• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL ILMIAH SIMANTEK ISSN Vol. 4 No. 2 Mei 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL ILMIAH SIMANTEK ISSN Vol. 4 No. 2 Mei 2020"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

211

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENELANTARAN ORANG DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA (STUDI PUTUSAN NOMOR: 2062/PID.SUS/2018/PN-MDN)

1MAURICE ROGERS, 2FANOTONA GIAWA, 3IRMA CESILIA SYARIFAH SIHOMBING, 4BERNADET INTAN WARUWU

UNIVERSITAS DARMA AGUNG

1maurice_rogers09@yahoo.com, 2fanotonagiawa29@gmail.com, 3irmasesil28@gmail.com, 4intanwaruwu95@gmail.com

ABSTRACT

The abandonment of the household including unkind and disgraceful actions, in the public view of people's household abandonment is assessed as having committed unpraiseworthy and socially sanctioned a penalty stamp to the perpetrators. The forms of the abandonment of the people in the household and its protection, i.e. not giving a living. One of the obligations of husband is to fulfill all the needs of the wife according to her ability which is expressly set out in article 34 Act No. 1 year 1974 about marriage. Consideration of the Tribunal in the Judgment of the criminal act of the abandonment of the household in the ruling number: 2062/PID.SUS/2018/PN-Mdn, to the defendant in accordance with the facts revealed in the proceedings such as the things that alleviate the defendant had not been punished, the defendant admitted and regretted his deeds.

Keywords : Juridical Analysis, Abandonment Of People

PENDAHULUAN

Penelantaran orang dalam rumah tangga, bukan merupakan isu baru, karena fakta penelantaran rumah tangga, sering terjadi dalam realitas masyarakat di sekitar kita. Misalnya, suami yang tidak memberikan nafkah pada istri, orang tua yang membiarkan anaknya terlantar, kurang gizi, anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya dan masih banyak kasus mengenai hal ini. Secara yuridis, penelantaran rumah tangga, masuk dalam wilayah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut KDRT), yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU PKDRT).

Kasus penelantaran rumah tangga, semakin meningkat dari tahun ke tahun dan menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap korban yang sebagian besar adalah perempuan dan anak. Sebagai penegasan, berbagai bentuk KDRT yang selama ini terjadi dalam realitas masyarakat, seperti kekerasan secara fisik, psikologi dan seksual, serta penelantaran dalam rumah tangga. Menurut Pasal 1 UU PKDRT yang dimaksud dengan KDRT yaitu, setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/ atau penelantaran rumah tangga terutama ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga (Pasal 1 UU PKDRT). Artinya, KDRT, tidak hanya dalam bentuk fisik, seksual dan psikologis, namun juga dalam bentuk penelantaran rumah tangga.

Penelantaran orang rumah tangga termasuk tindakan yang tidak baik dan tercela, dalam pandangan masyarakat umum orang penelantaran rumah tangga dinilai telah melakukan tindakan tidak terpuji dan secara sosial akan mendapatkan sanksi berupa cap tercela pada pelaku penelantaran. Di dalam hukum positif, penelantaran dalam rumah tangga dapat digolongkan sebagai tindakan KDRT(domestic violence) dan merupakan strafbaar feit dengan pengertian perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana dan tentu saja dikenakan sanksi, Penelantaran dalam rumah tangga biasanya dilakukan oleh suami yang meninggalkan anak dan istrinya tanpa memberikan nafkah kehidupan bagi seluruh keluarga yang menjadi tanggung jawabanya.

Sebagaimana kasus dalam Putusan Nomor 2062/Pid.Sus/2018/PN-Mdn dimana Terdakwa Abrori Adha Siregar als Andri pada bulan Mei tahun 2015 sampai bulan Februari 2017, bertempat Jalan Bhayangkara No.478 Kel. Indra Kasih Kec. Medan Tembung Kota Medan, telah melakukan penelantaran orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut

(2)

JURNAL ILMIAH SIMANTEK

ISSN. 2550-0414

Vol. 4 No. 2

Mei 2020

212

hokum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, ia wajib memberikan kehidupan perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

Saksi korban Imelda menikah dengan Terdakwa Abrori Adha Siregar als Andri pada tanggal 11 April 2010 berdasarkan kutipan akta nikah Nomor 276/34/IV/2010 tanggal 11 April 2010 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Tembung kota Medan, Setelah menikah saksi korban dan Terdakwa tinggal dirumah ibu kandung saksi korban di Jalan Bhayangkara No.478 Kelurahan Indra Kasih Kecamatan Medan Tembung, selanjutnya saksi korban dan Terdakwa tinggal dirumah orang tua Terdakwa di Jalan Satria kota Medan kurang lebih 6 (enam) bulan lamanya lalu saksi korban dan Terdakwa tinggal di Jalan Perjuangan Gang Tunggal Kota Medan, dan awal pernikahan rumahtangga Terdakwa dan saksi korban berjalan harmonis serta semasa dalam perkawinan Terdakwa dan saksi korban belum dikaruniai anak.

Setelah Terdakwa dan saksi korban tinggal di Jalan Perjuangan Gang Tunggal kota Medan antara Terdakwa dan saksi sering terjadi percekcokan dan Terdakwa sering mengusir saksi korban hingga pada tanggal 21 April 2015 saksi korban pergi meninggalkan rumah karena tidak tahan diusir oleh Terdakwa lalu saksi korban tinggal bersama orangtua saksi korban di Jalan BhayangkaraNo.478 Kelurahan Indra Kasih Kecamatan Medan Tembung kota Medan, kemudian sejak bulan Mei 2015 hingga bulan Februari 2017 Terdakwa tidak ada menjumpai saksi korban dan Terdakwa tidak ada memberikan nafkah lahir batin kepada saksi korban sehingga saksi korban melaporkan Terdakwa ke Polrestabes Medan.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul Analisis Yuridis

Terhadap Tindak Pidana Penelantaran Orang Dalam Lingkup Rumah Tangga (Studi Kasus Putusan Nomor: 2062/Pid.Sus/2018/PN-Mdn).

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini penelitian normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.

Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum yang deskriptif, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan. Deskriptif karena dalam penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis tentang fokus penelitian. Sedangkan analitis karena dari data-data yang diperoleh akan dianalisis.

Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data-data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang meliputi :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum adat yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari zaman penjajahan yang masih berlaku hingga kini. Dalam penulisan ini, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesua Tahun 1945, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Kitab Undang-Undang hukum Pidana, Putusan Nomor :2062/Pid.Sus/2018/PN-Mdn.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. Dalam penelitian ini yaitu buku-buku, jurnal, artikel berkaitan dengan tindak pidanapenelantaran orang dalam lingkup rumah tangga.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus bahasa, kamus hukum, majalah, surat kabar, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.

(3)

213

Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang sangat penting dan menentukan dalam setiap penelitian. Dalam tahap ini penulis harus melakukan pemilahan data-data yang telah diperoleh. Penganalisisan data pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang dianalisis secara kualitatif dan disajikan dengan deskriptif.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bentuk - Bentuk Penelantaran Orang Dalam Rumah Tangga Dan Perlindungannya

Untuk mengetahui penelantaran orang dalam rumah tangga sebagai salah satu bentuk KDRT, terlebih dahulu harus dijelaskan mengenai difinisi dari KDRT itu sendiri. KDRT adalah tindakan atau sikap yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan perempuan, baik secara fisik maupun secara psikis.

Penelantaran orang dalam rumah tangga dimana korbannya adalah PRT, misalnya: PRT tidak dibayar, PRT tidak dikasih makan dan lain-lain. Kasus-kasus penelantaran PRT, akhir-akhir ini sering mencuat di permukaan, dan di informasikan ke media massa. Melihat berbagai kasus yang ada, pelaku dan korban penelantaran orang dalam rumah tangga memiliki hubungan yang tidak seimbang dimana korbannya adalah mereka yang tidak memiliki posisi tawar dalam rumah tangga tersebut. Hal ini seakan menjadi sesuai yang bersifat alamiah, karena dikonstruksi oleh kultur patriarkhis dimana dominasi hubungan dikuasai oleh kaum laki-laki.

Bentuk-bentuk penelantaran orang dalam rumah tangga sangatlah beragam, yaitu bisa dilakukan oleh orang tua terhadap anak, bisa dilakukan oleh suami terhadap istri dan bisa juga dilakukan oleh anak terhadap anggota keluarga lainnya dalam rumah tangga yang menjadi tanggungjawabnya. Sebagaimana telah dikemukakan pada Pasal 9 ayat (1 dan 2) UU PKDRT, maka yang dimaksud dengan menelantarkan adalah tidak memberikan nafkah, tidak memelihara, membiarkan termasuk membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah.

Bentuk-bentuk penelantaran orang dalam rumah tangga berdasarkan pelaku dan korban, yaitu :

1. Penelantaran istri oleh suami. Pelantaran model ini dilakukan oleh suami terhadap istrinya, dimana istri tidak diberi nafkah, dibiarkan dan ditinggal pergi, istri dilarang bekerja, istri dieksploitasi atau disuruh bekerja dan lain-lain. Berbagai sebab yang mengakibatkan suami melakukan penelantaran terhadap istrinya, antara lain: suami selingkuh, suami pemabuk, suami berjudi dan suami tidak bertanggungjawab.

1.

Penelantaran orang tua terhadap anak. Penelantaran orang tua terhadap anak, bisa dilakukan oleh bapak dan/atau ibunya. Pasal 1 ayat ( 6) Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Misalnya, anak dibiarkan kekuarangan gizi, anak tidak dirawat dengan baik, bahkan berbagai kasus yang terjadi, anak ditinggal pergi begitu saja oleh orang tuanya, dan ada juga anak yang disuruh bekerja oleh orang tuanya, bahkan dijual untuk mendapatkan sejumlah uang dan lain-lain.

2.

Penelantaran terhadap anggota keluarga lainnya dalam rumah tangga yang menjadi tanggungjawabnya. Penelantaran ini bisa dilakukan oleh suami dan/atau istri dalam lingkup rumah tangga. Misalnya, penelantaran terhadap pekerja rumah tangga yang bekerja di rumahnya (PRT disuruh bekerja tanpa batas waktu, PRT diupah rendah, tidak diberi makan dan tempat tinggal yang layak dan lain-lain), penelantara terhadap orang tua dan mertua dari suami istri yang menetap di rumah anaknya, penelantaran terhadap orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga inti karena hubungan darah, perkawinan, selain mertua dan orang tua, misalnya menantu, ipar, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga tersebut.

Bentuk penelantaran rumah tangga sebagaimana dalam Pasal 9 UU PKDRT, antara lain:

1) Tidak memberikan nafkah pada orang yang seharunya menjadi menjadi tanggung-jawabnya dalam sebuah rumah tangga, seperti, tidak memberikan nafkah pada istri, pada anak;

2) Tidak memelihara orang-orang yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya. Misalnya, anak, orang tua, saudara dan lain-lain;

(4)

JURNAL ILMIAH SIMANTEK

ISSN. 2550-0414

Vol. 4 No. 2

Mei 2020

214

3) Membiarkan termasuk membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah. Misalnya, melarang dan membatasi istri untuk bekerja di luar rumah. Bentuk-bentuk penelantaran dalam rumah tangga, juga bisa dibagi dalam berbagai kriteria, antara lain:

UU PKDRT, penelantaran tidak hanya sebatas keluarga inti. Penelantaran tidak hanya terjadi ketika masih sah menjadi suami dan istri tetapi penelantaran juga dapat terjadi saat kondisi sudah bercerai dan tidak ada hubungan status suami istri. Pada saat sudaah bercerai, seorang ayah tetap bertanggungjawab akan masa depan anaknya seperti urusan biaya pendidikannya. Jika ternyata sang ayah tidak mengurus kepentingan yang diperlukan anaknya sedangkan sang ayah mampu maka hal tersebut dikatakan penelantaran. Pasal 9 UU PKDRT telah membagi dua bentuk penelantaran dalam rumah tangga terhadap istri, yaitu :

1. Tidak memberikan nafkah. Salah satu kewajiban suami adalah memenuhi segala kebutuhan istri sesuai dengan kemampuannya yang secara tegas diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan.

2. Membuat ketergantungan. Selain tidak memberikan nafkah kepada istri, penelantaran suami juga dapat dikatakan perilaku pelarangan istribekerja dan mengontrol ruang gerak istri. Pelarangan istri untuk bekerja ini ditekankan kepada 2 (dua) hal yaitu :

a. Melarang istri bekerja karena akan mengakibatkan ketergantungan ekonomi, sehingga ketika suami tidak ada maka istri tidak bisa mandiri memenuhi kebutuhan sendiri.

b. Melarang istri bekerja dengan tujuan mengendalikan istri sehingga membuka kemungkinan suami bertindak sewenang-wenang.

Berdasarkan fenomena-fenomena penelantaran orang dalam rumah tangga yang sering terjadi, perlu ditindaklanjuti dan diperhatikan oleh semua pihak yang berwenang. Pihak yang dirugikan seharusnya melaporkan kejadian kepada kepolisian guna ditindaklanjuti dan si pelaku dapat diberikan sanksi yang sesuai dengan apa yang ia lakukan.

Pasal 49 ayat (2) UUPKDRT, maka untuk terbuktinya pasal ini harus dipenuhi unsur-unsur : (a) setiap orang;

(b) menelantarkan orang yang ketergantungan ekonomi karena dibatasi dan/atau dilarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah;

(c) sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Bentuk-bentuk perlindungan sementara yang diberikan pada pihak korban yang melapor, memeriksa saksi, melakukan visum pada korban, dan mencari barang bukti lain, melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman pada korban dan melakukan penangkapan pada pelaku tindak kejahatan penelantaran oramg dalam rumah tangga.

Bentuk perlindungan yang diberikan berdasarkan UUPKDRT meliputi Pasal 16 sampai Pasal 38. Pasal 16

1. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.

2. Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.

3. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Memutus Perkara Tindak Pidana Penelantaran Orang Dalam Lingkup Rumah Tangga Dalam Putusan Nomor 2062 /PID.SUS/2018/PN-MDN

Kasus Posisi Putusan Nomor:2062 /PID.SUS/2018/PN-Mdn Kronologis

Terdakwa Abrori Adha Siregar als Andri sejak bulan Mei tahun 2015 sampai bulan Februari 2017,atau setidak-tidaknya pada suatu waktu lain masih di tahun 2015 hingga tahun 2017, bertempat Jalan Bhayangkara No.478 Kel. Indra Kasih Kec. Medan Tembung kota Medan, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat dalam daerah hokum Pengadilan Negeri Medan. Setelah menikah saksi korban dan Terdakwa tinggal dirumah ibu kandung saksi korban di Jalan Bhayangkara No.478 Kelurahan Indra Kasih Kecamatan Medan Tembung, selanjutnya saksi korban dan Terdakwa tinggal dirumah orang tua Terdakwa di Jalan Satria kota Medan kurang lebih 6 (enam) bulan lamanya lalu saksi korban dan Terdakwa tinggal di Jalan

(5)

JURNAL ILMIAH SIMANTEK

ISSN. 2550-0414

Vol. 4 No. 2

Mei 2020

215

Perjuangan Gang Tunggal kota Medan, dan awal pernikahan rumah tangga Terdakwa dan saksi korban berjalan harmonis serta semasa dalam perkawinan Terdakwa dan saksi korban belum dikaruniai anak. Kemudian setelah Terdakwa dan saksi korban tinggal di Jalan Perjuangan Gang Tunggal kota Medan antara Terdakwa dan saksi sering terjadi percekcokan dan Terdakwa sering mengusir saksi korban hingga pada tanggal 21 April 2015 saksi korban pergi meninggalkan rumah karena tidak tahan diusir oleh Terdakwa lalu saksi korban tinggal bersama orangtua saksi korban di Jalan Bhayangkara No.478 Kelurahan Indra Kasih Kecamatan Medan Tembung kota Medan, kemudian sejak bulan Mei 2015 hingga bulan Februari 2017 Terdakwa tidak ada menjumpai saksi korban dan Terdakwa tidak ada memberikan nafkah lahir batin kepada saksi korban sehingga saksi korban melaporkan Terdakwa ke Polrestabes Medan.

Dakwaan

Terdakwa diajukan ke persidangan oleh Penuntut Umum didakwa berdasarkan surat dakwaan sebagai berikut :

Terdakwa didakwa Abrori Adha Siregar als Andri dengan dakwaan tunggal sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 49 huruf a UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Tuntutan Jaksa Penutut Umum

Setelah mendengar pembacaan tuntutan pidana yang diajukan oleh Penuntut Umum yang pada pokoknya sebagai berikut : 1) Menyatakan terdakwa Abrori Adha Siregar als Andri terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan

tindak pidana “menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hokum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, ianya wajib memberikan kehidupan perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut”, sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 49 huruf a UUNo. 23 tahun2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

2) Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Abrori Adha Siregar als Andri dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dengan masa percobaan selama 4 (empat) bulan;

Fakta - Fakta Hukum

Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut diatas, Terdakwa dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan Dakwaan Tunggal Pasal 49 huruf a UUPKDRT, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :

1. Unsur “Barang siapa”

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan“barangsiapa” dalam unsur ini adalah subjek hukum sebagai pendukung hak-hak dan kewajiban dapat berupa orang-perorangan, masyarakat, kelompok orang atau suatu badan hukum. Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan yaitu keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, surat, petunjuk dan dikuatkan dengan barang bukti bahwa pelaku tindak pidana dalam perkara ini adalah terdakwa yang didepan persidangan mengaku bernama terdakwa Abrori Adha Siregar Als Andri.

Menimbang, bahwa terhadap terdakwa yang telah diajukan dalam persidangan ini karena melakukan tindak pidana dan terdakwa selama persidangan dapat menjawab segala pertanyaan dengan baik serta cakap bertindak dalam hokum dan dapat dimintai pertanggung jawaban secara hukum atas perbuatannya dan tidak ada ditemukan unsur-unsur pemaaf maupun pembenar.

Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti berupa keterangan saksi- saksi, keterangan terdakwa, surat dan petunjuk dan diperkuat dengan barang bukti dapat disimpulkan bahwa terdakwa telah melakukan suatu tindak pidana dan untuk itu terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas maka Majelis Hakim berpendapat unsur “barangsiapa” ini telah terpenuhi ;

2. Unsur “Menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hokum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, ianya wajib memberikan kehidupan perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut”

Menimbang,bahwa sesuai dengan uraian fakta-fakta yang terungkap di persidanganyang didapat dari keterangan saksi-saksi, petunjuk dan keterangan terdakwa, maka diperoleh fakta-fakta bahwa saksi korban Imelda menikah dengan Terdakwa Abrori Adha Siregar als Andri pada tanggal 11 April 2010 berdasarkan kutipan akta nikah Nomor 276/34/IV/2010

(6)

JURNAL ILMIAH SIMANTEK

ISSN. 2550-0414

Vol. 4 No. 2

Mei 2020

216

tanggal 11 April 2010 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecmatan Medan Tembung kota Medan. Bahwa setelah menikah saksi korban dan Terdakwa tinggal di rumah ibu kandung saksi korban di Jalan Bhayangkara No. 478 Kelurahan Indra Kasih Kecamatan Medan Tembung, selanjutnya saksi korban dan Terdakwa tinggal dirumah orang tua Terdakwa di Jalan Satria kota Medan kurang lebih 6 (enam) bulan lamanya lalu saksi korban dan Terdakwa tinggal di Jalan Perjuangan Gang Tunggal kota Medan, dan awal pernikahan rumah tangga Terdakwa dan saksi korban berjalan harmonis serta semasa dalam perkawinan Terdakwa dan saksi korban belum dikarunia anak.

Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa;

Keadaan yang memberatkan :

a. Bahwa perbuatan Terdakwa menyebabkan trauma bagi saksi korban; b. Keadaan yang meringankan:

1) Bahwa terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya; 2) Bahwa terdakwa belum pernah dihukum;

3) Bahwa Terdakwa berlaku sopan di persidangan;

4) Bahwa Terdakwa dan saksi korban telah melakukan perdamaian;

Memperhatikan, Pasal 49 huruf a UU PKDRT dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;

Putusan Pengadilan

Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana maka haruslah dibebani pula untuk membayar biaya perkara. Memperhatikan, Pasal 49 huruf a UU PKDRT dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;

Mengadili

a. Menyatakan Terdakwa Abrori Adha Siregar alias Andri terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penelantaran orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hokum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, ianya wajib memberikan kehidupan perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut”.

b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan, sebagaimana dalam DakwaanTunggal;

c. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan lain disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindakan pidana sebelum masa percobaan selama 4 (empat) bulan berakhir

Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Memutus Perkara Tindak Pidana Penelantaran Orang Dalam Lingkup Rumah Tangga Dalam Putusan Nomor :2062 /PID.SUS/2018/PN-MDN

Jaksa Penunutut Umum (JPU) menuntut terdakwa hukuman pidana penjara 2 (dua) bulan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan. Perintah penahanan tersebut dikeluarkan JPU karena Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penerlantaran orang dalam lingkup rumah tangga sebagimana diatur dalam Pasal 49 huruf a UU PKDRT. Kemudian, Pengadilan Negeri Medan melalui putusan Nomor 2062 /PID.SUS/2018/PN-Mdn, menjatuhkan pidana 2 (dua) bulan dan memerintahkan pidana tersebut tidak usah dijalankan kecuali apabila kemudian hari dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa Terdakwa sebelum waktu percobaan selama 4 (empat) bulan berakhir telah bersalah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.Atas putusan Pengadilan Negeri Jaksa Penuntut Umum keberatan dan mengajukan upaya hukum banding.

Menurut penulis, apabila dilihat dari hukum positif menurut UU PKDRT sanksi yang diberikan kepada pelaku oleh hakim dirasa terlalu sudah sesuai sebab terdakwa sudah mengakui kesalahan yang telah dilakukannya dan sanksinya juga memberikan efek jera kepada pelaku tindakan penelantaran orang dalam rumah tangga tersebut, sehingga pelaku tidak akan mengulangi tindak pidana tersebut kepada orang lain. Namun bagi pertimbangan hakim sanksi tersebut sudah cukup

(7)

217

berat karena telah dijatuhi hukuman penjara selama 2 bulan kemudian terdakwa juga akan mendapatkan sanksi berupa perceraian dari saksi korban yakni istrinya dan masa percobaan selama 4 bulan.

Proses penanganan penelantaran orang dalam rumah tangga dilakukan dalam dua proses yaitu proses damai dan proses hukum psikis diperlukan keterangan dari psikolog dan untuk penelantaran orang dalam rumah tangga selama ini belum didapatkan bukti yang cukup kuat untuk menjerat pelaku penelantaran rumah tangga. Proses penanganan penelantaran orang dalam rumah tangga dilakukan dalam dua proses yaitu proses damai dan proses hukum. Apabila anggapan umum menyatakan tempat yang berbahaya adalah di luar rumah, namun bagi perempuan faktanya tidak demikian. Perempuan dan anak justru lebih banyak yang mengalami kekerasan dalam lingkup rumah tangga, baik dalam kaitannya dengan perannya sebagai istri atau anggota keluarga lain. Penulis setuju dengan putusan yang dijatuhkan dengan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan, sebagaimana dalam Dakwaan Tunggal.

PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh penulis, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal yang menyangkut dari pembahasan penelitian ini :

1. Bentuk-bentuk penelantaran orang dalam rumah tangga dan perlindungannya, yaitu tidak memberikan nafkah. Salah satu kewajiban suami adalah memenuhi segala kebutuhan istri sesuai dengan kemampuannya yang secara tegas diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Membuat ketergantungan. Selain tidak memberikan nafkah kepada istri, penelantaran suami juga dapat dikatakan perilaku pelarangan istri bekerja dan mengontrol ruang gerak istri.

2. Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga dalam Putusan Nomor :2062 /PID.SUS/2018/PN-Mdn, kepada terdakwa sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan seperti hal-hal yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum,terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya. Terdakwa berlakusopandi persidangan. Terdakwa dansaksi korban telah melakukan perdamaian; sedangkan hal-hal yang memberatkan perbuatan Terdakwa menyebabkan trauma bagi saksi korban. Majelis hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 2(dua) bulan, sebagaimana dalam DakwaanTunggal. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan lain disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindakan pidana sebelum masa percobaan selama 4(empat) bulan berakhir.

Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas penulis memberikan beberapa saran antara lain:

1. Dengan diketahuinya bentuk-bentuk penelantaran orang dalam rumah seharus terdakwa, agar pihak-pihak terkait membuat suatu program yang berkelanjutan untuk memberikan ceramah dan penyuluhan kepada masyarakat yang terkait dengan penelantaran dalam rumah tangga juga dapat bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat dan kepolisian.

2. Seharusnya hakim menjatuhkan hukuman yang lebih berat kepada Terdakwa penelantaran orang dalam rumah, karena tindak pidana ini marak terjadi ditengah masyarakat karena dianggap biasa terjadi dalam hubungan suatu perkawinan padahal sudah ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak kekerasan dalamm rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA Buku :

Saraswati, Rika. Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Citra Adytia Bakti, Semarang, 2009. Soekanto,Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2014.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan kesebelas, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.

(8)

JURNAL ILMIAH SIMANTEK

ISSN. 2550-0414

Vol. 4 No. 2

Mei 2020

218

Peraturan Perundang – Undangan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesua Tahun 1945. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Kitab Undang-Undang hukum Pidana.

Putusan Nomor : 2062/ Pid.Sus/2018/PN-Mdn.

Jurnal/Artikel/Penelitian/Makalah :

Khairullah. Tindak Pidana Penelantaran Dalam Rumah Tangga Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kualasimpang Jurnal

Hukum Samudra Keadilan. Volume 12, Nomor 1, Januari-Juni 2017.

Kuwat, Penerapan Hukum Oleh Hakim Terhadap Penelantaran Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Pengadilan Negeri Denpasar), Artikel Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2017, hlm 9-10.

Nurbaity Prastyananda, Penelantaran Rumah Tangga (Kajian Hukum dan Gender), Jurnal MUWAZAH Vol. 8, No.1, Juni 2016.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dampak yang tidak signifikan antara kesadaran merek dan loyalitas, sedangkan dampak yang signifikannya adalah persepsi

Pandangan (persepsi) masyarakat tentang remaja yang mengkonsumsi minuman keras dalam penelitian awal, mereka atau masyarakat khususnya mengatakan bahwa remaja sekarang ini tidak

Berdasarkan karakteristik sifat optik dan sifat listriknya didapatkan bahwa sampel Sp 2 adalah sampel yang terbaik untuk diaplikasikan sebgai bahan aktif sel surya

Defisit perawatan diri berhubungan dengan menurunnya kemampuan merawat diri Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapkan klien dapat merawat7.

Mengacu pada kondisi usahatani padi daerah irigasi Mamak Kakiang yang terjadi pada musim hujan (1995/1996) dan musim kemarau (1996), maka peningkatan produksi

[r]

Mengetahui inventarisasi jenis tumbuhan pada ekosistem hutan yang meliputi kerapatan, frekuensi, Indeks Nilai Penting (INP), indeks keragaman, dan pola distribusi jenis tumbuhan

Kemudian Bank Panin Syariah pada tahun 2014 memperoleh predikat Informatif padahal tahun sebelumnya hanya mendapatkan predikat Tidak Informatif dan Kurang Informatif hal