Muhammad Mawardi Djalaluddin
Abstrak
Seluruh ajaran Islam secara utuh terekam dalam al-Qur’an dan al-Hadis dengan menggunakan bahasa Arab, bahasa ‘resmi’ al-Qur’an dan al-Hadis-. Oleh karena itu untuk memahami syariat Islam, para ulama usul al-fiqh mengemukakan dua pendekatan yang tidak bisa dipisahkan, yaitu melalui kaedah-kaedah kebahasaan dan melalui pendekatan maqasid al-Syaricah (tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum). Di antara kaedah-kaedah kebahasaan yang banyak digunakan dalam menetapkan dan menerangkan hukum-kuhum syariat adalah al-amr dan al-nahy. Hal ini dikarenakan kebanyakan hukum-hukum syariat yang taklifi ditetapkan atas adanya tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan dan tuntutan untuk meninggalkannya. Tanpa penguasaan kaedah kebahasaan yang benar dapat menimbulkan kesalafahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang boleh jadi bertentangan dengan ayat itu sendiri.
Kata kunci: memahami, redaksi, al-Amr atau perintah, hukum A. Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai sumber utama hu-kum Islam mengandung berbagai ajaran. Di kalangan ulama ada yang membagi muatan hukum yang ada dalam al-Qur’an pada tiga kelompok besar. Pertama, hukum i’tiqâdiyyah yang menghendaki seorang mukallaf untuk percaya kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Qada’-Qadar, dan hari akhir. Kedua, hukum yang menyangkut kesopanan (akhlâqiyyah) yang menuntut seseorang untuk memiliki sikap terpuji dan meninggalkan sikap yang tidak terpuji. Ketiga, Hukum-hukum ’amaliyyah yang terdiri atas hukum ubudiyah seperti salai, zakat, puasa, dan sebagainya. Juga mencakup kum muamalat termasuk di dalamnya hu-kum pidana, perdata, keluarga, lingkungan hidup, politik dan lain-lain.1
Dalam perkembangannya hukum Islam diperhadapkan pada realitas tuntutan umat Islam sebagai obyek sekaligus sebagai subyek hukum tersebut. Dari sisni timbul masalah terutama ketika hukum Islam dipandang tidak mampu berpacu dengan tuntutan baru masyarakat Islam tersebut, dalam artian bahwa tuntutan baru itu tidak termuat secara jelas kandungannya dalam sumber utama hukum Islam. Untuk itu diperlukan kajian-kajian sumber dalam menjawab tantangan-tantangan yang ada.
Dalam mengkaji, seseorang mujtahid ditun-tut untuk memberi tafsiran atau takwilan ketidakjelasan kandungan sumber yang dikaji.2
Al-Qur’an dalam petunjuknya terha-dap hukum hanya memuat satu bentuk kali-mat saja, adakalnya hukum yang ditunjuk menggunakan kalimat metaforis, terkadang dengan pola kalimat perintah, larangan serta terkadang pula menggunakan kalimat yang bersifat umum, khusus, mutlaq, muqayyad dan sebagainya. Bahkan keragaman cara pengungkapan tersebut tidak saja memuat arti tekstual, kadangkala memerlukan pema-haman kontekstual, sebab adakalanya sebuah lafaz umum misalnya mengandung lafaz khusus atau kalimat yang sifatnya berita memberi petunjuk adanya takilf.3 Oleh karenanya, ketika mengkaji nas syara’ yang terdapat dalam sumber utama hukum Islam, apatalagi pentakwilan ayat-ayatnya membutuhkan penguasaan bahasa Arab di samping nalar.4
Dalam hal ini kaedah keba-hasaan sangat penting artinya bagi upaya kajian sumber agar pemahaman terhadap nas dapat tepat sasaran, paling tidak mende-kati kebenaran.5
Salah satu unsur kebahasaan yang sering digunapakai al-Qur’an adalah bahasa perintah atau al-amr yang senantiasa berim-plikasi hukum takilfi. Hukum taklifi yaitu
hukum-hukum yang menyatakan tuntutan atau pembebenan pada mukallaf untuk melaksanakan perbuatan yang ditunjuk oleh nas. Ini terkait dengan tuntutan-tuntutan yang harus atau tidak harus dikerjakan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dikemu-kakan beberapa hal mengenai perintah itu sendiri, pola kalimat dan implikasinya. B. Pengertian Al-Amr
Secara etimologis, al-amr adalah kata tunggal (mufrad) yang berakar pada huruf alif, mim, dan ra, yang artinya keadaan dan atau perkara/urusan (
ﻥﺄﺸﻟﺍﻭ
ﻝ
ﺎﳊﺍ
) dengan bentuk pluralnya al-umur (ﺭﻮﻣﻷﺍ
), dan tun-tutan atau perintah (ﻪﺑ
ﺭﻮﻣﺄﳌﺍ
ﻭﺃ
ﺐﻠﻄﻟﺍ
) dengan bentuk pluralnya yang lain al-awamir (ﺮﻣﺍﻭﻷﺍ
)6. Menurut Raghib Asfahani, al-amr adalah merupakan lafaz yang sifatnya umum, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang mengandung beberapa pengertian antara lain: a. Pembebanan seseorang untuk mengerjakan sesuatu; b. urusan penciptaan yang khusus bagi Allah bukan bagi makhluk; c. mengajukan suatu perintah, baik berupa kata kerja imperatif (
ﻞﻌﻓﺍ
), kata kerja bentuk mudaric yangdiser-tai huruf lam yang berfungsi imperatif
(
ﻞﻌﻔﻴﻟ
), maupun lafaz khabar dan isyaratyang menunjuk imperatif7
.
Sedangkan al-amr dalam terminologi usul fiqh, makna asal (hakikatnya) secara umum digunakan dalam ucapan khusus
(
ﺹﻮﺼﺨﳌﺍ
ﻝﻮﻘﻟﺍ
) yaitu perkataan yangmenuntut suatu pekerjaan dan selain itu adalah makna kiasan (
ﺯﺎﳎ
)8dengan bentuk pluralnya al-awamir. Adapun al-amr sebagai ucapan khusus sebagaimana dikemukakan Mustafa Said al-Kin9
, mempunyai banyak pengertian. Pengertian al-amr yang paling rajih menurut al-Amidi, adalah tuntutan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dari pihak yang lebih tinggi (derajatnya) kepada
pihak yang lebih rendah10. Pengertian yang serupa dikemukakan juga oleh al-Razi11
, Muhammad Adib Saleh12
, al-Syawkani13
, Ali Hasaballah14
, Badran Abu al-Aynain Bad-ran15, dan Abu Zahrah16. Sementara al-Syatibi mengatakan: al-amr adalah tuntutan dan kehendak dari al-Amir (yang menuntut dan menghendaki) untuk dilaksanakannya sesuatu perbuatan.17
Dengan demikian dapat dipahami bahwa al-amr itu mengandung tiga kompo-nen, yaitu; (a) al-Amir (yang memerintah) yaitu Allah sebagai pembuat syariat; (b). al-Ma’mur alaih, atau mukallaf yaitu hamba yang berkedudukan sebagai pihak yang di-bebani perintah atau tuntutan; (c). al-ma’mur bih yaitu aturan-aturan/hukum-hukum sya-riat sebagai perbuatan yang diperintahkan atau dituntut untuk dilaksanakan.
C. Bentuk-Bentuk Al-Amr
Ada beberapa bentuk sighat yang dimiliki al-amr18 yang semuanya menuntut dilaksanakannya suatu perbuatan, yaitu: 1. Fi’il al-amr (kata kerja imperatif),
misa-lnya: QS. 17:78;
ﺓﺎﻛﺰﻟﺍ
ﺍﻮﺗﺃﻭ
ﺓﻼﺼﻟﺍ
ﺍﻮﻤﻴﻗﺃ
2. Fi’il al-Mudaric yang disertai huruf “lam”yang berfungsi sebagai imperatif, misal-nya: QS. 2:185;
ﺮﻬﺸﻟﺍ
ﻢﻜﻨﻣ
ﺪﻬﺷ
ﻦﻤﻓ
ﻪﻤﺼﻴﻠﻓ
3. Ism al-Masdar yang berfungsi sebagai fi’il al-amr misalnya: QS. 17:23;
ﻦﻳﺪﻟﺍﻮﻟﺎﺑﻭ
ﺎﻧﺎﺴﺣﺍ
4. Ism Fi’il al-amr, misalnya: QS. 12:23;
ﺏﺍﻮﺑﻷﺍ
ﺖﻟﺎﻗ
ﺖﻴﻫ
ﻚﻟ
ﺖﻘﻠﻏﻭ
5. Jumlah Khabariyah yang digunakan sebagai tuntutan (talab), misalnya: QS. 12:228;
ﺕﺎﻘﻠﻄﳌﺍﻭ
ﻦﺼﺑﺮﺘﻳ
ﻦﻬﺴﻘﻧﺄﺑ
ﺔﺛﻼﺛ
ﺀﻭﺮﻗ
6. Pernyataan dengan unsur al-amr (ﺭﻤﻷﺃ), misalnya: QS. 4:58;
ﷲﺍ
ﻢﻛﺮﻣﺄﻳ
ﻥﺃ
ﺍﻭﺩﺆﺗ
ﺕﺎﻧﺎﻣﻷﺍ
ﱃﺍ
ﺎﻬﻠﻫﺃ
ﻥﺇ
7. Pernyataan dengan unsur al-fard
(
ﺽﺮﻔﻟﺍ
), misalnya: QS. 22:29;ﺎﻨﺿﺮﻓ
ﺎﻣ
ﻢﻬﻴﻠﻋ ﺪﻗ ﺎﻨﻤﻠﻋ
8. Pernyataan dengan unsure al-kitabah
(
ﺔﺑﺎﺘﻜﻟﺍ
), misalnya: QS. 2:178;ﺎﻳ
ﺎﻬﻳﺃ
ﻦﻳﺬﻟﺍ
ﺍﻮﻨﻣﺁ
ﺐﺘﻛ
ﻢﻜﻴﻠﻋ
ﺹﺎﺼﻘﻟﺍ
ﰱ
ﻰﻠﺘﻘﻟﺍ
9. Pemberitaan bahwa suatu perbuatan dibebankan atas mukallaf, misalnya: QS. 3:97;
ﷲﻭ
ﻰﻠﻋ
ﺱﺎﻨﻟﺍ
ﺞﺣ
ﺖﻴﺒﻟﺍ
ﻦﻣ
ﻉﺎﻄﺘﺳﺍ
ﻪﻴﻟﺍ
ﻼﻴﺒﺳ
10. Pemberitaan bahwa suatu perbuatan dijadikan balasan atas syarat, misalnya:QS.2:196;
ﺮﺴﻴﺘﺳﺍ
ﺎﻤﻓ
ﰎﺮﺼﺧﺍ
ﻦﻣ
ﻯﺪﳍﺍ
ﻥﺈﻓ
11. Pemberitaan bahwa suatu perbuatan itu baik, misalnya QS. 2:220;
ﻚﻧﻮﻟﺄﺴﻳﻭ
ﻦﻋ
ﻰﻣﺎﺘﻴﻟﺍ
ﻞﻗ
ﺡﻼﺻﺇ
ﻢﳍ
ﲑﺧ
12. Pemberitaan suatu perbuatan yang dikaitkan dengan suatu janji, misalnya: QS. 2:245;
ﻦﻣ
ﺍﺫ
ﻯﺬﻟﺍ
ﺽﺮﻘﻳ
ﷲﺍ
ﺎﺿﺮﻗ
ﺎﻨﺴﺣ
ﻪﻔﻋﺎﻀﻴﻓ
ﻪﻟ
ﺎﻓﺎﻌﺿﺃ
ﺓﲑﺜﻛ
Berdasarkan bentuk sighatnya al-Syatibi mengatakan bahwa al-awamir (bentuk plural dari al-amr) dapat dibedakan menjadi dua bagian.19
Pertama, al-awamir al-sarihah (tuntutan yang jelas), yang dapat diketahui dari dua sudut pandang; (a). Semata-mata perintah dan tidak diketahui illat kemasla-hatannya, misalnya: QS. 2:43,
ﺓﻼﺼﻟﺍ
ﺍﻮﻤﻴﻗﺃ
ﺍﻮﺗﺁﻭ
ﺓﺎﻛﺰﻟﺍ
(b). Dipahami maksud Syaric dankemaslahatannnya dengan cara menelitinya, misalnya:QS. 62:9;
ﷲﺍ
ﺮﻛﺫ
ﱃﺍ
ﺍﻮﻌﺳﺎﻓ
, maksudnya adalah untuk memelihara terlak-sanakannya solat jum’at dan tidak melalai-kannya. Bukan saja perintah untukbersege-ra mengingat Allah saja.Kedua, al-awamir ghayr al-sarihah, yaitu bentuk imperatif yang tidak jelas, meliputi: (a) Pemberitaan menge-nai ketetapan hukum, misalnya: QS.2:183;
ﺎﻳ
ﺎﻬﻳﺃ
ﻦﻳﺬﻟﺍ
ﺍﻮﻨﻣﺁ
ﺐﺘﻛ
ﻢﻜﻴﻠﻋ
ﻡﺎﻴﺼﻟﺍ
; (b)Perbuatan dan pelakunya mendapat pujian, berpahala dan dapat dicintai oleh Allah swt. bila dikerjakan, misalnya: QS. 57:19;
ﻦﻳﺬﻟﺍﻭ
ﺍﻮﻨﻣﺁ
ﷲﺎﺑ
ﻪﻠﺳﺭﻭ
ﻚﺌﻟﻭﺍ
ﻢﻫ
ﻥﻮﻘﻳﺪﺼﻟﺍ
, QS. 4:13;و ﺕﺎﻨﺠ ﻪﻠﺨﺩﻴ ﻪﻝﻭﺴﺭﻭ ﷲﺍ , QS.5:93;ﷲﺍﻭ
ﺐﳛ
ﲔﻨﺴﶈﺍ
, (c) Perbuatan yangdipe-rintahkan karena berfungsi sebagai peleng-kap atas perbuatan wajib, misalnya: memba-suh sebagian kepala untuk menyempurna-kan perintah membasuh muka dalam berwudu’.
D. Al-Amr dan Petunjuk Hukumnya 1. Al-Amr Mutlak dan Petunjuk
Hukumnya
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum-hukum yang ditunjukkan oleh al-amr secara mutlak (hakikat)20
apakah menunjuk hukumnya wajib, mandub, mubah atau yang lain. Perbedaan mereka itu dapat dikemuka-kan sebagai berikut:
Pertama, menurut jumhur ulama, bahwa pada makna hakikatnya al-amr secara mutlak menunjukkan hukum wajib21
. Selain itu adalah makna kiasan (majaz dan karena adanya qarinah (penyerta). Menurut al-Amidi pendapat ini dianut oleh mazhab Syafi’i, para ulama fiqh, sebagain mutakallimin seperti Abu al-Husein al-Basri dan al-Jub-ba’i22
, demikian juga mazhab al-Zahiriyah23
. Kedua, pada hakikatnya al-amr menun-jukkan hukum mandub. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hasyim, mayoritas kaum Mu’tazilah, sebagian ulama fiqh24
dan juga dinukil dari al-Syafi’i.25
Ketiga, pada hakikatnya merupakan lafaz musytarak (ganda) yang menunjukkan hukum wajib dan mandub. Pendapat ini dinukil dari al-Syafi’i.26
Keempat, pada hakikatnya al-amr itu dikirakirakan musytarak antara hukum wajib dan mandub serta merupakan tuntutan (talab). Pendapat ini dinisbatkan pada Abu Mansur al-Maturidi dari mazhab Hanafiyah dan para ulama Samarkand.27
Kelima, menurut mazhab al-Waqifiyah bahwa al-amr senantiasa digunakan dalam makna yang bervariasi, sebagian merupakan makna hakiki yang disepakati dan sebagian yang lainnya merupakan makna majazi yang disepakati. Secara mutlak al-amr mengan-dung kemungkinan arti yang banyak sehingga mazhab ini mengambil sikap diam (wuquf) sehingga ada keterangan mengenai makna yang dimaksud. Mazhab ini diikuti oleh Asy’ari, Abu Bakar Baqillani, al-Ghazali28
dan sebagian golongan Syi’ah.29
Keenam, pada hakikatnya al-amr diduga kuat berada dalam makna musytarak antara wajib, mandub dan mubah yang merupakan kebolehan melepaskan kesukaran dari per-buatan. Pendapat ini disandarkan kepada al-Murtada dari Syi’ah. Sedangkan mayoritas golongan Syi’ah menyatakan bahwa al-amr berada dalam makna musytarak antara hukum wajib, mandub, mubah dan tahdid (ancaman).30
Berangkat dari pendapat-pendapat di atas, yang paling rajih -sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Syawkani-31
adalah pen-dapat jumhur ulama, yang mengatakan bahwa pada hakikatnya al-amr itu menunjuk-kan hukum wajib dengan kaedahnya:
ﻞﺻﻷﺃ
ﰱ
ﺮﻣﻷﺍ
ﺏﻮﺟﻮﻠﻟ
ﻻﻭ
ﻝﺪﻳ
ﻰﻠﻋ
ﻩﲑﻏ
ﻻﺇ
ﺔﻨﻳﺮﻘﺑ
2. Al-Amr dengan Qarinah dan Pentunjuk Hukumnya
Apabila al-amr itu disertai qarinah maka para ulama sepakat bahwa dalam penggunaannya, sighat al-amr itu mempu-nyai makna yang sesuai dengan konteks dan qarinahnya.
Dalam hubungannya dengan hukum taklifi32, dari sekian banyak makna yang ditunjukkan oleh sighat al-amr yang sesuai dengan qarinahnya adalah sebagai berikut:
a. Makna yang menunjukkan hukum wajib, misalnya: QS. 4:43;
ﺍﻮﻤﻴﻗﺃ ﺓﻼﺼﻟﺍ
karena adanya ayat dalam QS.4:103;
ﻥﺇ
ﺎﺗﻮﻗﻮﻣ
ﺎﺑﺎﺘﻛ
ﲔﻨﻣﺆﳌﺍ
ﻰﻠﻋ
ﺖﻧﺎﻛ
ﺓﻼﺼﻟﺍ
serta ayat-ayat tentang ancamanbagi orang yang meninggalkan salat. b. Makna yang menunjukkan sunnat,
misalnya: QS. 24:33;
ﻢﺘﻤﻠﻋ
ﻥﺇ
ﻢﻫﻮﺒﺗﺎﻜﻓ
ﻢﻬﻴﻓ
ﺍﲑﺧ
Adapun qarinahnya adalah kebebasan menggunakan harta milik pribadi dan tidak adanya paksaan. c. Makna yang menunjukkan hukumboleh (mubah), misalnya: QS. 7:31;
ﺍﻮﺑﺮﺷﺍﻭﺍﻮﻠﻛ
. Adapun qarinahnya adalahbahwa makan dan minum itu adalah kebutuhan manusia.
d. Makna yang menunjukkan ancaman, misalnya: QS. 41:40;
ﺍﻮﻠﻤﻋﺇ
ﺎﻣ
ﻢﺘﺌﺷ
ﻪﻧﺇ
ﺎﲟ
ﻥﻮﻠﻤﻌﺗ
ﲑﺼﺑ
3. Al-Amr yang datang Setelah Lara-ngan dan Petunjuk Hukumnya Dalam kaitan dengan hukum yang ditunjukkan oleh al-amr yang datang setelah larangan, para ulama usul fiqh berbeda pen-dapat dan pen-dapat dikelompokkan kedalam empat mazhab33
, yaitu:
a. Menurut jumhur, termasuk al-Syafi’i, al-Maturidi, dan sebagian besar ulama fiqh34 menunjukkan hukum kebolehan (ibahah). Misalnya: perintah berburu QS. 5:2;
ﺍﺫﺇ
ﻢﺘﻠﻠﺣ
ﺍﻭﺩﺎﻄﺻﺎﻓ
ﻭ
datang setelah dilarangnya, QS. 5:1;ﻰﻠﳏ
ﺪﻴﺼﻟﺍ
ﻢﺘﻧﺃﻭ
ﻡﺮﺣ
ﲑﻏ
b. Pendapat yang menyatakan hukum wajib. Mazhab ini diikuti oleh al-Qadi Abu Tayyib Tabari, Abu Ishaq al-Syairazi, al-Imam al-Razi, al-Baidawi, Asnawi, golongan Muktazilah dan al-Zaydiyah.35
ﺍﺫﺈﻓ ﺦﻠﺴﻨﺍ ﺭﻬﺸﻷﺍ ﻡﺭﺤﻝﺍ ﺎﻓ ﺍﻭﻠﺘﻗ ﻥﻴﻜﺭﺸﻤﻝﺍ ﺙﻴﺤ ﻡﻫﻭﻤﺘﺩﺠﻭ c. Mazhab al-Waqifiyah yang tidak menya-takan hukum wajib atau sunnah hingga ada keterangan lebih lanjut. Mazhab ini diikuiti diikuti oleh al-Imam al-Hara-main al-Juwaini36
, al-Ghazali37
dan al-Amidi.38
d. Sebagian ahli usul mengatakan bahwa hukumnya dikembalikan kepada hu-kum asal sebelum datangnya larangan, disebabkan tidak adanya illat atau halangan.39
Apabila hukum asalnya wa-jib, maka ia tetap wawa-jib, misalnya perintah salat bagi wanita yang telah suci dari haid. Hadis Nabi:40
ﺕﺮﺑﺩﺃ
ﺍﺫﺈﻓ
ﺔﻀﻴﳊﺍ
ﻰﻠﺴﻏﺎﻓ
ﻚﻨﻋ
ﻡﺪﻟﺍ
ﻰﻠﺼﻓ
padaasalnya hukum salat itu wajib, kemu-dian diharamkan karena haid. Apabila masa haid sudah berhernti, maka hu-kum salat manjadi wajib.
E. Al-Amr dan Kuantitas Pelaksanaan-nya
Para ulama usul fiqh sepakat bahwa al-amr yang dihubungkan dengan syarat dan sifat itu menunjukkan pengulangan.41
Misal-nya perintah bersuci karena junub,QS. 5:6;
ﻥﺍﻭ
ﻢﺘﻨﻛ
ﺎﺒﻨﺟ
ﺍﻭﺮﻬﻃﺎﻓ
dan perintah solatkarena bergesernya matahari, QS. 17:78;
ﻢﻗﺃ
ﺓﻼﺼﻟﺍ
ﻙﻮﻟﺪﻟ
ﺲﻤﺸﻟﺍ
.Akan tetapi berbeda pendapat tentang al-amr mutlak, apakah menuntut pelaksana-an suatu perbuatpelaksana-an sekali atau berulpelaksana-ang- berulang-ulang. Perbedaan mereka itu dapat dikemu-kakan sebagai berikut:
a. Al-amr secara mutlak hanya menuntut terpenuhinya perbuatan, tanpa menun-jukkan bilangan sekali atau berulang-ulang. Karena secara substansial, al-amr tidak menuujukkan demikian. Dan pemenuhan perbuatann itu paling sedi-kit satu kali. Pendapat ini dinisbatkan kepada mazhab Hanafiyah, al-Amidi, Ibn al-Hajib, al-Juwaini, al-Baidawi, kebanyakan ulama mazhab Syafiiyyah,
golongan Muktazilah, Abu al-Husain al-Basri dan Abu al-Hasan al-Karkhi serta al-Razi.
b. Al-amr mutlak secara lafziyah menuntut pelaksanaan perbuatan satu kali. Oleh Abu Ishaq al-Syairazi pendapat ini disandarkan kepada pengikut mazhab al-Syafi’iyyah. Sedangkan oleh Syaw-kani dinisbatkan kepada Abu Ali Juba’i, Abu Hasyim, Abu Abdullah al-Basri, dsn segolongan pengikut salaf mazhab al-Hanafiyyah.
c. Al-amr mutlak menunjukkan pengu-langan tanpa batas sepanjang masa dan tempat dan selama ada kesanggupan. Demikian ini pendapat Abu Ishaq al-Syirazi, Abu Ishaq al-Asfarayini, sego-longan ulama fiqh dan mutakallimin. d. Al-amr mutlak menuujukkan
pelaksana-an satu kali, tetapi memungkinkpelaksana-an berulang-ulang. Pendapat ini diriwayat-kan dari al-Syafi’i.
e. Al-amr mutlak mengandung petunjuk ganda antara satu kali dan berulang kali. Golongan ini disebut al-Waqifiyyah karena mereka berhenti dan tidak tahu apakah al-amr mutlak itu digunakan satu kali atau berulang-ulang. Pendapat ini dinisbatkan kepada al-Qadi Abu Bakar dan Imam Haramain al-Juwaini.42
Menurut penulis, yang paling rajih adalah pendapat yang pertama, sebab pada dasarnya al-amr itu tidak menghendaki pengulangan karena tuntutan dalam bahasa Arab itu lazimnya cukup dilaksanakan satu kali, lagi pula asal sesuatu itu bebas dari tanggungan.
ﺔﻣﺬﻟﺍ
ﺓﺀﺍﺮﺑ
ﻞﺻﻷﺍ
.F. Al-Amr dan Waktu Pelaksanaanya Apabila al-amr dikaitkan dengan qari-nah waktu,43
maka tuntutannya menghen-daki penyegeraan (
ﺭﻮﻔﻟﺍ
) atau perlahan-lahan(
ﻰﺧﺍﺮﺘﻟﺍ
) sesuai dengan qarinahnya itu.Misalnya ucapan majikan kepada pemban-tunya: “ lakukanlah ini sekarang” menunjuk-kan penyegeraan, sedangmenunjuk-kan ucapannya:
“pergilah engkau setelah satu bulan”, tidak menghendaki penyegeraan.
Tetapi apabila al-amr secara mutlak tidak dikaitkan dengan qarinah yang menun-jukkan waktu pelaksanaannya, maka ulama usul fiqh berbeda pendapat apakah meng-hendaki penyegeraan atau tidak. Perbedaan mereka itu sebagai berikut:
1. Hanya menghendaki terlaksanya suatu perbuatan, dan tidak menunjukkan penyegeraan atau perlahan-lahan. Na-mun yang lebih utama adalah penyege-raan. Pendapat ini dipegangi oleh jum-hur ulama, termasuk Amidi, Ibn al-Hajib al-Baidawi, al-Razi, juga dinis-batkan kepada al-Syafi’i.
2. Menghendaki penyegeraan dan wajib melaksanakannnya pada awal waktu-nya. Pendapat ini disandarkan kepada Malikiyah, Hanabilah sebagian al-Hanafiyah dan al-Syafi’iyyah.
3. Menghendaki perlahan-lahan. Pendapat ini dinisbatkan kepada al-Syafi’iyyah, mayoritas golongan Asy’ariyah, Qadi Abu Bakar, Jubba’i dan Abu al-Husain al-Basri.
4. Menunjukkan tuntutan ganda antara penyegeraan dan perlahan-lahan dan tidak menunjuk pada salah satunya kecuali ada dalil. Pendapat ini dipegangi oleh sebagian ulama fiqh.
5. Pendapat mazhab al-Waqifiyah yang mengatakan bahwa al-amr mutlak itu menunjuk pada penyegeraan dan perla-han-lahan itu sendiri karena tidak dike-tahui mana yang lebih kuat di antara keduanya. Demikian ini pendapat Imam al-Haramain al-Juwaini.44
Perbedaan-perbedaan pendapat di atas apabila dianalisa secara teliti, maka dapat dipahami bahwa yang paling rajih adalah pendapat pertama, yang pada dasar-nya al-amr itu tidak menghendaki menyege-raan. Karena pemenuhan perintah bukan diletakkan pada kesegeraannya, tetapi ke-sempurnaan atas perintah itu kecuali ada qarinah yang menyertainya.
G. Al-Amr dan Mediumnya
Persoalan lain yang terkait dengan al-amr adalah; apakah sesuatu yang menjadi sarana atau medium bagi terlaksananya suatu kewajibaan itu hukumnya wajib pula. Dalam masalah ini, sebagian ulama usul mengatakan bahwa sarana itu menjadi wajib selama bisa dikerjakan manusia. Misalnya kewajiban salat menyebabkan wajibnya wudu’, sebab wudu’ itu syarat bagi salat.
Sedangkan sebagian fuqaha berkata bahwa jika sarana itu merupakan sebab terlealisirnya suatu kewajiban, maka sarana itu wajib dipenuhi. Misalnya menggunakan pesawat terbang pergi ke Makkah merupa-kan sebab terlaksananya ibadah haji, maka ia menjadi wajib. Tetapi jika sarana itu meru-pakan syarat terpenuhinya suatu kewajiban, maka ia tidak wajib dipenuhi kecuali jika ada nas syara’ lain yang mewajibkannya. Misal-nya wudu’ merupakan syarat terpenuhiMisal-nya kewajiban salat, maka kewajiban wudu’ tidak didasarkan pada kewajiban salat, tetapi karena adanya nas lain yang mewajibkan-nya.45
H. Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pada hakikatnya al-amr itu menunjuk-kan hukum wajib dengan kaedahnya:
ﻞﺻﻷﺃ
ﰱ
ﺮﻣﻷﺍ
ﺏﻮﺟﻮﻠﻟ
ﻻﻭ
ﻝﺪﻳ
ﻰﻠﻋ
ﻩﲑﻏ
ﻻﺇ
ﺔﻨﻳﺮﻘﺑ
2. Al-Amr adalah instruksi pembuat syari-at yang menuntut untuk diwujudkannya suatu perbuatan. Tuntutan tersebut mengandung pembebanan yang apabila perbuatan bersangkutan ditinggalkan, maka yang meninggalkannya mendapat celaan dan ancaman.
3. Al-Amr sebagai sighat pembebanan melhirkan hukum pembebenan berupa ijab yaitu tuntutan tegas mengenai ke-harusan melaksanakan suatu perbuatan dan nadb yaitu tuntutan yang tidak secara tegas mengharuskan pelaksanaan perbuatan.
4. Semua perbuatan yang dituntut pelak-sanaannya oleh pembuat syariat itu adalah bernilai baik.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958. Abd Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh,
Kairo: Dar al-Kuwaitiyah, 1978. Abu Ishaq Syatibi, Muwafaqat fi usul
al-Syaricah, Vol. II, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, t.th.
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilm al-Usul, Vol. II, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Ali Hasaballah, Usul al-Tasyric al-Islami,
Cet.ke-3, Mesir: Dar al-Macarif, 1964. Al-Amidi, Saefuddin Abi al-Hasan Ali ibn
Abi Ali ibn Muhammad Al-Ihkam fi Usul Ahkam, Vol. II, Beirut: Dar al-fikr, 1981, Cet.-1.
Badran Abu al-Ainain Badran, Usul al-Fiqh Islam, Iskandariyah: Muassasat al-Thaqafah, t.th.
Ibrahim Anis, et.al., Al-Mucjam al-Wasit, Cet.
Ke-2, td.
Fakhr al-Din al-Razi, al-Mahsul fi Ilm al-Usul, Vol. I, Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1988
Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Muhammad Wafa, Dilalat Awamir wa al-Nawahi fi al-Kitab wa al-Sunnah, Kairo: Dar al-Tibacah al-Muhammadiyah,
1984.
Mustafa Said al-Kin, Athar Ikhtilaf al-Qawaid al-Usuliyyah fi ikhtilaf al-Fuqaha’, Beirut: Muassasat al-Risalah.
Muhammad Adib Saleh, Tafsir Nusus fi Fiqh Islami, Vol. II, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1984.
M. Quraish Shihab, dalam Budy Munawar-Rahman, Kontekstualisai Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995
Muhammad Khudari Bek, Tarikh Tasyric,
t.tp.: Dar Ihya’ al-Kutub
al-c
Arabiyyah, 1981.
Muhammad Khudari Bek, Usul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Raghib Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, Damsyiq: Dar al-Qalam, 1992. Al-Syawkani, Nail al-Awtar, Mesir: Mustafa
al-Babi al-Halabi, t.th.
∗ Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Alauddin, Makassar.
1 ‘Abd Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh,
(Kairo: Dar al-Kuwaitiyah), 1978, pp. 32-34.
2 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1993, p. 37.
3 Ibn Rusyd, Bidayah Mujtahid wa Nihayah
al-Muqtasid, (Beirut: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah), t.th, pp. 2-3.
4 M. Quraish Shihab, dalam Budy
Munawar-Rahman, Kontekstualisai Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina), 1995, pp. 8-9.
5 ‘Abd Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, p.
140.
6 Ibrahim Anis, et.al., Al-Mucjam al-Wasit, td,
h. 26.
7 Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an,
(Damsyiq: Dar al-Qalam), 1992, pp. 88-89.
8 Pendapat sebagian besar ulama usul fiqh.
Lihat Fakhr al-Din al-Razi, al-Mahsul fi Ilm al-Usul, Jld.-1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), 1988, p. 7. Menurut pendapat sebagian ulama usul, bahwa al-amr itu mengandung makna ganda (musytarak) antara ucapan dan perbuatan. Makna ganda itu bias disebabkan karena lafaznya atau maknanya. Sedang-kan menurut al-Husain al-Basri, al-amr mengandung makna ganda antara perkataan, perbuatan, keadaan, sifat dan sesuatu. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada: Saefuddin Abi al-Hasan Ali ibn Abi Ali ibn Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, jld.ke-2, (Beirut: Dar al-Fikr), 1981, pp. 3-8. Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-Fikr), t.th., pp. 91-92. Muhammad Wafa, Dilalat al-Awamir wa al-Nawahi fi
al-Kitab wa al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Tibacah
al-Muhammadiyah), 1984), pp. 5-9.
9 Mustafa Said al-Kin, Athar Ikhtilaf al-Qawaid
Usuliyyah fi ikhtilaf Fuqaha’, (Beirut: Muassasat al-Risalah), 1982, p. 296. lihat juga Muhammad Wafa, Dilalat al-Awamir... pp. 13-18.
10 Al-Amidi, Al-Ihkam..., pp. 11-12. 11 Al-Razi, al-Mahsul... p. 22.
12 Muhammad Adib Saleh, Tafsir Nusus fi
al-Fiqh al-Islami, Jld. ke-2, (Beirut: al-Maktab al-Islami), 1984, p. 234.
13 Al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul... p. 92. 14 Ali Hasaballah, Usul al-Tasyric al-Islami,
(Mesir: Dar al-Macarif), 1964, p. 184.
15 Badran Abu al-Ainain Badran, Usul al-Fiqh
al-Islam, (Iskandariyah: Muassasat al-Thaqafah), t.th., p. 360.
16 Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, p.
176.
17 Menurut al-Syatibi tuntutan syariat itu ada
dua bagian, pertama, tuntutan yang sesuai dengan tabiat manusia, dipandang baik menurut adat kebiasaan orang-orang yang berakal sehat dan sesuai dengan akhlak mulia. Misalnya : makan. Minum, menutup aurat, menjaga wanita dan orang tua, serta nikah untuk memelihara keturunan. Dalam hal ini tidak ada nas yang menetapkan untuk mewajibkan-nya, tetapi menerangkan tentang kebolehan (ibahah) dan anjuran (al-nadb)nya, sehingga apabila seorang mukallaf menyalahi tabiatnya, maka ia diwajibkan dan dibolehkan baginya apa yang diharamkam dan dilarang. Kedua, tuntutan yang ditetapkan oleh syariat karena tabiat manusia tidak untuk mendorong terpenuhinya tuntutan terebut , bahkan menghalangi dan menentangnya. Misalanya: ibadah-ibadah, taha-rah, salat puasa, haji dan seluruh muamalat demi terpeliharanya keadilan syariat, jinayat, munakahat yang dikhususkan dengan perwalian dan saksi. Semua-nya itu merupakan pembebanan semata-mata. Lihat Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi usul al-Syaric
ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), t.th., Jld. ke-2, pp. 99-100.
18 Muhammad Adib Saleh, Tafsir al-Nusus...,
pp. 234-235. Ali Hasaballah, Usul al-Tasyric…, p. 184,
Badran Abu al-Ainain Badran, Usul al-Fiqh..,. p. 360, Muhammad Khudari Bek, Tarikh Tasyric
, (t.tp.: Dar Ihya’ al-Kutub al-cArabiyyah), 1981, pp. 28-30.
19 Al-Syatibi al-Muwafaqat..., pp. 109-118. 20 Badran Abu Ainain Badran, Usul
al-Fiqh…, pp. 360-363., Ali Hasaballah, Usul al-Tasyric.,
pp. 94-96., Muhammad Wafa, Dilalat al-Awamir..., pp. 23-30.
21 Muhammad Adib Saleh, Tafsir al-Nusus…,
p. 245.
22 Al-Amidi, Al-Ihkam..., p. 14.
23 Muhammad Adib Saleh, Tafsir al-Nusus…,
p. 240.
24 Ibid. p. 240.
25 Al-Amidi, Al-Ihkam..., p. 14.
26 Al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul... , p. 94,
Muhammad Adib Saleh, Tafsir al-Nusus..., p. 243.
27 Ibid, p. 243
28 Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad
Ghazali, Mustasfa min Ilm Usul, (Beirut: Dar al-Fikr), t.th., Jld.ke-2, p. 2.
29 Muhammad Adib Saleh, Tafsir al-Nusus..,. p.
242.
30 Ibid, p. 244, al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul..., p.
94.
31 Ibid., p. 96, Muhammad Abu Zahrah, Usul
al-Fiqh. p. 176.
32 Muhammad Khudari Bek, Usul al-Fiqh,
(Beirut: Dar al-Fikr), 1988, p. 193.
33 Muhammad Wafa, Dilalat al-Awamir..., pp.
19-20.
34 Al-Amidi, Al-Ihkam..., p. 40. Muhammad
Adib Saleh, Tafsir al-Nusus…, p. 364.
35 Ibid, p. 361. 36 Ibid. p. 369.
37 Al-Ghazali, al-Mustasfa..., p. 435. 38 Al-Amidi, Al-Ihkam …, pp. 261-162. 39 Badran Abu Ainaini Badran, Usul
al-Fiqh…, pp. 363.
40 Al-Syawkani, Nail al-Awtar, (Mesir: Mustafa
al-Babi al-Halabi), t.th. p. 265.
41 Muhammad Adib Saleh, Tafsir al-Nusus…,
p. 318, Badran Abu Ainaini Badran, Usul al-Fiqh…, pp. 364.
42 Al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul…, pp. 97-98.
Muhammad wafa, Dilalat al-Awamir..., pp. 34-38.
43 Qarinah bisa berupa keadaan (haliyah) atau
berupa perkataan (qawliyah).
44 Tentang perbedaan pendapat tersebut
dapat dilihat pada al-Syawkani, Irsyad al-Fuhu..., pp. 99-100, al-Amidi, Al-Ihkam...,pp. 30-35, Muhammad Adib Saleh, Tafsir al-Nusus…, pp. 345-359.
45 Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh...,