa diberikan, yaitu untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Kenyataan di lapangan menunjukkan, bukannya melahirkan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan di bawah umur justru banyak berujung pada perceraian. Di samping itu, ada dampak lain yang lebih luas, seperti meningkatnya angka kematian ibu saat hamil atau melahirkan lantaran masih berusia belia. Padahal Pasal 126 ayat (1) Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa,

(13)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

- 137 -

upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.

Terdapat 3 hal yang perlu di kritisi dari Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pertama, masalah batas usia perkawinan bagi perempuan yang terlalu rendah untuk melakukan perkawinan bila disandingkan dengan definisi anak pada UU Perlindungan Anak. Kedua,dengan ditetapkannya batasan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan usia 19 tahun bagi pria, berarti UU Perkawinan memberikan ruang dan toleransi bagi anak-anak untuk melakukan perkawinan di bawah umur. Ketiga, Undang-Undang Perkawinan juga memberikan legitimasi dengan sistem perwalian dan persetujuan yang hanya pada akhirnya akan memberikan dispensasi nikah.

Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak karena kedua undang-undang tersebut mempunyai kedudukan setara yang bersifat khusus. Perbedaan batas usia antara undang-undang perkawianan dan undang-undang perlindungan anak tidak dapat dihubungkan dengan peraturan lain karena undang-undang tentang perkawinan mengatur khusus tentang perkawinan akan tetapi nilai yang terkandung dalam undang-undang tersebut haruslah sesuai dan sejalan dengan kepentingan yang bersifat holistik dengan kata lain undang-undang tersebuat haruslah sejalan.

Undang-Undang Perkawinan adalah undang-undang yang ditujukan kepada semua hal mengenai perkawinan sedangkan Undang- Undang Perlindungan Anak adalah undang-undang yang ditujukan kepada anak guna melindungi hak-haknya. Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Lingkup perlindungan hukum bagi anak-anak mencakup: perlindungan terhadap kebebasan anak, perlindungan terhadap hak asasi anak, perlindungan hukum terhadap semua kepentingan anak yang berkaitan dengan kesejahteraan dan dalam hal ini ada beberapa hak anak yang hilang karena batasan usia nikah dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu usia 16 tahun bagi perempuan mepukan usia anak-anak disinilah letak disharmoni hukum antara kedua undang-undang tersebut.

(14)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

- 138 -

Pengujian Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 7 ayat (1) dan (2) ditolak dalam Mahkamah Konstitusi dengan penafsiran pada pasal tersebut adalah tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkan batas usia pernikahan untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapas belas) tahun, akan mengurangi angka perceraiaan, menanggulangi masalah kesehatan, maupun meminimalisir permasalaha sosial lainnya. Mahkamah Konstitusi juga menolak penambahan usia nikah kaum perempuan, karena dimasa depan batas minimal menikah perempuan di usia 18 tahun bukanlah yang ideal. Lagi pula, beberapa putusan No. 49/PUU-XI/2011, Putusan No. 37-39/PUU-VIII/2010 dan putusan No. 15/PUUV/2007pun telah mempertimbangkan batasan usia minimum merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk Undang-Undang sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan atau upaya legislative review. “Hal ini sepenuhnya kewenangan pembentuk Undang-Undang, apapun pilihanya, tidak dilarang dan selama tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi, dalam pertimbangan putusannya yang dibacakan pada Kamis, menolak uji materi atas Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu pasal 7 ayat 1. Majelis hakim Konstitusi mengatakan tidak ada jaminan peningkatan batas usia menikah dari 16 tahun ke 18 tahun untuk perempuan akan dapat mengurangi atau masalah perceraian, kesehatan, serta masalah sosial. Tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan,maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya.

MK justru memperbolehkan dispensasi perkawinan di luar mekanisme pengadilan, dengan alasan hambatan akses untuk menjangkau dan meminta dispensasi ke pengadilan. MK bahkan merekomendasikan dispensasi dapat dikeluarkan selain ke Kantor Urusan Agama (KUA), juga ke Kecamatan, kelurahan bahkan kepala desa dengan alasan kemudahan akses.

Putusan Mahkamah Konstitusi kurang tepat dan belum bisa menjawab kebutuhan hukum masyarakat, karena usia penikahan yang saat ini berlaku masih terlalu dini sehingga anak belum mencapai kondisi yang cukup secara fisik dan mental untuk menikah, dan belum mendapatkan pendidikan secara cukup untuk

(15)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

- 139 -

bekal setelah menikah. Kematangan usia pernikahan tersebut berupa hasil akumulasi kesiapan fisik, ekonomi, sosial, mental dan kejiwaan, agama, dan budaya. Perkawinan membutuhkan kematangan yang tidak hanya bersifat biologis, melainkan juga kematangan psikologis dan sosial.

Kesehatan merupakan salah satu sarana pendukung terwujudnya sebuah negara yang maju, dengan tingkat kesehatan yang baik maka seseorang akan leluasa melangsungkan kegiatan ekonomi, belajar dan segala mobilitas lainya yang mendukung kelangsungan hidupnya. Terlebih dalam suatu keluarga, harus memiliki kesehatan yang baik seperti suami, istri dan anak. Jika kesehatannya baik maka keluarga tersebut akan melahirkan keturunan yang baik pula dan bisa memberikan kontribusi bagi negara dengan tidak menambah dengan anak-anak yang cerdas dan ekonomi keluarga yang mapan. Sebaliknya jika kesehatan keluarga rendah maka bisa dipastikan kelangsungan keluarga tersebut akan ikut melemah, tidak bisa bekerja dan akan menambah beban tanggung jawab negara.

Batas umur perkawinan merupakan jaminan agar calon suami isteri telah masak jiwa raganya, supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian serta mendapat keturunan yang baik dan sehat. Berdasarkan penjelasan undang-undang tersebut, menunjukkan bahwa sesungguhnya pembentukan Undang-Undang Perkawinan memiliki tujuan tertentu selain untuk memenuhi tuntutan masyarakat pada saat itu. Seperti halnya aturan batasan usia nikah bagi perempuan (16 tahun) yang tujuannya adalah untuk menekan laju angka kelahiran. Namun bila dilihat dari aspek kesehatan, batasan umur tersebut perlu ditinjau dan direvisi ulang, apalagi berkenaan dengan masalah hak-hak dan kesehatan reproduksi yang memiliki dampak signifikan.

Perkawinan dan Kehamilan Kelahiran anak yang baik, adalah apabila dilahirkan oleh seorang ibu yang telah berusia 20 tahun. Kelahiran anak oleh seorang ibu dibawah usia 20 tahun akan dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan anak yang bersangkutan. Oleh sebab itu sangat dianjurkan apabila seorang perempuan belum berusia 20 tahun untuk menunda perkawinannya (Billings, 2008: 206). Rahim dan panggul pada usia perempuan 16 tahun belum berkembang optimal sehingga dapat mengakibatkan risiko kesakitan dan kematian pada saat persalinan, nifas serta bayinya, serta kemungkinan timbulnya risiko medik sebagai berikut: keguguran,

(16)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

- 140 -

preeklamsia (tekanan darah tinggi, cedema, proteinuria), eklamsia (keracunan kehamilan), timbulnya kesulitan persalinan, bayi lahir sebelum waktunya, berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), fistula vesikovaginal (merembesnya air seni ke vagina), fistula Retrovaginal (keluarnya gas dan feses/tinja ke vagina), dan kanker leher rahim (Kusmiran, 2011: 89).

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.

Salah satu bagian terpenting dari kesehatan adalah kesehatan reproduksi. Pengertian kesehatan reproduksi hakekatnya telah tertuang dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Setiap orang berhak untuk mendapatkan keturunan, termasuk juga hak untuk tidak mendapatkan keturunan, hak untuk hamil, hak untuk tidak hamil, dan hak untuk menentukan jumlah anak yang diinginkan.

Permasalahan kesehatan ibu menjadi penting karena angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi dan memerlukan perhatian serta upaya khusus untuk menurunkannya. Sedangkan infertilitas dan aborsi menjadi isu penting karena sangat terkait dengan aspek etikolegal. Kesehatan ibu yang disebut juga sebagai kesehatan maternal, merupakan bagian dari kesehatan reproduksi perempuan yang mencakup kesehatan reproduksi sejak remaja, saat sebelum hamil, hamil, persalinan, dan sesudah melahirkan. Oleh karena itu, permasalahan penentuan usia layak berkeluarga perlu direkonstruksi melalui program legislasi nasional.

(17)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

- 141 - PENUTUP

Simpulan

Pasal 7 Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dispensasi menikah berbenturan dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak mengenai umur anak dan Pasal 26 ayat 1 butir c UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak. Berdasarkan segi kesehatan batas umur perkawinan merupakan jaminan agar calon suami isteri telah masak jiwa raganya, supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian serta mendapat keturunan yang baik dan sehat sesuai dengan hak reproduksi sebagaimana diatur Pasal 72 Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Saran

Hasil kajian ini menyarankan hal-hal sebagai berikut: (1) Sebaiknya batas umur perkawinan direkonstruksi ulang dalam peraturan perundang-undangan baru; dan (2) Sebaiknya saat ini dispensasi nikah menjadi alat dalam mengurangi pernikahan dini yang melanggar norma agama dan moral.

(18)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

- 142 - DAFTAR ACUAN

Aisyah. (2015). “Pernikahan Dini di Sulawesi Selatan (Refleksi Relasi Gender yang Tidak Seimbang)”. Laporan Hasil Penelitian. Makassar: Lemlit UIN Alauddin. Billings, E. (2008). The Billing Method. Terj. Lina Yusuf. KPG Kepustakaan

Populer Jakarta: Gramedia.

Kusmiran. (2011). Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba Medika.

Muchtaromah, B. (2008). Pendidikan Reproduksi bagi Anak Menuju Aqil Baligh. Malang: UIN-Malang Press.

Nasution, A.H. (1996). Membina Keluarga Bahagia. Ctk. keempat. Jakarta: PT. Pustaka Antara.

Rasyid, R. A. (1998). Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Syahrani, R. (2000). Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Banung: Alumni.

Biodata Penulis:

Siti Muflichah, dosen pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto, Lahir di Banjarnegara, 8 September 1957 tinggal di Jl. Cemara Raya

No. 69 Perum Teluk Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas. Telp 081225065808. Alamat Kantor Jl. HR. Bunyamin Grendeng Purwokerto, Telp (0281) 638339. Email: Lilykmuflichah@yahoo.com

(19)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

(20)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

Referensi

Dokumen terkait

PT JAKARTA INTERNATIONAL HOTELS & DEVELOPMENT Tbk DAN ENTITAS ANAK Catatan atas Laporan Keuangan Konsolidasian Untuk Tahun-tahun yang Berakhir. 31 Desember 2014

Tabel distribusi frekuensi hasil penelitian sikap responden tentang pencegahan seks bebas sebelum dilakukan pendidikan kesehatan dengan metode role playing

Pembayaran yang dilakukan dalam periode tersebut adalah pembayaran cicilan Pinjaman SEK Tranche A, B dan C sebesar USD45,0 juta, cicilan Pinjaman HSBC Coface dan Sinosure

Berdasarkan fokus penelitian bahwa konsep pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) melalui perencanaan, dan musyawarah atau rapat yang dihadiri oleh wakil-wakil masyarakat,

Berdasarkan Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hudup Pasal 1 Ayat (2) pengertian AMDAL adalah kajian mengenai dampak

Faktor yang sangat penting untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi adalah pelaksanaan disiplin kerja dari para karyawan, karena hal tersebut merupakan salah

2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kecamatan adalah Wilayah kerja camat sebagai perangkat

Uraian ini menjadi suatu penilaian bagi suatu organisasi dalam menunjukkan kualitas layanan kepada setiap orang yang diberi pelayanan sesuai dengan bentuk-bentuk kepuasan