• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Kegiatan sebagai Pembicara pada Seri Webinar Yamuger

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Kegiatan sebagai Pembicara pada Seri Webinar Yamuger"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Kegiatan sebagai Pembicara pada “Seri Webinar Yamuger”

1. Yamuger (Yayasan Musik Gereja Indonesia) rutin mengadakan seri webinar bagi khalayak umum, khususnya umat kristiani, di seputar topik musik gereja.

2. Yamuger mengundang saya sebagai pemateri yang membawakan ceramah yang berjudul “Layakkah Nyanyian Tradisional Indonesia dalam Ibadah?” Saya mendekati pembahasan topik ini dari sudut pentingnya kontekstualisasi ibadah dan nyanyian jemaat dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia.

3. Webinar ini diikuti oleh sekitar 100 orang yang datang dari berbagai gereja di Indonesia dan diakses dari berbagai provinsi di Indonesia.

4. Kegiatan ini dilaksanakan pada tgl. 22 Agustus 2020 melalui Zoom Cloud Meeting.

5. Terlampir adalah makalah ceramah dan undangan.

Jakarta, 25 Februari 2020

(2)
(3)

LAYAKKAH NYANYIAN TRADISIONAL DIGUNAKAN DALAM IBADAH? WEBINAR YAYASAN MUSIK GEREJA INDONESIA

22 Agustus, 2020

Oleh: Ester Pudjo Widiasih, Ph.D.

Pendahuluan

Menyanyi bersama merupakan salah satu unsur ibadah Kristen yang selalu ada, bahkan sejak gereja perdana menyanyikan doa pujian dan permohonan kepada Allah menjadi salah satu ekspresi utama ibadah. Tentu saja praktik ini bukanlah hal baru bagi kaum Yahudi. Penginjil Matius mencatat Tuhan Yesus menyanyikan pujian bersama dengan para murid-Nya sebelum peristiwa penangkapan-Nya di taman Getsemani. Jadi, aksi menyanyi sebagai elemen dan wujud peribadahan Kristen bukanlah hal yang baru dan bahkan hampir semua tradisi Kekristenan

melakukannya. Yang sering diperdebatkan sepanjang sejarah gereja adalah jenis nyanyian yang dianggap tepat untuk beribadah dan cara menyanyikannya. Ada gereja pada zaman tertentu hanya memperbolehkan jenis nyanyian tertentu, yang dinyanyikan dengan cara tertentu saja. Namun, ada pula gereja yang lebih terbuka dengan menerima berbagai jenis nyanyian untuk dinyanyikan dalam ibadah mereka.

Yayasan Musik Gereja (Yamuger) dalam kesempatan webinar ini meminta saya menjawab sebuah pertanyaan: “Layakkah nyanyian tradisional digunakan dalam ibadah?” – sebuah pertanyaan yang berdasarkan pada sikap gereja yang tidak bisa begitu saja menerima semua jenis nyanyian dalam ibadahnya. Kecurigaan gereja terhadap nyanyian bukan hanya ditentukan oleh makna teologis lirik nyanyian, tetapi juga jenis lagu (musik) nyanyian tersebut. Lebih sering ketidaksetujuan gereja akan pemakaian suatu nyanyian dalam ibadahnya ditentukan oleh jenis lagunya. Para misionaris yang datang dari negara-negara Barat curiga pada musik/lagu dan alat musik suku-suku di Indonesia, entah karena dianggap terlalu erotis atau karena digunakan dalam penyembahan nenek moyang dan dewa-dewi. Umat Kristen di Indonesia diajar untuk menyanyikan himne-himne atau gubahan Mazmur dari gereja Barat sesuai dengan tradisi Kekristenan para misionaris. Misalnya, Mazmur Jenewa diperkenal oleh para misionaris dari gereja Calvinis Belanda kepada orang-orang Kristen di Indonesia yang kemudian bergabung dalam gereja-gereja Protestan berasaskan Calvinis; atau umat Katolik Roma di Indonesia diajari nyanyian

(4)

Gregorian, yang memang pada saat misionaris Katolik pertama datang ke Indonesia merupakan nyanyian utama di gereja Katolik. Sebelum Indonesia merdeka, memang sudah ada upaya para misionaris untuk menggubah nyanyian jemaat dengan lagu tradisional suku di Indonesia, tetapi upaya ini masih minim dan tidak jarang para misionaris malah tidak menyetujuinya. Setelah sinode-sinode gereja (Protestan) di Indonesia mandiri, apresiasi dan pengakuan keabsahan musik dari tradisi suku-suku di Indonesia semakin menguat sehingga dapat gereja menyatakan nyanyian jemaat untuk beribadah dapat dicipta berdasarakan musik tersebut.

Dalam presentasi ini, saya akan menjawab pertanyaan yang diajukan Yamuger dengan terlebih dulu menjelaskan tradisi gereja yang berkembang di Indonesia. Jawaban saya atas pertanyaan tersebut adalah “Ya.” Saya mendasarinya dengan pemahaman perlunya kontekstualisasi ibadah, secara khusus nyanyian jemaat, di gereja-gereja Indonesia.

Apakah tradisi itu?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tradisi dijelaskan sebagai “adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.” Tradisi adalah sebuah warisan budaya yang diturunkan dari satu generasi ke generasi sesudahnya. Seperti layaknya lari estafet, tongkat budaya adat sebuah suku yang dipegang oleh sebuah generasi diberikan pada generasi

selanjutnya untuk kemudian diteruskan kepada generasi sesudah itu. Adat kebiasaan atau budaya itu dapat berbentuk musik (termasuk nyanyian), lukisan, ritual, teks suci, dsb.

Dalam kehidupan gereja, ada dua macam tradisi, yaitu tradisi gerejawi dan tradisi budaya lokal sebuah gereja. Tradisi gerejawi adalah warisan Gereja yang mengungkapkan iman kristiani. Tradisi gerejawi bersifat ekumenis, yang diakui dan dipegang oleh Gereja dari segala abad dan tempat. Tradisi ini diturunkan mulai dari para rasul dan jemaat perdana hingga kini. Tradisi gerejawi ini juga diakui oleh hampir semua gereja di dunia. Termasuk dalam tradisi gerejawi ini adalah Alkitab, ajaran inti Kekristenan (misalnya ajaran mengenai Allah Trinitas dan mengakui Yesus sebagai Tuhan, Juruselamat, dan Mesias/Kristus), dan pengakuan iman yang dihasilkan oleh konsili gereja (Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea

(5)

Konstantinopel, Pengakuan Iman Anastasius). Selain itu, ada pula tradisi gerejawi yang dihasilkan oleh gereja tertentu yang menunjukkan kekhasan gereja tersebut, yaitu katekismus gerejawi (misalnya, katekismus Heidelberg, Small Catechism dari Gereja Lutheran, dsb.) dan organisasi kepemerintahan (episkopal, kongregasional, presbiterian, sinodal, dsb.). Ada pula tradisi ibadah atau ritual yang dipraktikkan secara turun-temurun.

Meskipun ada elemen ibadah yang berasal dari para rasul, misalnya

pembacaan teks suci, khotbah, baptisan, dan perjamuan kudus (ekaristi), termasuk doa yang diucapkan dan dinyanyikan, ada pula kepelbagaian tradisi ritual dari setiap gereja. Penggunaan seni dalam ibadah, misalnya seni rupa, pahat, tekstil, dan musik, secara khusus menampakkan keberagaman tradisi gerejawi dalam Kekristenan. Keberagaman tradisi ibadah dalam Kekristenan dapat disebabkan oleh perbedaan pandangan teologis (termasuk tafsiran ayat-ayat Alkitab), ritual komunitas lokal di mana gereja berada (misalnya cara makan orang Romawi), bahasa lokal, ekspresi seni setempat, dsb. Banyak hal memengaruhi pembentukan tradisi ibadah gereja tertentu, yang juga menyebabkan kepelbagaian tradisi ibadah (termasuk tradisi musik) gerejawi. Kekristenan Barat dan Kekristenan Timur, misalnya, memiliki tradisi liturgis yang berbeda. Gereja-gereja yang termasuk dalam Kekristenan Barat juga mempraktikkan tradisi liturgis yang berbeda-beda, yang menunjukkan

pemahaman teologis yang berbeda pula. Gereja yang mengikuti pemahaman teologis yang dikembangkan oleh Yohanes Calvin dari Jenewa, misalnya, memiliki tata cara ibadah yang berbeda dengan Gereja Katolik Roma. Tradisi musik ibadah juga beragam. Gereja-gereja Reformasi (Protestan) pada umumnya mengikuti tradisi ibadah Calvinist, Lutheran (atau Uniert), Baptis, Metodis, Pentakostal, dan

Karismatik. Setiap tradisi ini memiliki kekhasan nyanyian jemaat dan musik gereja, meskipun pada umumnya gereja-gereja tersebut melihat nyanyian jemaat,

khususnya dalam bentuk himne, sebagai bentuk utama musik ibadah.

Selain tradisi gerejawi ekumenis yang bersifat lintas waktu dan tempat, dalam gereja ada juga tradisi budaya setempat di mana gereja tersebut berada. Gereja tidak dapat sepenuhnya bebas dari pengaruh budaya setempat. Ada banyak bentuk atau ekspresi kebudayaan, di antaranya adat-istiadat, local wisdom, sistem

kepemerintahan, ritual (baik yang bersifat individual atau komunal, sosial, religius, atau ritual peralihan), dan berbagai bentuk kesenian. Termasuk ke dalam kesenian

(6)

adalah musik yang dihasilkan dan diproduksi oleh sebuah komunitas. Musik ini bisa dalam bentuk vokal, instrumental, dan penggabungan keduanya. Di Indonesia, hampir setiap suku memiliki tradisi musik-nya, yang menghasilkan bunyi dan lagu yang khas.

Gereja-gereja di Indonesia pada umumnya setia mempertahankan tradisi gerejawi yang diajarkan oleh para misionaris yang kebanyakan datang dari Barat. Tradisi gerejawi ini juga dipengaruhi oleh budaya para misionaris. Oleh sebab itu, tidak heran jika nyanyian jemaat gereja-gereja di Indonesia masih banyak yang berasal dari tradisi music Barat, misalnya berbentuk himne dan dikarang oleh penggubah dari negara Barat. Di samping itu, seperti telah saya sebutkan di atas, tradisi budaya suku sengaja atau tidak turut memengaruhi praktik ibadah gereja-gereja di Indonesia, sebab pelaku ibadah biasanya dipengaruhi oleh budaya setempat. Ada gereja yang dengan sengaja memajukan penggubahan nyanyian jemaat baru berdasarkan tradisi musik di mana gereja itu berada, tetapi ada pula yang enggan untuk merengkuhnya dengan berbagai alasan, termasuk alasan teologis.

Tradisi adalah salah satu komponen pembentuk identitas. Indentitas sebuah gereja ditentukan salah satunya oleh tradisi gerejawi yang dianutnya (misalnya Calvinis, Luthera, Pentakostal, Katolik, Ortodoks, dsb.) dan tradisi budaya setempat (misalnya ada Gereja-Gereja Kristen Jawa, Huria Kristen Batak, Gereja Toraja, Gereja Kristen Indonesia di Tanah Papua, dll.). Ada orang yang berpendapat bahwa tradisi tidak dapat berubah. Tradisi berbentuk tetap, selalu sama dari satu generasi ke gerenerasi lainnya. Jika terus berubah-ubah bentuk, tentu saja sesuatu tidak dapat dikatakan tradisi. Diterapkan dalam kehidupan bergereja, tradisi gerejawi biasanya dianggap tidak dapat diubah, karena berasal dari Alkitab, perintah Tuhan, para rasul, atau dari gereja yang telah berabad-abad terus dipraktikkan. Gereja secara sadar memilih mempertahankan tradisinya. Namun, pada kenyataannya, tradisi gerejawi juga berkembang atau berubah, karena gereja harus merespons konteksnya, supaya Injil menjadi relevan. Sesuai dengan iman Kristen, hanya Injil Tuhan Yesus yang tidak berubah.

(7)

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, gereja juga memiliki tradisi nyanyian gerejawi yang kita warisi dari para misionaris. Ada tradisi nyanyian Gregorian, Mazmur Jenewa, himne-himne karangan Martin Luther dan komponis Jerman-Lutheran lainnya, syair himne yang ditulis oleh Isaac Watts dan Charles Wesley, himne-himne yang berasal dari tradisi Gerakan Sekolah Minggu dari

Amerika Serikat, Contemporary Christian Music dari tradisi Pentakostal-Karismatik, dan sebagainya. Beragam tradisi musik gerejawi ini dikenakan pada denominasi gereja tertentu, tetapi juga bersifat ekumenis. Artinya, gereja saling meminjam dan menyanyikan nyanyian-nyanyian jemaat yang diberi label tradisi gerejawi tertentu. Gereja-gereja beraliran Calvinis sekarang ini menyanyikan kidung-kidung Gregorian atau yang dikarang oleh Martin Luther, Charles Wesley, bahkan contemporary Christian music atau nyanyian pop rohani. Dengan demikian, tradisi musik gerejawi di gereja-gereja Calvinis sudah mengalami perubahan, karena mereka tidak hanya menghargai Mazmur Jenewa, yang merupakan warisan dari Yohanes Calvin dan gereja Reformasi Belanda.

Hampir setiap suku di Indonesia memiliki tradisi musik yang memiliki kekhasan tangga nada, ritmik, dan bentuk. Alat musiknya pun unik. Indonesia memiliki kekayaan musik tradisional yang luar biasa. Yamuger menyebut berbagai musik tradisi dari berbagai suku di Indonesia dengan istilah musik tradisional nusantara. Banyak gereja di Indonesia, terutama gereja-gereja suku, juga telah merengkuh musik tradisional suku utama di gereja mereka. Nyanyian jemaat baru dikarang berdasarkan elemen musik tradisional ini. Ada pula melodi nyanyian rakyat yang dikawinkan dengan lirik rohani Kristen. Pengarang nyanyian jemaat ini bisa berasal dari budaya di mana musik tersebut berasal atau dari budaya lainnya. Syair dari nyanyian jemaat ini ada yang mengungkapkan spiritualitas atau local wisdom, misalnya penyebutan nama Allah yang sesuai dengan nama Allah suku tersebut. Jadi, yang dimaksudkan dengan nyanyian jemaat tradisional nusantara bukanlah nyanyian tradisional gerejawi dari Barat yang diaransemen dan diiringi oleh alat-alat musik tradisional sebuah suku di Indonesia. Nyanyian jemaat tradisional nusantara adalah memang nyanyian yang diciptakan memakai elemen-elemen musik

tradisional atau menurut “pakem” musik sebuah suku di Indonesia. Contoh dari nyanyian jemaat tradisional nusantara adalah “Sabda-Mu Abadi,” yang dikarang berdasarkan musik tradisional Jawa, dan “Nyanyikanlah Nyanyian Baru bagi Allah,”

(8)

yang merupakan perkawinan antara nyanyian rakyat Batak Toba dengan syair dari Mazmur 148.

Gereja-gereja di Indonesia, terutama yang tumbuh dan berkembang di salah satu suku tertentu, menyadari bahwa, sebagaimana gereja harus kontekstual, demikian pula ibadah yang dipraktikkan juga harus kontekstual dan relevan bagi umat. Ibadah kontekstual adalah ibadah yang memerhatikan dan merangkul (memuat, memasukkan) konteks kehidupan sehari-hari umat. Konteks yang

dimaksud meliputi (keberagaman) budaya setempat, keberagaman agama, keadaan alam, dan keadaan sosial-ekonomi-politik. Ibadah kita harus relevan bagi umat dan kontekstual sebab ibadah mengungkapkan siapa Allah yang menjumpai manusia dan respons manusia atas pengungkapan diri Allah itu. Ibadah tidak terjadi dalam

kekosongan budaya, tetapi dilakukan dalam dan melalui budaya manusia. Keutuhan ekspresi manusiawi, termasuk budaya, hadir dan digunakan untuk mengungkapkan ibadah kita kepada Allah. Ibadah juga melibatkan ekspresi seni yang merupakan bagian dari budaya manusia. Gereja sedang mengekspresikan identitasnya dalam ibadah – identitas sebagai persekutuan orang yang merespons panggilan Allah dan berada dalam komunitas dengan budayanya. Selain itu, melalui peribadahan yang diselenggarakan, gereja juga membentuk iman, pandangan, dan cara hidup umat. Dengan kata lain, ibadah merupakan formasi kehidupan pengikut Kristus dan formasi persekutuan komunitas. Dengan beribadah, gereja pun mengungkapkan siapa dirinya di tengah masyarakat.

Mengapa nyanyian jemaat tradisional nusantara diperlukan? Nyanyian jemaat merupakan salah satu bentuk kontekstualisasi ibadah, sebab nyanyian merupakan salah satu elemen pembentuk ibadah. Dengan nyanyian jemaat yang mengandung unsur musik tradisional nusantara, gereja mengekspresikan identitas budaya umat yang menjadi warganya dan identitas jemaat sebagai bagian dari

komunitas budaya setempat. Nyanyian jemaat memiliki potensi besar untuk menjadi pemersatu persekutuan. Melalui nyanyian jemaat yang dekat dengan bahasa musikal setempat, gereja dapat memberitakan Injil dalam “bahasa” yang dapat dipahami dan dirasakan oleh umat. Oleh sebab itu, gereja perlu menyanyikan nyanyian-nyanyian yang bersumberkan pada konteks budaya suku setempat, sehingga umat dapat menjadi “at home” dengan budayanya dan dengan gereja.

(9)

1. Penciptaan. Allah menciptakan dunia (termasuk manusia dan budaya) baik adanya. Oleh sebab itu, budaya dapat menjadi sarana ungkapan Injil. 2. Allah berkenan menyatakan diri sebagai manusia dalam misteri inkarnasi

Tuhan Yesus Kristus, yang lahir dalam budaya tertentu. Berarti, Allah pun hadir menjumpai umat-Nya dan dapat dijumpai oleh umat-Nya dalam

budaya-budaya lokal dunia. Kontekstualisasi diperlukan supaya Injil semakin berakar lebih dalam dalam budaya (konteks) lokal.

3. Peristiwa Pentakosta mengajarkan bagaimana Roh Kudus bekerja melalui bahasa manusia yang beragam. Para rasul dimampukan mewartakan Injil Yesus Kristus melalui bahasa yang dipahami oleh orang-orang yang datang dari berbagai tempat dengan bahasa yang bermacam-macam. Hal ini menunjukkan pewartaan Injil (juga melalui ibadah dan secara khusus

nyanyian jemaat) harus dilakukan dengan memakai ungkapan budaya lokal. Dengan pemahaman teologis seperti di atas, gereja-gereja di Indonesia diharapkan tidak ragu lagi untuk menyanyikan nyanyian-nyanyian tradisional nusantara. Kekayaan musik tradisional dari berbagai suku di Indonesia merupakan anugerah Allah yang patut disyukuri, karena dengannya gereja-gereja di Indonesia memiliki sarana pemberitaan Injil dan juga ibadah yang dekat dengan anggota komunitas.

Tantangan Terhadap Upaya Kontekstualisasi Ibadah dan Nyanyian Jemaat

Telah disebutkan di atas, tidak semua gereja merengkuh budaya lokal warisan nenek moyang untuk secara sadar dijadikan dasar pengekspresian ibadahnya.

Berikut ini adalah beberapa tantangan yang dihadapi gereja dalam mengupayakan kontekstualisasi ibadah dan secara khusus nyanyian jemaat.

1. Ada keraguan merengkuh budaya lokal karena banyak misionaris Barat mengajarkan kepada gereja-gereja untuk mencurigai budaya lokal nusantara. Banyak misionaris dari Belanda, Jerman, dan negara Barat lainnya melihat budaya lokal bertentangan dengan nilai-nilai Kekristenan. Mereka khususnya curiga pada ritual-ritual dan bentuk seni suku-suku di Indonesia, karena menganggap ritual dan karya seni tersebut dipakai untuk menyembah roh-roh nenek moyang atau dewa-dewi.

(10)

2. Umat Kristen di Indonesia seringkali bergumul antara mempertahankan identitas Kekristenan seperti diajarkan oleh para misionaris dengan identitas sebagai orang Indonesia (Jawa/Ambon/Batak/Tionghoa/Dayak/Papua, dsb). Oleh karena ajaran misionaris yang mempertentangkan budaya suku dengan ajaran Kekristenan, orang-orang Indonesia yang beragama Kristen merasa sulit untuk merengkuh identitas kesukuannya. Contohnya, para misionaris dulu menentang orang-orang Kristen Jawa menyelenggarakan slametan dan ritual Jawa lainnya. Mereka bahkan dilarang menghadiri slametan dan menonton pertunjukan wayang. Menurut para misionaris, menjadi seorang Kristen berarti harus terputus dari budaya suku. Itu berarti, seorang Kristen Jawa diharapkan juga bertindak-tanduk sebagaimana orang Kristen Eropa. Sikap seperti inilah yang diturunkan kepada generasi orang Kristen selanjutnya di Indonesia. Untunglah, setelah Indonesia merdeka, banyak gereja yang menyadari bahwa kebudayaan suku tidak selalu buruk dan bertentangan dengan iman Kristen, sehingga orang Indonesia percaya pada Tuhan Yesus Kristus dapat pula menjadi orang-orang Jawa, Toraja, Sumba, dan lain-lain, yang dengan bijak

mempraktikkan pula budaya sukunya.

3. Ada misionaris Barat yang menilai budaya suku-suku nusantara bukan saja tidak sesuai dengan ajaran Kristen, tetapi juga lebih rendah dari kebudayaan Eropa dan tidak mampu menjadi sarana pemberitaan Injil. Sikap misionaris semacam ini menimbulkan rasa minder di kalangan umat Kristen di Indonesia karena merasa budaya sukunya tidak sempurna dan tidak layak untuk menjadi

perwujudan Injil. Akibatnya, banyak yang memilih mengekspresikan Injil dengan menggunakan budaya yang dibawa oleh para misionaris.

4. Sinkretisme menjadi kata yang ditakuti oleh gereja-gereja di Indonesia. Apabila merengkuh budaya lokal, gereja takut akan dicap sinkretis – mencampur-adukkan ajaran Kristen dengan budaya dan sistem kepercayaan non-Kristen. Nilai-nilai atau ajaran Kristen terwujudkan melalui ekspresi budaya

penganutnya. Kekristenan yang dibawa ke Indonesia sudah terbungkus oleh berbagai budaya, di antaranya adalah Yahudi, Yunani-Romawi, dan budaya Eropa asal para misionaris. Dengan kata lain, agama Kristen yang datang ke Indonesia pun sudah merupakan situs perjumpaan berbagai macam budaya. Oleh sebagian orang, kenyataan ini disebut sinkretik, tetapi bagi orang lainnya,

(11)

percampuran ini disebut sebagai hibriditas. Di negara-negara bekas jajahan, percampuran dua budaya atau lebih merupakan sebuah kenyataan sehari-hari. Banyak kosa kata asing, terutama yang berasal dari bahasa negara penjajah, yang tetap digunakan hingga kini. Di Indonesia, ada makanan khas Belanda yang sudah tercampur dengan cara memasak orang Indonesia dan rempah-rempah Indonesia, yang menghasilkan cita rasa yang tidak sama persis dengan masakan Belanda. Musik campur sari yang berkembang di kalangan suku Jawa, misalnya, merupakan hibriditas musik Jawa, dangdut, dan musik populer Barat.

Sinkretisme dapat dilihat sebagai hibriditas, yang tidak bisa dihindari, karena gereja bertanggung jawab untuk mengkontekstualisasikan Injil, sehingga Kekristenan dapat dihayati sepenuhnya oleh para pengikut Kristus. 5. Pergumulan mempertahankan ketegangan antara lokal dan ekumenikal.

Seringkali untuk menjadi gereja yang relevan dan berakar dalam sebuah konteks menempatkan gereja pada titik ketegangan antara setia pada tradisi gerejawi yang ekumenis dan budaya lokal beserta konteks di mana ia berada. Ketegangan ini perlu dipertahankan, karena dengannya gereja bisa selalu mengevaluasi apakah dirinya masih tetap setia pada inti Injil sebagaimana diturunkan oleh generasi sebelumnya dan apakah Injil yang ia beritakan mewujud secara nyata dan dapat dihayati oleh orang-orang (Kristen dan non-Kristen) di mana gereja itu berada.

6. Tantangan berikutnya yang dihadapi oleh gereja untuk mengembangkan ibadah dan nyanyian jemaat yang kontekstual adalah globalisasi yang datang dengan budaya populer dari berbagai negara yang memiliki pada umumnya ekonomi yang kuat untuk meng-iklan-kan budaya tersebut. Saat ini musik dan bentuk seni populer lainnya dari Amerika Serikat dan Korea Selatan digemari oleh orang-orang Indonesia. Produk budaya populer ini dapat diakses dengan mudah

melalui berbagai media digital. Sayangnya, budaya tradisional suku yang kurang diperkenalkan dan di-ekspos, khususnya melalui media digita, menjadi

terpinggirkan dan terancam punah. Tantangan ini membuat beberapa gereja dan orang Kristen secara pribadi menyadari perannya sebagai institusi dan individu yang bertanggung jawab untuk melestarikan budaya suku yang merupakan konteks mereka berada. Kesadaran ini yang menjadi salah satu pendorong gereja melakukan kontekstualisasi.

(12)

7. Akibat kurangnya perhatian dan minat pada budaya tradisional suku, khususnya musik tradisional suku, dan banyak gereja masih menganggap nyanyian jemaat dari tradisi gereja Barat sebagai ekspresi musikal utama, sedikit warga gereja berminat untuk mendalami musik tradisional suku-suku di Indonesia. Oleh karena itu, untuk memajukan kontekstualisasi, diperlukan upaya

memperkenalkan musik tradisional suku pada para pemusik gereja, sehingga nyanyian-nyanyian jemaat baru yang berbasis pada musik tradisional suku dapat tercipta dan semakin sering dinyanyikan dalam ibadah.

Penutup

“Layakkah nyanyian tradisional digunakan dalam ibadah?” Tentu saja ya dan harus untuk menjadikan ibadah dan gereja kita relevan bagi umat Kristen yang juga merupakan warga dari komunitas suku tertentu. Ada kalanya umat Kristen di suatu daerah tertentu kurang diterima oleh masyarakat sekitarnya, karena mereka

memisahkan diri dari penyelenggaraan ritual atau ekspresi budaya suku lainnya. Gereja dan orang Kristen dianggap sang liyan dalam masyarakat karena gampang sekali menolak local wisdom yang apabila dikaji lebih lanjut tidak bertentangan dengan Injil. Kenyataan ini menjadikan Injil tidak dapat diterima oleh masyarakat. Menggunakan musik (nyanyian) tradisional adalah sebuah kebaikan untuk

menjadikan Kekristenan kontekstual di Indonesia.

Sebagai penutup, saya ingin mengundang Ibu/Bapak membagikan pengalaman dan pemahaman Anda mengenai topik ini.

• Apakah gereja Anda sudah menyanyikan nyanyian-nyanyian jemaat tradisional Indonesia?

• Apakah tantangan yang dihadapi oleh gereja Anda dalam menyanyikan nyanyian-nyanyian tradisional Indonesia?

(13)

Daftar Acuan

Chupungco, Anscar. “Liturgical Inculturation: The Future that Awaits Us.”

Duck, Ruth C. Worship for the Whole People of God: Vital Worship for 21stCentury.

Kentucky, Westminster John Knox Press, 2013.

Evangelical Lutheran Church in America (ELCA). Can We Talk?: Engaging Worship and

Culture.

Leaver, Robin A. dan Zimmerman, Joyce Ann. Liturgy and Music: Lifetime Learning. Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1998.

Phan, Peter C. “Liturgical Inculturation: Unity in Diversity in the Postmodern Age,” dalam Keith Pecklers, SJ (ed.), Liturgy in a Postmodern World. London and New York: Continuum, 2003.

Tovey, Phillip. Inculturation of Christian Worship: Exploring the Eucharist. Burlington: Ashgate, 2004.

Truscott, Jeffrey A. Worship: A Practical Guide. Singapore: Genesis Books, 2011.

Ujan, Bernadus Boli dan Kirchberger, Georg. Liturgi yang Autentik dan Relevan. Maumere: Ledalero, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

SIKLUS HIDUP BEBERAPA PARASIT Cacing Tambang .. )0acing de/asa *ada mukosa usus-. 0acing tambang de/asa melekat *ada villi usus halus dengan bucal ca*sulnya. Tam*ak cacing

Sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni untuk mengetahui pengaruh pengetahuan subjektif dan objektif terhadap minat beli produk

Tujuan penelitian secara umum : (1) untuk mengidentifikasi karakteristik individu penerima manfaat, (2) untuk menganalisis hubungan antara karakteristik

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran strategi regulasi emosi kognitif yang digunakan oleh anak berusia 9–11 tahun dengan kanker yang menjalani

Teknik pembiusan dengan penyuntikkan obat yang dapat menyebabkan pasien mengantuk, tetapi masih memiliki respon normal terhadap rangsangan verbal dan tetap dapat mempertahankan

Berdasarkan hasil dari penelitian yang penulis lakukan di Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Batang Kabung Kecamatan Koto Tangah Kota Padang dengan

Hasil: DidapatkanT6 pasien rinosinusitis tronis yang dilakukan pemeriksaan tomografi komputer sinus paranasal untuk persiapan- opirasi bedah sinus endoskopi , terdiri

Yophy chairul (2015) dalam penelitiannya menguji pengaruh Current Ratio, Debt To Equity Ratio dan Return On Asset Terhadap Dividend Payout Ratio Studi Pada Perusahaan