PERSPEKTIF SISTEM PENDIDIKAN MENURUT FAKTOR PENDUKUNGNYA: SEKOLAH, KEPALA SEKOLAH, SISWA, GURU
DAN TENAGA KEPENDIDIKAN, KURIKULUM DAN EVALUASI, DANA, SARANA DAN PRASARANA
MAKALAH
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan: Fakta, Kebijakan, Teori dan Filsafat diampu oleh Prof. Dr. H. Achmad Sanusi dan Dr. Yosal Iriantara
Oleh Denny Kodrat NPM: 4103810413007
PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN/MANAJEMEN
PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
PERSPEKTIF SISTEM PENDIDIKAN MENURUT FAKTOR
PENDUKUNGNYA: SEKOLAH, KEPALA SEKOLAH, SISWA, GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN, KURIKULUM DAN EVALUASI, DANA,
SARANA DAN PRASARANA
“If you want an education, join the revolution” (Ernesto Che Guevara, dalam Walker,1981:120)
Pendahuluan
Pendidikan (education) tidaklah dibatasi oleh sekadar pergi ke sekolah,
duduk di ruang kelas, mendengarkan, menyimak dan melakukan instruksi
guru di dalam kelas. Pendidikan tidak dapat dipersempit dengan
mengikuti pendidikan formal dari level sekolah dasar, sekolah menengah
pertama, sekolah menengah atas hingga pendidikan tinggi. Pendidikan
tidak bisa diukur oleh berapa banyak ijasah formal yang dimiliki.
Pendidikan sejatinya merupakan bagian dari naluri manusia. Dia ada setua
peradaban manusia. Oleh karenanya, mengutip bahasa Prof. Achmad
Sanusi, bahwa pendidikan sebagai upaya untuk mengajari manusia
berpikir (higher order thinking skills) (Sanusi, 2013), oleh karenanya
tidaklah keliru saat Indonesia dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, selain menyelenggaran pendidikan
formal, juga mengakui keberadaan pendidikan non-formal dan informal.
Ini berarti, pemaknaan mengenai pendidikan tidaklah harus dipersempit
dengan hanya mendirikan pusat-pusat pendidikan formal yang barangkali
hanya menyentuh 50 persen penduduk Indonesia, tetapi juga bagaimana
pemerintah dan masyarakat mengembangkan dan memantapkan
pendidikan non-formal dan informal, untuk mencapai tujuan pendidikan
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh
karenanya tidaklah keliru saat Che Guevara mengatakan, “If you want an
education, join the revolution” (Jika anda ingin pendidikan, maka
bergabunglah dalam revolusi), ungkapan ini dapat dimaknai sebagai
pembentukan diri manusia, dimana kondisi revolusi, perang yang penuh
dengan ketidakstabilan, akan mampu “memaksa” manusia untuk
menghadirkan potensi-potensi dirinya, salah satunya adalah berpikir:
memikirkan dunia yang lebih baik pasca revolusi, memikirkan menjadi
insan yang berguna pasca revolusi, yang hal tersebut bisa jadi sulit
dihadirkan dalam kondisi-kondisi yang nyaman, aman, damai seperti yang
tengah dialami Indonesia saat ini.
Driyarkara (1980) menyebutkan bahwa pendidikan adalah
memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf
mendidik. Sementara itu, Crow and Crow (1960) menyebut pendidikan
sebagai modern educational theory and practice not only are aimed at
preparation for future living but also are operative in determining the
pattern of present, day-by-day attitude and behavior. Sedangkan Fattah
(2008) mengidentifikasi pendidikan menjadi:
a. Pendidikan mengandung tujuan, yaitu kemampuan untuk
berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidup. b. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha yang
terencana dalam memilih isi (materi), strategi dan teknik
penilaiannya yang sesuai.
c. Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkugan keluarga, sekolah
Upaya yang ditempuh oleh pemerintah guna mencapai tujuan
pendidikan nasional sebagaimana yang menjadi program rencana
strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sebelumnya
Kementerian Pendidikan Nasional) tahun 2010-2014, yaitu dengan
menggulirkan visi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
“Terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional untuk membentuk
insan Indonesia cerdas komprehensif” (Kemdiknas, 2010). Pertanyaan
sederhananya adalah apakah visi ini dapat tercapai dengan ukuran-ukuran
yang sudah ditetapkan dalam rencana strategis Kementerian Pendidikan
dan Budaya ini? Kemudian apakah seiring terus bergesernya pendidikan
dari pola status quo (birokratis/top down) menuju pelibatan masyarakat
atau yang dikenal dengan Manajemen berbasis Sekolah (School based
Management) untuk mewujudkan learning community pemerintah tidak
gagap dengan menghadirkan rencana program yang memadai untuk
perwujudan MBS yang ideal? Dalam konteks pendidikan formal, apakah
sistem pendukung mikro pendidikan, seperti sekolah, kepala sekolah,
siswa, guru dan tenaga kependidikan, kurikulum dan evaluasi, dana,
sarana dan prasarana memiliki semangat yang sama untuk mendukung
pola pendidikan yang bergeser dari status quo menuju MBS ini? Di saat
negara-negara tetangga di Asia Tenggara, sebut saja Singapura atau
tetangga kita di belahan timur, seperti Australia, Jepang, Korea, atau
belahan Eropa seperti Inggris, Swedia, Finladia, Jerman dan negara-negara
di Amerika, seperti AS sendiri, sudah mulai jauh meninggalkan Indonesia,
dengan menghadirkan atau beranjak ke pola pendidikan yang melibat ICT
Mengacu pada 3 (tiga) pertanyaan di atas inilah, makalah ini akan
membahas seputar perspektif sistem pendidikan (formal) menurut faktor
pendukungnya seperti sekolah, kepala sekolah, siswa, guru dan tenaga
kependidikan, kurikulum dan evaluasi, dana, sarana dan prasarana, yang
ditinjau secara fakta, kebijakan, teori dan filsafat.
Tinjauan Fakta: Faktor Pendukung Sistem Pendidikan
Berikut akan dibahas beberapa tinjauan fakta pendukung sistem
pendidikan: (a). sekolah; (b). kepala sekolah; (c). siswa; (d). guru dan
tenaga kependidikan; (e). kurikulum dan sistem evaluasi; (f). dana (g).
sarana dan prasarana.
A. Sekolah
Sekolah merupakan institusi yang bagian dari mikro pendidikan
dimana interaksi guru dan siswa terjadi, direncanakan, diadministrasikan,
dijalankan dan dievaluasi. Tidak hanya mengharuskan adanya bentuk
bangunan fisik, ruang kelas, laboratorium, WC, kantin dan lapangan
olahraga yang memadai, namun lebih jauh dari itu, sekolah merupakan
representasi sistem pendidikan yang dapat diobservasi dan diukur
(observable and measurable). Itu karena proses pendidikan yang meliputi
input-proses-output terjadi di sekolah. Proses interaksi antara peserta
didik dengan unsur-unsur yang memengaruhi proses belajar seperti
kurikulum, guru, tenaga kependidikan, materi ajar, hingga proses belajar
mengajar, berada di sekolah.
Dua sekolah Menengah Atas yang saya hadirkan dalam makalah ini
merupakan sekolah tempat saya mengajar. Pertama, SMA Taruna Bakti
Berlokasi di pusat kota dengan gedung bertingkat lima. Cukup
representatif untuk proses pembelajaran. Sekolah Menengah Atas
menempati lantai tiga dan empat, meliputi 30 ruang kelas, 10 WC, 5
Laboratorium, 3 ruang pengendali administrasi dan perpustakaan, aula,
indoor gym serta 2 ruang guru. Untuk fasilitas olahraga berada di jalan
Suci, dekat pasar Cihaurgeulis, Bandung.
Kedua, SMA Negeri Jatinangor. Sekolah ini terbilang baru didirikan
pertengahan tahun 1994 (Unit Gedung Baru). Memiliki 35 ruang kelas,
laboratorium IPA dan Bahasa, perpustakaan, ruang guru, ruang para
wakasek, 4 WC, masjid dan kantin. Lokasinya cukup strategis, dekat
dengan kampus Universitas Padjajaran, Universitas Winaya Mukti, ITB
kampus Jatinangor, IPDN. Kawasan ini dulunya disebut sebagai kawasan
pendidikan dan menjadi etalase kota Sumedang. Kedua sekolah ini
memenuhi standar nasional pendidikan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, sebagaimana di ubah oleh Peraturan Pemerintah no. 32 tahun
2013.
B. Kepala Sekolah
Kepala sekolah merupakan pemimpin (leader) dari satuan
pendidikan. Dia yang memiliki wewenang dan bertanggung jawab dalam
proses mikro pendidikan. Mulyasa (2013) menyebut beberapa fungsi
kepala sekolah sebagai educator, manajer, administrator, supervisor,
leader, innovator dan motivator. Ada beberapa kualifikasi yang
dipersyaratkan untuk menjadi kepala sekolah sebagaimana dalam
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
menjadi guru di satuan pendidikan, memiliki kualifikasi akademik,
berpengalaman 5 tahun sebagai guru. Biasanya, dinas pendidikan
kota/kabupaten menambahkan beberapa syarat tambahan seperti pernah
menjabat sebagai pernah menjabat sebagai wakil kepala sekolah. Dengan adanya otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan
sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka posisi
kepala sekolah sangat strategis. Dia sangat berhubungan erat dengan
berbagai aspek kehidupan sekolah seperti disiplin sekolah, iklim budaya
sekolah dan menurunnya perilaku nakal peserta didik (Supriadi, 1998;
Mulyasa, 2013).
Fakta mengenai kepala sekolah di sekolah negeri sedkiti berbeda
dengan sekolah swasta. Di sekolah negeri, bupati yang memilih kepala
sekolah sesuai dengan acuan perundang-undangan dan seleksi yang
dilakukan secara ketat. Kepala sekolah dapat diganti bila sudah menjabat
selama dua periode (atau 8 tahun). Biasanya kepala sekolah terkena
sistem mutasi, dimana dia bisa berpindah-pindah unit kerja yang dia
pimpin. Satu kepala sekolah diganti oleh kepala sekolah lain, jarang diisi
oleh kepala sekolah dari guru di sekolah tersebut. Berbeda dengan
sekolah negeri, di sekolah swasta, yayasan yang memiliki wewenang
untuk memilih dan menetapkan kepala sekolah yang berasal dari
guru-guru tetap yang mengajar di sekolah tersebut.
C. Siswa
Siswa/peserta didik merupakan anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia
melalui jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Beberapa sekolah di tingkat
nasional dan prestasi. Sekolah lain menerapkan rekrutmen dengan tes
tertulis. Paradigma ingin mendapatkan input terbaik menjadi dasar
pertimbangan sekolah dalam menerima siswanya.
Sekolah mengharapkan dengan mendapatkan input siswa yang
terbaik, dilihat dari prestasi akademik di sekolah sebelumnya atau dilihat
dari aspek kepribadian, maka mereka akan mudah menghasilkan keluaran
yang optimal. Meminjam istilah sistem informasi GIGO (Gold in, Gold out).
Paradigma inilah yang mengakibatkan munculnya wacana uji
keperawanan bagi siswi di sekolah tertentu. Dengan uji keperawanan ini
diharapkan sekolah dapat menyaring siswi-siswi nakal (baca: tidak
perawan). Begitupula tes wawancara yang dilakukan oleh sekolah-sekolah
berstandar internasional dulu.
Tes ini meliputi wawancara terhadap siswa dan orang tua, yang
akhirnya menyaring strata sosial keluarga peserta didik. Yang terkategori
mampu bisa langsung melenggang untuk belajar di sekolah internasional,
yang berkategori tidak mampu, harus balik kanan mencari sekolah non
internasional.
D. Guru dan Tenaga Kependidikan
Sumber daya manusia (SDM) yang menjadi ujung tombak di mikro
pendidikan adalah guru dan tenaga kependidikan. Guru, menurut Undang
Undang No. 14 Tahun 2004 tentang Guru dan Dosen, adalah tenaga
pendidikan profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta
didik. Sementara itu, tenaga kependidikan, sebagaimana Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah anggota
penyelenggaraan pendidikan, seperti tenaga administrasi, tenaga
laboratorium, tenaga perpustakaan.
Dengan disahkannya Undang-undang mengenai Guru dan Dosen,
serta dengan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur standar
nasional pendidikan, maka secara faktual hampir 90 persen, guru dan
tenaga kependidikan sudah memenuhi kualifikasi minimal yang
disyaratkan oleh aturan perundang-undangan tersebut. Bahkan sudah
hampir 80 persen guru sudah menikmati tunjangan profesinya dari mulai
tahun 2008 hingga sekarang.
Namun bergulirnya tunjangan profesi yang sudah menginjak tahun
kelima ini tidak luput dari kritikan masyarakat. Salah satu isu yang
mengemuka adalah belum cukup dirasakan pengaruh tunjangan profesi
terhadap profesionalisme (baca: kualitas pelayanan belajar) guru.
Setidaknya hal ini menjadi satu otokritik bagi para pendidik bahwa
tunjangan profesi ini seharusnya dijadikan pemicu (trigger) semakin
primanya pelayanan pembelajaran baik secara didaktik-metodik hingga
terciptanya kualitas lulusan yang memadai.
Fakta lain adalah tidak meratanya sebaran tenaga pendidik. Guru
masih terkonsentrasi di sekolah-sekolah pusat, belum merata ke pinggiran
(sub-urban). Ini dapat dilihat dari jumlah mengajar yang belum ideal
(setara dengan 24 jam pelajaran tatap muka). Sehingga satu guru harus
mengajar di beberapa sekolah untuk memenuhi kekurangan jam
mengajarnya, termasuk mengajar mata pelajaran yang tidak linear
dengan kualifikasi akademiknya.
E. Kurikulum dan Sistem Evaluasi
Proses pembelajaran di sekolah berada di domain proses. Siswa dan
dirancang oleh pusat. Indonesia saat awal-awal kemerdekaan hingga
sekarang sudah pernah menerapkan kurikulum dengan berbagai model
dan asumsi-asumsinya termasuk di dalamnya sistem evaluasi—yang
mulai diperkenalkan dalam kurikulum berbasis kompetensi tahun 2004
lalu. Saat ini, dengan semangat otonomi daerah dan desentralisasi
pendidikan, desain kurikulum yang diterapkan adalah Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini digulirkan mulai tahun 2008,
kemudian akhir tahun 2012, kementerian pendidikan dan kebudayaan
menggulirkan kurikulum 2013 dengan beberapa perubahan
asumsi-asumsinya.
Bila dalam KTSP sebelumnya guru merancang sistem penilaian
untuk melihat sejauhmana proses pembelajaran mencapai tujuan
kurikulumnya, maka dalam kurikulum 2013 ini, pemerintah pusat sudah
menetapkan sistem penilaiannya. Guru tinggal melaksanakan sistem
penilaiannya tersebut. Evaluasi nasional atas proses pembelajaran selama
satu tahun dievaluasi oleh pemerintah pusat dengan nama Ujian Nasional. Mencermati besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pusat dalam
menetapkan struktur mata pelajaran hingga penetapan kompetensi inti
dan dasar, kemudian sisa muatan lokal ditetapkan oleh pemerintahan
provinsi, maka KTSP yang awalnya untuk mengapresiasi multikulturalisme
dan kearifan budaya lokal di setiap sekolah, nampaknya menjadi sedikit
terlihat. KTSP yang pada awalnya dibuat untuk menonjolkan keunggulan
masing-masing sekolah dengan karakteristiknya yang beragam,
nampaknya menjadi KTSP copy-paste, dimana kurikulum di satu satuan
lain yang notabene memiliki karakterisktik siswa dan masyarakat yang
berbeda.
F. Dana
Proses pendidikan di level mikro, sebagaimana di level makro dan
messo, mengharuskan adanya ketersediaan dana, sebagai pembiayaan
pendidikan. Dana bisa berasal dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi
dan daerah, serta memungkinkan pula berasal dari masyarakat. Untuk
sekolah-sekolah swasta, subsidi pemerintah bisa dikatakan minim, dengan
kata lain, pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dibebankan kepada
masyarakat. Subsidi dari pemerintah untuk sekolah swasta terbatas
kepada pemberian tunjangan profesi, tunjangan daerah bagi guru non
pns, serta bantuan operasional sekolah dan pengadaan buku-buku paket.
Sedangkan bagi sekolah-sekolah negeri, khususnya di sekolah dasar
(SD dan SMP), pembiayaan secara seratus persen sudah dibebankan
kepada APBN dan APBD, baik dengan Bantuan Operasional Sekolah, DAK
hingga bantuan block grant. Sedangkan di tingkat menengah (SMA/SMK)
masyarakat masih berperan untuk membantu pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan.
Sebagai bagian transparansi dan akuntabilitas pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan, maka sekolah membuat anggaran
penerimaan dan belanja sekolah yang disesuaikan dengan program kerja.
Besaran dana ditentukan bersama-sama komite sekolah sebagai
perwakilan masyarakat. Idealnya, besarnya penerimaan dan belanja
sekolah ini disosialisasikan kepada warga sekolah, khususnya guru dan
tenaga kependidikan. Namun besaran penerimaan dan belanja sekolah ini
banyak melibatkan guru dan tenaga pendidikan. Demikian pula dalam
pengevaluasian program sekolah. Permasalahan dana seringkali tidak
dijadikan bagian evaluasi secara terbuka. Sehingga, open management
tidak berlaku dalam masalah dana.
G. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana pembelajaran seperti bangunan sekolah,
ruang kelas, ruang laboratorium, ruang komputer, lapangan olahraga,
kantin, tempat beribadah, kursi, meja, papan tulis dan fasilitas-fasilitas
pendukung pembelajaran lainnya sangatlah penting dalam sistem
pendidikan. Sarana pendidikan yang nyaman, aman, bersih dan kondusif
akan berpengaruh dalam kualitas pembelajaran. Lengkapnya
fasilitas-fasilitas yang mendukung proses pembelajaran seperti komputer,
proyektor, sound system, bahkan dengan adanya ruang multi media
seperti bioskop, akan menjadi nilai tambah bagi proses pembelajaran.
Motivasi siswa untuk belajar semakin kuat.
Pemerintah Kabupaten Sumedang menggulirkan program sekolah
sehat untuk mengatasi sekolah-sekolah yang terkesan kumuh, tidak
bersih dan tidak kondusif. Beberapa sekolah dengan sarana dan prasarana
yang sudah baik dengan perawatan yang terjaga secara rutin karena
ditunjang oleh petugas kebersihan yang memadai, dapat menjalankan
program sehat. Namun bagi sekolah-sekolah dengan bangunan yang
sudah tua, tidak terawat dan minim dana pemeliharaan, sulit untuk
berpartisipasi aktif dalam program ini. Terkecuali pemerintah membantu
sekolah mengganti semua sarana dengan yang lebih baik.
Perubahan besar politik pasca reformasi yaitu otonomi daerah,
sedikit banyak mengubah wajah pendidikan Indonesia. Sistem pendidikan
nasional yang sebelumnya lebih ke top down policy, yang terkesan
birokratik, sekarang ditarik ke arah yang lebih humanis. Masyarakat
dilibatkan dalam sistem pendidikan. Muncullah kebijakan manajemen
berbasis sekolah (MBS) sebagai respon dari kompleksitas masalah sosial
dan pendidikan. Salah satu terobosan dalam kebijakan pendidikan
nasional adalah dengan dibuatnya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.
Dengan keberadaan undang-undang ini, Indonesia memiliki peta dan arah
untuk pencapaian tujuan pendidikan yang termaktub dalam pembukaan
konstitusi. Dengan kata lain, negeri ini memiliki landasan yuridis formal
untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut.
Terobosan berikutnya dalam pendidikan nasional adalah dengan
dibuatnya Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen,
dijabarkan oleh Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2008 tentang guru.
Kemunculan Undang-Undang yang mengatur tentang guru dan dosen ini
berarti pendidik diakui profesinya secara hukum, setelah sekian lama
dibiarkan tanpa kekuatan yuridis. Prof. M. Surya, dalam berbagai
kesempatan, mengungkapkan, sebelum adanya undang-undang guru dan
dosen ini, bahwa guru dikalahkan oleh binatang langka. Keberadaan
binatang langka diakui oleh negara dengan adanya undang-undang yang
mengatur masalah tersebut, sedangkan guru dibiarkan tanpa dasar
hukum, tidak diakui eksistensinya. Benar-benar sebagai pahlawan tanpa
Terobosan berikutnya dalam dunia pendidikan adalah saat
diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang standar
nasional pendidikan, yang kemudian ditata dalam Peraturan Pemerintah
No. 32 tahun 2013. Standar nasional pendidikan ini ditujukan untuk
menyamakan kualitas minimal pendidikan di seluruh wilayah hukum
Republik Indonesia dari Sabang hingga Merauke, sebagai respons dari
tidak meratanya kualitas pendidikan disebakan sebaran dan jumlah
penduduk yang sangat luas.
Peraturan Pemerintah mengenai standar pendidikan nasional inilah
yang mengatur delapan standar yaitu:
1. standar isi; 2. standar proses;
3. standar kompetensi lulusan;
4. standar pendidik dan tenaga kependidikan; 5. standar sarana dan prasarana;
6. standar pengelolaan; 7. standar pembiayaan; dan 8. standar penilaian pendidikan.
Dengan terbitnya PP yang mengatur tentang standar nasional pendidikan
ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia,
sehingga tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan dalam konstitusi
bisa tercapai di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia.
Menyelaraskan dengan perkembangan jaman, globalisasi dan untuk
percepatan pembangunan, pemerintah membuat kebijakan MBS. Ciri MBS
adalah pelibatan masyarakat dalam pendidikan. Dewan sekolah di bentuk
di tingkat messo pendidikan. Komite sekolah didirikan di level mikro
pendidikan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan. Pelibatan
masyarakat dalam pendidikan untuk mendorong terwujudnya masyarakat
tidak menjadi menara gading, institusi yang tidak up to date, tidak selaras
dengan kebutuhan masyarakat.
Sejalan dengan itu, BPPN dan World Bank memuat kajian yang
diadopsi oleh Kementerian Pendidikan Nasional (dikutip dalam Mulyasa,
2012:64-70) yang memuaat strategi implementasi MBS sebagai berikut:
Aspek Jangka
yang memiliki
1. DIK Teta p Penentuan alokasi berdasarkan alokasi pusat antara orang tua dan sekolah
1. Materi Kurikulum lokal 20%, pusat 80% 2. Pengujian Kisi-kisi dan
soal dari pusat
Kisi-kisi dibuat di pusat, soal di TK-1
Guideline SKL di pusat, soal di TK-1
D. Sarana dan
prasarana Identifikasi dan tataulang sarana dan dan prasarana di sekolah
Pengadaan sarana dan prasarana di sekolah
Masyarakat prinsip-prinsip MBS memalui media massa
masyarakat masih
berbentuk BP3 komite/dewan sekolah, dengan tugas memilih kepala sekolah, mengorganisasi sumbangan dari orang tua dan masyarakat, mengawasi pengelolaan keuangan Membantu dan mengawasi proses belajar mengajar
Tinjauan Teori: Faktor Pendukung Sistem Pendidikan
Dalam satu kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof.
Dr. M. Nuh mengatakan bahwa pendidikan adalah satu-satunya senjata
untuk memerangi kemiskinan dan keterbelakangan peradaban. Artinya,
sistem pendidikan dibuat untuk mengarahkan warga negara menjadi
warga negara yang berdaya, produktif. Pendidikan sebagai human
investment yang membawa manusia kepada nilai-nilai luhurnya:
berperadaban tinggi dan mampu berpikir tinggi.
Kepemimpinan (leadership) menjadi kata kunci dalam manajemen
pendidikan yang melibatkan faktor pendukung sekolah, kepala sekolah,
siswa, guru dan tenaga kependidikan, dana, sarana dan prasarana.
Kepemimpinan yang efektif akan dapat mensinergiskan
komponen-komponen tersebut sehingga proses pendidikan di level mikro dapat
berjalan secara efektif, efesien dan akuntabel. Dewey (dalam Sanusi,
2013) membandingkan sekolah dan pendidikan sebagai berikut.
Sekolah Pendidikan
Informasi Pengetahuan
Generik Pengetahuan
Kompetensi Kualitas
Linear Kompleks
Bisa Bekerja Kemanusiaan
Kepemimpinan yang kuat harus hadir dalam manajemen di sekolah,
sehingga tidak saja proses pendidikan yang terjadi di domain proses yang
melibatkan faktor guru, tenaga kependidikan, siswa, sarana dan
prasarana, dana, kurikulum, yang tentunya dipengaruhi pula oleh faktor
ekternal seperti kebijakan pemerintah dan masyarakat, bisa sesuai
dengan standar-standar yang telah dibuat oleh pemerintah, melainkan
pula sesuai dengan kaidah-kaidah teori manajemen.
Manajenen adalah proses pencapaian tujuan melalui
kegiatan-kegiatan dan kerjasama orang lain. Sedangkan organisasi adalah
kerangka, struktur atau wadah orang-orang yang bekerja sama. Dengan
demikian, manajemen mencapai tujuan melalui orang lain yang diwadahi
dalam organisasi. Organisasi tidak jauh berbeda dengan kehidupan
manusia. Artinya, setiap organisasi termasuk sekolah adalah organism,
yang memiliki unsur-unsur kehidupan seperti keberadaan ruh berupa
kepemimpinan, keberadaan jiwa berupa kegiatan manajemen,
keberadaan raga atau jasmani berupa bagan organisasi yang dinyatakan
dala bentuk kegiatan administrasi. Ketiga unsur tersebut, yaitu
kepemimpinan yang bertindak sebagai ruh, manajemen sebagai aktivitas
jiwa serta administrasi sebagai tata kerja. Rangkaian antara
kepemimpinan, manajemen dan administrasi serta budaya organisasi
dapat digambarkan sbb:
Untuk mewujudkan budaya organisasi yang sehat yang diperkuat
oleh kepemimpinan yang kuat, maka beberapa teori yang disarankan oleh
Sanusi (2013) dapat dilakukan, yaitu pertama penguasaan konsep
Strategic Management (SM) dan Balanced Score Card (BSC). Dalam SM
terdapat konsep Total Quality Management (TQM), kajian SWOT terhadap
faktor-faktor internal dan eksternal, kajian tentang kepemimpinan
transformative dan konstruktif, terdapat pula kajian nilai tambah (added
values). Dalam BSC terdapat kajian Blue Ocean Strategy (BOS).
Kedua, melakukan penyesuaian (adjustment) konsep BS dan MS
agar sesuai dengan nilai-nilai lokal dan pendidikan.
Ketiga, mengadaptasi konsep chaos and complexity dengan tidak
melupakan enam sistem nilai yang diantaranya, nilai ketuhanan (teologis)
dan need of achievement. Dengan cara seperti ini, kesemrawutan dalam
dunia pendidikan dapat diuraikan dengan baik.
Teori spiral dynamics dapat dilekatkan kepada kepala sekolah agar
kepemimpinannya dapat terrepresentasikan dalam proses pendidikan di
level mikro ini. Berikut gambaran teori spiral dynamic
Untuk menghadirkan pemimpin yang transfomatif, maka seorang
pemimpin harus sudah selesai dengan poin 1 hingga 3. Dia harus memulai
dengan poin 4 (logical/rasional) hingga ke poin 6 (trancendential) hingga
terwujudlah diri yang memiliki power, knowledge freedom, love.
Tinjauan Filsafat: Faktor Pendukung Sistem Pendidikan
Faktor pendukung sistem pendidikan yang meliputi sekolah, kepala
sekolah, guru dan tenaga kependidikan, siswa, kurikulum, dana, sarana
liberalisme. Filsafat konstruktivisme dapat terlihat jelas dalam desain
kurikulum 2013, bagaimana teori belajar yang dikembangkan
menggunakan pendekatan filsafat konstruktivisme. Dalam pandangan
filsafat ini siswa diberikan keleluasaan untuk mengkonstruk/membangun
pengetahuan sendiri. Ilmu pengetahuan tidak bisa dipindahkan bila tidak
ada keaktifan dari siswa (Maksum, 2010). Guru berperan sebagai
fasilitator dan tidak boleh hanya semata-mata memberikan ilmu
pengetahuan, melainkan harus membangun ilmu pengetahuan tersebut
dalam benak siswa. Beberapa asumsi yang dikemukakan dalam
pandangan konstruktivisme adalah:
(1). siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki
tujuan;
(2). belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan
siswa;
(3). pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan
dikonstruksi secara
personal;
(4). pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan
pengaturan
situasi kelas;
(5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat
pembelajaran, materi,
dan sumber;
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang
anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata
yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan
skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan
bukan sekadar tersusun secara hirarkis.
Disamping itu, filsafat positivisme (modernisme) masih
mempengaruhi proses sistem penilaian terhadap siswa. Pengkuantitatifan
prestasi siswa, psikomotor siswa dan juga afektif siswa menjadi arus
utama dalam sistem penilaian di negeri ini. Termasuk evaluasi belajar
dalam ujian nasional hanya mengukur aspek-aspek kognitif siswa dengan
dibatasi beberapa mata pelajaran dari puluhan pelajaran yang diajari
sejak sekolah dasar, menengah hingga atas. Pengaruh positivisme yang
kentara adalah dengan pembiasaan berpikir ilmiah dengan
tahapan-tahapan yang digariskan dalam pendekatan kuantitatif. Inilah salah satu
dominasi filsafat positivisme dalam sistem pendidikan nasional (Abidin,
2006).
Disamping itu, filsafat neo-liberalisme diam-diam mewarnai
paradigma Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional. Beberapa pasal menegaskan pentingnya sekolah atau
penyelenggara pendidikan untuk memperhatikan kebutuhan masyarakat.
Tiga kata akhir ini, “memperhatikan kebutuhan masyarakat”
mengisyaratkan bahwa penyesuaian kualitas lulusan dengan permintaan
pasar. Di sinilah filsafat neo-liberalisme dapat dibaca bahwa kualitas
pendidikan yang baik adalah kualitas yang memenuhi keinginan
bergantung pada mekanisme keinginan pasar (Maksum, 2010), daya
serap tenaga kerja yang bisa jadi menafikan atau tidak memprioritaskan
tujuan sejati dari pendidikan nasional itu sendiri. Di samping itu, upaya
membangun jiwa enterpreneurship siswa nampak tidak terakomodasi
dalam undang-undang sistem pendidikan nasional, begitupula dalam
aturan mengenai perguruan tinggi. Ini berakar dari filsafat neo-liberalisme
yang diadopsi oleh pemerintah.
Kesimpulan
Visi yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa
tercapai bila manajemen yang dilakukan khususnya di level mikro
pendidikan mampu menghadirkan kepemimpinan yang kuat (strong
leadership) dan transformatif. Begitupula dengan kompleksitas
permasalahan yang dialami oleh pendidikan saat ini, dimana Indonesia
tengah digiring dalam model pendidikan MBS, yang mana masyarakat
turut dilibatkan, maka upaya untuk penyiapan masyarakat yang berpikir,
menganggap pendidikan sebagai human investment/capital. Dengan
munculnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pendidikan
sebagai sebuah investasi penting untuk mewujudkan peradaban, maka
masyarakat dapat berperan aktif dalam mengawasi dan membantu proses
penyelenggaraan pendidikan baik di level messo dan mikro. Wallahu’alam
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2006. Filsafat Manusia: Memahami Manusia melalui Filsafat. Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya
Crown, LLD, Crow. I960. An Introduction to Education in Educational Administration. New York:
Oxford University Press
Driyarkara. 1980. Tentang Pendidikan. Jakarta: Yayasan Kanisius
Fattah, Nanang. 2008. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya
Kemendiknas. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014. Jakarta:
Kemdiknas
Maksum, Ali. 2010. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media Grup
Mulyasa, Enco. 2012. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Manajemen Modern. Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia
Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, sebagaimana
diubah dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas PP No. 19
Tahun 2005
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2004 Tentang Guru dan Dosen Walker, Jim. 1981. The End of Dialogue: Paulo Freire on Politics and Education. Dalam Robert MacKie