• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pada saat awal kemerdekaan, para pendiri bangsa telah sepakat menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan ini lugas tertulis dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, namun pada saat amandemen yang ketiga dilakukan, substansi tersebut dinormakan ke dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Deklarasi Indonesia sebagai negara hukum tentunya mempunyai konsekuensi nyata terhadap pelaksanaan kehidupan ketatanegaraan Indonesia. A. Hamid S. Attamimi, dengan mengutip Burkens, mengatakan bahwa negara hukum (rechtsstaat) secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum.1 Dengan kata lain, dalam negara hukum, hukum ditempatkan sebagai aturan main dalam penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan. Dalam negara hukum, eksistensi hukum dijadikan sebagai instrumen dalam menata kehidupan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan.2

Terkait negara hukum (rechtsstaat), Stahl cukup berjasa dalam mengemukakan konsepsinya. Stahl sebagaimana dikutip Donald A Rumokoy telah menggariskan unsur-unsur negara hukum, yaitu adanya jaminan terhadap

1 Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hlm. 14. 2 Ibid., hlm. 15.

(2)

hak asasi manusia (grondrechten), adanya pembagian kekuasaan, pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum, dan adanya peradilan administrasi.3

Sabtu, 20 Desember 1986, merupakan hari yang cukup bersejarah dalam perjalanan negara hukum Indonesia, karena sejak saat itu secara formal Indonesia telah memenuhi salah satu di antara elemen negara hukum (rechtsstaat). Pada hari itu, Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.4

Dalam konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dikatakan bahwa keberadaan peradilan tata usaha negara diharapkan mampu menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan masyarakat. Lebih lanjut dikatakan bahwa tujuan pembentukan peradilan tata usaha negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan masyarakat.5 Sengketa tata usaha negara di sini timbul sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk juga sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan

3

S.F. Marbun, et.al., 2004, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hlm. 7.

4 S.F. Marbun, 2003, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 1-2. 5

Konsideran Menimbang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

(3)

yang berlaku.6

Keputusan tata usaha negara sering juga disebut dengan istilah keputusan administrasi negara. Keputusan tata usaha negara sebagai keputusan administratif merupakan satu pengertian yang sangat umum yang dalam praktik bentuknya dapat beraneka ragam. Dalam Bahasa Belanda, keputusan tata usaha negara ini biasa disebut beschikking yang berarti norma hukum yang bersifat individual dan konkret sebagai keputusan pejabat tata usaha negara atau administrasi negara (beschikkingsdaad van de administratie).7

Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, keputusan tata usaha negara didefinisikan sebagai suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Berdasarkan penegertian tersebut, dalam sebuah keputusan tata usaha negara terdapat beberapa elemen, meliputi:

1. Merupakan penetapan tertulis;

2. Ditetapkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara; 3. Merupakan tindakan hukum tata usaha Negara; 4. Bersifat konkret, individual, dan final;

5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.8 Elemen “merupakan penetapan tertulis” harus dimaknai secara luas.

6

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3344).

7

Titik Triwulan T., dan Ismu Gunadi Widodo, 2011, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum

Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Kencana, Jakarta, hlm. 314.

8

Philipus M. Hadjon, et.al., 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Kesembilan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 138.

(4)

Hadjon mengatakan bahwa pengertian penetapan tertulis maksudnya adalah cukup ada hitam di atas putih, karena menurut penjelasan atas pasal tersebut dikatakan bahwa “form” tidak penting dan bahkan nota atau memo saja sudah memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis.9 Sementara untuk elemen “konkret, individual dan final”, Hadjon menganggap masyarakat perlu diberikan informasi mengenai prosedur keputusan tata usaha negara dalam bidang tertentu sehingga dengan demikian akan mengetahui apakah suatu keputusan tata usaha negara sudah “final” atau belum.10

Melengkapi pengertian keputusan tata usaha negara sebagaimana tersebut di atas, dalam pengaturan pada pasal-pasal berikutnya masih terdapat penegasan-penegasan yang mengakibatkan penyempitan dan perluasan cakupan arti keputusan tata usaha negara. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah disempurnakan melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dikatakan bahwa:

“Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;

3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; 4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;

5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional

9 Ibid. 10

(5)

Indonesia;

7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.”11

Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 secara substansial sepenuhnya memenuhi unsur-unsur keputusan tata usaha negara namun dikecualikan dari kualifikasi keputusan tata usaha negara. Artinya, dalam hal ini terdapat penyempitan cakupan arti keputusan tata usaha negara.

Sementara dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dikatakan bahwa:

(1) Apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan tata usaha negara.

(2) Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka badan atau pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.12 Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3 secara substansial tidak memenuhi unsur-unsur keputusan tata usaha negara namun dikualifikasikan sebagai keputusan tata usaha negara. Artinya, dalam hal ini terdapat perluasan cakupan arti keputusan tata usaha negara.

11

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.

12

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344).

(6)

Selain perluasan cakupan arti keputusan tata usaha negara sebagaimana tersebut di atas, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara khususnya Pasal 3 juga tersirat bahwa Paradigma keputusan tata usaha negara yang digunakan adalah “fiktif negatif”. Keputusan yang bersifat fiktif negatif adalah sikap diam pejabat atau badan tata usaha negara yang tidak mengeluarkan keputusan tata usaha negara yang dimohonkan oleh orang atau badan hukum perdata, dalam kurun waktu tertentu, sedangkan hal tersebut menjadi kewajibannya. Sikap diam ini dapat diuji keabsahannya di peradilan tata usaha negara, dan apabila penolakan dengan sikap diam tersebut mengandung cacat hukum, maka pengadilan menyatakan batal atau tidak sah atau memerintahkan agar pejabat atau badan tata usaha negara untuk menerbitkan atau mengeluarkan keputusan sebagaimana dimohonkan oleh penggugat. Dalam konteks Pasal 3 tersebut, Fiktif menunjukkan bahwa keputusan tata usaha negara yang digugat sebenarnya tidak berwujud. Ia hanya merupakan sikap diam dari pejabat atau badan tata usaha negara, yang kemudian dianggap disamakan dengan sebuah keputusan tata usaha negara yang nyata tertulis. Negatif menunjukkan bahwa keputusan tata usaha negara yang digugat dianggap berisi penolakan terhadap permohonan yang telah diajukan oleh individu atau badan hukum perdata kepada badan atau pejabat tata usaha negara.13

Pergeseran paradigma keputusan tata usaha negara yang cukup mendasar terjadi pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

13 Irvan Mawardi, tanpa tahun, “KTUN “Fiktif Positif” dan Akuntabilitas Administrasi Pemerintah” (online), http://ptun-samarinda.go.id/index.php/layanan-publik/42-ktun-fiktif-positif-dan-akuntabilitas-administrasi-pemerintah, diakses 20 Oktober 2016.

(7)

Pemerintahan. Pada undang-undang ini, paradigma keputusan tata usaha negara yang digunakan adalah “fiktif positif”. Hal ini dapat terlihat dari rumusan Pasal 53 ayat (3) dimana dikatakan bahwa apabila dalam batas waktu yang telah ditentukan, badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.

Keputusan yang bersifat fiktif positif adalah sikap diam pejabat atau badan tata usaha negara yang tidak mengeluarkan keputusan tata usaha negara yang dimohonkan oleh orang atau badan hukum perdata, dalam kurun waktu tertentu, sedangkan hal tersebut menjadi kewajibannya. Atas sikap diam pejabat atau badan tata usaha negara ini, orang atau badan hukum perdata sebagai pemohon harus mengajukan kepada pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan. Dalam konteks Pasal 53 tersebut, Fiktif menunjukkan bahwa keputusan tata usaha negara yang diajukan kepada pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan sebenarnya tidak berwujud. Ia hanya merupakan sikap diam dari pejabat atau badan tata usaha negara, yang kemudian dianggap disamakan dengan sebuah keputusan tata usaha negara yang nyata tertulis. Positif menunjukkan bahwa keputusan tata usaha negara yang diajukan kepada pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan dianggap dikabulkan atas permohonan yang telah diajukan oleh individu atau badan hukum perdata kepada badan atau pejabat tata usaha negara.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut, yang hasilnya dituangkan dalam bentuk tesis

(8)

dengan judul Politik Hukum Keputusan Tata Usaha Negara dari Fiktif Negatif Menjadi Fiktif Positif dan Implikasinya terhadap Keputusan Tata Usaha Negara.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian tersebut di atas, penulis membatasi penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah konsep pergeseran paradigma keputusan tata usaha negara

dari fiktif negatif menjadi fiktif positif?

2. Bagaimanakah implikasi paradigma fiktif positif terhadap keputusan tata usaha negara?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif

a. Untuk mendeskripsikan, menganalisis dan mengkaji latar belakang dan alasan yang mendasari terjadinya pergeseran paradigma keputusan tata usaha negara dari fiktif negatif menjadi fiktif positif.

b. Untuk mendeskripsikan, menganalisis dan mengkaji implikasi paradigma fiktif positif terhadap keputusan tata usaha negara.

2. Tujuan Subjektif

Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memenuhi syarat kelulusan dan syarat akademis untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum, di Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada.

(9)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum serta dapat memberikan sumbangan pemikiran serta menambah wawasan maupun pengetahuan di bidang hukum kenegaraan, khususnya mengenai politik hukum dalam pergeseran paradigma keputusan tata usaha negara serta implikasinya terhadap keputusan tata usaha negara.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Penulis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana bagi penulis untuk menambah wawasan dan pengalaman dalam bidang penelitian hukum, yang merupakan bentuk pelatihan dan pembelajaran terhadap penerapan ilmu atau teori yang telah dipelajari dan diperoleh dalam perkuliahan.

b. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang objektif, terstruktur, sistematis dan jelas mengenai politik hukum dalam pergeseran paradigma keputusan tata usaha Negara, yakni dari yang semula menggunakan paradigma “fiktif negatif” menjadi “fiktif positif”, serta implikasi dari penerapan paradigma fiktif positif tersebut terhadap keputusan tata usaha negara.

(10)

E. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran yang dilakukan penulis di perpustakaan Fakultas Hukum, Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada dan kepustakaan lainnya, Tesis dengan judul “Politik Hukum Keputusan Tata Usaha Negara dari Fiktif Negatif Menjadi Fiktif Positif dan Implikasinya Terhadap Keputusan Tata Usaha Negara” belum pernah dilakukan. Berdasarkan penelusuran tersebut penulis menemukan beberapa laporan tugas akhir yang mengangkat tema mengenai kewajiban penerbitan keputusan tata usaha negara, keputusan fiktif negatif, atau keputusan fiktif positif, antara lain:

1. Rendy Setiawan Budi Wicaksono, Tahun 2016, Skripsi dengan judul “Keputusan Fiktif Negatif Sebagai Objek Sengketa Tata Usaha Negara (Studi Putusan Nomor 94/G/2013/PTUN-SMG)”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan mengadili dan pertimbangan hukum hakim dalam mengadili sengketa yang berkaitan dengan keputusan tata usaha negara yang bersifat fiktif negatif.14

2. Prasetio Prabowo Pangestu, Tahun 2016, Skripsi dengan judul “Sikap Diam Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Sebagai Objek Sengketa Di Pengadilan Tata Usaha Negara (Studi Keputusan Fiktif Positif dalam Putusan PTUN Jakarta Nomor 04/P/FP/2016/PTUN-JKT)”. Penelitian ini lebih difokuskan untuk menguraikan bahwa sikap diam pejabat tata usaha negara merupakan sebuah keputusan tata usaha negara yang bersifat fiktif negatif. Selain hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

14

Rendy Setiawan Budi Wicaksono, 2016, “Keputusan Fiktif Negatif Sebagai Objek Sengketa Tata Usaha Negara (Studi Putusan Nomor 94/G/2013/PTUN-SMG)”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hlm. iv.

(11)

pertimbangan hukum hakim dalam memutus sengketa tata usaha negara dengan objek sengketa keputusan tata usaha negara yang bersifat fiktif positif.15

Meski terdapat kemiripan mengenai tema yang dibahas, yaitu mengenai keputusan tata usaha negara yang bersifat fiktif negatif atau fiktif positif, namun kedua judul hasil penelitian di atas sifatnya kasuistis, selalu merujuk pada sebuah putusan peradilan tata usaha negara. Penelitian tersebut difokuskan pada upaya untuk mengetahui kewenangan mengadili peradilan tata usaha negara, menguraikan sikap diam pejabat tata usaha negara sebagai sebuah keputusan tata usaha negara yang bersifat fiktif positif, dan untuk menganalisis pertimbangan hukum hakim dalam memutus sengketa.

Penelitian di atas tidak identik dengan penelitian yang dilakukan penulis, yang lebih menitikberatkan pada upaya untuk menguraikan atau mendeskripsikan mengenai politik hukum dalam pergeseran paradigma keputusan tata usaha negara, dari yang semula fiktif negatif menjadi fiktif positif, serta implikasinya terhadap keputusan tata usaha negara. Dengan demikian, penelitian ini dianggap memenuhi kaidah keaslian penelitian dan dapat dinyatakan bahwa penelitian ini merupakan karya orisinil dari penulis, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Apabila ditemukan hasil penelitian yang sama atau hampir sama setelah penelitian ini selesai dilakukan, maka diharapkan penelitian tersebut dapat menyempurnakan penelitian yang dilakukan penulis.

15

Prasetio Prabowo Pangestu, 2016, “Sikap Diam Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Sebagai Objek Sengketa Di Pengadilan Tata Usaha Negara (Studi Keputusan Fiktif Positif dalam Putusan PTUN Jakarta Nomor 04/P/FP/2016/PTUN-JKT)”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, hlm. iv.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui apakah ada pengaruh dari ekuitas merek terhadap keputusan pembelian produk kartu SimPATI Telkomsel di kalangan mahasiswa Ilmu komunikasi angkatan

Adapun jenis layanan yang bisa diupayakan lewat website adalah lebih cenderung pada layanan informasi, tentang bimbingan pribadi, karir, belajar, dan sosial. Untuk dapat

Jumlah pegawai di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Saigon Kecamatan Pontianak Timur sampai dengan 31 Desember 2014 seluruhnya berjumlah orang yang terdiri dari Kepala

Lulus SMK N 3 Sukawati pada tahun 2007, kini masih meneruskan kuliah di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar, yaitu jurusan seni tari semester 6. Pernah mengikuti Duta Seni

Untuk menghindari agar permasalahan tidak meluas dan menyimpang dalam penelitian Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap peduli lingkungan pada

Pada pertengahan tahun 1999, Zend merilis interpreter PHP baru dan rilis tersebut dikenal dengan PHP 4.0. PHP 4.0 adalah versi PHP yang paling banyak dipakai pada awal abad ke-21.

Berdasarkan data hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perpaduan metode Inquiry dan Reciprocal Teaching dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan sikap

Penilaian materi di dalam media interaktif berbasis adobe flash dalam pembelajaran menulis eksposisi pada siswa kelas V yang dilakukan oleh ahli materi