• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan Tata Ruang Wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan Tata Ruang Wilayah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perencanaan Tata Ruang Wilayah

Menurut UUPR 26/2007, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Selanjutnya, perencanaan wilayah dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai kontrol yang relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, serta menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan atau sasaran tersebut.

Dalam paradigma perencanaan tata ruang yang modern, perencanaan tata ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial, dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan ruang dalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktivitas agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan (Rustiadi 2004).

Menurut UU 26/2007, rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan:

- Keserasian, keselarasan, dan kesinambungan, fungsi budidaya, dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi ketahanan keamanan

- Aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumberdaya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas ruang.

2.1.1. Kawasan Kota

Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Kawasan kota (urban) merupakan kawasan yang dinamis, dimana secara tetap terjadi perubahan. Kota merupakan sebuah hasil proses produksi yang permanen (Lefebvre 1990, diacu dalam Martokusumo

(2)

2006). Perubahan ini bisa bersifat ekspansif (perluasan) atau intensifikasi (restrukturisasi internal) sebagai respon dari kebijakan ekonomi atau tekanan sosial yang timbul. Desain urban dapat dilihat sebagai sebuah alat untuk mengontrol perubahan, sebagai konsekuensi terhadap perkembangan dan pembangunan perkotaan, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Desain Urban bukanlah merupakan suatu produk akhir. Namun demikian, desain urban akan sangat turut menentukan kualitas dari produk akhirnya, yaitu lingkungan binaan yang dihuni. Dengan demikian desain urban harus dipahami sebagai suatu proses yang mengarahkan perwujudan suatu lingkungan binaan fisik yang layak, sesuai dengan aspirasi masyarakat, ramah terhadap lingkungan, termaksud kepada kemampuan sumberdaya setempat dan daya dukung lahan serta merujuk kepada aspek lokal (Martokusumo 2006).

Kriteria Umum Kawasan Perkotaan (Kepmenkimpraswil 327/2002):

− Memiliki fungsi kegiatan utama budidaya bukan pertanian atau lebih dari 75% mata pencaharian penduduknya di sektor perkotaan;

Memiliki jumlah penduduk sekurang-kurangnya 10.000 jiwa;

Memiliki kepadatan penduduk sekurang-kurangnya 50 jiwa per hektar;

− Memiliki fungsi sebagai pusat koleksi dan distribusi pelayanan barang dan jasa dalam bentuk sarana dan prasarana pergantian moda transportasi.

2.1.2. Perencanaan tata ruang Kawasan Perkotaan

Perencanaan tata ruang Kawasan Perkotaan secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk mengakomodasikan kegiatan sosial ekonomi yang diinginkan.

Berdasarkan Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dari Departeman Permukiman dan Prasarana Wilayah, kawasan perkotaan diklasifikasikan berdasarkan jumlah penduduk menjadi :

a) Kawasan Perkotaan Kecil, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 10.000 hingga 100.000 jiwa;

b) Kawasan Perkotaan Sedang, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar 100.001 hingga 500.000 jiwa;

(3)

c) Kawasan Perkotaan Besar, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 500.000 jiwa;

d) Kawasan Perkotaan Metropolitan, yaitu Kawasan Perkotaan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari 1.000.000 jiwa.

Berdasarkan PP No. 47/1997, kawasan budidaya terdiri dari kawasan pertanian, pertambangan, peruntukan industri, pariwisata, permukiman, dan kawasan budidaya lainnya yang terdiri dari kawasan hutan kota dan kawasan hutan rakyat.

1) Kawasan Pertanian

- Kawasan Pertanian Lahan Basah : kawasan pertanian dengan sistem pengelolaan yang memerlukan air (gilir musim atau terus menerus sepanjang tahun) dengan tanaman utama padi/sagu dan atau dibudidayakan untuk usaha tani perikanan.

- Kawasan Pertanian Lahan Kering : areal lahan yang keadaan dan sifat fisiknya mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi bagi tanaman palawija dan holtikultura (kebun rakyat, tanaman holtikultura, palawija, padi ladang, dan dapat dibudidayakan untuk usaha tani peternakan).

- Kawasan Tanaman Tahunan/Semusim : areal yang diperuntukkan untuk jenis tanaman keras/tahunan sebagai tanaman utama yang dikelola dengan teknologi sederhana sampai tinggi dan memperhatikan asas konservasi tanah dan air (perkebunan besar atau rakyat dan hutan produksi). Dalam kawasan ini dimungkinkan adanya budidaya permukiman terbatas.

Kriteria ruang :

• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat pengolahan hasil pertanian seperti kawasan industri, dan kawasan peternakan;

• Memiliki akses terhadap pasar lokal, regional, nasional, dan internasional (angkutan sungai, jaringan jalan);

• Didukung oleh ketersediaan tenaga kerja; • Didukung oleh prasarana irigasi/sumber air;

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan permukiman pedesaan;

(4)

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan industri pengolahan hasil pertanian;

• Radius pelayanan jaringan jalan regional dan lokal;

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan kegiatan perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.

3) Kawasan Pertambangan

Kawasan pertambangan terdiri dari :

− Kawasan pertambangan terbuka (surface mining) : kawasan pertambangan dimana semua kegiatan penggaliannya dilakukan di tempat terbuka, langsung berhubungan dengan udara luar.

− Kawasan pertambangan bawah tanah (underground mining) : kawasan pertambangan dimana kegiatan penggaliannya dilakukan di bawah tanah dengan menggunakan sistem tambang bawah tanah.

Kriteria ruang :

• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat pengolahan hasil pertanian seperti kawasan industri dan kawasan peternakan;

• Memiliki akses terhadap pasar lokal, regional, nasional dan internasional (pelabuhan laut, angkutan sungai, jalan raya, kereta api);

• Didukung oleh ketersediaan tenaga kerja;

• Di luar wilayah permukiman penduduk dan hutan lindung minimal jarak 3 – 20 km dengan batas yang jelas, dapat dipisahkan oleh hutan dan atau perkebunan;

• Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas sumberdaya air seperti sungai, mata air, air tanah, waduk dan udara.

4) Kawasan Industri

Kawasan industri terdiri dari :

− Kawasan industri yang mendekati bahan baku : industri kimia dasar (ammonia, semen, clinker, kaca, pulp dan kertas, industri organik dan anorganik), industri mesin dan logam dasar (besi baja, aluminimum, tembaga, timah, kereta api, pesawat terbang, kapal, alat-alat berat lainnya).

(5)

− Kawasan industri yang mendekati pasar : industri aneka pangan, industri aneka tekstil dan kimia, industri aneka alat listrik dan logam, industri aneka bahan bangunan dan umum

Kriteria ruang :

• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat produksi seperti kawasan pertanian, pertambangan, perikanan, peternakan;

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan pasar lokal, regional, nasional, dan internasional (pelabuhan laut, terminal kargo, angkutan sungai, bandar udara, jalan raya, kereta api);

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan konsumen dan bahan baku;

• Memiliki akses yang tinggi dengan jaringan jalan regional atau sekitar jalan regional untuk menampung angkutan berat (klasifikasi Jalan Kelas A ≥ 10.000 ton;

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan ketersediaan tenaga kerja;

• Di luar wilayah permukiman penduduk/permukiman perkotaan dan hutan lindung minimal jarak 3 – 20 km dengan batas yang jelas, dapat dipisahkan oleh hutan dan atau perkebunan;

• Antara kawasan industri dengan kawasan perumahan perlu dikembangkan suatu kawasan penyangga (buffer zone);

• Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas sumberdaya air (sungai, mata air, air tanah, waduk dam udara).

5) Kawasan Pariwisata

Kawasan pariwisata terdiri dari :

− Kawasan wisata alam : lebih menonjolkan panorama alam, dilengkapi dengan jasa pelayanan makan, minum, akomodasi. Wisata alam dibagi lagi menjadi dua yaitu wisata pegunungan dan wisata bahari.

− Kawasan wisata buatan : terdiri dari wisata sejarah dan budaya, dan taman rekreasi.

(6)

Kriteria ruang :

• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat produksi seperti kawasan pertanian, perikanan dan perkebunan;

• Memiliki akses terhadap pasar lokal, retgional, nasional, dan internasional (pelabuhan laut, terminal kargo, angkutan sungai, bandar udara, jalan raya, kereta api);

• Didukung oleh ketersediaan tenaga kerja;

• Jauh dari kegiatan yang memproduksi polusi tinggi (industri, tambang, TPA, pasar ternak/ikan);

• Didukung oleh prasarana dan sarana penunjang serta pelengkapnya (pasar/kios hasil kerajinan, akomodasi, energi listrik, telepon, air bersih, persampahan, sanitasim jaringan jalan);

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan kawasan industri kecil/handycraft, pusat budaya masyarakat/kesenian, bangunan pertunjukan.

6) Kawasan Permukiman

Kawasan permukiman dibagi dua :

− Kawasan permukiman perkotaan : ruang yang diperuntukkan bagi pengelompokan permukiman penduduk dengan dominasi kegiatan non pertanian (pemerintahan, perdagangan, dan jasa lainnya) untuk menampung penduduk pada saat sekarang maupun perkembangannya di masa yang akan datang.

− Kawasan permukiman perdesaan : ruang yang diperuntukkan bagi pengelompokan permukiman penduduk yang terikat dengan pola lingkungan pedesaan, dominasi kegiatan usahanya di bidang pertanian dan sarana serta prasarana pertanian.

Kriteria ruang kawasan permukiman secara umum :

• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat produksi seperti kawasan pertanian, pertambangan, perikanan, peternakan, kehutanan, dsb;

• Memiliki aksesibilitas cukup baik terhadap wilayah sekitarnya (adanya jalan raya, jalan kereta api, angkutan umum, angkutan sungai);

(7)

• Didukung oleh ketersediaan prasarana dan sarana penunjang seperti rumah sakit, sekolah, pasar, fasilitas sosial dan fasilitas umum, dsb; • Tidak meinmbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan dan

kualitas sumberdaya air;

• Berada di luar kawasan yang berfungsi lindung. Kriteria ruang kawasan permukiman perkotaan :

• Memiliki kawasan perumahan dengan kepadatan bangunan rendah sampai tinggi (rumah susun), tipe rumah mewah sampai sederhana, kavling besar sampai kecil;

• Memiliki aksesibilitas yang lengkap (jaringan sistem primer, tol, sekunder, dan lokal), dengan sistem pelayanan angkutan jalan raya, jalan rel, angkutan udara dan angkutan sungai);

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan prasaran dan sarana penunjang seperti rumah sakit, sekolah sampai perguruan tinggi, perdagangan dan jasa, pelabuhan udara, pelabuhan laut, kargo, terminal, parkir, jaringan utilitas yang baik, serta fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya sesuai dengan jumlah penduduk dan hirarki kota (metropolitan, besar, menengah, kecil);

• Antar kawasan dihubungkan oleh aksesibilitas yang baik, sesuai dengan fungsi pelayanan kegiatannya;

• Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya air;

• Berada di luar kawasan yang berfungsi lindung. Kriteria ruang kawasan permukiman pedesaan :

• Memiliki kawasan perumahan dengan kepadatan bangunan rendah sampai sedang, tipe rumah relatif homogen, kavling besar sampai sedang;

• Memiliki aksesibilitas cukup baik (sekunder dan lokal), dengan sistem pelayanan angkutan jalan raya, dan angkutan sungai/danau/laut;

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan prasaran dan sarana penunjang seperti puskesmas, sekolah, perdagangan tradisional, terminal, tambatan perahu/perahu motor, Balai Desa, industri

(8)

penggilingan padi, kios/depot/koperasi/BPR, pasar pelelangan hasil bumi, industri es, tempat pengeringan, perbengkelan, jaringan utilitas, serta fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya yang diatur menurut jumlah penduduk dan perkembangan wilayahnya;

• Antar kawasan dihubungkan oleh aksesibilitas yang baik (jalan desa/lingkungan/setapak, angkutan pedesaan);

• Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya air;

• Berada di luar kawasan yang berfungsi lindung. 7) Kawasan Budidaya Lainnya

a. Kawasan Hutan Kota

Pembagian Kawasan Hutan Kota adalah sebagai berikut : Jalur Hijau, Taman Kota, Kebun dan Halaman, Kebun Raya, Hutan Raya, dan Kebun Binatang, Hutan Lindung, Kuburan dan Taman Makam Pahlawan.

Kriteria ruang kawasan hutan kota : • Berfungsi sebagai kawasan lindung;

• Diarahkan pada lokasi yang memiliki tingkat polusi tinggi, dan atau pinggiran kota, bantaran sungai/laut.

b. Kawasan Hutan Rakyat

Kawasan hutan rakyat mempunyai fungsi hidrologis/pelestarian ekosistem, luas penutupan tajuk minimal 50 persen dan merupakan tanaman cepat tumbuh dengan luas minimal 0,25 hektar.

Kriteria ruang kawasan hutan rakyat :

• Memberikan dampak perkembangan terhadap pusat pengolahan hasil hutan seperti kawasan industri;

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan pasar lokal, regional, nasional, dan internasional (pelabuhan laut, angkutan sungai, jalan raya, kereta api);

• Mempunyai hubungan fungsional yang erat dengan ketersediaan tenaga kerja;

• Tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas sumberdaya lingkungan dan sumberdaya air (sungai, mata air, air tanah).

(9)

Sehubungan dengan tuntutan kualitas, eksistensi sebuah kota yang baik secara ideal dapat diukur melalui beberapa persyaratan mendasar. Adapun persyaratan tersebut meliputi (H. Frey 1999, diacu dalam Martokusumo 2006):

1. Pada tingkatan dasar, kota yang baik mampu mewadahi kebutuhan fisik warganya, tempat untuk tinggal dan tempat untuk bekerja, membuka peluang untuk mendapatkan nafkah/penghasilan, pendidikan, transportasi, dan kemungkinan untuk berkomunikasi serta akses kepada berbagai jasa pelayanan dan fasilitas.

2. Sebuah kota yang baik harus menjamin keamanan, keamanan dan perlindungan, pengaturan secara visual dan fungsi serta kontrol terhadap lingkungan yang bebas polusi, kebisingan, kecelakaan dan kejahatan. 3. Selain itu, sebuah kota yang baik harus mampu memberikan dan

menciptakan suatu lingkungan sosial yang kondusif. Menjadi sebuah tempat tumbuh berkembangnya sebuah keluarga, memunkinkan individu-individu untuk menjadi bagian dari sebuah komunitas, serta menyuguhkan perasaan keterikatan kepada sebuah tempat dan daerah/kawasan.

4. Kota yang baik juga harus memiliki citra yang baik, reputasi yang bagus dan prestige. Hal ini memberikan warganya rasa percaya diri, kekuatan, status dan kejayaan.

5. Dalam tingkatan yang lebih tinggi sebuah kota yang baik memungkinkan warganya untuk bisa menjadi kreatif, membentuk lingkungan pribadinya dan mengekspresikan diri serta mengembangkan lingkungan komunitas sesuai dengan kebutuhan dan aspirasinya.

Kota yang baik harus dirancang dengan baik, direncanakan dengan menyenangkan, secara fisik mudah dicitrakan dan kota yang baik merupakan tempat kebudayaan dan produk seni.

2.1.3. Standar pelayanan minimal.

Berikut adalah Standar Pelayanan Minimal (SPM) kabupaten/kota yang dikeluarkan oleh dinas permukiman dan prasarana wilayah untuk bidang penataan ruang adalah :

(10)

• Pelibatan masyarakat minimal 2 (dua) kali pada tahap proses penyusunan RTRW Kabupaten/ Kota meliputi penyusunan kebijakan dan penentuan pola dan struktur pemanfataan ruang;

• Setiap kecamatan memiliki papan informasi tata ruang wilayahnya berupa peta, papan pengumuman;

• Penyediaan akses yang mudah untuk mendapatkan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota.

Standar Pelayanan Minimal dalam Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota adalah :

• Pelibatan masyarakat dalam penyusunan program dan anggaran sesuai dengan Rencana Tata Ruang dengan Bappeda/ Tim Penyusun Anggaran yang diberi kewenangan untuk itu;

• Penyediaan akses setiap saat untuk mendapatkan informasi bidang Penataan Ruang (Pemanfaatan Ruang).

Standar Pelayanan Minimal dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut :

• Penyebaran informasi hasil pemantauan dan evaluasi kepada masyarakat minimal 2 (dua) kali dalam 1 tahun;

• Pemberian pelayanan kepada masyarakat atas setiap pengaduan yangberkaitan dengan pemanfaatan ruang;

• Di setiap Kantor Camat tersedia wadah/ unit kerja yang dapat menampung pengaduan masyarakat atas pelanggaran pemanfaatan ruang;

• Pemberian sanksi atas pelanggaran tata ruang;

• Penyediaan kotak saran dan melakukan komunikasi timbal balik dengan masyarakat melalui media yang tersedia.

Informasi yang akan disampaikan harus memenuhi syarat :

9 Informasi yang hendak disampaikan harus sesuai dengan materi kewenangan bidang penataan ruang;

9 Informasi yang disampaikan harus memenuhi syarat-syarat, yaitu:

a. Umum, yaitu berisikan hal-hal yang umum dipahami oleh masyarakat, bukan hal-hal yang dapat dipahami oleh sebagian atau sekelompok orang saja.

(11)

b. Jelas dan gamblang, yaitu informasi yang disampaikan tidak boleh memberikan banyak penafsiran.

c. Bahasa yang jelas, yaitu informasi yang disampaikan hendaklah menggunakan bahasa Indonesia yang baku dan mudah dipahami oleh masyarakat. Jangan menggunakan istilah-istilah yang tidak dipahami. d. Positif, yaitu informasi yang disampaikan dalam bentuk positif, simpatik

dan menarik.

e. Seimbang, yaitu informasi yang disampaikan tidak ekstrem dan mempertentangkan hal yang satu dengan yang lainnya.

9 Informasi yang disampaikan harus informatif artinya bersifat memberikan keterangan atau fakta dan masyarakat mengambil kesimpulan atas informasi yang diberikan;

9 Seluruh masyarakat mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi bidang penataan ruang;

9 Seluruh masyarakat dapat memperoleh dengan mudah informasi bidang penataan ruang;

9 Masyarakat dapat menyampaikan informasi bidang penataan ruang. Penyebaran Informasi

Papan informasi Penataan Ruang harus disediakan disetiap halaman Kantor Camat. Dalam papan informasi dimaksud harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

ƒ Terbuat dari bahan kayu/ besi; ƒ Ukuran minimal 2 x 3 meter;

ƒ Harus memuat informasi rencana struktur dan pola pemanfataan ruang dengan skala minimal 1 : 100.000 (Kabupaten) dan 1 : 50.000 (Kota) untuk kecamatan yang bersangkutan, legenda, alamat pengaduan, Nomor telepon/faxcimili yang dapat dihubungi.

Peta dinding memuat peta rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kota dengan skala minimal 1 : 100.000 (Kabupaten) , 1 : 50.000 (Kota) harus tersedia di setiap kantor Camat .

(12)

Penyebaran Hasil Pemantauan Dan Evaluasi

Hasil pemantauan pemanfaatan ruang yang perlu diinformasikan kepada masyarakat adalah Penyimpangan Pemanfaatan Ruang yang disajikan dalam bentuk selebaran yang ditempatkan di setiap kantor camat.

Penyimpangan pemanfaatan ruang : 1. Perubahan fungsi lahan

Misal : peruntukkan lahan pertanian berubah menjadi lahan permukiman.

2. Perubahan fungsi kawasan

Misal : Kawasan lindung menjadi kawasan budidaya.

Mekanisme penyebaran informasi hasil pemantauan dan evaluasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme penyebaran informasi

2.2. Pemanfaatan Ruang/penggunaan lahan

Menurut FAO Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda di atasnya sepanjang memiliki pengaruh terhadap penggunaan lahan, termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang (Arsyad 1989). Lahan memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi produksi dan wadah (misalnya tempat tinggal, produksi tanaman, penggembalaan), fungsi regulasi (misalnya siklus tanaman, keseimbangan air dan

DINAS KANTOR CAMAT KANTOR LURAH/ KADES MASYARAKAT

(13)

tanah, proses asimilasi), dan fungsi informasi (ilmu pengetahuan, sejarah) (Graaff 1996, diacu dalam Savitri 2007).

Penggunaan lahan adalah setiap campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhannya, baik material maupun spiritual (Vink 1975, diacu dalam Sitorus 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor kelembagaan. Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, kondisi pasar dan transportasi. Faktor kelembagaan dicirikan oleh hukum pertanahan, situasi politik, sosial ekonomi, dan secara administrasi dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Barlowe 1986, diacu dalam Savitri 2007).

Menurut UU 26/2007, Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukkan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukkan ruang untuk fungsi budidaya. Menurut Rustiadi (2004), tata ruang sebagai wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang terbentuk secara alamiah dan merupakan wujud dari proses pembelajaran (learning process) yang terus menerus. Sebagai alat pendeskripsian, istilah pola spasial (ruang) erat dengan istilah-istilah kunci seperti pemusatan, penyebaran, pencampuran dan keterkaitan, posisi/lokasi, dan lain-lain. Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap jenis aktifitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda, dan tingkat penyebaran yang berbeda-beda pula (Rustiadi 2004).

Menurut Rustiadi (2004), pola pemanfaatan ruang juga dicerminkan dengan gambaran pencampuran atau keterkaitan spasial antar sumberdaya dan pemanfaatannya. Kawasan perdesaan dicirikan dengan dominasi pencampuran antara aktifitas-aktifitas pertanian, penambangan, dan kawasan lindung. Sebaliknya, kawasan perkotaan dicirikan oleh pencampuran yang lebih rumit antara aktifitas jasa komersial dan permukiman. Adapun, kawasan sub urban di daerah perbatasan perkotaan dan perdesaan dicirikan dengan kompleks pencampuran antara aktifitas permukiman, industri dan pertanian. Peta penggunaan lahan (land use map) dan peta penutupan lahan (land cover map)

(14)

adalah bentuk deskriptif terbaik dalam menggambarkan pola pemanfaatan ruang yang ada.

Bagi seorang perencana, pengetahuan mengenai penggunaan lahan dan penutupan lahan sangatlah penting dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang memperhatikan aspek lingkungan. Penggunaan lahan (land use) dan penutup lahan (land cover) merupakan dua istilah yang sering diberi pengertian sama, padahal keduanya mempunyai pengertian berbeda. Menurut Lillesand dan Kiefer (1987), penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia pada obyek tersebut, dapat berupa konstruksi vegetasi maupun buatan.

Pertambahan penduduk yang pesat dan pemenuhan kesejahteraan penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman, pertanian, industri, dan rekreasi. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan penggunaan lahan yang sering tidak mengikuti kaidah konservasi alam (Mahmudi 2002). Perubahan penggunaan lahan, misalnya dari hutan menjadi permukiman atau industri akan mengurangi daya serap tanah terhadap air.

2.2.1. Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang

Pemanfaatan ruang pada dasarnya merupakan realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disusun. Namun demikian, kompleksitas permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat mengakibatkan terjadinya pemanfaatan ruang yang menyimpang dari RTRW. Konsistensi dalam pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara aktifitas penggunaan ruang dengan RTRW. Analisis konsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW bertujuan untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang yang telah dilakukan sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar/pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang.

Menurut Meyer dan Turner (1994), perubahan penggunaan lahan (land use change) meliputi pergeseran penggunaan lahan menuju penggunaan lahan yang berbeda (conversion) atau intensifikasi pada penggunaan yang telah ada

(15)

(modification). Menurut Rustiadi (2001), proses alih fungsi lahan dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: (1) pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita; dan (2) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer (sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktivitas sektor-sektor sekunder (industri manufaktur dan jasa).

Menurut Dardak (2006), upaya menciptakan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dirasakan masih menghadapi tantangan yang berat. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyaknya permasalahan yang mencerminkan bahwa kualitas ruang kehidupan kita masih jauh dari cita-cita tersebut. Permasalahan tersebut antara lain adalah semakin meningkatnya frekuensi dan cakupan bencana, lingkungan perumahan kumuh dan kemacetan lalu lintas terutama di kawasan perkotaan besar dan metropolitan, semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan perkotaan akibat penurunan luas ruang terbuka hijau, pencemaran lingkungan, dan sebagainya.

Meningkatnya kebutuhan akan lahan akibat bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan terjadinya tumpang tindih kepentingan terhadap sebidang lahan. Hal ini jika dibiarkan dapat mengarah pada pola sebaran kegiatan yang secara ekonomi paling menguntungkan, namun belum tentu menguntungkan atau bahkan merugikan dari segi lingkungan (Wiradisastra 1989).

Penggunaan lahan secara umum dipengaruhi oleh dua faktor utama : (1) alami dan (2) manusia. Faktor alami meliputi iklim, topografi, tanah dan bencana alam, sedangkan faktor manusia merupakan aktifitas manusia pada sebidang lahan. Faktor manusia lebih dominan berpengaruh dibandingkan dengan faktor alam karena sebagian besar perubahan penggunaan lahan disebabkan oleh aktifitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya dari sebidang lahan tertentu (Vink 1965, diacu dalam Sudadi et al. 1991). Menurut Meyer dan Turner (1994), faktor manusia dapat dibagi menjadi manusia yang melakukan aktifitas pada

(16)

lahannya dan pemerintah yang menyusun tata ruang atau arahan rencana penggunaan lahan suatu wilayah. Faktor lain yang menjadi penentu konversi lahan adalah nilai lahan yang diukur dalam produktifitas lahan dan jarak yang mencerminkan lokasi suatu lahan dan aksesibilitas.

Di Indonesia, salah satu masalah pokok dalam usaha penataan penggunaan lahan dan lingkungan hidup antara lain adalah adanya kontradiksi antara kebutuhan yang menjadi pemakai yang lebih luas di satu pihak dan

batasan-batasan yang berat demi lingkungan hidup (Sandy 1980, diacu dalam Sitorus 2004).

Penyimpangan penggunaan lahan yang terkait dari aspek masyarakat sangat dipengaruhi oleh persepsi dan pengetahuan masyarakat itu sendiri.

2.3. Persepsi

Dyah (1983) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu pandangan, pengertian dan interpretasi seseorang mengenai suatu objek yang diinformasikan kepadanya dengan cara mempertimbangkan hal tersebut dengan diri dan lingkungannya. Persepsi merupakan proses kognitif yang bisa terjadi pada setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya yang dapat diperoleh melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, maupun penciuman (Thoha 1983). Karakteristik seseorang ikut mempengaruhi persepsinya dan persepsi tersebut akan mempengaruhi tindakan atau perilakunya (Roger dan Shoemaker 1971, diacu dalam Yusri 1999).

Persepsi adalah pengamatan, pengertian, dan penilaian seseorang terhadap rangsangan objek atau informasi yang disampaikan kepada orang tersebut (Yusri 1999). Terdapat tiga komponen persepsi yang mempengaruhi pandangan seseorang terhadap suatu obyek yaitu, komponen kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif berisi ide, anggapan, pengetahuan dan pengetahuan seseorang terhadap obyek berdasarkan pengalaman langsung yang dihubungkan dengan sumber informasi. Berdasarkan nilai dan norma yang dimiliki seseorang akan menghasilkan keyakinan (belief) evaluatif terhadap obyek tertentu. Komponen afektif menekankan pada perasaan atau emosi, dengan demikian merupakan evaluasi emosional dalam menilai obyek tertentu. Sedangkan komponen konatif

(17)

menekankan pada kecenderungan (tendency) dan perilaku aktual seseorang untuk melakukan tindakan sesuai dengan yang dipersepsikan.

Menurut Asngari (1984), menyatakan bahwa persepsi individu terhadap lingkungan merupakan faktor penting karena akan berlanjut dalam menentukan tindakan individu tersebut. Persepsi dapat dibentuk melalui faktor hereditas (keturunan/bawaan) dan lingkungan (Thorndike 1968, diacu dalam Erwina 2005). Kedua faktor ini saling mempengaruhi dan saling berinteraksi dalam membentuk persepsi. Faktor hereditas antara lain adalah bakat, minat, kemauan, perasaan, fantasi, dan tanggapan yang dibawa sejak lahir. Adapun faktor lingkungan adalah faktor yang berada di luar individu, misalnya pendidikan, lingkungan sosial dan status sosial.

Penyimpangan dalam pemanfaatan ruang yang sebagian disebabkan oleh masyarakat dapat diolah dalam sistem informasi untuk keperluan analisis.

2.4. Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Menurut Aronoff, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menganalisis data yang bereferensi geografis, yaitu masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data) serta analisis dan manipulasi data (Prahasta 2005).

SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data yang menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta 2005).

(18)

Teknologi SIG akan mempermudah para perencana dalam mengakses data, menampilkan informasi-informasi geografis terkait dengan substansi perencanaan dan meningkatkan keahlian para perencana serta masyarakat dalam menggunakan sistem informasi spasial melalui komputer. SIG dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan dalam memecahkan masalah-masalah spasial yang sangat kompleks.

Dalam penelitian ini, penggunaan SIG lebih diprioritaskan pada fungsinya untuk melakukan teknik tumpang tindih (overlay) dari beberapa peta yang digunakan. Jika pengolahan data dilakukan secara manual, pengguna harus bekerja dengan beberapa peta analog dan beberapa informasi atribut yang diperlukan. Selanjutnya pengguna dapat menganalisis kedua data tersebut (peta dan data atribut) untuk kemudian memplotkan hasil akhirnya kedalam peta. Untuk tumpang tindih (overlay) peta juga dapat dilakukan hal yang sama. Beberapa kelemahan dari proses tersebut adalah selain membutuhkan waktu yang relatif lama, tingkat ketelitian dan akurasinya sangat bergantung pada kemampuan dan ketelitian penggunanya dalam melakukan proses olah data tersebut. Dengan teknologi SIG, pengguna memerlukan data spasial dan atribut dalam bentuk digital, sehingga prosesnya dapat dilakukan dengan cepat dengan tingkat

ketelitian cukup baik dan prosesnya dapat diulang kapan saja, oleh siapa saja, dan hasilnya dapat disajikan dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan

Referensi

Dokumen terkait

Dari ketidakseimbangan tuntutan pekerjaan dengan aset pekerjaan yang dimiliki oleh pegawai Bangi Kopitiam berdasarkan pada hasi preeliminari yang didapatkan peneliti,

Jalur rencana merupakan jalur lalu lintas dari suatu ruas jalan raya yang terdiri dari suatu jalur atau lebih.. Daya dukung tanah dasar diperoleh dari nilai CBR

Susu kotak yang beredar di Yogyakarta dilaporkan 30% tercemar mikroba setelah disimpan pada suhu kamar selama 5  10 hari, walaupun tidak tampak adanya kerusakan fisik

Indomobil Sukses Internasional Tbk Lampiran 8: Model ARMA Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Lampiran 9: Correlogram ARMA. Lampiran 10:

Berdasarkan hasil analisis ragam dengan dua faktor perlakuan berbeda (lama pencahayaan dan daya lampu) yang disajikan pada tabel 3, didapatkan bahwa nilai

Babakan yang pertama, untuk Undang-Undang Dasar yang disusun dan ditetapkan di dalam suatu konfigurasi politik yang demokratis, karakter konstitusi ekonomi yang

1) Proses penggilingan dimulai ketika daun teh yang berada di stasiun pelayuan sudah siap untuk digiling. Proses turunnya teh dari stasiun pelayuan ke stasiun

Badan Kepegawaian Daerah Kota Mataram yang mempunyai tugas pokok membantu Walikota dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang kepegawaian