• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kemampuan Berpikir Logis dan Motivasi Belajar Siswa pada Model Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Media Audio Visual Bermuatan Etnosains

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Kemampuan Berpikir Logis dan Motivasi Belajar Siswa pada Model Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Media Audio Visual Bermuatan Etnosains"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

387

Analisis Kemampuan Berpikir Logis dan Motivasi Belajar Siswa pada

Model Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Media Audio Visual

Bermuatan Etnosains

Rohmaya N. O1, Sudarmin2, dan M. Taufiq3

Jurusan IPA Terpadu FMIPA Universitas Negeri Semarang Gedung D5 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang

E-mail: rohmayaoktaviani@gmail.com

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kemampuan berpikir logis dan motivasi belajar siswa pada model pembelajaran kontekstual berbantuan media audio visual bermuatan etnosains. Metode penelitian ini adalah metode penelitian kombinasi (Mixed Methods) dengan desain sequential explanatory. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik cluster random sampling. Sampel penelitian ini adalah kelas VIII D (eksperimen 1) dan VIII F (eksperimen 2) SMP Negeri 13 Semarang. Hasil penelitian ini adalah (1) ketuntasan berpikir logis klasikal siswa kedua kelas eksperimen sebesar 90%, (2) motivasi belajar siswa kedua kelas eksperimen berada pada kategori sangat baik, baik, dan cukup, (3) motivasi belajar berpengaruh kuat terhadap kemampuan berpikir logis siswa sebesar 64% (kelas eksperimen 1) dan 59% (kelas eksperimen 2), (4) siswa memberikan respon positif terhadap model pembelajaran kontekstual berbantuan media audio visual bermuatan etnosains. Simpulan dari penelitian ini adalah motivasi belajar siswa pada model pembelajaran kontekstual berbantuan media audio visual bermuatan etnosains berpengaruh positif terhadap kemampuan berpikir logis siswa.

Kata Kunci: Kemampuan berpikir logis, Motivasi belajar, Media audio visual, Etnosains, Model pembelajaran kontekstual

PENDAHULUAN

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan konsep pembelajaran alam dan mempunyai hubungan yang sangat luas terkait dengan kehidupan manusia. Menurut Mahendrani & Sudarmin (2015) IPA merupakan suatu kajian ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang fenomena alam yang terjadi berkaitan dengan makhluk hidup dan cara mengklarifikasikannya secara sistematis baik dari proses maupun aplikasi yang meliputi bidang fisika, kimia, biologi, dan bumi antariksa. Pembelajaran IPA di SMP penting diberikan karena melalui pembelajaran IPA siswa dapat memperoleh pengalaman secara langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk

menerima, menyimpan, dan menerapkan konsep yang telah dipelajarinya. Siswa terlatih untuk menemukan sendiri konsep yang telah dipelajarinya secara menyeluruh (Listyawati, 2012).

Saputra (2016) menyatakan bahwa kenyataan pembelajaran IPA di sekolah menunjukkan banyak siswa yang cenderung menjadi malas berpikir secara mandiri, pemahaman akan materi sains rendah, kreativitas siswa menurun, motivasi belajar juga rendah. Motivasi belajar dapat mendorong siswa untuk belajar dengan senang dan bersungguh-sungguh, yang pada gilirannya akan terbentuk cara belajar siswa yang sistematis serta penuh konsentrasi. Dalam kegiatan belajar, motivasi

(2)

388 merupakan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar dan menjamin kelangsungan kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar dapat tercapai (Handhika, 2012).

Hasil observasi langsung selama Praktik Pengalaman Lapangan di SMP N 13 Semarang, motivasi belajar siswa masih tergolong rendah. Ketika kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung, terdapat sebagian siswa yang tidak memperhatikan guru yang sedang mengajar. Pada saat guru memberikan kesempatan untuk bertanya hanya satu atau dua orang siswa saja yang berminat untuk bertanya. Motivasi merupakan salah satu aspek psikologi yang ada pada diri seseorang. Motivasi belajar sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa.

Motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat (Handhika, 2012). Hasil wawancara dengan guru IPA di SMP N 13 Semarang menyatakan bahwa motivasi belajar siswa tergolong rendah pada materi bahan kimia dalam kehidupan, khususnya sub materi zat aditif dalam makanan. Rendahnya motivasi belajar siswa ditunjukkan dari hasil ulangan harian siswa kelas VIII pada materi bahan kimia dalam kehidupan yang masih rendah. Sebanyak 60% siswa dalam satu kelas belum mencapai nilai ketuntasan minimal. Sebagian siswa masih mendapatkan nilai di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM) yakni sebesar 75. Menurut hasil wawancara dengan guru IPA di SMP N 13 Semarang, siswa yang memiliki nilai di bawah KKM umumnya adalah siswa yang pasif dan kebanyakan siswa belum mengembangkan kemampuan berpikir logis saat pembelajaran berlangsung.

Sebagian siswa juga masih kesulitan dalam memahami rumus secara matematis dan konsep IPA yang abstrak.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa siswa memiliki kemampuan berpikir logis yang masih rendah yakni khususnya pada indikator penalaran korelasional. Menurut Tobin & Capie (1981) penalaran korelasional merupakan salah satu dari lima indikator kemampuan berpikir logis yang dapat diukur melalui Test of

Logical Thinking (TOLT). Selain itu,

pembelajaran konvensional masih

teacher centered, akibatnya sebagian

besar siswa tidak mampu menghubungkan apa yang mereka pelajari dengan bagaimana kebermaknaan atau kebermanfaatan pengetahuan tersebut. Hal ini didukung oleh pernyataan Taufiq et al. (2016) bahwa pembelajaran inovatif merupakan pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran kreatif dan unik yang cenderung melibatkan keaktifan siswa dalam proses

pembelajaran, dengan

mempertimbangkan karakteristik siswa, kondisi lingkungan siswa, dan sarana prasarana yang menggairahkan siswa untuk belajar.

Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan agar siswa dapat menghubungkan pengetahuan yang telah diperoleh dengan kehidupan sehari-hari adalah model pembelajaran kontekstual. Menurut Mardianti (2011)

Contextual Teaching and Learning

(CTL) atau pembelajaran dan pengajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk menerapkannya dalam kehidupan

(3)

389 mereka. Pembelajaran kontekstual melibatkan para siswa dalam aktivitas belajar yang membantu mereka mengaitkan konsep-konsep pengetahuan IPA dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi.

Media audio visual bermuatan etnosains ini diharapkan dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa terhadap materi zat aditif dalam makanan. Selain itu, media audio visual bermuatan etnosains juga berfungsi sebagai media untuk menyampaikan materi IPA yang abstrak, sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir logisnya. Media audio visual bermuatan etnosains berisi materi zat aditif dalam makanan tradisonal baik yang alami maupun buatan. Misalnya penggunaan zat aditif seperti pewarna, pemanis, pengawet, dan penyedap rasa yang alami berasal dari lingkungan. Menurut Sudarmin (2014) etnosains didefinisikan sebagai perangkat ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat/suku bangsa yang diperoleh dengan metode tertentu yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat dan kebenaranya dapat diuji secara empiris.

Tema bahan kimia dalam kehidupan terdapat tiga komponen sub materi yaitu bahan kimia dalam rumah tangga, zat aditif dalam bahan makanan serta zat adiktif dan psikotropika. Ketiga komponen tersebut yang disisipkan muatan etnosains adalah materi zat aditif dalam bahan makanan dan dampaknya bagi kesehatan. Zat aditif dalam bahan makanan sangat erat kaitanya dengan kehidupan sehari-hari

dan cocok menggunakan model pembelajaran kontekstual. Konsep tersebut selanjutnya dirangkai menjadi sebuah media audio visual yang bermuatan etnosains sehingga diharapkan setelah mempelajari materi tersebut siswa dapat berpikir secara logis bagaimana mentransformasikan sains yang dimiliki masyarakat ke dalam sains ilmiah/asli. Sesuai dengan tujuan KTSP untuk meningkatkan pendidikan keunggulan lokal, guru diharapkan dapat mengembangkan pembelajaran dengan memanfaatkan kearifan lokal sebagai sumber belajar (Rosyidah et al., 2013).

Pembelajaran yang kontekstual sangat erat kaitanya dengan lingkungan dan kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan mampu secara konkret mengimplikasikan materi dalam kehidupan sehari-hari serta memunculkan kemampuan berpikir logis dan semakin termotivasi untuk mempelajari IPA. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Kemampuan Berpikir Logis dan Motivasi Belajar Siswa dengan Model Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Media Audio Visual Bermuatan Etnosains”.

METODE

Jenis penelitian ini adalah penelitian kombinasi (Mixed Methods) dengan desain sequential explanatory yang dilakukan di SMP Negeri 13 Semarang. Desain penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

(4)

390

Pengambilan sampel

menggunakan teknik cluster random

sampling berdasarkan nilai Ulangan

Tengah Semester IPA Tahun 2016/2017. Kelas yang digunakan untuk penelitian yaitu kelas VIII D (kelas eksperimen 1) dan kelas VIII F (kelas eksperimen 2). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah motivasi belajar siswa pada pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual berbantuan media audio visual bermuatan etnosains. Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir logis siswa.

Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar observasi, angket, wawancara motivasi belajar dan soal tes kemampuan berpikir logis. Analisis data dilakukan secara analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif untuk validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran soal, uji analisis dua varians (homogenitas kelas sampel), uji

normalitas (data posttest kemampuan berpikir logis), uji ada tidaknya pengaruh menggunakan korelasi

product moment (data motivasi belajar

dan kemampuan berpikir logis yang berdistribusi normal), uji besarnya pengaruh yang ditimbulkan antarvariabel menggunakan koefisien determinasi, dan analisis kualitatif hasil wawancara motivasi belajar siswa berdasarkan kategori sangat baik, baik, dan cukup.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemampuan Berpikir Logis Siswa Setelah Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Media Audio Visual Bermuatan Etnosains

Hasil posttest kelas eksperimen 1 dan 2 dapat menunjukkan persentase ketuntasan berpikir logis klasikal siswa. Tabel 1. menunjukkan hasil ketuntasan berpikir logis klasikal siswa kelas eksperimen 1 dan 2.

Tabel 1. Ketuntasan Berpikir Logis Klasikal

Data

Hasil Kemampuan Berpikir Logis Siswa Kelas Eksperimen 1 Eksperimen 2

Jumlah peserta didik 30 30

Rerata Nilai Akhir 81 81

∑ Siswa tuntas secara individu 27 26

∑ Siswa tidak tuntas 3 4

Ketuntasan berpikir logis klasikal (%)

90 87

(5)

391 Berdasarkan hasil posttest

menunjukkan bahwa kemampuan berpikir logis siswa pada model pembelajaran kontekstual berbantuan media audio visual bermuatan etnosains mencapai ketuntasan klasikal lebih dari 85%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan bantuan media audio visual bermuatan etnosains dapat mencapai hasil belajar yang tinggi yakni ketuntasan berpikir logis klasikal. Hal ini sesuai dengan penelitian Arfianawati, et al. (2016), model pembelajaran berbasis etnosains dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa, karena mengaitkan pembelajaran di kelas dengan apa yang ditemui siswa di kehidupan sehari-hari. Hasil tersebut juga dikuatkan oleh pernyataan Rahayu & Sudarmin (2015) bahwa penggunaan modul IPA Terpadu berbasis etnosains memberikan dampak positif bagi siswa yaitu peningkatan ketuntasan klasikal siswa.

Berdasarkan hasil analisis tingkat kemampuan berpikir logis, diperoleh bahwa tingkat kemampuan berpikir logis siswa paling tinggi adalah pada tahap operasi formal. Hal tersebut didukung dengan teori perkembangan kognitif piaget yang dikemukakan dalam penelitian Rakhmawan & Vitasari (2016) yang menyatakan pada jenjang operasi formal seorang anak mulai berlajar memecahkan setiap permasalahan baik yang konkret maupun abstrak menggunakan logikanya. Pada kelas eksperimen 1 dan 2 persentase jumlah siswa yang berada pada tahap formal hampir sama dengan selisih yang tidak terlalu jauh, yakni

sebesar 86,6% untuk kelas eksperimen 1 sedangkan pada kelas eksperimen 2 sebesar 83,3%. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif piaget bahwa pada umur 12 tahun sampai dewasa, siswa sudah mampu berpikir secara abstrak dan logis. Namun masih ada sekitar 15% siswa yang berada pada tahap transisi. Hal tersebut dikarenakan masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Selain mengukur kemampuan berpikir logis, hasil posttest juga menunjukkan persentase penguasaan konsep siswa terhadap materi zat aditif dalam makanan. Hasil analisis diperoleh bahwa pada kelas eksperimen 1 persentase siswa yang mampu menjawab soal dengan benar sebesar 90% dengan jumlah 27 siswa. Sedangkan pada kelas eksperimen 2 diperoleh persentase sebesar 89% dengan jumlah 26 siswa. Hasil persentase tersebut menunjukkan bahwa pada kedua kelas eksperimen memiliki kemampuan yang hampir sama dalam menguasai konsep materi zat aditif dalam makanan melalui pembelajaran dengan model kontekstual berbantuan media audio visual bermuatan etnosains. Hasil posttest kemampuan berpikir logis siswa juga dianalisis per indikator berpikir logis. Indikator kemampuan berpikir logis menurut Tobin & Capie (1981) adalah (1) mengontrol variabel; (2) Menalar proporsi; (3) Menalar probabilitas; (4) Menalar Korelasi; dan (5) Menalar Kombinasi. Hasil analisisnya disajikan dalam Gambar 2.

(6)

392 76 77 80 78 83 78 79 78 79 78 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 Ju m la h Siswa ( % )

Indikator Kemampuan Berpikir Logis

eksperimen 1 eksperimen 2

Gambar 2. menunjukkan keberhasilan siswa dalam menggunakan kemampuan berpikir logis selama mempelajari materi zat aditif dalam makanan. Rendahnya persentase kemampuan mengontrol variabel siswa dibanding dengan indikator kemampuan berpikir logis yang lain tidak menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam mengontrol variabel termasuk tidak baik/jelek. Berdasarkan kiriteria Kunandar (2013) persentase kemampuan mengontrol variabel siswa dalam mengerjakan soal posttest di kelas kontrol maupun kelas eksperimen sudah termasuk dalam kategori baik.

Indikator kemampuan berpikir logis yang kedua yang digunakan untuk menyusun posttest kemampuan berpikir logis siswa adalah kemampuan menalar proporsi. Siswa pada kedua kelas eksperimen masih kebingungan dalam menentukan proporsi mana yang termasuk ke dalam zat aditif dan yang bukan. Siswa masih banyak yang terkecoh oleh pilihan jawaban yang disediakan. Penalaran proporsi juga muncul ketika siswa melakukan kegiatan diskusi. Siswa menggunakan penalaran proporsi saat siswa berusaha menentukan zat aditif yang berbahaya dalam makanan. Kegiatan penalaran proporsi juga muncul ketika siswa

mengelompokkan atau

mengkategorikan zat aditif yang tergolong berbahaya dan tidak.

Indikator kemampuan berpikir logis yang ketiga adalah menalar probablitas. Menalar probabilitas dapat diukur dari cara siswa merangkai berbagai kemungkinan yang saling berhubungan dari suatu persoalan. Hasil persentase ketercapaian kemampuan berpikir logis siswa pada kedua kelas eksperimen menunjukkan hasil yang baik dengan persentase yang cukup tinggi. Hal tersebut berarti siswa pada kedua kelas eksperimen sudah mampu menggunakan kemampuan menalar probabilitas dalam pemecahan suatu masalah. Kegiatan diskusi juga memunculkan kemampuan menalar probabilitas siswa melalui permasalahan yang diberikan, seperti menyimpulkan kemungkinan penyakit yang ditimbulkan oleh penggunaan zat aditif secara berlebihan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rahmi et al. (2014) pengemasan materi dalam bentuk LKS dan diskusi berfungsi membantu siswa menemukan suatu konsep, menerapkan dan mengintegrasikan berbagai konsep yang telah dipelajari dan ditemukan.

Indikator kemampuan berpikir logis keempat yang digunakan untuk menyusun posttest kemampuan berpikir logis siswa adalah kemampuan menalar korelasi. Kemampuan menalar korelasi siswa di kelas eksperimen 1 dan 2 muncul pada saat menyaksikan media audio visual bermuatan etnosains sampai kegiatan diskusi dan presentasi. Gambar 2. Hasil Posttest Kemampuan Berpikir Logis Siswa per Indikator

(7)

393 Siswa baik kelas eksperimen 1 maupun 2 sangat aktif berdiskusi, aktif bertanya kepada guru apabila mengalami kesulitan dalam memahami LDS maupun maerti yang telah diajarkan melalui model pembelajaran kontekstual. Hasil tersebut sesuai pernyataan Khaerunisa, et al. (2012) yang menyebutkan siswa lebih aktif dan berpikir logis selama kegiatan diskusi menemukan jawaban.

Indikator yang kelima dari kemampuan berpikir logis untuk meyusun soal posttest adalah kemampuan menalar kombinasi. Kemampuan menalar kombinasi siswa di kelas eksperimen 1 dan 2 muncul pada saat siswa melakukan diskusi identifikasi zat aditif yang berbahaya dalam makanan. Penalaran kombinasi merupakan tindakan akhir yang diperlukan siswa dalam pembelajaran kontekstual berbantuan media audio visual bermuatan etnosains. Siswa melakukan penalaran kombinasi setelah melakukan kontrol variabel, mencari

probabilitas dari jawaban yang diperlukan, dan menyusun pola hubungan/korelasi antar materi. Kondisi tersebut sesuai pernyataan Leviana (2016) pada kelas eksperimen lebih mampu memprediksikan dan menarik kesimpulan dengan mengombinasikan bebagai macam variabel serta menetapkan solusi atau alternatif yang mungkin dapat digunakan dalam suatu kejadian tertentu.

Motivasi Belajar Siswa Setelah Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Media Audio Visual Bermuatan Etnosains

Motivasi belajar siswa diukur menggunakan lembar observasi dan angket. Aspek yang dijadikan pedoman lembar observasi terdiri dari enam aspek atau indikator menurut Uno (2008). Persentase skor siswa per aspek antara kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 pada saat pembelajaran dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase Hasil Observasi Motivasi Belajar Siswa Tiap Aspek Aspek

Kelas eksperimen 1 Kelas eksperimen 2 P (%) Kategori P (%) Kategori 1. Hasrat dan keinginan berhasil 88,3 Sangat Baik 85,8 Sangat baik 2. Dorongan dan kebutuhan dalam

belajar 79,2 Baik 72,5 Baik

3. Harapan dan cita-cita masa depan 90,0 Sangat baik 90,0 Sangat baik 4. Penghargaan dalam belajar oleh

guru 80,0 Baik 77,5 Baik

5. Kegiatan yang menarik dalam

pembelajaran 78,3 Baik 75,8 Baik

6. Lingkungan belajar yang kondusif 82,5 Sangat baik 78,3 Baik

Indikator yang memiliki persentase pencapaian terendah di kelas eksperimen 1 terdapat pada indikator

kelima yakni adanya kegiatan yang menarik dalam pembelajaran sebesar 76,7%. Hasil tersebut diperoleh karena

(8)

394 pada kelas eksperimen 1 selama pembelajaran dengan model kontekstual berbantuan media audio visual bermuatan etnosains merasa bosan. Kebosanan timbul ketika kegiatan diskusi, selama kegiatan diskusi pembagian anggota kelompok diskusi yang sama dari pertemuan awal sampai akhir, sehingga hal ini dapat menimbulkan kebosanan bagi siswa.

Sedangkan di kelas eksperimen 2 indikator yang terendah terdapat pada indikator kedua yakni adanya dorongan dan kebutuhan dalam belajar sebesar 72,5%. Hasil ini dapat disebabkan karena pada kelas eksperimen 2 kurang termotivasi untuk belajar IPA. Banyak siswa yang mengobrol ketika kegiatan diskusi, pengisian LDS tidak dilakukan secara berdiskusi tetapi hanya diisi oleh beberapa anggota kelompok saja. Ketika diminta untuk presentasi hasil

diskusi, di kelas eksperimen 2 tidak terlalu aktif dan antusias untuk maju ke depan, sehingga guru harus menunjuk salah satu kelompok untuk maju mempresentasikan hasil diskusinya. Hal tersebut didukung pernyataan Hamdu & Agustina (2011) yang menyatakan bahwa jika siswa memiliki kebiasaan buruk dalam belajar, maka motivasi belajarnya rendah dan prestasi belajarpun rendah pula.

Selain data observasi, motivasi belajar siswa juuga dinilai dari data angket. Data angket merupakan data yang digunakan untuk mengetahui pandangan dari siswa atas apa yang siswa lakukan dan rasakan terkait dengan motivasi belajar siswa. Hasil penilaian motivasi belajar siswa pada kelas eksperimen 1 dan 2 berdasarkan angket pertemuan terakhir dapat dilihat pada Gambar 3.

Hasil analisis data angket pada tiap indikator menunjukkan bahwa pkelas eksperimen 1 dan 2 tingkat memiliki motivasi belajar yang hampir sama, hanya berbeda pada indikator kelima yang selisih persentasenya sedikit jauh. Indikator motivasi belajar kelima adalah kegiatan menarik dalam pembelajaran. Pada kelas eksperimen 1 diperoleh persentase sebesar 83% sedangkan pada kelas eksperimen 2 sebesar 70%. Hal ini dikarenakan siswa

pada kelas eksperimen 2 merasa bosan pada saat pembelajaran berlangsung terutama pada kegiatan diskusi. Saat kegiatan diskusi anggota kelompok siswa setiap pertemuan sama sehingga banyak siswa yang protes dan merasa jenuh dengan anggota kelompoknya.

Penggunaan media audio visual bermuatan etnosains mampu mengkonkretkan objek yang dipelajarai siswa, siswa dapat melihat, mendengar, dan merasakan secara langsung atau 84 83 99 92 83 88 79 79 91 83 70 80 0 20 40 60 80 100 1 2 3 4 5 6 Ju m la h Siswa ( % )

Indikator Motivasi Belajar Siswa

kelas eks 1 kelas eks 2

(9)

395 nyata apa yang mereka pelajari, sehingga dapat merangsang partisipasi aktif siswa dalam belajar. Selain itu juga dapat memberikan pemahaman langsung tentang etnosains pembuatan makanan tradisional yang mendalam dimana belum pernah disampaikan oleh guru pada pembelajaran konvensional biasanya. Sejalan dengan penelitian Haryoko (2009) bahwa pembelajaran menggunakan media audio visual lebih baik dibandingkan pembelajaran dengan pendekatan konvensional.

Disamping itu, didukung oleh model pembelajaran kontekstual yang digunakan dalam menyampaikan fenomena kontekstual dalam kehidupan nyata yang dibawa ke dalam kelas melalui media audio visual bermuatan etnosains dalam bentuk video. Beberapa manfaat praktis dari media pembelajaran diantaranya adalah dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat meningkatkan proses dan hasil belajar, menimbulkan motivasi belajar, dan interaksi antara siswa siswa dan lingkungannya. Hal ini didukung dengan penelitian Sabil (2011), penerapan pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Uji Pengaruh Motivasi Belajar Terhadap Kemampuan Berpikir Logis Siswa

Pengaruh motivasi belajar siswa terhadap kemampuan berpikir logis pada model pembelajaran kontekstual berbantuan media audio visual bermuatan etnosains ditunjukkan oleh nilai hubungan korelasi (r).

Pada kelas eksperimen 1 memiliki nilai r sebesar 0,80 dengan koefisien determinasi sebanyak 64%. Nilai koefisien korelasi tersebut digunakan untuk menguji hipotesis penelitian. Hasil analisis menunjukkan nilai yang

diperoleh untuk thitung = 11,28 dan tTabel

= 1,84 maka thitung > tTabel, sehingga Ha

diterima yang menunjukkan bahwa motivasi belajar berpengaruh terhadap kemampuan berpikir logis melalui model pembelajaran kontekstual berbantuan media audio visual bermuatan etnosains. Besar pengaruhnya ditentukan oleh koefisien determinasi (KD), diperoleh KD = 64 %. Sedangkan kelas eksperimen 2 memiliki nilai r sebesar 0,77 dengan koefisien determinasi sebanyak 59%. Hasil analisis menunjukkan nilai thitung =

10,47 dan tTabel = 1,84 maka thitung >

tTabel, sehingga Ha diterima yang

menunjukkan bahwa motivasi belajar berpengaruh terhadap kemampuan berpikir logis melalui model pembelajaran kontekstual berbantuan media audio visual bermuatan etnosains. Besar pengaruhnya ditentukan oleh koefisien determinasi (KD), diperoleh KD = 64 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada kelas eksperimen 1 dan 2, motivasi belajar siswa berpengaruh kuat terhadap kemampuan berpikir logis siswa.

Penelitian Kualitatif

Berdasarkan hasil data angket, observasi, dan wawancara 20 subjek penelitian dari kedua kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran kontekstual berbantuan media audio visual bermuatan etnosains. Hasil ini digunakan untuk mengetahui gambaran motivasi belajar siswa pada kategori sangat baik, baik dan cukup. Masing-masing siswa dengan kategori motivasi belajar sangat baik sebanyak delapan siswa, baik sebanyak delapan siswa, dan cukup empat siswa dari kelas eksperimen 1 dan 2.

Motivasi belajar kategori sangat baik

Pada penelitian ini, subjek wawancara untuk mengetahui gambaran motivasi belajar siswa pada kategori

(10)

396 sangat baik untuk kelas eksperimen 1 yaitu responden satu, dua, tiga, dan empat. Sedangkan pada kelas eksperimen 2 yang menjadi subjek wawancara adalah responden 11, 12, 13, dan 14.

Diperoleh simpulan bahwa delapan subjek tersebut mempunyai motivasi belajar yang sangat baik. Hal tersebut dibuktikan dari hasil analisis data angket dan observasi yang menunjukkan bahwa kedelapan subjek tersebut berada pada kategori motivasi belajar sangat baik. Subjek penelitian yang berada pada kategori motivasi belajar sangat baik memiliki persentase yang tinggi setiap indikator.

Motivasi belajar kategori baik

Subjek wawancara untuk mengetahui gambaran motivasi belajar siswa pada kategori baik untuk kelas eksperimen 1 yaitu responden lima, enam, tujuh, dan delapan. Sedangkan pada kelas eksperimen 2 yang menjadi subjek wawancara adalah responden 15, 16, 17, dan 18. Diperoleh simpulan bahwa delapan subjek penelitian tersebut mempunyai motivasi belajar yang baik. Hal tersebut dibuktikan dari hasil analisis data angket dan observasi yang menunjukkan bahwa kedelapan subjek tersebut berada pada kategori motivasi belajar baik.

Subjek penelitian pada kategori motivasi belajar baik memiliki persentase yang cukup tinggi pada setiap indikator. Hasil wawancara menunjukkan bahwa siswa yang memiliki motivasi belajar pada kategori baik, hasrat dan keinginannya untuk berhasil juga tinggi. Siswa yang memiliki motivasi belajar baik menjadikan orang tua sebagai dorongan atau yang memotivasi untuk belajar. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Solina, et al. (2013) yang

mengungkapkan bahwa adanya hubungan antara perlakuan orang tua terhadap ketekunan siswa dalam menghadapi tugas.

Motivasi belajar kategori cukup

Subjek wawancara untuk mengetahui gambaran motivasi belajar siswa pada kategori cukup untuk kelas eksperimen 1 yaitu responden sembilan dan sepuluh. Sedangkan pada kelas eksperimen 2 yang menjadi subjek wawancara adalah responden 19 dan 20. Diperoleh simpulan bahwa delapan subjek penelitian tersebut mempunyai motivasi belajar yang cukup. Hal tersebut dibuktikan dari hasil analisis data angket dan observasi yang menunjukkan bahwa kedelapan subjek tersebut berada pada kategori motivasi belajar yang cukup. Siswa pada kategori motivasi belajar yang cukup memiliki persentase pencapaian yang tidak terlalu tinggi setiap indikator berdasarkan data angket dan observasi.

Kebanyakan siswa yang berada kategori ini merasa terpaksa belajar IPA karena takut dimarahi orang tuanya sehingga hasil belajar IPA yang didapatkan juga kurang maksimal karena siswa tidak bersungguh-sungguh dalam belajar IPA. Hal ini didukung pernyataan Iswandi, et al. (2015) yang menyatakan bahwa mayoritas siswa tidak memiliki kebiasaan belajar mandiri, mereka belajar mandiri ketika dilakukan tes atau ujian. Adanya penghargaan dalam belajar juga tidak menjadikan siswa pada kategori ini tertarik untuk belajar IPA. Siswa mengabaikan reward dari guru karena merasa kurang mampu untuk mendapatkan reward melalui belajar IPA.

(11)

397

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir logis siswa kelas eksperimen 1 dan 2 pada model pembelajaran kontekstual berbantuan media audio visual bermuatan etnosains dapat mencapai ketuntasan berpikir logis klasikal. Siswa pada kelas eksperimen 1 dan 2 berada pada kategori kemampuan berpikir logis tahap transisi dan formal.

Motivasi belajar siswa pada kelas eksperimen 1 dan 2 berada pada kategori sangat baik, baik, dan cukup. Motivasi belajar siswa pada model pembelajaran kontekstual berbantuan media audio visual bermuatan etnosains berpengaruh positif terhadap kemampuan berpikir logis siswa.

Saran

Penerapan model pembelajaran kontekstual berbantuan media audio visual bermuatan etnosains dengan materi zat aditif dalam makanan memerlukan kreativitas guru dalam menyampaikan materi agar tidak menimbulkan kebosanan.

Siswa yang berada pada kategori motivasi belajar cukup sebaiknya perlu diberi perlakuan khusus lagi agar memiliki motivasi belajar yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Arfianawati, S., Sudarmin., & Sumarni, W. 2016. Model Pembelajaran Kimia Berbasis Etnosains Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Jurnal

Pengajaran MIPA, 21 (2): 46-51.

Hamdu, G. & Agustina, L. 2011. Pengaruh Motivasi Belajar Siswa Terhadap Prestasi IPA Di Sekolah Dasar. Jurnal Penelitian Pendidikan, 12 (1): 81-86.

Handhika, J.2012. Efektivitas Media Pembelajaran IM3 Ditinjau dari Motivasi Belajar. JPII, 1 (2):109-114.

Haryoko, S. 2009. Efektivitas Pemanfaatan Media Audio-Visual Sebagai Alternatif Optimalisasi Model Pembelajaran. Jurnal Edukasi@Elektro, 5(1):1-10.

Iswandi., Lestari R., & Brahmana, E.M. 2015. Analisis Motivasi Belajar Biologi Siswa Kelas VIII MTs Sejahtera Bersama Rambah Samo Tahun Pembeajaran 2014/2015.

Jurnal Keguruan, 2 (1): 54-58.

Khaerunisa, F., Sarwi, & Hindarto, N. 2012. Penerapan Better Teaching

and Learning Berbasis

Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Berpikir Logis dan Keaktifan Siswa. Unnes Physics Education Journal, 1(2): 33-37. Kunandar. 2013. Penelitian Autentik:

Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik Berdasarkan Kurikulum 2013. Jakarta: Rajawali Pers.

Leviana, A. 2016. Pengaruh Penerapan

Model Joyful Learning

Berbantuan Audio Visual Pada Materi Bunyi dan Pendengaran Terhadap Kemampuan Berpikir Logis Siswa SMP. Skripsi.

Universitas Negeri Semarang.

Listyawati, M. 2012. Pengembangan Perangkat IPA Terpadu di SMP.

Journal of Innovative Science Education, 1(1): 62-63.

Mahendrani, K., & Sudarmin. 2015. Pengembangan Booklet Etnosains Fotografi Tema Ekosistem untuk Meningkatkan Hasil Belajar pada Siswa SMP. Unnes Science Education Journal, 4(2): 866-870.

(12)

398 Mardianti, L. 2011. Pengaruh

Pembelajaran Kontekstual terhadap Pemahaman Siswa pada Konsep Bunyi. Skripsi. Jakarta:

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Rahayu, W.E & Sudarmin. 2015. Pengembangan Modul IPA Terpadu Berbasis Etnosains Tema Energi Dalam Kehidupan Untuk Menanamkan Jiwa Konservasi Siswa. Unnes Science Educatiion

Journal, 4 (2): 919-926.

Rahmi, R., Hartini, S., & Wati, M. 2014. Pengembangan Lembar Kerja (LKS) Berbasis Inkuiri Terbimbing dan Multimedia Pmebelajaran IPA SMP. Berkala

Ilmiah Pendidikan Fisika, 2 (2):

240-256.

Rakhmawan, A., dan M. Vitasari. 2016. Kemampuan Berpikir Logis sebagai Prediktor Keberhasilan Mahasiswa dalam Perkuliahan Kimia Dasar. Jurnal Penelitian

dan Pembelajaran IPA, 2 (1):

99-109.

Rosyidah A. N., Sudarmin, & K. Siadi. 2013. Pengembangan Modul IPA Berbasis Etnosains Zat Aditif dalam Bahan Makanan untuk Kelas VIII SMP Negeri 1 Pegandon Kendal. Unnes Science

Education Journal, 2(1): 133-139.

Sabil, H. 2011. Penerapan Pembelajaran

Contextual Teaching & Learning

(CTL) Pada Materi Ruang Dimensi Tiga Menggunakan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (MPBM) Mahasiswa

Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNJA.

Edumatica, 1 (1): 44-56.

Saputra, H. J. 2016. Pembelajaran Etnosains Bervisi SETS untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Siswa. Elementary School, 3(1): 21-22.

Solina, W., Erlamsyah., & Syahniar. 2013. Hubungan Antara Perlakuan Orang tua Dengan Motivasi Belajar Siswa di Sekolah. Jurnal Ilmiah Konseling, 1(2): 289-294.

Sudarmin. 2014. Pendidikan Karakter,

Etnosains dan Kearifan Lokal.

Semarang: Swadaya Manunggal. Taufiq, M, Novi, R.D. & Arif, W. 2014.

Pengembangan Media

Pembelajaran Ipa Terpadu Berkarakter Peduli Lingkungan

Tema “Konservasi”

Berpendekatan Science-Edutainment. Jurnal Pendidikan

IPA Indonesia, 3(2): 140-145.

Tobin, K. G. & Capie, W. 1981. The Development And Validation Of A Group Test Of Logical Thinking. Educational and Psychological Measurement, 41:

413-423.

Uno, H. B. 2008. Teori Motivasi dan

Pengukurannya: Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Gambar

Tabel  1.  menunjukkan  hasil  ketuntasan  berpikir  logis  klasikal  siswa  kelas  eksperimen 1 dan 2
Gambar  2.  menunjukkan  keberhasilan siswa dalam menggunakan  kemampuan  berpikir  logis  selama  mempelajari  materi  zat  aditif  dalam  makanan
Gambar 3. Hasil Analisis Setiap Indikator Motivasi Belajar Data Angket

Referensi

Dokumen terkait

Program ini dilaksanakan melalui kegiatan promosi investasi sebanyak 12 kali diantaranya dengan melakukan ekspo atau pameran, temu bisnis antara lain Semarang Business

Dinding sel tersusun dari dua lapis senyawa Selulosa, di antara kedua lapisan selulosa tadi terdapat rongga yang dinamakan Lamel Tengah (Middle Lamel) yang dapat terisi oleh zat-zat

example is the students overgeneralized in using – ed in their writing. It happened because the students think that every verb in recount text writing always use the

Hasil dari pengujian hipotesis mengindikasikan bahwa customer capital yang dimiliki oleh PT BPR Setia Karib Abadi Semarang telah digunakan secara optimal dan memiliki

Aspirasi warga Kecamatan Kayan Hulu pra-pemekaran di bagian timur atau Kecamatan Sungai Boh pasca pemekaran direspon secara positif oleh Pemerintah sehingga

Tabel 4.15 Perilaku Menyontek Saat Menyelesaikan Tugas di Luar Kelas 75 Tabel 4.16 Rekapitulasi Hasil Kuesioner Setiap Item Pernyataan Perilaku Menyontek Saat Menyelesaikan

Tanah kas desa yang dikerjasamakan dengan pihak lain, untuk lebih memberikan keleluasaan pemerintah desa dalam pene- rimaan yang sebesar-besarnya maka gu- bernur

Sambungan baut dilakukan dengan cara suatu pasak melintang (baut) dipasang pada suatu lubang, yang dengan menembus masuk pada bagian konstruksi yang