• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Sistem Pendidikan menurut Fak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perspektif Sistem Pendidikan menurut Fak"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF SISTEM PENDIDIKAN MENURUT FAKTOR PENDUKUNGNYA: SEKOLAH, KEPALA SEKOLAH, SISWA, GURU

DAN TENAGA KEPENDIDIKAN, KURIKULUM DAN EVALUASI, DANA, SARANA DAN PRASARANA

MAKALAH

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan: Fakta, Kebijakan, Teori dan Filsafat diampu oleh Prof. Dr. H. Achmad Sanusi dan Dr. Yosal Iriantara

Oleh Denny Kodrat NPM: 4103810413007

PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN/MANAJEMEN

PENDIDIKAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA

(2)

PERSPEKTIF SISTEM PENDIDIKAN MENURUT FAKTOR

PENDUKUNGNYA: SEKOLAH, KEPALA SEKOLAH, SISWA, GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN, KURIKULUM DAN EVALUASI, DANA,

SARANA DAN PRASARANA

“If you want an education, join the revolution” (Ernesto Che Guevara, dalam Walker,1981:120)

Pendahuluan

Pendidikan (education) tidaklah dibatasi oleh sekadar pergi ke sekolah,

duduk di ruang kelas, mendengarkan, menyimak dan melakukan instruksi

guru di dalam kelas. Pendidikan tidak dapat dipersempit dengan

mengikuti pendidikan formal dari level sekolah dasar, sekolah menengah

pertama, sekolah menengah atas hingga pendidikan tinggi. Pendidikan

tidak bisa diukur oleh berapa banyak ijasah formal yang dimiliki.

Pendidikan sejatinya merupakan bagian dari naluri manusia. Dia ada setua

peradaban manusia. Oleh karenanya, mengutip bahasa Prof. Achmad

Sanusi, bahwa pendidikan sebagai upaya untuk mengajari manusia

berpikir (higher order thinking skills) (Sanusi, 2013), oleh karenanya

tidaklah keliru saat Indonesia dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional, selain menyelenggaran pendidikan

formal, juga mengakui keberadaan pendidikan non-formal dan informal.

Ini berarti, pemaknaan mengenai pendidikan tidaklah harus dipersempit

dengan hanya mendirikan pusat-pusat pendidikan formal yang barangkali

hanya menyentuh 50 persen penduduk Indonesia, tetapi juga bagaimana

pemerintah dan masyarakat mengembangkan dan memantapkan

pendidikan non-formal dan informal, untuk mencapai tujuan pendidikan

(3)

meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa

serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh

karenanya tidaklah keliru saat Che Guevara mengatakan, “If you want an

education, join the revolution” (Jika anda ingin pendidikan, maka

bergabunglah dalam revolusi), ungkapan ini dapat dimaknai sebagai

pembentukan diri manusia, dimana kondisi revolusi, perang yang penuh

dengan ketidakstabilan, akan mampu “memaksa” manusia untuk

menghadirkan potensi-potensi dirinya, salah satunya adalah berpikir:

memikirkan dunia yang lebih baik pasca revolusi, memikirkan menjadi

insan yang berguna pasca revolusi, yang hal tersebut bisa jadi sulit

dihadirkan dalam kondisi-kondisi yang nyaman, aman, damai seperti yang

tengah dialami Indonesia saat ini.

Driyarkara (1980) menyebutkan bahwa pendidikan adalah

memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf

mendidik. Sementara itu, Crow and Crow (1960) menyebut pendidikan

sebagai modern educational theory and practice not only are aimed at

preparation for future living but also are operative in determining the

pattern of present, day-by-day attitude and behavior. Sedangkan Fattah

(2008) mengidentifikasi pendidikan menjadi:

a. Pendidikan mengandung tujuan, yaitu kemampuan untuk

berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidup. b. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha yang

terencana dalam memilih isi (materi), strategi dan teknik

penilaiannya yang sesuai.

c. Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkugan keluarga, sekolah

(4)

Upaya yang ditempuh oleh pemerintah guna mencapai tujuan

pendidikan nasional sebagaimana yang menjadi program rencana

strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sebelumnya

Kementerian Pendidikan Nasional) tahun 2010-2014, yaitu dengan

menggulirkan visi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

“Terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional untuk membentuk

insan Indonesia cerdas komprehensif” (Kemdiknas, 2010). Pertanyaan

sederhananya adalah apakah visi ini dapat tercapai dengan ukuran-ukuran

yang sudah ditetapkan dalam rencana strategis Kementerian Pendidikan

dan Budaya ini? Kemudian apakah seiring terus bergesernya pendidikan

dari pola status quo (birokratis/top down) menuju pelibatan masyarakat

atau yang dikenal dengan Manajemen berbasis Sekolah (School based

Management) untuk mewujudkan learning community pemerintah tidak

gagap dengan menghadirkan rencana program yang memadai untuk

perwujudan MBS yang ideal? Dalam konteks pendidikan formal, apakah

sistem pendukung mikro pendidikan, seperti sekolah, kepala sekolah,

siswa, guru dan tenaga kependidikan, kurikulum dan evaluasi, dana,

sarana dan prasarana memiliki semangat yang sama untuk mendukung

pola pendidikan yang bergeser dari status quo menuju MBS ini? Di saat

negara-negara tetangga di Asia Tenggara, sebut saja Singapura atau

tetangga kita di belahan timur, seperti Australia, Jepang, Korea, atau

belahan Eropa seperti Inggris, Swedia, Finladia, Jerman dan negara-negara

di Amerika, seperti AS sendiri, sudah mulai jauh meninggalkan Indonesia,

dengan menghadirkan atau beranjak ke pola pendidikan yang melibat ICT

(5)

Mengacu pada 3 (tiga) pertanyaan di atas inilah, makalah ini akan

membahas seputar perspektif sistem pendidikan (formal) menurut faktor

pendukungnya seperti sekolah, kepala sekolah, siswa, guru dan tenaga

kependidikan, kurikulum dan evaluasi, dana, sarana dan prasarana, yang

ditinjau secara fakta, kebijakan, teori dan filsafat.

Tinjauan Fakta: Faktor Pendukung Sistem Pendidikan

Berikut akan dibahas beberapa tinjauan fakta pendukung sistem

pendidikan: (a). sekolah; (b). kepala sekolah; (c). siswa; (d). guru dan

tenaga kependidikan; (e). kurikulum dan sistem evaluasi; (f). dana (g).

sarana dan prasarana.

A. Sekolah

Sekolah merupakan institusi yang bagian dari mikro pendidikan

dimana interaksi guru dan siswa terjadi, direncanakan, diadministrasikan,

dijalankan dan dievaluasi. Tidak hanya mengharuskan adanya bentuk

bangunan fisik, ruang kelas, laboratorium, WC, kantin dan lapangan

olahraga yang memadai, namun lebih jauh dari itu, sekolah merupakan

representasi sistem pendidikan yang dapat diobservasi dan diukur

(observable and measurable). Itu karena proses pendidikan yang meliputi

input-proses-output terjadi di sekolah. Proses interaksi antara peserta

didik dengan unsur-unsur yang memengaruhi proses belajar seperti

kurikulum, guru, tenaga kependidikan, materi ajar, hingga proses belajar

mengajar, berada di sekolah.

Dua sekolah Menengah Atas yang saya hadirkan dalam makalah ini

merupakan sekolah tempat saya mengajar. Pertama, SMA Taruna Bakti

(6)

Berlokasi di pusat kota dengan gedung bertingkat lima. Cukup

representatif untuk proses pembelajaran. Sekolah Menengah Atas

menempati lantai tiga dan empat, meliputi 30 ruang kelas, 10 WC, 5

Laboratorium, 3 ruang pengendali administrasi dan perpustakaan, aula,

indoor gym serta 2 ruang guru. Untuk fasilitas olahraga berada di jalan

Suci, dekat pasar Cihaurgeulis, Bandung.

Kedua, SMA Negeri Jatinangor. Sekolah ini terbilang baru didirikan

pertengahan tahun 1994 (Unit Gedung Baru). Memiliki 35 ruang kelas,

laboratorium IPA dan Bahasa, perpustakaan, ruang guru, ruang para

wakasek, 4 WC, masjid dan kantin. Lokasinya cukup strategis, dekat

dengan kampus Universitas Padjajaran, Universitas Winaya Mukti, ITB

kampus Jatinangor, IPDN. Kawasan ini dulunya disebut sebagai kawasan

pendidikan dan menjadi etalase kota Sumedang. Kedua sekolah ini

memenuhi standar nasional pendidikan sebagaimana diatur dalam

Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan, sebagaimana di ubah oleh Peraturan Pemerintah no. 32 tahun

2013.

B. Kepala Sekolah

Kepala sekolah merupakan pemimpin (leader) dari satuan

pendidikan. Dia yang memiliki wewenang dan bertanggung jawab dalam

proses mikro pendidikan. Mulyasa (2013) menyebut beberapa fungsi

kepala sekolah sebagai educator, manajer, administrator, supervisor,

leader, innovator dan motivator. Ada beberapa kualifikasi yang

dipersyaratkan untuk menjadi kepala sekolah sebagaimana dalam

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

(7)

menjadi guru di satuan pendidikan, memiliki kualifikasi akademik,

berpengalaman 5 tahun sebagai guru. Biasanya, dinas pendidikan

kota/kabupaten menambahkan beberapa syarat tambahan seperti pernah

menjabat sebagai pernah menjabat sebagai wakil kepala sekolah. Dengan adanya otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan

sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka posisi

kepala sekolah sangat strategis. Dia sangat berhubungan erat dengan

berbagai aspek kehidupan sekolah seperti disiplin sekolah, iklim budaya

sekolah dan menurunnya perilaku nakal peserta didik (Supriadi, 1998;

Mulyasa, 2013).

Fakta mengenai kepala sekolah di sekolah negeri sedkiti berbeda

dengan sekolah swasta. Di sekolah negeri, bupati yang memilih kepala

sekolah sesuai dengan acuan perundang-undangan dan seleksi yang

dilakukan secara ketat. Kepala sekolah dapat diganti bila sudah menjabat

selama dua periode (atau 8 tahun). Biasanya kepala sekolah terkena

sistem mutasi, dimana dia bisa berpindah-pindah unit kerja yang dia

pimpin. Satu kepala sekolah diganti oleh kepala sekolah lain, jarang diisi

oleh kepala sekolah dari guru di sekolah tersebut. Berbeda dengan

sekolah negeri, di sekolah swasta, yayasan yang memiliki wewenang

untuk memilih dan menetapkan kepala sekolah yang berasal dari

guru-guru tetap yang mengajar di sekolah tersebut.

C. Siswa

Siswa/peserta didik merupakan anggota masyarakat yang berusaha

mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia

melalui jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Beberapa sekolah di tingkat

(8)

nasional dan prestasi. Sekolah lain menerapkan rekrutmen dengan tes

tertulis. Paradigma ingin mendapatkan input terbaik menjadi dasar

pertimbangan sekolah dalam menerima siswanya.

Sekolah mengharapkan dengan mendapatkan input siswa yang

terbaik, dilihat dari prestasi akademik di sekolah sebelumnya atau dilihat

dari aspek kepribadian, maka mereka akan mudah menghasilkan keluaran

yang optimal. Meminjam istilah sistem informasi GIGO (Gold in, Gold out).

Paradigma inilah yang mengakibatkan munculnya wacana uji

keperawanan bagi siswi di sekolah tertentu. Dengan uji keperawanan ini

diharapkan sekolah dapat menyaring siswi-siswi nakal (baca: tidak

perawan). Begitupula tes wawancara yang dilakukan oleh sekolah-sekolah

berstandar internasional dulu.

Tes ini meliputi wawancara terhadap siswa dan orang tua, yang

akhirnya menyaring strata sosial keluarga peserta didik. Yang terkategori

mampu bisa langsung melenggang untuk belajar di sekolah internasional,

yang berkategori tidak mampu, harus balik kanan mencari sekolah non

internasional.

D. Guru dan Tenaga Kependidikan

Sumber daya manusia (SDM) yang menjadi ujung tombak di mikro

pendidikan adalah guru dan tenaga kependidikan. Guru, menurut Undang

Undang No. 14 Tahun 2004 tentang Guru dan Dosen, adalah tenaga

pendidikan profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta

didik. Sementara itu, tenaga kependidikan, sebagaimana Undang-Undang

No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah anggota

(9)

penyelenggaraan pendidikan, seperti tenaga administrasi, tenaga

laboratorium, tenaga perpustakaan.

Dengan disahkannya Undang-undang mengenai Guru dan Dosen,

serta dengan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur standar

nasional pendidikan, maka secara faktual hampir 90 persen, guru dan

tenaga kependidikan sudah memenuhi kualifikasi minimal yang

disyaratkan oleh aturan perundang-undangan tersebut. Bahkan sudah

hampir 80 persen guru sudah menikmati tunjangan profesinya dari mulai

tahun 2008 hingga sekarang.

Namun bergulirnya tunjangan profesi yang sudah menginjak tahun

kelima ini tidak luput dari kritikan masyarakat. Salah satu isu yang

mengemuka adalah belum cukup dirasakan pengaruh tunjangan profesi

terhadap profesionalisme (baca: kualitas pelayanan belajar) guru.

Setidaknya hal ini menjadi satu otokritik bagi para pendidik bahwa

tunjangan profesi ini seharusnya dijadikan pemicu (trigger) semakin

primanya pelayanan pembelajaran baik secara didaktik-metodik hingga

terciptanya kualitas lulusan yang memadai.

Fakta lain adalah tidak meratanya sebaran tenaga pendidik. Guru

masih terkonsentrasi di sekolah-sekolah pusat, belum merata ke pinggiran

(sub-urban). Ini dapat dilihat dari jumlah mengajar yang belum ideal

(setara dengan 24 jam pelajaran tatap muka). Sehingga satu guru harus

mengajar di beberapa sekolah untuk memenuhi kekurangan jam

mengajarnya, termasuk mengajar mata pelajaran yang tidak linear

dengan kualifikasi akademiknya.

E. Kurikulum dan Sistem Evaluasi

Proses pembelajaran di sekolah berada di domain proses. Siswa dan

(10)

dirancang oleh pusat. Indonesia saat awal-awal kemerdekaan hingga

sekarang sudah pernah menerapkan kurikulum dengan berbagai model

dan asumsi-asumsinya termasuk di dalamnya sistem evaluasi—yang

mulai diperkenalkan dalam kurikulum berbasis kompetensi tahun 2004

lalu. Saat ini, dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi

pendidikan, desain kurikulum yang diterapkan adalah Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini digulirkan mulai tahun 2008,

kemudian akhir tahun 2012, kementerian pendidikan dan kebudayaan

menggulirkan kurikulum 2013 dengan beberapa perubahan

asumsi-asumsinya.

Bila dalam KTSP sebelumnya guru merancang sistem penilaian

untuk melihat sejauhmana proses pembelajaran mencapai tujuan

kurikulumnya, maka dalam kurikulum 2013 ini, pemerintah pusat sudah

menetapkan sistem penilaiannya. Guru tinggal melaksanakan sistem

penilaiannya tersebut. Evaluasi nasional atas proses pembelajaran selama

satu tahun dievaluasi oleh pemerintah pusat dengan nama Ujian Nasional. Mencermati besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pusat dalam

menetapkan struktur mata pelajaran hingga penetapan kompetensi inti

dan dasar, kemudian sisa muatan lokal ditetapkan oleh pemerintahan

provinsi, maka KTSP yang awalnya untuk mengapresiasi multikulturalisme

dan kearifan budaya lokal di setiap sekolah, nampaknya menjadi sedikit

terlihat. KTSP yang pada awalnya dibuat untuk menonjolkan keunggulan

masing-masing sekolah dengan karakteristiknya yang beragam,

nampaknya menjadi KTSP copy-paste, dimana kurikulum di satu satuan

(11)

lain yang notabene memiliki karakterisktik siswa dan masyarakat yang

berbeda.

F. Dana

Proses pendidikan di level mikro, sebagaimana di level makro dan

messo, mengharuskan adanya ketersediaan dana, sebagai pembiayaan

pendidikan. Dana bisa berasal dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi

dan daerah, serta memungkinkan pula berasal dari masyarakat. Untuk

sekolah-sekolah swasta, subsidi pemerintah bisa dikatakan minim, dengan

kata lain, pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dibebankan kepada

masyarakat. Subsidi dari pemerintah untuk sekolah swasta terbatas

kepada pemberian tunjangan profesi, tunjangan daerah bagi guru non

pns, serta bantuan operasional sekolah dan pengadaan buku-buku paket.

Sedangkan bagi sekolah-sekolah negeri, khususnya di sekolah dasar

(SD dan SMP), pembiayaan secara seratus persen sudah dibebankan

kepada APBN dan APBD, baik dengan Bantuan Operasional Sekolah, DAK

hingga bantuan block grant. Sedangkan di tingkat menengah (SMA/SMK)

masyarakat masih berperan untuk membantu pembiayaan

penyelenggaraan pendidikan.

Sebagai bagian transparansi dan akuntabilitas pembiayaan

penyelenggaraan pendidikan, maka sekolah membuat anggaran

penerimaan dan belanja sekolah yang disesuaikan dengan program kerja.

Besaran dana ditentukan bersama-sama komite sekolah sebagai

perwakilan masyarakat. Idealnya, besarnya penerimaan dan belanja

sekolah ini disosialisasikan kepada warga sekolah, khususnya guru dan

tenaga kependidikan. Namun besaran penerimaan dan belanja sekolah ini

(12)

banyak melibatkan guru dan tenaga pendidikan. Demikian pula dalam

pengevaluasian program sekolah. Permasalahan dana seringkali tidak

dijadikan bagian evaluasi secara terbuka. Sehingga, open management

tidak berlaku dalam masalah dana.

G. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana pembelajaran seperti bangunan sekolah,

ruang kelas, ruang laboratorium, ruang komputer, lapangan olahraga,

kantin, tempat beribadah, kursi, meja, papan tulis dan fasilitas-fasilitas

pendukung pembelajaran lainnya sangatlah penting dalam sistem

pendidikan. Sarana pendidikan yang nyaman, aman, bersih dan kondusif

akan berpengaruh dalam kualitas pembelajaran. Lengkapnya

fasilitas-fasilitas yang mendukung proses pembelajaran seperti komputer,

proyektor, sound system, bahkan dengan adanya ruang multi media

seperti bioskop, akan menjadi nilai tambah bagi proses pembelajaran.

Motivasi siswa untuk belajar semakin kuat.

Pemerintah Kabupaten Sumedang menggulirkan program sekolah

sehat untuk mengatasi sekolah-sekolah yang terkesan kumuh, tidak

bersih dan tidak kondusif. Beberapa sekolah dengan sarana dan prasarana

yang sudah baik dengan perawatan yang terjaga secara rutin karena

ditunjang oleh petugas kebersihan yang memadai, dapat menjalankan

program sehat. Namun bagi sekolah-sekolah dengan bangunan yang

sudah tua, tidak terawat dan minim dana pemeliharaan, sulit untuk

berpartisipasi aktif dalam program ini. Terkecuali pemerintah membantu

sekolah mengganti semua sarana dengan yang lebih baik.

(13)

Perubahan besar politik pasca reformasi yaitu otonomi daerah,

sedikit banyak mengubah wajah pendidikan Indonesia. Sistem pendidikan

nasional yang sebelumnya lebih ke top down policy, yang terkesan

birokratik, sekarang ditarik ke arah yang lebih humanis. Masyarakat

dilibatkan dalam sistem pendidikan. Muncullah kebijakan manajemen

berbasis sekolah (MBS) sebagai respon dari kompleksitas masalah sosial

dan pendidikan. Salah satu terobosan dalam kebijakan pendidikan

nasional adalah dengan dibuatnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.

Dengan keberadaan undang-undang ini, Indonesia memiliki peta dan arah

untuk pencapaian tujuan pendidikan yang termaktub dalam pembukaan

konstitusi. Dengan kata lain, negeri ini memiliki landasan yuridis formal

untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut.

Terobosan berikutnya dalam pendidikan nasional adalah dengan

dibuatnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen,

dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2008 tentang guru.

Kemunculan Undang-Undang yang mengatur tentang guru dan dosen ini

berarti pendidik diakui profesinya secara hukum, setelah sekian lama

dibiarkan tanpa kekuatan yuridis. Prof. M. Surya, dalam berbagai

kesempatan, mengungkapkan, sebelum adanya undang-undang guru dan

dosen ini, bahwa guru dikalahkan oleh binatang langka. Keberadaan

binatang langka diakui oleh negara dengan adanya undang-undang yang

mengatur masalah tersebut, sedangkan guru dibiarkan tanpa dasar

hukum, tidak diakui eksistensinya. Benar-benar sebagai pahlawan tanpa

(14)

Terobosan berikutnya dalam dunia pendidikan adalah saat

diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang standar

nasional pendidikan, yang kemudian ditata dalam Peraturan Pemerintah

No. 32 tahun 2013. Standar nasional pendidikan ini ditujukan untuk

menyamakan kualitas minimal pendidikan di seluruh wilayah hukum

Republik Indonesia dari Sabang hingga Merauke, sebagai respons dari

tidak meratanya kualitas pendidikan disebakan sebaran dan jumlah

penduduk yang sangat luas.

Peraturan Pemerintah mengenai standar pendidikan nasional inilah

yang mengatur delapan standar yaitu:

1. standar isi; 2. standar proses;

3. standar kompetensi lulusan;

4. standar pendidik dan tenaga kependidikan; 5. standar sarana dan prasarana;

6. standar pengelolaan; 7. standar pembiayaan; dan 8. standar penilaian pendidikan.

Dengan terbitnya PP yang mengatur tentang standar nasional pendidikan

ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia,

sehingga tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan dalam konstitusi

bisa tercapai di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia.

Menyelaraskan dengan perkembangan jaman, globalisasi dan untuk

percepatan pembangunan, pemerintah membuat kebijakan MBS. Ciri MBS

adalah pelibatan masyarakat dalam pendidikan. Dewan sekolah di bentuk

di tingkat messo pendidikan. Komite sekolah didirikan di level mikro

pendidikan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan. Pelibatan

masyarakat dalam pendidikan untuk mendorong terwujudnya masyarakat

(15)

tidak menjadi menara gading, institusi yang tidak up to date, tidak selaras

dengan kebutuhan masyarakat.

Sejalan dengan itu, BPPN dan World Bank memuat kajian yang

diadopsi oleh Kementerian Pendidikan Nasional (dikutip dalam Mulyasa,

2012:64-70) yang memuaat strategi implementasi MBS sebagai berikut:

Aspek Jangka

(16)

yang memiliki

1. DIK Teta p Penentuan alokasi berdasarkan alokasi pusat antara orang tua dan sekolah

1. Materi Kurikulum lokal 20%, pusat 80% 2. Pengujian Kisi-kisi dan

soal dari pusat

Kisi-kisi dibuat di pusat, soal di TK-1

Guideline SKL di pusat, soal di TK-1

D. Sarana dan

prasarana Identifikasi dan tataulang sarana dan dan prasarana di sekolah

Pengadaan sarana dan prasarana di sekolah

(17)

Masyarakat prinsip-prinsip MBS memalui media massa

masyarakat masih

berbentuk BP3 komite/dewan sekolah, dengan tugas memilih kepala sekolah, mengorganisasi sumbangan dari orang tua dan masyarakat, mengawasi pengelolaan keuangan Membantu dan mengawasi proses belajar mengajar

Tinjauan Teori: Faktor Pendukung Sistem Pendidikan

Dalam satu kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof.

Dr. M. Nuh mengatakan bahwa pendidikan adalah satu-satunya senjata

untuk memerangi kemiskinan dan keterbelakangan peradaban. Artinya,

sistem pendidikan dibuat untuk mengarahkan warga negara menjadi

warga negara yang berdaya, produktif. Pendidikan sebagai human

investment yang membawa manusia kepada nilai-nilai luhurnya:

berperadaban tinggi dan mampu berpikir tinggi.

Kepemimpinan (leadership) menjadi kata kunci dalam manajemen

pendidikan yang melibatkan faktor pendukung sekolah, kepala sekolah,

siswa, guru dan tenaga kependidikan, dana, sarana dan prasarana.

Kepemimpinan yang efektif akan dapat mensinergiskan

komponen-komponen tersebut sehingga proses pendidikan di level mikro dapat

berjalan secara efektif, efesien dan akuntabel. Dewey (dalam Sanusi,

2013) membandingkan sekolah dan pendidikan sebagai berikut.

Sekolah Pendidikan

(18)

Informasi Pengetahuan

Generik Pengetahuan

Kompetensi Kualitas

Linear Kompleks

Bisa Bekerja Kemanusiaan

Kepemimpinan yang kuat harus hadir dalam manajemen di sekolah,

sehingga tidak saja proses pendidikan yang terjadi di domain proses yang

melibatkan faktor guru, tenaga kependidikan, siswa, sarana dan

prasarana, dana, kurikulum, yang tentunya dipengaruhi pula oleh faktor

ekternal seperti kebijakan pemerintah dan masyarakat, bisa sesuai

dengan standar-standar yang telah dibuat oleh pemerintah, melainkan

pula sesuai dengan kaidah-kaidah teori manajemen.

Manajenen adalah proses pencapaian tujuan melalui

kegiatan-kegiatan dan kerjasama orang lain. Sedangkan organisasi adalah

kerangka, struktur atau wadah orang-orang yang bekerja sama. Dengan

demikian, manajemen mencapai tujuan melalui orang lain yang diwadahi

dalam organisasi. Organisasi tidak jauh berbeda dengan kehidupan

manusia. Artinya, setiap organisasi termasuk sekolah adalah organism,

yang memiliki unsur-unsur kehidupan seperti keberadaan ruh berupa

kepemimpinan, keberadaan jiwa berupa kegiatan manajemen,

keberadaan raga atau jasmani berupa bagan organisasi yang dinyatakan

dala bentuk kegiatan administrasi. Ketiga unsur tersebut, yaitu

kepemimpinan yang bertindak sebagai ruh, manajemen sebagai aktivitas

jiwa serta administrasi sebagai tata kerja. Rangkaian antara

kepemimpinan, manajemen dan administrasi serta budaya organisasi

dapat digambarkan sbb:

(19)

Untuk mewujudkan budaya organisasi yang sehat yang diperkuat

oleh kepemimpinan yang kuat, maka beberapa teori yang disarankan oleh

Sanusi (2013) dapat dilakukan, yaitu pertama penguasaan konsep

Strategic Management (SM) dan Balanced Score Card (BSC). Dalam SM

terdapat konsep Total Quality Management (TQM), kajian SWOT terhadap

faktor-faktor internal dan eksternal, kajian tentang kepemimpinan

transformative dan konstruktif, terdapat pula kajian nilai tambah (added

values). Dalam BSC terdapat kajian Blue Ocean Strategy (BOS).

Kedua, melakukan penyesuaian (adjustment) konsep BS dan MS

agar sesuai dengan nilai-nilai lokal dan pendidikan.

Ketiga, mengadaptasi konsep chaos and complexity dengan tidak

melupakan enam sistem nilai yang diantaranya, nilai ketuhanan (teologis)

dan need of achievement. Dengan cara seperti ini, kesemrawutan dalam

dunia pendidikan dapat diuraikan dengan baik.

Teori spiral dynamics dapat dilekatkan kepada kepala sekolah agar

kepemimpinannya dapat terrepresentasikan dalam proses pendidikan di

level mikro ini. Berikut gambaran teori spiral dynamic

(20)

Untuk menghadirkan pemimpin yang transfomatif, maka seorang

pemimpin harus sudah selesai dengan poin 1 hingga 3. Dia harus memulai

dengan poin 4 (logical/rasional) hingga ke poin 6 (trancendential) hingga

terwujudlah diri yang memiliki power, knowledge freedom, love.

Tinjauan Filsafat: Faktor Pendukung Sistem Pendidikan

Faktor pendukung sistem pendidikan yang meliputi sekolah, kepala

sekolah, guru dan tenaga kependidikan, siswa, kurikulum, dana, sarana

(21)

liberalisme. Filsafat konstruktivisme dapat terlihat jelas dalam desain

kurikulum 2013, bagaimana teori belajar yang dikembangkan

menggunakan pendekatan filsafat konstruktivisme. Dalam pandangan

filsafat ini siswa diberikan keleluasaan untuk mengkonstruk/membangun

pengetahuan sendiri. Ilmu pengetahuan tidak bisa dipindahkan bila tidak

ada keaktifan dari siswa (Maksum, 2010). Guru berperan sebagai

fasilitator dan tidak boleh hanya semata-mata memberikan ilmu

pengetahuan, melainkan harus membangun ilmu pengetahuan tersebut

dalam benak siswa. Beberapa asumsi yang dikemukakan dalam

pandangan konstruktivisme adalah:

(1). siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki

tujuan;

(2). belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan

siswa;

(3). pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan

dikonstruksi secara

personal;

(4). pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan

pengaturan

situasi kelas;

(5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat

pembelajaran, materi,

dan sumber;

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih

(22)

menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang

anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata

yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan

skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan

bukan sekadar tersusun secara hirarkis.

Disamping itu, filsafat positivisme (modernisme) masih

mempengaruhi proses sistem penilaian terhadap siswa. Pengkuantitatifan

prestasi siswa, psikomotor siswa dan juga afektif siswa menjadi arus

utama dalam sistem penilaian di negeri ini. Termasuk evaluasi belajar

dalam ujian nasional hanya mengukur aspek-aspek kognitif siswa dengan

dibatasi beberapa mata pelajaran dari puluhan pelajaran yang diajari

sejak sekolah dasar, menengah hingga atas. Pengaruh positivisme yang

kentara adalah dengan pembiasaan berpikir ilmiah dengan

tahapan-tahapan yang digariskan dalam pendekatan kuantitatif. Inilah salah satu

dominasi filsafat positivisme dalam sistem pendidikan nasional (Abidin,

2006).

Disamping itu, filsafat neo-liberalisme diam-diam mewarnai

paradigma Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan

nasional. Beberapa pasal menegaskan pentingnya sekolah atau

penyelenggara pendidikan untuk memperhatikan kebutuhan masyarakat.

Tiga kata akhir ini, “memperhatikan kebutuhan masyarakat”

mengisyaratkan bahwa penyesuaian kualitas lulusan dengan permintaan

pasar. Di sinilah filsafat neo-liberalisme dapat dibaca bahwa kualitas

pendidikan yang baik adalah kualitas yang memenuhi keinginan

(23)

bergantung pada mekanisme keinginan pasar (Maksum, 2010), daya

serap tenaga kerja yang bisa jadi menafikan atau tidak memprioritaskan

tujuan sejati dari pendidikan nasional itu sendiri. Di samping itu, upaya

membangun jiwa enterpreneurship siswa nampak tidak terakomodasi

dalam undang-undang sistem pendidikan nasional, begitupula dalam

aturan mengenai perguruan tinggi. Ini berakar dari filsafat neo-liberalisme

yang diadopsi oleh pemerintah.

Kesimpulan

Visi yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa

tercapai bila manajemen yang dilakukan khususnya di level mikro

pendidikan mampu menghadirkan kepemimpinan yang kuat (strong

leadership) dan transformatif. Begitupula dengan kompleksitas

permasalahan yang dialami oleh pendidikan saat ini, dimana Indonesia

tengah digiring dalam model pendidikan MBS, yang mana masyarakat

turut dilibatkan, maka upaya untuk penyiapan masyarakat yang berpikir,

menganggap pendidikan sebagai human investment/capital. Dengan

munculnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pendidikan

sebagai sebuah investasi penting untuk mewujudkan peradaban, maka

masyarakat dapat berperan aktif dalam mengawasi dan membantu proses

penyelenggaraan pendidikan baik di level messo dan mikro. Wallahu’alam

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2006. Filsafat Manusia: Memahami Manusia melalui Filsafat. Bandung: PT. Remaja

Rosda Karya

Crown, LLD, Crow. I960. An Introduction to Education in Educational Administration. New York:

Oxford University Press

Driyarkara. 1980. Tentang Pendidikan. Jakarta: Yayasan Kanisius

Fattah, Nanang. 2008. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya

Kemendiknas. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014. Jakarta:

Kemdiknas

Maksum, Ali. 2010. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Jogjakarta:

Ar-Ruzz Media Grup

Mulyasa, Enco. 2012. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya

(25)

Manajemen Modern. Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia

Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, sebagaimana

diubah dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas PP No. 19

Tahun 2005

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2004 Tentang Guru dan Dosen Walker, Jim. 1981. The End of Dialogue: Paulo Freire on Politics and Education. Dalam Robert MacKie

Referensi

Dokumen terkait

Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Gunungsitoli terletak di Desa Simanaere Kecamatan Gunungsitoli Idanoi merupakan terminal bahan bakar yang melayani seluruh wilayah

Div/E.D/17/1979 (Tentang Perkawinan Suami Dalam Iddah Istri Akibat Talak Raj’i)”, yang mana skripsi ini berfokus pada praktek pencatatan perkawinan yang dilakukan di

Pelaksanaan Pembelajaran Berdasarkan hasil penelitian di atas, aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan menggunakan metode demonstrasi, diperoleh hasil

Ku tak bisa sembunyi Gaya bahasa repetisi yang terdapat pada contoh epistrofa adalah perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan seperti yang dituliskan

Aplikasi ini dapat mempersingkat waktu yang digunakan dalam membuat laporan absensi, laporan data pegawai dan laporan gaji dimana kepala kantor pos bisa langsung mencetak

Total pendapatan triwulan II 2020 terlihat bahwa pendapatan daerah Provinsi Lampung sebesar Rp11,84 triliun lebih besar dibandingkan dengan pendapatan pemerintah pusat

Untuk mengembangkan wakaf produktif, setidaknya diperlukan pengurus Badan Wakaf yang memiliki potensi untuk mengembangkan sumber daya naz}ir, sehingga memiliki kemampuan di

al juga menemukan bahwa obesitas anak umumnya ditemukan pada.. ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah karena mereka beranggapan bahwa semakin gemuk tubuh anak,