• Tidak ada hasil yang ditemukan

HOPE PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HOPE PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

HOPE PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS

ABSTRAK

Tidak sedikit orang tua yang dianugerahi anak yang memiliki kebutuhan yang berbeda dengan anak-anak lainnya, yang biasa disebut anak berkebutuhan khusus. Ibu-ibu untuk anak berkebutuhan khusus memiliki beban emosional yang lebih berat dikarenakan kondisi anak. Kondisi tersebut membuat Ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus memiliki harapan agar anak dapat hidup mandiri dan bisa berinteraksi sosial. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran dan faktor-faktor hope pada Ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan dua orang narasumber, yaitu satu orang subjek dan satu orang significant other. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan terdapat proses munculnya hope dimana subjek mengalami emosi negatif, pemikiran negatif, dan penerimaan yang menjadikan subjek memiliki gambaran hope yaitu, subjek memiliki pikiran positif, tujuan, kemampuan mengidentifikasi masalah dan pemecahan masalah. Selain itu, terdapat faktor-faktor yang menyebabkan subjek memiliki hope yaitu, faktor pribadi, dukungan sosial dan ekonomi yang berkecukupan.

Kata kunci : Anak Berkebutuhan Khusus, Hope, Ibu. Atya Sekar Ing Ati

Nurul Qomariyah

Universitas Gunadarma 2020

(2)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Disetiap pernikahan, kehadiran seorang anak merupakan anugerah yang tak ternilai harganya bagi setiap orangtua. Namun, tidak sedikit yang dianugerahi anak-anak yang memiliki kebutuhan yang berbeda dengan anak-anak lainnya, baik secara fisik maupun psikis yang biasa disebut anak berkebutuhan khusus. menurut Mangunsong (2009), anak berkebutuhan khusus adalah anak yang membutuhkan pendidikan dan layanan khusus untuk mengoptimalkan fungsi kemanusiaannya secara utuh akibat adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) memang cukup menantang bagi orangtua. Banyak lika-liku yang harus dilewati agar anak tetap bisa tumbuh optimal seperti anak pada umumnya. Seringkali, rasa stres, khawatir dan lelah menghampiri pada waktu tertentu. Tetapi penting bagi orangtua untuk tidak membiarkan perasaan negatif tersebut mengontrol

perilakunya sehari-hari, apalagi kalau anak sudah terkena dampaknya (Ajrina, 2018). Profesi ibu identik dengan merawat, mendidik anak, dan pekerjaan rumah tangga. Meskipun sekarang banyak ibu yang bekerja di luar rumah, kegiatan-kegiatan diatas masih menjadi tanggung jawab seorang ibu. Ibu-ibu untuk anak kebutuhan khusus memiliki beban emosional yang lebih berat dikarenakan kondisi anak. Ibu-ibu ini selain bekerja, mengurus rumah dan anak, juga masih harus memikirkan perkembangan anak yang memiliki kebutuhan khusus. Kadang-kadang di tengah kerumitan ini, seorang ibu juga sering dipersalahkan sebagai penyebab dari kondisi anak yang memiliki kebutuhan khusus, padahal hal ini tidak benar. (Sutrisno, 2016).

Berdasarkan hasil wawancara awal, dapat diperoleh informasi bahwa subjek merupakan seorang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus dengan diagnosis awal autism dan diagnosis tambahan down syndrome dan thalassemia ketika

(3)

mendirikan sekolah autis bersama dua temannya yang juga memiliki anak berkebutuhan khusus. Motivasi subjek mendirikan sekolah autis itu karena subjek merasa guru-guru yang ada di SLB belum sepenuhnya paham menangani anak autis. Selain itu subjek juga merasakan bahwa sekolah inklusi untuk anak autis itu mahal, sementara banyak diluar sana orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus namun kurang mampu dalam segi ekonomi. Lalu setelah anak berusia 16 tahun, subjek sudah tidak mengikuti pelatihan-pelatihan terapi lagi, karena subjek melihat anaknya sudah mandiri. Melihat anak berhasil mandiri, subjek ingin membagikan pengalaman serta ilmu yang subjek punya kepada orangtua lain yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Subjek sudah merasa lebih tenang dan tidak kesulitan saat ini karena merasa anak sudah mandiri. Hal-hal yang dilakukan subjek ini, menunjukan bahwa subjek memiliki hope.

Orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus umumnya memiliki harapan agar anak dapat mandiri dan melakukan interaksi sosial.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hassan, Sadaf, Saeed, dan Idrees (2018) hasil penelitian menunjukan bahwa jika individu memiliki hope dan berpikir optimis, maka individu akan merasa lebih puas dalam menjalani hidup. Hal ini juga serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Bailis dan Chipperfield (2012) dimana individu yang penuh hope dan sering berpikir optimis dapat menjalani hidup dengan baik dimasa sekarang maupun masa depan melalui regulasi tujuan dan regulasi risiko yang jelas, manajemen emosional yang baik dan problem

solving yang baik. Penelitian lain

yang dilakukan oleh Mohindru dan Sharma, (2019) juga mengungkapkan bahwa hope dan berdampak pada emosi positif individu. Orang-orang yang berpikir positif pada umumnya adalah individu yang juga percaya bahwa hidup ini penuh harapan dan selalu ada sinar harapan bahkan di saat-saat tergelap sekalipun.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran hope pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan

(4)

khusus dan mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan ibu yang anaknya berkebutuhn khusus memiliki hope.

II. LANDASAN TEORI A. Hope

1. Definisi Hope

Irving, dan Anderson (dalam Luthans, Youssef dan Avolio, 2007) mendefinisikan

hope sebagai suatu kondisi

dimana individu memiliki motivasi atau dorongan positif. Dorongan positif tersebut berasal dari perasaan akan sukses, energi dari organisasi yang diarahkan melalui tujuan organisasi, dan perencanaan untuk memenuhi suatu tujuan. Snyder (2000) menyatakan hope adalah keseluruhan dari kemampuan yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan yang diinginkan, bersamaan dengan motivasi yang dimiliki untuk menggunakan jalur-jalur tersebut. Hope didasarkan pada hope positif dalam pencapaian tujuan.

Lalu menurut Synder, (1994) hope adalah keseluruhan daya kehendak (willpower/agency) dan strategi (waypower/pathway) yang dimiliki individu untuk mencapai sasaran (goal). Bila seseorang tidak memiliki ketiga komponen tersebut, hal itu tidak bisa disebut sebagai

hope.

Averill (dalam Lopez, 2009) mendeskripsikan hope sebagai emosi yang diarahkan oleh kognisi dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Stotland dan Gottschalk (dalam dalam Lopez, 2009) mendeskripsikan hope

merupakan keinginan untuk mencapai tujuan dan mendeskripsikan tenaga positif yang mendorong seseorang untuk bekerja melalui keadaan yang sulit.

2. Komponen Hope

Snyder, (dalam Lopez, 2009)

hope terdiri dari komponen-komponen berikut:

(5)

Goal atau tujuan adalah

sasaran dari rangkaian tindakan mental individu yang menghasilkan komponen kognitif dan mengharuskan sasaran dari hope tersebut cukup penting bagi individu. Tujuan dapat berupa tujuan jangka pendek atau jangka panjang, namun tujuan harus cukup bernilai untuk mengaktifkan pemikiran yang disadari.

b. Pathaway thinking

Pathway thinking atau waypower merupakan

kemampuan seseorang untuk mengembangkan suatu jalur dan mampu untuk membuat rencana-rencana sukses untuk mencapai tujuan yang

diinginkan. Pathway thinking ditandai dengan self talk. c. Agency Thinking

Agency thinking atau willpower merupakan

komponen motivasional dari teori hope. Agency thinking didefinisikan sebagai kapasitas dan perasaan yakin untuk mencapai tujuan, baik di masa

lalu, masa kini, maupun masa yang akan datang. Agency

thinking mencerminkan

persepsi individu bahwa individu mampu mencapai tujuan melalui jalur-jalur yang telah dipikirkan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hope

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tujuan dari hope dan perilaku yang terarah menurut Synder (dalam Carr 2004) antara lain:

a. Seberapa besar nilai hasil yang diusahakan

b. Jalan keluar yang direncanakan dapat dipastikan terhadap hasil dan keinginan yang sesuai tentang bagaimana keefektifan mereka akan berhasil pada sesuatu yang dihasilkan c. Pemikiran diri sendiri dan

seberapa efektif seseorang akan mengikuti jalannya dalam upaya mencapai tujuan.

(6)

B. Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus

1. Definisi Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus

Menurut Kartono (1992) ibu adalah seseorang yang mendidik anak, memelihara fisik anak, dan harus melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan psikis anak-anak agar anak bisa mengadakan adaptasi terhadap lingkungan sosial. Lalu menurut Partasari (2006) ibu adalah orang yang kuat sehingga dapat membentuk anak lebih bersikap empati dan memberikan penguasaan diri yang baik. Dapat disimpulkan bahwa ibu adalah seorang yang melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan anak agar anak bisa beradaptasi serta bersikap empati dan memberikan penguasaan diri yang baik.

Menurut Hadis (2006), anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang

berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidak mampuan mental, emosi, atau fisik. Sementara itu menurut Mangunsong (2009), anak berkebutuhan khusus adalah anak yang membutuhkan pendidikan dan layanan khusus untuk mengoptimalkan fungsi kemanusiaannya secara utuh akibat adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya.

2. Tugas - tugas Ibu

Menurut Gunarsa (2008) tugas ibu bagi anak ada empat, yaitu:

a. Menjadi model tingkah laku anak yang mudah ditiru

b. Menjadi pendidik yang memberi pengarahan, dorongan dan pertimbangan bagi perbuatan-perbuatan anak untuk membentuk perilaku

c. Menjadi konsultan, yaitu yang memberi nasihat,

(7)

pertimbangan, pengarahan dan bimbingan d. Menjadi sumber informasi, yaitu memberikan pengetahuan, pengertian dan penerangan III. METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Kualitatif

Menurut Connole (dalam Hanurawan, 2016) metode penelitian kualitatif atau metode penelitian interpretif adalah metode penelitian yang meletakkan penelitian pada prioritas untuk mengungkapkan makna dan menginterpretasikan makna yang terdapat dalam suatu objek berdasarkan sudut pandang partisipan penelitian berbasis pada aktivitas sosial. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek

penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk-bentuk kata-kata, bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 1999).

Menurut Kirk & Miller (dalam Moleong, 1999) penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.

2. Definisi Studi Kasus

Menurut Mulyana (dalam Suwendra, 2018) studi kasus adalah uraian penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek individu, kelompok, organisasi, program, situasi sosial, dan

(8)

sebagainya. Menurut Yin (2005) studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan

how atau why, bila peneliti

hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata.

B. Sumber Data 1. Subjek

Pada penelitian ini, yang menjadi subjek yaitu seorang ibu berusia 54 tahun yang memiliki anak perempuan yang berkebutuhan khusus yang sudah berusia 22 tahun. Subjek mendirikan sekolah inklusi pada tahun 1997 bersama tiga orang temannya yang juga memiliki anak berkebutuhan khusus.

2. Significant Other

Pada penelitian ini,

significant other yang peneliti

wawancara adalah asisten

rumah tangga subjek yang sudah bekerja selama 15 tahun dan berusia 51 tahun.

C. Tahap-tahap Penelitian 1. Tahap Persiapan

Penelitian

Tahap persiapan diawali dengan pertanyaan penelitian yang akan dijadikan topik penelitian, setelah itu pertanyaan masalah dituangkan pada awal bab laporan penelitian. Selanjutnya membuat sebuah pedoman wawancara berdasarkan konteks atau situasi yang dialami oleh subjek. Pedoman wawancara akan berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan yang lebih jelas pada saat wawancara berlangsung.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pada tahap ini peneliti akan melakukan pengambilan data dengan menggunakan metode wawancara berdasarkan pedoman yang telah disusun sebelumnya ditahap awal. Setelah data

(9)

diperoleh, selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti adalah analisis data yang bersifat deskriptif. Pada saat melakukan proses analisis, peneliti melakukan beberapa prosedur untuk mengelola data yang didapat untuk dijadikan informasi yang nantinya akan dihubungkan dengan teori yang melatar belakanginya. Pengolahan data wawancara dapat dilakukan dengan mencatat hasil wawancara secara menyeluruh (verbatim), analisis hasil wawancara dengan coding, dan pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari hasil wawancara tersebut.

Kemudian hasil secara keseluruhan dibuatkan analisis psikologis, dan data yang didapat kemudian dibuatkan kesimpulan serta dianalisis dengan teori yang melatar belakangi, yang telah dituangkan di bab tinjauan pustaka. Setelah itu hasil-hasil penelitian dibuat secara

menyeluruh yang berisikan hasil gambaran penelitian berupa analisis data yang telah dihubungkan dengan teori yang ada, serta poin- poin kesimpulan penelitian, dan saran untuk subjek atau pihak-pihak yang berkaitan dengan kepentingan penelitian lebih lanjut.

D. Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara

Wawancara merupakan percakapan yang dilakukan oleh dua pihak dengan maksud tertentu yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawanara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut (Moleong 1999). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis wawancara dengan petunjuk umum wawancara, hal ini dikarenakan peneliti menyusun kerangka dan garis besar pokok-pokok terlebih dahulu yang akan peneliti

(10)

gunakan sebagai pedoman wawancara.

2. Observasi

Menurut Poerwandari (1998), penelitian psikologis dalam bentuk apapun, baik itu kualitatif maupun kuantitatif, selalu mengandung aspek observasi. Patton (dalam Poerwandari, 1998) menegaskan observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, terlebih penelitian dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode observasi non-partisipan, hal ini dikarenakan peneliti tidak terlibat dan hanya mengamati kejadian yang menjadi topik penelitian.

IV. HASIL DAN ANALISIS

Hasil penelitian menunjukkan, sebelum subjek memiliki hope, subjek terlebih dahulu mengalami beberapa peristiwa negatif dengan anak subjek. Berdasarkan kronologis peristiwa negatif tersebut, subjek memiliki kemampuan untuk berpikir

positif (agency thinking). Dapat dilihat dari hasil wawancara, subjek mengatakan bahwa, dengan keadaan anak subjek yang berkebutuhan khusus, subjek merasa subjek dibentuk oleh Tuhan menjadi pribadi yang lebih sabar. Subjek juga meyakini bahwa rencana Tuhan itu selalu baik. Subjek juga mengatakan bahwa subjek tidak pernah merasa jatuh dan sedih, malahan subjek merasa harus belajar lebih banyak lagi. Subjek juga merasa sudah memiliki pemahaman yang baik dalam menangani anak subjek, sehingga subjek juga merasa bahwa subjek dapat membantu orangtua lain yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Subjek juga yakin, terlepas dari kekurangan yang dimiliki anak, anak tetap memiliki kelebihan tersendiri. Hal ini sesuai dengan teori komponen hope dari Snyder, (dalam Lopez, 2009), dimana agency thinking didefinisikan sebagai kapasitas dan perasaan yakin untuk mencapai tujuan, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa yang akan datang.

Dari kemampuan berpikir positif tersebut, membuat subjek memiliki

(11)

tujuan-tujuan yang hendak subjek capai. Subjek banyak mempelajar terapi dan penanganan anak karena subjek ingin anak subjek mandiri dan dapat beraktivitas seperti biasa tanpa bergantung dengan orang lain. Setelah melihat anak subjek dapat mandiri, timbul keinginan dari dalam subjek untuk membantu oranglain dan membuat anak berkebutuhan khusus lain dapat tumbuh mandiri seperti anak subjek. Hal ini sesuai dengan teori komponen hope menurut Lopez, Snyder dan Pedrotti (dalam Lopez & Snyder, 2003) bahwa tujuan atau goal dapat berupa

approach-oriented in nature (misalnya sesuatu

yang positif yang diharapkan untuk terjadi) atau preventative in nature (misalnya sesuatu yang negatif yang ingin dihentikan agar tidak terjadi lagi). Sejalan dengan hasil wawancara dimana subjek mengatakan bahwa alasan subjek tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan, adalah karena subjek ingin fokus untuk masa depan anak.

Dari tujuan-tujuan tersebut, subjek mengembangakan kemampuan berpikirnya untuk dapat membuat rencana-rencana dimana hal

ini membuat subjek mampu mengidentifikasi suatu masalah. Subjek mengatakan bahwa subjek memilih menyekolahkan anak subjek di sekolah biasa karena menurut subjek sekolah inklusi itu jarang dan mahal. Tujuan lain adalah subjek ingin menyiapkan anak-anak berkebutuhan khusus supaya dapat bersekolah disekolah umum, sehingga tidak perlu bersekolah di sekolah khusus lagi. Tujuan yang terakhir adalah subjek dapat membantu orangtua lain yang kurang mampu. Selain kemampuan mengidentifikasi masalah, subjek juga memiliki kemampuan problem

solving yang baik, seperti ketika

subjek masih bekerja, subjek mengandalkan terapis dan tetap menyempatkan mempelajari dari ahli-ahli terapi. Seperti halnya ketika subjek menyusun program terapi dimulai dengan aba, lalu menggunakan metode membaca dari Glen Domann dan menerapkan diet GFCF karena anak subjek yang

hyper. Dengan kondisi anak yang

memiliki keterbatasan, subjek juga mengajari anak kedua subjek untuk dapat membantu menangani anak

(12)

subjek. Subjek juga mengatakan ketika anak hyper dirumah, biasanya subjek menggulung anak dengan selimut sambil memeluk anak. Ketika ditempat umum, biasananya subjek akan mencoba memberi tahu tetapi akan mencoba meninggalkan anak jika anak tidak mau menurut. Subjek sengaja memasukan sekolah anak terlambat, karena subjek tidak ingin anak subjek menyulitkan guru-guru, sehingga subjek berusaha menyiakan anak subjek terlebih dahulu. Kemampuan identifikasi masalah dan

problem solving yang dimiliki subjek,

sesuai dengan komponen hope

menurut Snyder, (dalam Lopez, 2009). Dimana Pathway thinking memungkinkan individu untuk mengutamakan aktivitas yang menjadi prioritas, merancang cara untuk menuntaskan prioritas dan merefleksikan kemampuan individu dalam membayangkan atau menciptakan strategi kognitif yang lebih untuk mencapai tujuan. Ketiga komponen tersebut juga selaras dengan definisi hope menurut Synder, (1994) dimana hope adalah keseluruhan daya kehendak (willpower/agency) dan strategi

(waypower/pathway) yang dimiliki individu untuk mencapai sasaran (goal). Bila seseorang tidak memiliki ketiga komponen tersebut, hal itu tidak bisa disebut sebagai hope.

Dari ketiga komponen tersebut, terdapat keberhasilan yang diraih subjek terkait anak subjek yang berkebutuhan khusus, antara lain anak subjek yang bisa beraktivitas lancar meskipun tanpa pendamping dan bisa melakukan kegiatan sehari-hari meskipun memiliki

keterbatasan. Lalu anak subjek yang sudah bisa berkomunikasi dua arah serta tidak hyper lagi. Subjek juga mengatakan bahwa anak subjek memiliki iq yang tinggi dan bisa cepat menghapal. Terakhir subjek mengatakan bahwa anak subjek dapat mendaftar kuliah di PNJ.

Selain gambaran hope pada subjek, peneliti juga dapat melihat faktor-faktor yang membuat subjek memiliki hope. Yang pertama adalah faktor pribadi. Dari hasil penelitian, terlihat bahwa subjek memiliki keinginan untuk membantu orang lain. Subjek mengatakan bahwa setelah anak subjek mandiri, subjek ingin anak berkebutuhan khusus lain

(13)

juga bisa mandiri. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan Ali dan Bozorgi (2016), dimana individu mungkin ingin berbagi kebahagiaan dengan individu lain, karena suasana hati yang positif dapat mengingatkan individu jika membantu orang lain dapat mencipatakan rasa bahagia yang selalu dikaitkan dengan rasa kepuasan, optimisme, harapan, dan kepercayaan. Dari hasil penelitian juga menggambarkan subjek adalah individu yang cerdas dimana subjek pernah bekerja jadi dosen dan memiliki kebiasaan wajib membaca satu setiap hari. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan Yotsidi, Pagolatou, Kyriazos, dan Stalikas (2018) bahwa hope memainkan peran penting yang bermanfaat dalam prestasi akademik dan pekerjaan. Selain itu subjek juga aktif berkegiatan di bidang lingkungan dimana subjek merupakan ketua eco

village sekelurahan Abadijaya Depok

dan merupakan anggota komunitas Ciliwung. Hal ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan Collins (2015), dimana hope merupakan kualitas esensial dalam pekerjaan sosial yang dapat membantu individu

mempertahankan keyakinan dimasa sekarang dan keyakinan di masa depan yang berpotensi terjadinya perubahan dalam masyarakat, komunitas, organisasi, keluarga.

Faktor kedua adalah dukungan sosial. Dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa subjek mendapat dukungan baik berupa informasi yang subjek dapat dari pelatihan-pelatihan terapi yang subjek lakoni, dukungan instrumental dari anak subjek yang ikut membantu subjek dalam menangani anak, pembantu subjek yang juga membantu dan dari para terapis-terapis yang menurut subjek sangat baik. Dukungan yang terakhir adalah dukungan emosional yang subjek dapatkan dari suami subjek yang meminta subjek untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan fokus untuk masa depan anak. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan Herman, dkk (2011) yaitu adanya dukungan sosial dan harapan dapat memberikan perasaan terbantu dan dukungan dari orang lain, serta harapan untuk kehidupan yang akan datang. Ini dapat memungkinkan individu untuk mengatasi peristiwa yang membuat stres dan

(14)

menyesuaikan diri serta bangkit kembali.

Faktor ketiga adalah ekonomi yang berkecukupan. Berdasarkan hasil wawancara, subjek mengatakan bahwa subjek dan keluarga tidak pernah merasa kekurangan dan mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, serta suami subjek yang bekerja di luar negeri. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Yin, Li, Yuan, dan Wang (2019) dimana individu dari keluarga dengan

social economic status (SES) tinggi

cenderung memiliki orientasi tujuan masa depan yang lebih jelas dan tingkat harapan yang lebih tinggi.

V. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam mengenai gambaran hope dan faktor-fakor hope pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. 1. Subjek memiliki pikiran positif (agency thinking), tujuan (goal), serta kemampuan

mengidentifikasi masalah dan problem solving (pathway thinking) yang baik dalam penanganan anak berkebutuhan khusus.

2. Terdapat faktor-faktor yang membuat subjek memiliki hope yang baik, antara lain faktor pribadi, faktor dukungan sosial dan faktor ekonomi yang berkecukupan.

B. Saran

1. Bagi Ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus

Disarankan agar ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus tetap fokus dan mengupayakan yang terbaik untuk anak, dan tetap memastikan anak dapat hidup mandiri agar tidak bergantung pada orang lain. Selain itu, juga berbagi pengetahuan yang dimiliki untuk membantu orang tua lain yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

(15)

Disarankan agar, orang-orang disekitar ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk dapat terus memberikan dukungan baik secara informati, instrumental dan emosional.

3. Bagi penelitian selanjutnya Dapat menjadi acuan untuk penelitian lain berkatian dengan fenomena yang diteliti. Misalnya, optimisme pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

DAFTAR PUSTAKA

Ajrina, A. (2018). Menerapkan

psikologi positif dalam mendidik abk. Diakses pada

tanggal 19 Mei 2019, dari https://sahabatkeluarga.kemdi kbud.go.id/laman/index.php?r =tpost/xview&id=249900089 Ali, R & Bozorgi, Z. (2016). The

Relationship of Altruistic Behavior, Empathetic Sense, and Social Responsibility with Happiness among University Students. Research

paper. 4 (1). 51-56

Bailis, D., Judith, C. (2012). Hope and optimism. Encyclopedia

of human behavior. Vol 2.

342-349

Collins, S. (2015). Hope and helping in social works. Social work in

action. 27 (3). 197-213

Gunarsa, S. (2008). Psikologi anak:

psikologi perkembangan anak dan remaja

Hadis, A. (2006). Pendidikan anak

berkebutuhan khusus autistik.

Bandung: Alfabeta

Hanurawan, F. (2016). Metode penelitian kualitatif untuk ilmu psikologi. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada

Hassan, K., Shama, S., Ayesha, S., Amna, I. (2018). Relationship between hope, optimism, and life satisfaction among adolescents. International journal scientific and engineering research. 9 (10).

1452-1457

Kartono, K. (1992). Psikologi wanita:

mengenal wanita sebagai ibu dannenek. Edisi ke-2. Bandung: Mandar Maju Luthan, F., Youssef, C.M., & Avolio,

B.J. (2007). Psychological

capital: developing the human competitive edge. New York:

Oxford University Press Lopez, J. (2009). The encyclopedia of

positive psychology. West

Sussex : Blackwell Publishing Ltd

Mangunsong, F. (2009) Psikologi dan

pendidikan anak

berkebutuhan khusus. Jilid I.

(16)

Mohindru, E., & Hariom, S. (2019). Hope and optimism: wheels of wellbeing among adults.

Pramana Research Journal. 9

(4). 910-929

Moleong, L. (1999). Metode penelitian kualitatif.

Bandung: Remaja Rosdakarya Partasari, D. (2006). Ikatan ibu dan

anak. Jakarta: Inspired Kids

Poerwandari, E. (1998). Pendekatan

kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: LPSP dan

Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Suwendra, W. (2018). Metodologi

penelitian kualitatif dalam ilmu sosial, pendidikan, kebudayaan dan keagamaan.

Bali: Nilacakra

Snyder, C. R. (1994). The psychology

of hope: You can get there from here. New York: Free

Press

Yin, R. (2005). Studi kasus: desain

dan metode. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada

Yin, X., Li, Z., Yuan, Y., & Wang, Z. (2019). Developmental trajectory of hope among late-adolescents: Population heterogeneity and the impact of gender and family socioeconomic status. Journal

of adolecents. 72. 124-131

Yotsidi, V., Pagoulotau, A., Kyrazos, T., Stalikas, A. (2018). The Role of Hope in Academic and Work Environments: An Integrative Literature Review.

Scientific journal publishing.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel perbandingan indeks produktivitas diatas, model pengukuran marvin e mundel menunjukan terjadinya penurunan indeks produktivitas pada input metal

Dari output diatas dapat diketahui nilai t hitung = 13,098 dengan nilai signifikansi 0,000 < 0.05 maka H0 ditolak, yang berarti Terdapat pengaruh positif

309 Dagregister van Jan Greeve, Raad extra ordinair van Nederlands Indie, Mitsgaders Gouverneur en Directeur op en langs Java's Noordoost Kust in den jaar 1788 naar Solo en Djocja,

RPJM transisi ini merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Gubernur Sumatera Utara dengan tetap mengacu kepada Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Kedua, tidak ada kabupaten atau kota yang terletak di kuadran II dengan kategori daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata, tapi pengurangan

Duabelas responden menggunakan sudut fleksi 45° terdiri dari dua siswa laki-laki yang mengeluh nyeri di leher pada saat duduk menulis dengan kategori berat dan menggambar

pelatihan sebanyak 20 orang yang terdiri atas pria dan wanita. Kegiatan pengabdian mereka didukung oleh Kecamatan Kraton Kota Yogyakarta dan Dinas Sosial Kota

Keputusan RUPS untuk memberhentikan anggota Direksi dapat dilakukan dengan alasan yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota Direksi yang