BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu hukum dan Ilmu Ekonomi jika di lihat dari perkembangannya di keseharian terlihat perbedaan yang sangat signifikan. Hal ini ter-refleksikan dari kurang pesatnya perkembangan ilmu hukum jika di bandingkan dengan ilmu ekonomi. Di lain pihak, manusia membutuhkan perlindungan hukum atas setiap transaksi bisnis yang dilakukannya. Sehingga azas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek selanjutnya disingkat dengan sebutan KUHPerdata) pun mulai di jadikan sebagai dasar alasan yang menyebabkan berkembangnya perjanjian-perjanjian baru di masyarakat yang tidak keseluruhannya terdapat diatur dalam KUHPerdata.1
Perjanjian (verbintenis) mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua atau lebih pihak yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk memberi prestasi.
2
1
KUHPerdata Pasal 1338 ayat 1, yang secara redaksional menullis “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sehingga suatu perjanjian tersebut mengikat para pihak yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak tersebut.
2
Pada dasarnya suatu perjanjian kerjasama berawal dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan di antara para pihak yang bersangkutan. Perumusan hubungan perjanjian senantiasa di awali dengan proses negosiasi di antara para pihak. Melalui proses negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk adanya kesepakatan untuk saling mempertemukan suatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar menawar tersebut.3
Suatu perjanjian bertujuan untuk suatu persetujuan yang di akui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan pokok didalam dunia usaha dan menjadi dasar bagi kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha dan termasuk juga menyangkut tenaga kerja.
4
Selain prinsip kebebasan berkontrak yang telah di sampaikan di atas, dalam KUHPerdata diatur pula prinsip-prinsip lain dari hukum perjanjian yang di Suatu Kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek selanjutnya disingkat dengan sebutan KUHPerdata).
3
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008), hal. 1. Disini dijelaskan bahwa awal
terjadinya perbedaan kepentingan para pihak dalam suatu kesepakatan dicoba untuk dipertemukan melalui adanya kesepakatan para pihak. Oleh sebab itu melalui hubungan perjanjian, perbedaan tersebut dapat diakomodir dan selanjutnya dapat dituangkat dalam suatu produk hukum yang berkekuatan hukum pula sehingga memiliki kekuatan untuk mengikat para pihak. Mengenai sisi kepastian hukum dan keadilan, justru akan tercapai apabila perbedaan yang ada diantara para pihak dapat terakomodir melalui sebuah mekanisme hubungan perikatan yang bekerja secara seimbang dan terarah.
4
antaranya adalah prinsip konsensual, prinsip obligatoir dan prinsip pacta sunt servanda.5
Prinsip konsensual adalah jika suatu perjanjian dibuat, yakni setelah adanya kata sepakat diantara pihak, maka perjanjian telah sah dan mengikat secara penuh, tanpa memerlukan persyaratan lain, seperti persyaratan tertulis, kecuali jika undang-undang menentukan lain.6 Sedangkan Prinsip obligatoir adalah suatu prinsip yag mengajarkan bahwa jika suatu perjanjian telah dibuat, yakni jika terjadi kata sepakat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatannya itu hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban semata-mata, dan haknya belum beralih sebelum dilakukan penyerahan (levering).7 Prinsip pacta sunt servanda, yang berarti adalah bahwa jika suatu perjanjian sudah dibuat secara sah oleh para pihak, maka perjanjian tersebut sudah mengikat para pihak. Bahkan mengikatnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut sama kekuatannya dengan mengikatnya sebuat undang-undang yang dibuat oleh parlemen dan pemerintah.8
Dalam praktiknya di lapangan terdapat 3 (tiga) tahapan dalam membuat perjanjian yaitu :9
1. Tahap pra-contractual :
yaitu tahapan dimana adanya penawaran dan penerimaan.
5
Munir Fuady, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, (Bandung: CV. Utomo, 2005), hal. 178. (Selanjutnya disebut Munir Fuady I)
6
Megarita, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Saham Yang Digadaikan, (Medan: USU Press, 2010), hal. 18.
7Ibid, hal. 18.
8Ibid, hal. 18.
Dalam hal ini tersirat bahwa KUHPerdata menentukan bahwa kesepakatan kehendak merupakan salah satu dasar dari syarat sahnya suatu perjanjian.
9
2. Tahap contractual :
yaitu tahapan dimana adanya penyesuaian pernyataan kehendak antara para pihak yang mengadakan perjanjian.
3. Tahapan post-contractual :
yaitu tahapan dimana pelaksanaan perjanjian.
Dalam membuat perjanjian antara para pihak pasti akan menimbulkan hubungan hukum yang kemudian disertai adanya akibat-akibat hukum, dan akibat hukum tersebut akan memikul hak dan kewajiban serta tanggung jawab di antara keduanya. Pengertian dari tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh di tuntut, di persalahkan, di perkarakan).10
Pada tahap atau fase pra-kontraktual para pihak yang sedang bernegosiasi secara timbal balik berusaha untuk saling mempertemukan antara pendapat mereka dan ekspektasi mereka masing-masing melalui forum tawar menawar ataupun negosiasi demi mencapai kesepakatan (deal) perihal ketentuan ataupun materi yang kelak akan disepakati bersama oleh para pihak. Dalam fase ini, upaya kedua belah pihak untuk saling mempertemukan pendapat dan maksud kedua belah pihak dilakukan dengan saling memberi dan menerima konsesi
11
10
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal. 1006.
11
Perhatikan G. H. Treitel, Law of Contract, Sweet & Maxwell, (London: International Student Editions, 1991), hal. 16 yang menulis dengan redaksi “as negotiations progress, each party may make concession or new demands and the parties may in the end disagree as to whether
they had ever agreed at all” yang kemudian diterima terjemahan kalimat concessions dalam
bahasa indonesia sebagai “konsesi” yang memiliki makna “kelonggaran”. Ini berarti pada tahapan ini para pihak masing-masing memberikan kelonggaran dari tiap-tiap klausal yang hendak mereka tuntut agar tercapai kata mufakat. Namun akan tetapi durasi waktu yang dibutuhkan dalam mencapai kesepakatan sesudah menjadalani negosiasi yang penuh dengan kelonggaran tersebut sangat tergantung kepada cepat atau lambatnya dicapai kesamaan persepsi aatau kemampuan pemahaman para pihak dalam memahami materi dan syarat perjanjian yang hendak disepakati.
yang satu terhadap pihak yang lainnya sehingga pada tahap akhir negosiasi akan tercapai kesepakatan (deal) yang sama-sama di cari dan ingin di capai oleh para pihak.
Kemampuan para pihak dalam memahami pola berfikir dan kemampuan para pihak dalam cermat memilih kosakata kalimat dan intonasi verbal dalam penyampaian kepada para pihak lainnya juga merupakan salah satu variabel yang akan menentukan hasil negosiasi dari suatu kontrak. Negosiasi tidak selalu berjalan mulus, ada saat terdapat dimana negosiasi itu berjalan tidak sesuai dengan yang di harapkan.
Hal ini di karenakan pihak lainnya tidak memahami dengan benar materi atau objek kesepakatan yang hendak dicapai tersebut dan selanjutnya para pihak hanya membicarakan syarat-syarat dan ketentuan (terms and conditions) saja, tetapi ada kalanya objek perjanjian transaksi bisnis tersebut harus diperlihatkan melalui pemaparan (representation) dalam fase pra-kontraktual ini, baik secara umum (misalnya menggelar grand-openning, soft-launching dan lain-lainnya) maupun secara khusus (artis asing yang datang untuk pertunjukan konser di Indonesia terlebih dahulu menyampaikan apa saja hal yang hendak disampaikannya dalam pertunjukan tersebut guna untuk melakukan sensor atas potensi dan peluang terjadinya invasi kebudayaan asing), bila mengingat dari sesuatu yang akan jadi objek12
Pihak yang melakukan penawaran (offeror) dalam fase kontraktual lazimnya pada kenyataannya lebih siap untuk segera mengikat diri jika
perjanjian itu.
12
dibandingkan dengan pihak yang menerima penawaran (offeree). Hal ini dikarenakan offeror sudah lebih siap dan menguasai dengan konsep dan atau rancangan perjanjian yang diharapkannya dapat diterima oleh pihak offeree untuk mengikat diri dalam perjanjian.13
Kesepakatan yang sudah dicapai dan dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis, selain berisikan subjek dan objek perjanjian, juga berisikan ketentuan-ketentuan dan syarat perjanjian ditambah syarat lain yang ditentukan oleh undang-undang.
14
Namun hal ironis yang sering terjadi pada prakteknya adalah negosiasi yang berlangsung mulus akan tetapi pada tahapan pelaksanaannya (post-contractual) tidak lagi sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pihak lainnya. Ketidaksamaan pendapat ini terjadi karena adanya pemahaman yang salah (pemahaman yang keliru ataupun kesalahan dalam penafsiran) dari pihak yang menerima penawaran (offeree/representee) akibat penyajian keterangan atau fakta yang keliru dari pihak yang memberikan penawaran (offeror/representator).15
Para pelaku usaha yang sering melakukan hal ini (penyajian keterangan yang berbeda pada fase pra kontraktual dan kontrak) tidak menyadari akan adanya ancaman pidana dari perbuatan yang mereka lakukan terhadap konsumen. Contoh: Saat melakukan penawaran rumah dengan spesifikasi yang berbeda/tidak sesuai dari apa yang ditawarkan sebelumnya, pada saat fase pra kontraktual pelaku usaha pada umumnya menyampaikan bahwa konstruksi rumah yang dijualnya
13
Ada juga kasus yang terjadi dikehidupan sehari-hari saat sebelum perjanjian induk ditandatangani antara kedua belah pihak terlebih dahulu ditandatangani nota kesepahaman (letter
of intent) sebagai wujud nyata bahwa pihak yang satu sudah menerima tawaran dari pihak yang
lain. 14
Perhatikan Pasal 1320 KUHPerdata. 15
menggunakan baja konstruksi ukuran 5 (lima) millimeter, namun saat sudah selesai dan telah terjadi penyerahan (levering) dan saat di periksa ternyata menggunakan baja konstruksi ukuran 3 (tiga) millimeter, hal inilah yang menyebabkan adanya ancaman pidana yang kerap mengancam pengusaha.
Tindakan yang memberikan penyampaian yang keliru atau tidak benar kepada pihak lainnya dalam berkontrak dalam ilmu hukum disebut dengan istilah sebutan “misrepresentation”.16
Dikarenakan ilmu hukum merupakan suatu ilmu filsafat, maka penafsiran pasal demi pasal yang mengatur definisi dari perjanjian sudah tentu terdapat perbedaan pula dalam penafsirannya. Beberapa sarjana hukum juga memiliki pendapat yang berbeda pula terkait definisi dari perjanjian sebagaimana yang diatur pada buku KUHPerdata buku III. Demikian juga halnya dengan misrepresentation yang secara nyata tidak terdapat ketentuan yang secara tertulis membahas masalah misrepresentation dalam KUHPerdata. Sehingga hanya diartikan secara harfiah bahwa istilah misrepresentation merupakan penyajian keterangan yang menyesatkan dalam kontrak.
17
Menurut Syahril Sofyan, perbedaan antara misrepresentation dengan penipuan adalah : jika misrepresentation terjadi dengan memberikan keterangan ataupun gambaran yang keliru, sedangkan penipuan terjadi karena dengan adanya bujuk rayu dan tipu muslihat. Namun akan tetapi menurut beliau,
16
Ibid, Hal. 1016.
17
misrepresentation terjadi sejak dimulainya pada fase post contractual, selebihnya hanya akibat hukumnya saja yang terjadi.18
Perlu juga diketahui, pengertian perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata juga bukan tanpa celah kelemahan. Hal ini seperti yang di sampaikan oleh J. Satrio yang menyebutkan ada terdapat 3 (tiga) kelemahan dari Pasal 1313 KUHPerdata yaitu :19
1. Kata “perbuatan” atau “rechtshandeling” disini mengandung makna yang dalam di dalam skema peristiwa hukum, maka peristiwa hukum yang timbul karena perbuatan/tindakan manusia meliputi baik “tindakan hukum” maupun “tindakan manusia yang lain” (yang bukan tindakan hukum).
2. Kata “dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih". Setiap orang yang membaca kalimat tersebut akan membayangkan adanya satu orang atau lebih yang terikat kepada satu orang lebih lainnya. Jadi kesan yang timbul adalah : di satu pihak ada kewajiban dan dilain pihak ada hak. Yang demikian ini hanya cocok untuk perjanjian yang sepihak, sebab di dalam perjanjian yang timbal balik pada kedua pihak ada baik hak maupun kewajiban.
3. Pengertian perjanjian pada Pasal 1313 KUHPerdata tidak memperlihatkan adanya konsensus/sepakat/persetujuan dan tidak mempunyai tujuan yang jelas.
18
Syahril Sofyan, Dosen / Notaris Kota Medan, Wawancara dilakukan pada tanggal 3 Oktober 2015, pukul 10:00 Wib. Sebagai contoh juga menurut hasil wawancara, bahwa pada negara yang menganut sistem hukum common law seperti Amerika, politikus yang memberikan janji kosong tidak dapat dikatakan sebagai misrepresentation.
19
Menurut Abdul Kadir Muhammad persetujuan kehendak adalah kesepakatan seia-sekata. Mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan.20
Hal ini sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 1321 KUHPerdata yang berbunyi “tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Namun dalam misrepresentation batasan-batasan antara penyajian keterangan yang menyesatkan dengan unsur penipuan dengan tipu muslihat masih sangat samar perihal ketentuan yang mengatur tentang batasan-batasannya. Penipuan menurut arti undang-undang ialah dengan sengaja memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui.
Pernyataan kehendak atau persetujuan kehendak harus merupakan perwujudan kehendak yang bebas, artinya tidak ada paksaan dan tekanan (dwang) dari pihak manapun juga, harus betul-betul atas kemauan sukarela para pihak. Dalam pengertian kehendak atau sepakat tersebut termasuk juga tidak ada kekhilafan (dwaling) dan tidak ada penipuan (bedrog). Apabila ada kesepakatan terjadi karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalan kepada hakim (vernietigbaar).
21
Suatu pemaparan terhadap suatu suatu substansi dalam fase pra contractual disebabkan karena terdapat kesepahaman kesepakatan dan inilah yang
20
Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit, hal. 228. 21
disebut dengan representasi (representation). Selebihnya pada fase post contractual akan akibat hukumnya yang akan terbit.
Dengan latar belakang yang disampaikan diatas, maka membuat penelitian ini sebagai tesis, dan membatasi ruang lingkup penelitian yaitu dengan judul mengenai “Misrepresentation Dalam Kontrak : Analisis Terjadinya Perbedaan Informasi Pada Fase Pra Kontraktual Dengan Kontrak”.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana terjadinya misrepresentation dalam kontrak pada fase pra-kontraktual?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa bila terjadi misrepresentation?
3. Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak yang mengalami misrepresentation dalam suatu kontrak?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai di dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana suatu perjanjian dapat dikatakan misrepresentation.
3. Untuk meng-identifikasi dan menganalisis perlindungan hukum yang tepat oleh pihak yang dirugikan dengan misrepresentation dalam suatu kontrak.
D. Manfaat Penelitian
Mengacu kepada judul dan permasalahan yang diangkat oleh penulis, maka diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi banyak pihak, baik secara teoritis maupun praktis, yaitu :
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih pemikiran dan saran di dunia ilmu hukum dalam bidang hukum kontrak, khususnya perihal perjanjian yang bersifat misrepresentation (menyesatkan).
2. Manfaat praktis
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik untuk mengantisipasi bermuara kepada tindakan perbuatan wanprestasi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, tidak terdapat penelitian dengan dengan judul “Misrepresentation Dalam Kontrak : Analisis Terjadinya Perbedaan Informasi
Pada Fase Pra Kontraktual Dengan Kontrak” dan oleh sebab ini maka
penelitian ini asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah merupakan suatu prinsip ajaran pokok yang di anut untuk mengambil suatu tindakan atau untuk memecahkan suatu masalah. Teori yang di pergunakan sebagai landasan atau alasan mengenai suatu variabel bebas tertentu di masukkan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variabel yang bersangkutan bisa mempengaruhi variabel yang tidak bebas atau merupakan salah satu penyebab.22
Perkembangan ilmu hukum selain bergantung kepada metodologi, juga bergantung kepada aktivitas penelitian dan imajinasi sosial yang sangat ditentukan oleh teori.23
22
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 192.
23
Kerangka teori akan digunakan untuk sebagai landasan berfikir untuk menganalisa permasalahan yang terjadi dalam penelitian ini. Terutama permasalahan perihal misrepresentation dalam kontrak.
Dalam pembahasan tesis ini, kerangka teori yang digunakan adalah kerangka teori perlindungan hukum dan hukum perikatan atau perjanjian atau hukum kontrak yang mengatur tentang perikatan dalam kontrak.
Menurut Fitzgerald, yang di kutip dari tulisan Sajipto Rahardjo pada buku Ilmu Hukum, Fitzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.24 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.25
Kalimat “perlindungan” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti tempat berlindung atau merupakan perbuatan (hal) melindungi, misalnya memberikan perlindungan kepada orang yang lemah.26
24
Sajipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 2000), hal. 53. 25
Ibid, hal. 69.
26
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cetakan IX, 1986), hal. 600.
harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.27
Ada terdapat berbagai macam ahli hukum yang memberikan pengertian mengenai teori perlindungan hukum, namun dalam menjalankan dan memberikan perlindungan hukum dibutuhkannya suatu tempat atau wadah dalam pelaksanaannya yang sering disebut dengan sarana perlindungan hukum. Sarana perlindungan hukum dibagi menjadi dua macam yang dapat dipahami, sebagai berikut: 28
a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Pada perlindungan hukum preventif, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.
b. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Peradilan
27
Sudikno Metrokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1991), hal. 38.
28
Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa teori perlindungan hukum adalah merupakan suatu teori yang layak digunakan dalam penelitian ini dikarenakan teori perlindungan hukum suatu teori yang mempelajari perihal perbuatan hal yang juga membahas perlindungan mengenai subjek hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku berikut juga dengan tata cara pelaksanaannya beserta sanksi yang melekat terhadap ketentuan yang mengatur.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, karena konsep adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran. Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antar abstraksi dan realistis.29
29
Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Misrepresentation adalah suatu pernyataan yang tidak benar (false statement of fact) mengenai suatu fakta atau keadaan yang mempengaruhi seseorang menjadi mau mengadakan perjanjian.30
b. Kontrak adalah dasar para pihak dalam melakukan perjanjian yang berdasarkan perikatan.31
c. Pra Kontraktual adalah para pihak melakukan perundingan penawaran dan atau permintaan untuk menentukan isi kesepakatan dalam perjanjian.32 d. Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.33
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, karena ingin memberikan gambaran kajian terhadap analisis misrepresentation yang terjadi pada fase pra-kontraktual dengan kontrak.
30
September 2015, pukul 20:00 Wib. Perhatikan dan bandingkan juga Bryan A. Gardner, Black’s
Law Dictionary, (Minesota: St. Paul, Seventh Edition, 1999), hal 1305.
31
Pasal 1313 KUHperdata 32
Aris Setyo Nugroho, Penerapan Asas Itikad Baik Pada Fase Pra Kontraktual Dalam
Hukum Common Law dan Civil Law, (Jakarta: Jurnal Repertorium Fakultas Hukum, Program
Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret, Edisi 1 Januari – Juni , 2014), hal. 75. Kesepakatan adalah merupakan hal yang terpenting untuk menciptakan hubungan hukum selain syarat-syarat yang sebagaimana di kemukakan pada Pasal 1320 KUHPerdata yakni : kesepakatan, cakap, hal tertentu dan sebab yang halal.
33
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Perdata (Burgerlijk Wetboek selanjutnya disebut dengan singkatan KUHPerdata). Perhatikan juga Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan
Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 1, yang mencantumkan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, untuk mengetahui secara presisi terbitnya suatu perjanjian pada fase pra-kontraktual yang bersifat misrepresentation. Pendekatan yuridis normatif ini digunakan dengan maksud tujuan untuk mengadakaan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen, yurisprudensi dan berbagai teori lainnya.
2. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) bahan sumber hukum, yaitu : a. Bahan hukum primer
Yaitu bahan hukum yang berlaku yang ada hubungannya dengan hukum kontrak, hukum kebendaan dan putusan-putusan pengadilan yang memiliki korelasi dengan penyajiaan keterangan yang menyesatkan dalam kontrak. Termasuk didalamnya KUHPerdata dan juga tidak menutup kemungkinan untuk melibatkan sumber hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) No. 100 Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
b. Bahan hukum sekunder
Yaitu bahan yang berkaitan atau mendukung bahan hukum primer, yaitu : (1). Hasil penelitian atau jurnal mengenai misrepresentation
c. Bahan hukum tersier
Yaitu bahan yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan lainnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara : a. Penelitian Kepustakaan (library research)
Yaitu dengan membaca dan mempelajari, meng-identifikasi, meneliti dan meng-anatomi buku-buku, laporan, penelitian serta sumber yang relevan lainnya yang memiliki korelasi dengan permasalahan dalam permasalahan yang diteliti pada penelitian ini.
b. Wawancara
Yaitu dengan melakukan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai panduan dalam memberikan pertanyaan kepada sumber-sumber yang kerap menjadi pihak yang dirugikan karena perilaku adanya misrepresentation dalam kontrak. Juga melakukan wawancara kepada praktisi hukum seperti Notaris dan juga kalangan akademisi seperti Dosen.
4. Analisis Data
lalu dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Penelitian ini pada dasarnya tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interprestasi data yang di kumpulkan. Oleh karena itu data yang telah di kumpulkan kemudian di olah, di analisis secara kualitatif dan di terjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga di harapkan akan memberikan solusi permasalahan dalam penelitian.
5. Jadwal Penelitian
Penelitian ini direncanakan dapat diselesaikan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, 2 (dua) minggu terhitung sejak disetujuinya penelitian ini dalam seminar kolokium, dengan perkiraan waktu adalah sebagai berikut ;