BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Keuangan Negara
Ada beberapa alternatif pembiayaan untuk penyediaan barang-barang publik
yang dilakukan oleh negara antara lain ( Rosdiana dan Irianto, 2012 ) :
1. Cetak Uang,
2. Pinjaman Luar Negeri,
3. Pinjaman Dalam Negeri,
4. Menjual Cadangan Devisa,
5. Pemungutan Pajak.
Sebagai amanat Pasal 23 C Bab VIII UUD 1945, keuangan negara harus
diatur dalam undang-undang terkait dengan pengelolaan hak dan kewajiban negara.
Amanat ini dituangkan dalam Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan negara. Disamping itu dalam diktum menimbang Undang-Undang no 17
tahun 2003 juga disebutkan latar belakang penyelenggaraan pemerintahan negara
untuk mewujudkan tujuan bernegara yang menimbulkan hak dan kewajiban negara
yang dapat dinilai dengan uang. Pengertian keuangan negara dalam perspektif
Undang-undang No 17 tahun 2003 dituangkan dalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 1
angka (1) yaitu: Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.
Dengan demikian pengertian keuangan negara diatas meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan
melakukan pinjaman
2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan
negara dan membayar tagihan pihak ketiga
3. Penerimaan negara
4. Pengeluaran negara
5. Penerimaan daerah
6. Pengeluaran daerah
7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaan negara
8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaran
tugas pemerintahan dan atau kepentingan umum
9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara pada
Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 ini adalah dari sisi objek, subjek, proses dan
tujuan.
Dari sisi objek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak
dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan
kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh
objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan atau dikuasai oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang
ada kaitannya dengan keuangan negara.
Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggungjawaban.
Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan
hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan atau penguasaan objek
sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokan
dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter dan sub bidang
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam
penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara
profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Sesuai dengan amanat pasal 23 C Undang Dasar 1945,
Undang-Undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah
ditetapkan dalam undang undang dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang
meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara,
seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun
asas-asas baru sebagai pencerminan best practises (penerapan kaidah-kaidah yang
baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain:
1. akuntabilitas berorientasi hasil,
2. profesionalitas,
3. proporsionalitas,
4. keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara,
5. pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri,
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya
prinsip-prinsip pemerintahaan daerah sebagaimana telah dirumuskan dalam Bab VI
Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam Undang-Undang tentang
Keuangan Negara, pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi acuan dalam
landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di negara kesatuan Republik
Indonesia.
2.2. Gambaran Umum Tentang Pajak
Secara konstitusional, dasar hukum perpajakan di Indonesia tersurat dalam
Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 (setelah perubahan), yang mengatakan bahwa
“Pajak dan pungutan lain untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
Pajak tidak memberikan imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, atau secara
ekstrim dapat dikatakan bahwa pajak tidak memberikan “imbalan”. Peralihan
kekayaan yang tanpa imbalan hanya dapat berupa pemberian secara sukarela, oleh
karena itu pemungutan pajak harus dilakukan dengan persetujuan rakyat (DPR)
terlebih dahulu.
Ada beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian
hak kepada negara untuk memungut pajak, teori-teori tersebut adalah (Waluyo dan
Ilyas, 2000):
1. Teori Asuransi. Menurut teori ini negara melindungi jiwa, harta benda, dan
hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan
sebagai premi asuransi karena memperoleh jaminan tersebut.
2. Teori Kepentingan. Menurut teori ini pembagian beban pajak kepada rakyat di
dasarkan pada kepentingan masing-masing orang, semakin besar kepentingan
3. Teori Daya Pikul. Menurut teori ini beban pajak untuk semua orang harus sama
beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing
orang.
4. Teori Bakti. Menurut teori ini dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada
hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti rakyat
harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli. Menurut teori ini dasar keadilan terletak pada akibat
pemungutan pajak, maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari
rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara, kemudian negara akan
menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan
kesejahteraan masyarakat, dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat
lebih diutamakan.
Pajak sebenarnya adalah gejala masyarakat, artinya bahwa pajak hanya
terdapat dalam masyarakat. Jika tidak ada masyarakat maka tidak akan ada pajak
(Soemitro, 2001). Menurut Undang-Undang Nomor 28/2007, Pajak adalah kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Para ahli hukum pajak juga mencoba untuk memberikan pengertian mengenai
pajak. Menurut P.J.A. Adriani, pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk,
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (Soemitro,
2001).
Sedangkan menurut Soemitro, 2001, pengertian pajak ditinjau dari segi
hukum adalah perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan
seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang
(Tatbestand) untuk membayar sejumlah uang kepada (kas) negara yang dapat
dipaksakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk,
yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (rutin dan
pembangunan) dan yang digunakan sebagai alat (pendorong-penghambat) untuk
mencapai tujuan di luar bidang keuangan.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa pajak bukan semata-mata ditujukan untuk
mencapai tujuan ekonomi yang memberi kesan bahwa pemerintah memungut pajak
terutama atau semata-mata untuk memperoleh uang atau dana untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran pemerintah, sehingga seakan-akan pajak hanya mempunyai
fungsi sebagai sumber keuangan negara (Budgetair), tetapi sebenarnya pajak
mempunyai fungsi yang lebih luas, yaitu fungsi regulerend. Dengan fungsi
regulasinya itu pajak dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu
yang letaknya di luar bidang keuangan dan fungsi mengatur itu banyak ditujukan
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka
pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan). Sesuai dengan tujuan hukum
yakni mencapai keadilan. Adil dalam perundang-undangan di antaranya adalah
mengenakan pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan
kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaan yakni dengan
memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan
dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Peradilan Pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis)
3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis). Pemungutan pajak tidak
boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga
tidak menimbulkan kelesuan ekonomi
4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil). Sesuai dengan fungsinya yang
budgetair maka biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih
rendah dari hasil pemungutannya.
5. Pemungutan pajak harus sederhana. Sistim pemungutan yang sederhana akan
memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya (Mardiasmo, 2000)
Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara perlu terus ditingkatkan
sehingga pembangunan nasional dapat dilaksanakan dengan kemampuan sendiri
berdasarkan prinsip kemandirian. Untuk mendukung peningkatan penerimaan pajak
perpajakan, yaitu dengan mengeluarkan beberapa undang-undang perpajakan yang
baru. Dengan adanya pembaharuan ini maka sistim pemungutan pajak mengalami
perubahan yang mendasar mengenai ciri dan coraknya. Kalau semula sistim
pemungutan pajak di dasarkan pada sistim Official Assessment, dimana tugas
administrasi perpajakan menitik beratkan pada tugas merampungkan/menetapkan
semua Surat Pemberitahuan guna menentukan jumlah pajak yang terhutang dan
jumlah pajak yang seharusnya dibayar, namun dalam sistim yang baru ini, yang
dikenal dengan sistim Self Assessment, Wajib Pajak dituntut mempunyai kepatuhan
yang tinggi, karena ia wajib untuk menghitung, memperhitungkan, dan membayar
sendiri jumlah pajak yang seharusnya terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang
terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri. Selain itu wajib pajak diwajibkan pula
melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terhutang dan yang telah dibayar
sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan
(Mardiasmo, 2000).
Dengan demikian sistem ini memberi kepercayaan yang lebih besar kepada
Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Selain itu jaminan dan
kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak. lebih
diperhatikan, sehingga diharapkan dapat lebih merangsang peningkatan kesadaran
Sebenarnya apabila Wajib Pajak telah melaksanakan kewajiban
perpajakannya sesuai dengan sistem ini, maka dikemudian hari tentu tidak akan
timbul masalah, yaitu berupa pemeriksaan ekstensifikasi maupun intensifikasi yang
pada akhirnya akan menimbulkan Surat Ketetapan Pajak (SKP), yaitu surat yang
menyatakan adanya kekurangan jumlah utang pajak yang masih harus dibayar ,
bahkan dapat juga terjadi adanya penyidikan terhadap Wajib Pajak tersebut.
Menurut hukum perdata utang adalah perikatan, yang mengandung kewajiban
bagi salah satu pihak (baik perseorangan maupun badan sebagai subyek hukum)
untuk melakukan sesuatu (prestasi) atau untuk tidak melakukan sesuatu, yang
mengurangi atau melanggar hak pihak lainnya (Soemitro, 2001).
Pengertian utang dalam hukum perdata tersebut mempunyai arti luas dan
sempit (Soemitro, 2001). Dalam arti luas ialah segala sesuatu yang harus dilakukan
oleh yang berkewajiban sebagai konsekwensi perikatan. Sedang dalam arti sempit
adalah perikatan sebagai perjanjian khusus yang disebut utang piutang yang
mewajibkan debitur untuk membayar (kembali) jumlah uang yang telah dipinjamnya
dari kreditur.
Pajak atau utang pajak tergolong dalam utang (uang) dalam arti sempit yang
mewajibkan Wajib Pajak (Debitur) untuk membayar suatu jumlah uang dalam Kas
Negara (Kreditur) (Soemitro, 2001). Timbulnya utang pajak atau yang juga disebut
dengan perikatan pajak ada yang disebabkan oleh undang-undang sendiri dan ada
pula yang timbul karena undang-undang dengan perbuatan manusia. Kedua
1. Ajaran material, dan
2. Ajaran Formal.
Menurut ajaran material, utang pajak (perikatan pajak) timbul karena bunyi
undang-undang saja, tanpa diperlukan suatu perbuatan manusia (jadi sekalipun tidak
dikeluarkan Surat ketetapan pajak oleh fiscus) asalkan dipenuhi syarat terdapatnya
“Tatbestand”, yang terdiri dari keadaan-keadaan tertentu atau peristiwa ataupun
perbuatan tertentu. (Brotodihardjo, 2000). Sedangkan menurut ajaran formal, utang
pajak baru timbul pada saat dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak. Jadi selama belum
ada SKP, belum ada utang pajak walaupun “Tatbestand” sudah dipenuhi. Dengan
demikian SKP merupakan syarat mutlak yang menimbulkan utang pajak, atau dapat
juga disebut bahwa SKP merupakan ketetapan yang konstitutif (menimbulkan hak
dan kewajiban), tanpa adanya SKP maka tidak akan ada utang pajak (Brotodihardjo,
2000). Di dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU No. 38/2008) dianut ajaran
material, karena Wajib Pajak memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan,
menghitung dan menetapkan sendiri jumlah pajak yang terhutang, tanpa menunggu
Ditjen Pajak mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), dengan
demikian maka SKPKB di dalam ajaran ini tidak menimbulkan utang pajak, tetapi
hanya merupakan ketetapan yang bersifat deklaratoir, sebab utang pajak sudah timbul
pada saat dipenuhinya “Tatbestand”. Di samping itu SKPKB tersebut mempunyai
fungsi sebagai:
1. Koreksi atas jumlah pajak yang terhutang menurut SPT
3. Alat untuk menagih pajak (Mardiasmo, 2000).
Walaupun kepada WP telah diberikan kepercayaan untuk menghitung,
memperhitungkan dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya, namun
berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak ternyata banyak WP yang
masih belum melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, hal ini terbukti dengan banyaknya SKP yang diterbitkan, di samping itu juga
banyaknya perorangan/badan yang seharusnya sudah menjadi WP namun ternyata
belum juga mendaftarkan diri sebagai WP, adanya kondisi seperti ini menandakan
bahwa sebenarnya potensi perpajakan yang ada belum dapat digali secara optimal.
Rendahnya optimalisasi pemungutan pajak ini dapat diukur dari rasio antara
jumlah Wajib Pajak terdaftar dengan jumlah produk domestik bruto (tax ratio). Tax
ratio Indonesia dalam tahun 2003 adalah sebesar 13,1 %, , sedang untuk tahun 2004
tax ratio 12,3%, pada 2005 terjadi peningkatan menjadi sebesar 12,89%. Tahun 2006
mencapai 13,58 persen, tahun 2007 mencapai sekitar 13,92 persen, dan pada tahun
2008 turun menjadi 13,5%. Prosentase tersebut merupakan jumlah yang masih
rendah di antara negara-negara ASEAN lainnya.
Dengan demikian perlu dilakukan terobosan-terobosan untuk mengejar
ketertinggalan itu, karena Tax Ratio yang rendah setidak-tidaknya memberikan empat
isyarat (Gunadi, 2000):
1. Telah terjadi “under taxation” yang memberikan kesan kepada para pengusaha
disediakan oleh pemerintah, untuk kelancaran usaha, pengusaha harap maklum
bahwa ada fasilitas yang harus disediakan sendiri.
2. Rendahnya daya bayar pajak masyarakat karena rendahnya income perkapita
yang kebanyakan berada di bawah ambang batas pemajakan (Penghasilan Tidak
Kena Pajak). Dalam keadaan seperti ini untuk mengangkat kinerja pengumpulan
pajak, terlebih dahulu penghasilan masyarakat harus ditingkakan.
3. Kurang efektif dan produktifnya sistem dan administrasi perpajakan nasional
sebegai mesin pengumpul uang pemerintah.
4. Masih terdapat potensi pajak yang realisasinya perlu dioptimalkan
Menurut JS.Uppal dan Soekanto sebenarnya masih terdapat “a big-untapped
potential” dalam sistim perpajakan (Gunadi, 2000). Potensi pajak yang belum di
“tap” ini terdapat pada hampir semua jenis pajak baik Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai, Pajak Bumi Dan Bangunan, maupun jenis pungutan pajak
lainnya.
Selain beberapa faktor tersebut di atas juga tidak bisa terlepas dari adanya
perilaku WP yang apabila tidak ditangani secara baik akan menghindar dari
kewajiban perpajakannya.
Secara konseptual perilaku diindikasikan dengan pola sikap yang ditujukan
oleh WP sebagai respon terhadap kewajiban perpajakannya yang secara psikologis
merupakan beban yang mengurangi keuntungan atau penghasilan. Pola perilaku
tersebut timbul dan dianggap sebagai satu kewajaran sepanjang tidak mengarah
Perilaku warga masyarakat sebenarnya mengandung unsur nilai yang sudah
lama dihayatinya dan hal inilah yang mempengaruhi bekerjanya hukum di dalam
masyarakat. Seorang anggota masyarakat adalah sebagai adresat hukum. Chambils
and Seidman menyebut adresat hukum itu sebagai pemegang peran (role occupant).
Sebagai pemegang peran ia diharapkan oleh hukum untuk memenuhi
harapan-harapan tertentu sebagaimana dicantumkan di dalam peraturan-peraturan. Dengan
demikian anggota masyarakat diharapkan untuk memenuhi peran yang tertulis di situ
(role expectation).
Namun bekerjanya harapan itu tidak ditentukan hanya oleh kehadiran dari
peraturan itu sendiri, melainkan oleh beberapa faktor lain. Faktor-faktor yang
menentukan bagaimana respons yang akan diberikan oleh pemegang peran adalah :
1. Sanksi-sanksi yang terdapat;
2. Aktivitas dari lembaga-lembaga badan pelaksana hukum, dan;
3. Seluruh kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang bekerja
atas diri pemegang peran.
Adanya berbagai faktor yang bekerja atas diri pemegang peran,
memungkinkan terjadinya penyimpangan antara peran yang diharapkan dan peran
yang dilakukan. Di sini menunjukkan terjadinya ketidak cocokan antara isi peraturan
Hasil penelitian Betty dan Sally (dalam Yurzal, 2002) yang mempelajari
tingkat sensitivitas WP terhadap risiko ketahuan dan menerima sanksi
mengelompokkan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku mereka, sebagai
berikut :
1. Tingkat inflasi dan pengangguran, merupakan indikasi yang menggambarkan
keadaan perekonomian. Bila tingkat inflasi dan pengangguran tinggi
mengindikasikan bahwa perekonomian tidak tumbuh, income per kapita turun,
daya beli lemah,masalah-masalah sosial, dan perilaku WP juga berubah yaitu
cenderung untuk mengurangi atau menghilangkan sama sekali kewajiban
perpajakan. Dengan melemahnya daya beli, kemungkinan uang untuk melunasi
kewajiban pajak dialihkan untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Pada masa
keadaan seperti ini dimungkinkan tingginya tingkat menghindar pajak.
2. Keyakinan bahwa hukum tidak mendeteksi, baik dalam teori maupun praktek.
WP mempunyai perhitungan terhadap kekuatan hukum dalam menjerat setiap
tindakan melanggar ketentuan perpajakan. Peluang tersebut dipadukan dengan
tingkat intelegensi WP untuk menerobos undang-undang. Bila dalam teori
maupun aplikasinya, hukum mampu menjerat WP maka perilaku WP akan
terbatasi. Secara teori, sebelum WP melakukan perbuatan melanggar UU, WP
mempunyai perhitungan kekuatan hukum. Apa hukum bisa diterobos, ditelikung,
3. Persepsi bahwa usaha menghindar dan tidak membayar pajak sudah diterima
secara general. Bila persepsi ini ada di WP maka kesalahan terletak pada kekuatan
hukum dan tugas pemerintah untuk mengeluarkan peraturan dan pelaksanaannya
serta hal ini menunjukkan kegagalan pemerintah untuk membina dan mendidik
WP menuju kesadaran pajak. Tidak merasa malu dan salah bila ketahuan
menunggak pajak merupakan indikator sikap mempersepsikan bahwa
menghindari pajak diterima secara umum. Dalam hal ini pemerintah, di samping
memungut pajak juga mempunyai tugas untuk membina dan mendidik mentalitas
WP agar membayar pajak bukan merupakan suatu keterpaksaan.
4. Sikap ketidak puasan masyarakat terhadap prioritas pengeluaran yang dilakukan
oleh pemerintah dan efisiensi administrasi pemerintah. Masyarakat secara
individual maupun dalam kelompok organisasi menilai pengelolaan uang pajak
mereka. Uang pajak dipergunakan untuk kegiatan pembangunan dan roda
pemerintahan tidak efisien dan dikorupsi. Bila ambang batas toleransi masyarakat
tidak dapat menerima, maka perilaku WP tergolong ekstrim, yaitu memboikot
dalam pembayaran pajak. Perilaku ini dalam konseptualnya timbul sebagai respon
perlawanan dan protes terhadap kebijakan pemerintah dalam manajemen
pengeluaran belanja negara.
5. Sanksi dan persepsi bahwa sanksi akan dilaksanakan dan diterapkan. Sanksi
berfungsi untuk memberi hukuman dan shock therapy dalam setiap
penyimpangan. Kepastian hukum dan hukum yang tidak bisa “dibeli” akan
6. Kesempatan menghindar, WP mempunyai gambaran sendiri berapa besar
probabilitas kesempatan ia menghindar dari kewajiban membayar pajak baik
dengan cara radikal atau smooth. Kesempatan menghindar ini diperkecil dengan
cara meningkatkan kualitas sumber daya pembuat peraturan.
7. Kerumitan undang-undang, WP dan pemerintah mempunyai pandangan yang
berbeda dalam mengartikan peraturan. Tingkat kerumitan akan mempengaruhi
tingkat kepatuhan WP dan berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. Tingkat
pendidikan yang tinggi tidak selalu mempersoalkan kerumitan peraturan, tetapi
bagi yang mempunyai tingkat pendidikan yang rendah akan kesulitan dalam
mengartikan undang-undang walaupun pemerintah telah melakukan tindakan
sosialisasi dengan penyuluhan.
8. Faktor-faktor demografi. Kultur masyarakat mempengaruhi tingkat kepatuhan,
penyimpangan, pola pikir, dan kemampuan menilai setiap kebijakan . Kulturnya
ditunjukkan dengan sikap menerima, terpaksa menerima, dan tidak menerima
sama sekali. Tiap-tiap wilayah pemungutan pajak mempunyai perilaku yang
berbeda yang tergambar dalam tunggakan pajak. Makin tinggi tunggakan pajak
maka harus ditingkatkan frekwensi penyuluhan dan pemeriksaan pajak.
Pada dasarnya upaya untuk menghindarkan diri dari pembayaran pajak dapat
dikategorikan dalam tiga tipe (Ancok, 2002) :
1. Penghindaran pajak dengan cara legal (tax avoidance). Dalam tipe ini WP
berusaha untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar dengan cara
untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar adalah legal dan tidak
menyalahi peraturan yang ada.
2. Penghindaran pajak secara illegal (Tax Evasion). Dalam tipe ini WP. dengan
sengaja tidak melaporkan kekayaan dan penghasilannya yang mestinya kena
pajak. Tindakan yang demikian ini dapat dikenai sanksi.
3. Penunggakan pembayaran pajak (Tax Arrearage). Penunggakan pajak (karena
memang tidak mau membayar pajak) adalah tipe lain dari ketidak mauan
membayar pajak. Sama halnya dengan Tax Evasion, penunggakan pembayaran
pajak dapat dikenai sanksi.
Walaupun terdapat perbedaan dalam gradasi, perbuatan yang tergolong Tax
Avoidance, Tax Evasion dan Tax Arearage adalah refleksi dari ketidak gairahan
orang untuk membayar pajak. Pada kasus Tax Avoidance motivasi untuk membayar
jauh lebih baik dari pada kasus Tax Evasion, sedangkan pada kasus Tax Evasion
kegairahan untuk membayar pajak jauh lebih rendah karena perilaku tersebut adalah
illegal. Apapun yang menjadi alasan dari WP untuk menghindarkan diri dari
kewajiban perpajakannya, yang jelas kesemuanya itu adalah merupakan indikator
adanya ketidak patuhan WP terhadap kewajiban perpajakannya.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi
utama atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan (Tambunan, 2001), karena jumlah penduduk yang semakin
semakin bertambah, oleh karena itu dibutuhkan pula penambahan pendapatan setiap
tahunnya.
Menurut Boediono (2000), yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi
adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Output perkapita
adalah output total dibagi jumlah penduduk, jadi proses kenaikan output per kapita,
tidak bisa tidak harus dianalisa dengan jalan melihat apa yang terjadi dengan output
total di satu pihak, dan jumlah penduduk di lain pihak.
2.3. Pajak Penghasilan
2.3.1. Pengertian Penghasilan
Definisi penghasilan menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 adalah:
Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan
nama dan dalam bentuk apapun.
2.3.2. Pengertian Pajak Penghasilan
Menurut Tobias Subekti dan Asrori, pengertian Pajak Penghasilan adalah
pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan
dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak (dalam
Liswatin, 2004). Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui adanya ciri-ciri
1. Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan pada setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh karena suatu hal dimana
tambahan kemampuan ekonomis tersebut dapat dipakai untuk konsumsi atau
menambah kekayaan.
2. Penghasilan yang terkena pajak adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh
selama satu tahun pajak. Tahun pajak adalah jangka waktu takwim atau satu tahun
buku.
3. Penghasilan yang terkena pajak adalah penghasilan yang diperoleh seseorang baik
dari dalam negeri atau luar negeri serta penghasilan yang berasal dari Indonesia
yang diperoleh orang luar negeri.
2.3.3. Subjek Pajak Penghasilan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak
Penghasilan, subjek pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Subjek pajak dalam negeri, yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri
adalah: (i) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi
yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niatan untuk bertempat tinggal di
Indonesia; (ii) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; (iii)
2. Subjek Pajak Luar Negeri, yang dimaksud dengan Subjek Pajak Luar Negeri,
adalah: (i) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesiaa tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; (ii) Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia atau berada di Indonesiaa tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
2.3.4. Objek Pajak Penghasilan
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan,
yang menjadi objek pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun, termasuk:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3. Laba usaha.
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
b) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham , sekutu, dan anggota.
c) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha.
d) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang.
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian Sisa Hasil Usaha
koperasi.
8. Royalti.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10.Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11.Keuntungan karena pembebasan utang.
13.Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
14.Premi asuransi.
15.Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang iuran
tersebut ditentukan berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
anggotanya.
16.Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak.
2.3.5. Penghasilan Yang Tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, Penghasilan
yang tidak termasuk sebagai objek Pajak Penghasilan adalah :
1. Bantuan atau sumbangan.
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
3. Warisan.
4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal. Penggantian atau imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwi guna, dan
asuransi beasiswa.
6. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukn di
Indonesia.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pagawai, dan penghasilan yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
8. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi-bagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma dan kongsi.
9. Bunga obliasi yang diterima atau diperoleh dari perusahaan reksa dana.
10.Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatannya di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
a) Merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan
2.4. Pajak Penghasilan Orang Pribadi
Pada prinsipnya, orang pribadi yang menjadi subyek pajak dalam negeri
adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk
dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka
yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia dipertimbangkan menurut
keadaan. Keberadaan seseorang pribadi di Indonesia diperhitungkan apabila orang
tersebut lebih dari 183 hari, tidak harus berturut-turut tetapi ditentukan oleh jumlah
hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu dua belas bulan sejak
kedatangannya di Indonesia. Sebagai subjek pajak seseorang dapat bertempat tinggal
atau berada di Indonesia atau di luar negeri (Djuanda, 2001).
2.4.1. Prinsip UU PPh Menentukan Orang Pribadi Sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri
Dalam bukunya, Markus dan Yujana (2002) mengatakan bahwa, UU PPh
menentukan bahwa setiap orang pribadi yang berdomisili di Indonesia adalah Subjek
Pajak orang pribadi dalam negeri (asas domisili bukan asas kewarganegaraan). Orang
pribadi yang tidak berdomisili di Indonesia bukan Subjek Pajak, karena mereka tidak
tunduk pada hukum pajak yang berlaku di Indonesia. Mereka yang tidak berdomisili
di Indonesia baru tunduk pada hukum pajak Indonesia dan menjadi Subjek Pajak luar
negeri, jika mereka memenuhi salah satu syarat berikut:
1. jika orang pribadi yang tidak berdomisili di Indonesia tersebut melakukan
Indonesia, maka orang pribadi tersebut menjadi Subjek Pajak Orang Pribadi Luar
Negeri BUT, atau
2. jika orang pribadi yang tidak berdomisili di Indonesia tersebut menerima atau
memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia tanpa melalui Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia, maka orang pribadi tersebut menjadi Subjek Pajak
Orang Pribadi Luar Negeri selain BUT.
2.4.2. Kewajiban Pajak Subjektif Orang Pribadi
Menurut Rusdi (2004), Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif
yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya
kewajiban perpajakan tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek
pajak lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum,
penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.
Kewajiban pajak subjektif untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia, dimulai sejak hari pertama orang pribadi
tersebut berada atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada
saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Sedangkan kewajiban pajak subjektif bagi orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia dimulai pada saat ia lahir di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal
2.4.3. Ketentuan Lain Mengenai Pajak Penghasilan Orang Pribadi
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas, untuk menghitung kewajiban pajaknya pada akhir tahun pajak diperbolehkan
memilih dua cara, yaitu :
1. Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (Pencatatan). Menurut
Suandy (2002), pengertian pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur
tentang peredaran bruto dan/atau penerimaan penghasilan sebagai dasar untuk
menghitung jumlah pajak yang terutang. Penggunaan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto (Pencatatan) hanya boleh dipergunakan oleh Wajib Pajak
orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun belum melebihi
Rp.600.000.000,00. Tujuan penyelenggaraan pencatatan adalah untuk
mempermudah pengisian SPT dan penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
2. Menggunakan Pembukuan. Pengertian pembukuan menurut Suandy (2002)
adalah proses pencatatan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
informasi tentang : (i) Keadaan harta; (ii) Kewajiban atau utang; (iii) modal;
(iv) penghasilan dan biaya. Pembukuan ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca dan perhitungan laba rugi pada setiap akhir tahun
pajak. Pembukuan wajib diselenggarakan oleh Wajib Pajak yang melakukan
kegiatan / pekerjaan bebas, dengan catatan peredaran bruto (omzet) dalam
satu tahun telah melebihi Rp.600.000.000,00. tujuan dari penyelenggaraan
Penghasilan Kena Pajak dan untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil
kegiatan usaha / pekerjaan bebas.
2.5. Upah
2.5.1. Pengertian Upah
Yang dimaksud dengan upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari
pengusaha kepada pekerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan,
dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan
atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja
antara pengusaha dan pekerja termasuk tunjangan, baik untuk pekerja sendiri maupun
keluarganya (PP No 8 Tahun 1981).
Kedudukan dan fungsi upah adalah sebagai hak bagi pekerja dan kewajiban
bagi perusahaan yang merupakan sarana untuk memelihara, melestarikan dan
meningkatkan kebutuhan hidup manusia, ditetapkan atas dasar nilai-nilai tugas
seorang pekerja dengan memperhatikan keseimbangan prestasi, kebutuhan pekerja
dan kemampuan perusahaan.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Upah merupakan hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
Berdasarkan pengertian upah di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Upah timbul karena adanya hubungan kerja,
2. Bentuk upah berupa uang,
3. Cara dan waktu pembayaran ditentukan dalam perjanjian,
4. Besarnya upah ditentukan menurut persetujuan atau peraturan
perundang-undangan.
Upah dari segi pengusaha dipandang sebagai komponen biaya produksi dari
barang/jasa yang dihasilkan atau biaya yang dikeluarkan untuk mempekerjakan
pekerja. Sedangkan dari segi pekerja upah merupakan penghasilan untuk menjamin
kelangsungan hidup pekerja dan keluarganya sebagai imbalan jasa yang diberikan
dari pekerja untuk perusahaan. Pemerintah dalam hal ini memandang upah sebagai
suatu standar hidup masyarakat , oleh karena itu harus diciptakan iklim usaha dan
sosial yang baik agar berbagai kepentingan masyarakat bisa dipadukan.
2.5.2. Komponen Upah
Tidak selamanya imbalan/penghasilan yang diterima oleh buruh/pekerja
disebut sebagai upah. Dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 07/MEN/1990
tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah disebutkan
bahwa:
1. Termasuk Komponen Upah adalah:
a. Upah pokok; merupakan imbalan dasar yang dibayarkan kepada buruh
menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan
b. Tunjangan tetap; suatu pembayaran yang teratur berkaitan dengan
pekerjaan yang diberikan secara tetap untuk buruh dan keluarganya yang
dibayarkan bersamaan dengan upah pokok seperti tunjangan anak,
tunjangan kesehatan, tunjangan perumahan, tunjangan kehamilan.
Tunjangan makan, tunjangan transport dapat dimasukkan dalam tunjangan
pokok asalkan tidak dikaitkan dengan kehadiran buruh, dengan kata lain
tunjangan tersebut diberikan tanpa mengindahkan kehadiran buruh dan
diberikan bersamaan dengan dibayarkannya upah pokok;
c. Tunjangan tidak tetap; suatu pembayaran yang secara langsung maupun
tidak langsung berkaitan dengan buruh dan diberikan secara tidak tetap
bagi buruh dan keluarganya serta dibayarkan tidak bersamaan dengan
pembayaran upah pokok.
2. Tidak Termasuk Komponen Upah
a. Fasilitas; kenikmatan dalam bentuk nyata karena hal-hal yang bersifat
khusus atau untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, seperti fasilitas
kendaraan antar jemput, pemberian makanan secara cuma-cuma, sarana
ibadah, tempat penitipan bayi, koperasi, kantin dan sejenisnya;
b. Bonus; pembayaran yang diterima buruh dari hasil keuntungan perusahaan
atau karena buruh berprestasi melebihi target produksi yang normal atau
karena peningkatan produktivitas;
2.5.3. Jenis-jenis Upah
Jenis-jenis upah antara lain :
1. Upah nominal, adalah sejumlah uang yang dibayarkan pada para pekerja yang
berhak secara tunai sebagai imbalan atas jasa atau karja yang dilakukan sesuai
dengan perjanjian kerja, di dalam upah tersebut tidak ada tambahan atau
keuntungan lain yang dibayarkan pada pekerja.
2. Upah nyata, adalah upah yang nyata dan benar-benar harus diterima oleh
seseorang pekerja yang berhak.
3. Upah hidup, adalah upah yang diterima pekerja relatif cukup untuk membiayai
keperluan hidup yang lebih luas, yang tidak hanya kebutuhan pokoknya saja
tetapi juga kebutuhan sosial keluarganya.
4. Upah minimum, adalah upah yang diterima pekerja tanpa tunjangan lain dan
merupakan batas bagi pemberian upah yang sangat rendah dari pengusaha.
5. Upah wajar, adalah upah yang diterima pekerja dinilai cukup wajar oleh
pengusaha dan para pekerja sebagai imbalan atas jasa dan kerja yang diberikan
pekerja kepada pengusaha sesuai dengan perjanjian kerja di antara mereka
(Kartasaputra, 2002).
2.5.4. Upah Minimum
Pengertian Upah Minimum menurut Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor Per.01/MEN/1999 adalah upah bulanan terendah yang terdiri
dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Pemerintah menetapkan upah minimum
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Dalam Pasal 89 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa Upah Minimum
terdiri atas :
1. Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota;
2. Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
Upah Minimum Kota (UMK) Kota Medan ditandatangani oleh Gubernur
Sumatera Utara, dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No
188.44/740/KPTS/Tahun 2010, tertanggal 27 Desember 2010. berdasarkan surat
keputusan tersebut, nominal UMK Kota Medan 2011 adalah sebesar Rp1.197.000
dan keputusan tersebut berlaku sejak Januari 2011.
2.6. Pendapatan Per Kapita
PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) adalah jumlah nilai tambah bruto
yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam wilayah tertentu atau merupakan jumlah
nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Salah satu
manfaat data PDRB adalah untuk mengetahui tingkat produk yang dihasilkan oleh
seluruh faktor produksi, besarnya laju pertumbuhan ekonomi dan struktur
perekonomian pada satu periode di suatu daerah tertentu. PDRB atas dasar harga
berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan
menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan
menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada
Pendapatan per kapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu
negara. Pendapatan per kapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan nasional
suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan per kapita juga
merefleksikan PDB per kapita.
Selanjutnya menurut Kuncoro (2004), Gaspersz dan Feony (2003) dalam
Harianto dan Adi (2007) indikator pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan
Produk Domestik Bruto (PDB) atau PDRB dianggap tidak selalu tepat karena tidak
mencerminkan makna pertumbuhan yang sebenarnya. Lebih lanjut disebutkan bahwa
indikator pendapatan per kapita lebih komprehensif dalam mengukur pertumbuhan
ekonomi karena lebih menekankan kemampuan daerah untuk meningkatkan PDRB
karena secara simultan menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi mampu
meningkatkan kesejahteraan seiring dengan laju pertambahan penduduk.
2.7. Penanaman Modal
Penanaman Modal atau Investasi adalah mobilisasi sumber daya untuk
menciptakan atau menambah kapasitas produksi/pendapatan di masa yang akan
datang. Dalam investasi ada 2 (dua) tujuan utama yang ingin dicapai yaitu mengganti
bagian dari penyediaan modal yang rusak dan tambahan penyediaan modal yang ada.
Penanaman Modal yang dipakai dalam penelitian ini adalah Penanaman Modal Asing
Penanaman Modal Asing merupakan usaha yang dilakukan pihak asing dalam
rangka menanamkan modalnya disuatu negara dengan tujuan untuk menciptakan
suatu produksi. Penanaman Modal Asing terbagi atas 2 yaitu:
1. Penanaman Modal Asing Langsung (Foreign Direct Investment). FDI
langsung dilakukan oleh pihak asing atau dapat dikatakan sebagai investasi
perusahaan secara penuh , dimana pengelolaan baik manajemen ataupun
sebagian tenaga kerja ditentukan oleh pihak asing. Jenis penanaman modal
asing ini biasanya dilakukan oleh perusahaan raksasa yang tergabung dalam
Multi National Country yaitu perusahaan yang memiliki dan mengendalikan
berbagai kegiatan produktif di lebih dari satu negara. Penanaman modal
secara langsung meliputi transfer modal ataupun pendirian pabrik dan
biasanya menggunakan teknik teknik produksi asal investor, jasa manajerial,
pemasaran dan iklan yang ditentukan oleh penanam modal asing tersebut.
Investasi Asing Langsung berarti bahwa perusahaan dari negara penanam
modal secara de facto dan de jure melakukan pengawasan atas asset yang
ditanam di negara dimana penanam modal menginvestasikan modalnya,
dengan cara investasi itu, investasi langsung dapat mengambil beberapa
bentuk, di antaranya pembentukan suatu cabang perusahaan di negara
pengimpor modal, pembentukan satu perusahaan investor memiliki saham
mayoritas, pembentukan suatu perusahaan di negara pengimpor hanya
secara khusus di negara lain, atau menaruh aset tetap di negara lain oleh
perusahaan dari negara investor.
2. Joint Venture (JV). JV merupakan usaha bersama yang diselenggarakan oleh
dua atau lebih pihak yang merupakan badan hukum dimana masing-masing
pihak memasukkan sejumlah modal tertentu, dengan pembagian resiko dan
keuntungan berdasarkan proporsi modal tersebut. Jadi JV merupakan
kerjasama antara pemilik modal asing dengan modal nasional. Tentang
pengelolalaan perusahaan ditetapkan oleh kedua belah pihak dan dengan
memperhatikan ketentuan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah,
investor asing dapat hanya menyertakan modal tanpa ikut dalam manajemen
dan pengelalaan perusahaan dan tenaga kerja.
Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh
penanaman modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri (Pasal 1,
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007, tentang Penanaman Modal)
Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk:
1. Penanaman modal dalam negeri langsung (Domestic Direct Investment), yaitu
penanaman modal oleh pemilik modal itu sendiri.
2. Penanaman modal dalam negeri tidak langsung (Domestic Indirect
Investment), yaitu melalui pembelian obligasi-obligasi, surat-surat kertas
oleh perusahaan, serta deposito dan tabungan yang berjangka
sekurang-kurangnya satu tahun.
2.8. Sunset Policy
Sesuai kebijakan pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak,
berdasarkan Pasal 37A UU No.28 Tahun 2007 tentang Sunset Policy tanggal 17
Juli 2007 diterapkan kebijakan Sunset Policy. Setelah jangka waktu tersebut,
peraturannya tidak berlaku lagi (tenggelam). Beberapa pihak legislatif yang setuju
dengan Sunset Policy melihat bahwa secara temporal kebijakan ini sangat berguna
karena keefisiensiannya. Sedangkan pendapat kontra cenderung tidak setuju dengan
kebijakan ini karena dianggap melegalkan kecurangan dengan meminimalkan beban
pajak. Kebijakan penghapusan sanksi administrasi merupakan suatu bentuk Sunset
Policy di bidang perpajakan karena mempunyai unsur berlaku sementara, yaitu dalam
periode satu tahun (1 Januari - 31 Desember 2008), yang diperpanjang hingga 28
Pebruari 2009.
Sunset Policy dapat meningkatkan perbaikan struktur organisasi, prosedur,
dan kinerja; meningkatkan akuntabilitas organisasi, dan dapat menghasilkan
penghematan keuangan para Wajib Pajak. Dalam konteks kebijakan pengurangan
atau penghapusan sanksi administrasi, Sunset Policy bermanfaat untuk menghemat
kas yang harus dikeluarkan Wajib Pajak. Penghematan tersebut merupakan daya tarik
Penghapusan sanksi administrasi diberikan dalam periode tertentu. Jika
pengampunan pajak dilaksanakan tidak dengan Sunset Law justru akan membuat
kepatuhan pajak menurun karena tidak ada pembatasan fasilitas. Juga menyebabkan
Wajib Pajak tidak jujur akan bebas melakukan penyimpangan perpajakan dan akan
bebas pula dari sanksi tanpa batas waktu.
2.9. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai determinan yang
mempengaruhi penerimaan PPh OP, antara lain:
1. Saefullah (2002) berjudul Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Jumlah
Wajib Pajak Orang Pribadi dan Hubungannya dengan Jumlah Penerimaan Pajak
Penghasilan WP OP. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
mengukur faktor yang mempengaruhi jumlah WP OP, dan mengukur hubungan
jumlah WP OP dengan jumlah penerimaan PPh OP. Variabel-variabel bebas
dalam penelitian ini adalah Jumlah Penghasilan, tingkat pendidikan, jumlah
penduduk, pandangan WP terhadap administrasi perpajakan, sedangkan variabel
variabel terikat adalah jumlah WP OP, dan pencapaian penerimaan PPh OP.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan jumlah penghasilan, tingkat
pendidikan, jumlah penduduk, pandangan WP terhadap administrasi perpajakan
sangat berpengaruh terhadap jumlah WP OP dan penerimaan PPh OP. Secara
Parsial yang paling dominan adalah jumlah penghasilan, administrasi perpajakan,
2. Dewi (2007) berjudul Analisis Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Tingkat
Penerimaan PPh Orang Pribadi (Studi Kasus Kantor Pelayanan Pajak Batu di
Jawa Timur). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah jumlah NPWP
WP OP terdaftar, SSP yang diterima dan pencairan tunggakan berpengaruh secara
signifikan terhadap PPh OP, untuk mengetahui besar hubungan kepekaan
perubahan penerimaan PPh OP sebagai akibat perubahan variable-variabel lain
yang dianggap memepengaruhi, dan untuk mengetahui variable yang paling
dominan dalam mempengaruhi penerimaan PPh OP. Metode analisis yang
digunakan adalah regresi linier berganda. Dari hasil uji F menunjukkan bahwa
variable NPWP WP OP terdaftar, SSP yang diterima dan pencairan tunggakan
secara simultan berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PPh OP. Dari
R2
3. Nasution (2008), berjudul Analisis Determinan Penerimaan Pajak Penghasilan
(PPh) Orang Pribadi di Provinsi Sumatera Utara. Penelitian dilakukan di Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I dan II. Jenis data yang
digunakan adalah data sekunder berupa time series tahun 2000 – 2007 yaitu data
Pajak Penghasilan Orang Pribadi, Jumlah Wajib Pajak, Inflasi, dan Pendapatan
Per Kapita. Model Ekonometrika yang digunakan adalah Autoregressive dengan
Metode Ordinary Least Square. Hasil Penelitian menunjukkan, secara serempak
variabel-variabel independen (Jumlah Wajib Pajak, Inflasi periode sebelumnya,
dan Pendapatan Per Kapita berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dapat dilihat bahwa variable NPWP OP, SSP yang diterima dan pencairan
dependen (Pajak Penghasilan Orang Pribadi). Secara parsial variabel-variabel
independen yaitu Pendapatan Per Kapita mempunyai pengaruh positif, signifikan
dan terbesar terhadap variabel dependen (Penerimaan Pajak Penghasilan Orang
Pribadi) di Sumatera Utara. Variasi variabel-variabel independen (Jumlah Wajib
Pajak, Inflasi periode sebelumnya, dan Pendapatan Per Kapita) dapat menjelaskan
variabel dependen (Pajak Penghasilan Orang Pribadi) sebesar 85,2 persen.
4. Li (2010) berjudul Correlation Among Income Tax Rate, Tax Receipts, And GDP,
penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi / hubungan antara tarif pajak
penghasilan, penerimaan pajak, dan PDB, dengan mengambil data dari tahun
1940 – 2010 di Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
korelasi / hubungan yang sangat kuat antara penerimaan pajak penghasilan
dengan PDB Amerika Serikat, sedangkan korelasi / hubungan tarif pajak
2.10. Kerangka Konseptual
Kerangka pemikiran penelitian adalah sebagai berikut :
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual 2.11. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka dan penelitian terdahulu maka dapat ditarik
hipotesis penelitian, yaitu:
6. Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi berpengaruh positip terhadap Penerimaan
Pajak Penghasilan Orang Pribadi di Kota Medan.
7. Upah Minimum Kota Medan berpengaruh positip terhadap Penerimaan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi di Kota Medan.
8. Pendapatan Per Kapita berpengaruh positip terhadap Penerimaan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi di Kota Medan.
9. Penanaman Modal berpengaruh positip terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan
Orang Pribadi di Kota Medan. JUMLAH WAJIB PAJAK
UPAH MINIMUM KOTA
PENANAMAN MODAL
PENERIMAAN PPh OP
PENDAPATAN PERKAPITA
10.Sunset Policy (variabel dummy) berpengaruh terhadap Penerimaan Pajak