6
Prestasi yang baik dalam bidang akademik akan berdampak ketika individu berada dalam lingkungan yang membentuknya. Untuk itu, dalam diri setiap individu diharapkan dapat memiliki kecerdasan emosional yang membentuk pengelolaan diri, motivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan dukungan sosial orangtua yang dapat menghasilkan prestasi belajar siswa. Dalam bab ini akan dibahas tentang landasan teoritis yang terdiri dari definisi, teori, aspek-aspek, faktor-faktor yang mempengeruhi dan hasil penelitian dari masing-masing variable.
2.1. Prestasi Belajar
2.1.1. Pengertian prestasi belajar
Belajar merupakan kegiatan yang paling pokok yang wajib dilakukan oleh siswa dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah. Berhasil atau tidaknya seorang siswa dalam pendidikan banyak bergantung pada proses belajar yang dialami oelh siswa tersebut. Slameto (2003) menjelaskan bahwa belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperolah suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengamatan individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Santrock (2006) dalam bukunya “Education Psychology” mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses yang bersifat tetap yang sedang berlangsung menyangkut perilaku, pengetahuan, cara berpikir, tentang perubahan yang terjadi, melalui proses belajar dapat diperoleh pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan oleh individu guna mencapai cita-cita. Menurut Hilgard dan Bower (1987) belajar adalah suatu proses yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku karena adanya reaksi terhadap suatu situasi atau karena proses yang terjadi secara internal di dalam diri seorang. Perubahan tersebut tidak terjadi karena adanya respon secara alamiah, kedewasaan atau keadaan organism yang bersifat temporer (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya). Oleh karena itu prestasi belajar bukan ukuran, tetapi dapat diukur setelah melakukan kegiatan belajar. Keberhasilan seseorang dalam mengikuti program pembelajaran dapat dilihat dari prestasi belajar orang tersebut (Bustalin,2004).
diberikan guru. Pendapat yang pertama dikemukakan oleh Sulistari (2003), bahwa prestasi merupakan hasil dari penguasaan pengetahuan dan atau ketrampilan yang diperoleh melalui kegatan belajar yang dinyatakan dengan angka atau nilai.
Pada suatu kesempatan, Winkell (1996) mengatakan bahwa prestasi belajar adalah penilaian terhadap suatu usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, dan kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapa oleh siswa dalam periode tertentu. Tu’u (2004) mengemukakan bahwa belajar adalah hasil yang dicapai oleh seseorang ketika mengerjakan tugas atau kegiatan tertentu. Sedangkan prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran. Lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan guru. Menurut Poerwodarminto (dalam Puspitasari, 2013) prestasi adalah hasil yang telah dicapai, dilakukan atau dikerjakan oleh seseorang, sedangkan prestasi belajar adalah prestasi yang dapat dicapai seorang siswa pada jangka waktu tertentu dan dicatat dalam buku rapor sekolah. Lebih lanjut Puspitasari (2013) mengatakan bahwa prestasi selalu dihubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan atau aktivitas. Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi belajar mahasiswa merupakan output dari proses belajar.
Selanjutnya Arikunto (1993) mengemukakan bahwa prestasi belajar adalah suatu angka yang mencerminkan sejauh mana siswa dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada setiap jenjang studi. Winkell (1996), juga mengatakan bahwa prestasi adalah bukti usaha yang didapat atau dicapai siswa setelah melalui proses belajar di sekolah. Hasil kegiatan tersebut merupakan perubahan berupa pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai dan sikap. Sejalan dengan itu, Koster (2001) menyatakan bahwa prestasi siswa adalah pencapaian siswa setelah mengalami proses belajar yang terwujud dalam bentuk pengetahuan (kognitif) maupun konsep diri (efektif) serta ketrampilan tertentu (psikomotorik) seperti persepsi, respon siswa dan adaptasi.
2.1.2. Teori Prestasi Belajar
Pada kesempatan berbeda, Bloom (1956) secara garis besar memaknai prestasi belajar menjadi 3 aspek :
1. Ranah Kognitif, berkenan dengan hasil belajar intelektual yang meliputi aspek-aspek pengetahuan, ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Ingatan dan pemahaman disebut kognitif tingkat rendah sedangkan aplikasi, analisis, sintesi dan evaluasi disebut kognitif tingkat tinggi.
2. Ranah Afektif, berkenan dengan sikap yang meliputi aspek-aspek penerimaan, tanggapan, berkeyakinan, organisasi dan internalisasi.
3. Ranah Psikomotorik, berkenan dengan ketrampilam dan kemampuan bertindak meliputi aspek-aspek gerakan reflex, ketrampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan dan gerakan ketrampilan kompleks.
Sementara Good (dalam Riringgo,2013) mengatakan bahwa prestasi belajar dalam hal ini berupa pengetahuan yang dicapai dalam hal ini berupa pengetahuan yang dicapai atau ketrampilan yang dikembangkan dalam mata pelajaran di sekolah. Adapun pengetahuan dan ketrampilan yang dikembangkan tersebut meliputi: 1) bagian kognitif, seperti informasi dan pengetahuan, konsep, dan prinsip, pemecahan masalah dan kreativitas, 2) Bagian afektif, seperti perasaan,sikap, nilai dan integrase pribadi, dan 3) bagian psikomotorik.
Nasution (1994) berpendapat bahwa prestasi belajar merupakan kesempurnaan seorang peserta didik dalam berpikir, merasa dan berbuat. Menurutnya, prestasi belajar seorang peserta didik dikatakan sempurna jika memenuhi tiga aspek yaitu:
1. Aspek Kognitif. Aspek kognitif adalah aspek yang berkaitan dengan kegiatan berpikir. Aspek ini sangat berkaitan erat dengan tingkat inteligensi (IQ) atau kemampuan berpikir peserta didik. Sejak dahulu aspek kognitif selalu menjadi perhatian utama dalam sistem pendidikan formal. Hal ini dapat dilihat dari metode penilaian pada sekolah-sekolah dewasa ini sangat mengedepankan kesempurnaan pada aspek kognitif.
3. Aspek Psikomotorik. Aspek Psikomotorik menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemampuan gerak fisik yang mempengaruhi sikap mental. Jadi sederhananya aspek ini menunjukkan kemampuan atau ketrampilan (skill) peserta didik setelah menerima sebuah pengetahuan.
Berdasar teori tersebut, maka dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki prestasi belajar tinggi harus memiliki tiga aspek utama yakni aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Masing-masing hal tersebut memiliki fungsi tersendiri dalam membentuk individu dalam mencapai prestasi belajar yang maksimal. Dalam penelitian ini, penulis hanya akan melihat aspek kognitif yang dinyatakan dalam nilai harian.
2.1.3. Pengukuran Prestasi Belajar
Dalam dunia pendidikan, menilai merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat ditinggalkan. Menilai merupakan salah satu proses belajar dan mengajar. Di Indonesia, kegiatan menilai prestasi belajar bidang akademik di sekolah-sekolah dicatat dalam sebuah buku laporan yang disebut rapor. Dalam rapor dapat diketahui sejauhmana prestasi belajar seorang siswa, apakah siswa tersebut berhasil atau gagal dalam suatu mata pelajaran. Didukung oleh pendapat Suryabrata (1998) bahwa rapor merupakan perumusan terakhir yang diberikan oleh guru mengenai kemajuan atau hasil belajar murid-muridnya selama masa tertentu. Selanjutnya, Syah (2010) mengatakan bahwa pada dasarnya hasil belajar merupakan deskripsi siswa yang ditunjukkan melalui simbol atau angka dari prestasi kognitif, evaluasi prestasi afektif, dan evaluasi prestasi psikomotorik. Sedangkan, Sunarsih (2009) mengatakan bahwa untuk mengetahui prestasi belajar isiwa dapat dilihat dari proses belajar siswa dalam menguasai materi pelajaran berdasarkan nilai hariannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prestasi belajar yang dimiliki mahasiswa haris dilihat dari ketiga aspek yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, yang kemudian dituangkan sebagai nilai dalam bentuk angka pada laporan hasil belajar melalui penilaian akhir belajar. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan nilai harian siswa.
2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar.
berikutnya. Keefektifan proses belajar di sekolah dijadikan tolak ukur untuk mengetahui keberhasilan proses pembelajara. Hasil dari usaha inilah yang lazimnya disebut prestasi belajar. Untuk meraih prestasi belaar yang baik, banyak factor yang perlu diperhatikan karena di dalam dunia pendidikan tidak sedikit siswa yang mengalami kegagalan. Kadang ada siswa yang memiliki dorongan yang kuat untuk berprestasi dan kesempatan untuk meningkatkan prestasi tetapi dalam kenyataannya prestasi yang dihasilkan di bawah kemampuannya.
Purmaningtyas (2012) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah sebagai berikut :
a. Faktor internal (dari dalam siswa), yaitu faktor fisiologis meliputi keadaan jasmani dan faktor psikologis yang meliputi kecerdasan baik kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosional, kecakapan, bakat, minat, motivasi, perhatian dan kematangan.
b. Faktor eksternal (dari luar individu), yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Dalam suatu kesempatan, Suryabrata (2002) menyebutkan faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah sebagai berikut:
a. Faktor dari dalam individu, meliputi :
1) Faktor biologis, yang kematangan fisik, kesehatan badan, kualitas makanan dan fungsi panca indera.
2) Faktor psikologis yaitu minat, rasa aman, dan motivasi, pengalaman masa lampau, dan kecerdasan.
b. Faktor dari luar individu meliputi :
1) Faktor non sosial yaitu faktor belajar, cuaca, tempat, dan fasilitas.
2) Faktor sosial yaitu pribadi guru yang mengatur sikap orang tua terhadap anaknya yang sedang belajar, situasi pergaulan dengan teman sebaya.
Sedangkan Surya dan Amir (dalam Supeno,2004) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa ada dua yaitu faktor internal dan eksternal.
a. Faktor internal, terdiri dari :
2) Faktor Psikologis yang berasal dari bawaan maupun yang diperoleh, terdiri atas faktor intelektual maupun potensi kecerdasan, bakat, kecakapan, diam, tertutup seperti sikap kebiasaan, kebutuhan motivasi, emosi dan penyesuaian dari faktor kematangan.
Dalam penelitian ini pengukuran prestasi belajar menggunakan penilaian sebagai pengukur keberhasilan (fungsi formatif), yaitu nilai-nilai harian pada masa semester I.
2.2. Dukungan Sosial Orangtua 2.2.1. Pengertian Dukungan Sosial
Menurut Rock (dalam Smet,1994) dukungan sosial adalah salah satu di antara fungsi pertalian (ikatan) sosial. Ikatan-ikatan sosial menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan interpersonal. Ikatan dan hubungan dengan orang lain dianggap sebagai aspek yang memberikan kepuasan secara emosional dalam kehidupan individu. Saat seseorang didukung oleh lingkungan maka segalanya akan terasa lebih mudah. Selain itu dukungan sosial yang menunjuk pada hubungan interpersonal juga melindungi individu-individu terhadap konsekuensi negatif dari stres. Dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa tenang, diperhatikan, dicintai, timbul rasa percaya diri dan kompeten.
Menguatkan uraian tersebut di atas, Sarafino (1990) menyatakan dukungan sosial merupakan faktor sosial luar individu yang dapat meningkatkan kemampuan dalam menghadapi stress akibat konflik. Dengan adanya dukungan sosial, individu dapat merasakan perasaan nyaman, perhatian, penghargaan, ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain. Seseorang yang mendapat dukungan sosial yang tinggi akan memiliki banyak pengalaman positif dan pandangan yang optimi terhadap kehidupannya. Adanya dukungan membuatnya yakin pada kemampuan yang dimiliki sehingga dapat mengendalikan situasi di manapun ia berada.
yang dibutuhkan terus-menerus, dipuaskan dalam interaksi dengan orang lain, namun tidak semua jaringan sosial yang ditemui selalu ada dukungan sosial.
Weiss (dalam Cutrona,1994) mengemukakan dukungan sosial sebagai hubungan orang-orang yang dapat diandalkan, bimbingan serta kedekatan emosional terhadap suatu individu membuat dirinya mendapatkan pengakuan. Adapun komponen-komponen menurut Weiss dapat berdiri sendiri, namun satu sama lain saling berhubungan, dan Weiss membaginya ke dalam aspek-aspek dukungan sosial yaitu Reliable alliance,Guidance, Opportunity for nurturance, Attachment, Sosial integration, Reassurance of worth.
Selanjutnya menurut Suwarsiyah dan Haryanto (1989), dukungan sosial dari orang tua dapat berupa menciptakan suasana yang hangat dan harmonis, saling menghargai kepentingan dan privasi anggotanya, saling membantu dan peka terhadap masalah yang mungkin dihadapi salah satu dari mereka. Selain itu, dukungan dari orang tua juga berupa menyediakan fasilitas untuk belajar di rumah, memberikan kesempatan dalam bidang pendidikan. Jadi dalam hal ini, dukungan sosial orang tua dapat berupa materi dan perhatian. Ditambahkan oleh Smet (1994), bahwa dukungan sosial merupakan suatu bentuk perhatian, penghargaan atau pertolongan yang diterima individu lain atau kelompoknya. Informasi tersebut diperoleh dari pola hubungan keluarga, guru, teman sebaya, kelompok atau organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah ikatan sosial atau kebersamaan sosial yang dijalin dengan akrab antara individu yang satu dengan yang lain dalam lingkungan masyarakat, keluarga, organisasi dan sekolah atau kampus dan lain-lain. Dukungan sosial diberikan dalam bentuk suatu informasi atau bantuan yang diperoleh dari orang lain karena adanya keakraban sehingga individu merasa diperhatikan, dicintai, dihargai, dihormati, serta mempunyai kesempatan yang baik untuk dapat memahami masalah bersama dengan orang lain.
2.2.2. Pengertian Dukungan Sosial Orangtua.
maupun emosi; penerimaan diri dan komunikasi yang terbuka antara kedua pihak (Barnes et al.,2006).
Pemahaman dari Bean, Barber, dan Crane (2006) tidak berbeda jauh dengan konsep Barnes (2006). Bean et al., (2006) mengkonsepkan dukungan sosial orang tua sebagai tingkat penerimaan dan kehangatan dari orang tua yang ditujukan kepada anaknya. Pada umumnya, dampak dari adanya dukungan orang tua yang ditujukan kepada anaknya. Pada umumnya, dampak dari adanya dukungan orang tua ini akan berdampak positif pada prestasi akademis, self-esteem yang positif dan rendahnya depresi yang dialami oleh anak atau remaja. Dukungan dari orang tua secara konsisten merupakan kunci penting dalam perkembangan diri anak dan remaja.
Sejalan dengan itu, Demaray dan Malecki (2002) mengatakan dukungan sosial sebagai persepsi individu dari dukungan umum atau tindakan spesifik yang bersifat mendukung dari orang-orang dalam jaringan sosial, yang meningkatkan fungsi mereka atau sebagai pelindung bagi mereka dari perbuatan negatif. Sumber dukungan ini dapat berasal dari orang tua, teman, guru, teman dekat atau sekolah. Seperti yang dikutip oleh Baron dan Byrne (2005), dalam teorinya mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan suatu kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan orang lain. Hal ini sangat bermanfaat bilamana individu mengalami stress atau sesuatu yang sangat efektif jika individu mengalami tekanan.
Dengan demikian yang dimaksud dengan dukungan sosial orang tua di dalam penelitian ini adalah persepsi individu mengenai sikap orangtua terhadap dirinya yang membuatnya merasa diterima, dicintai, diperhatikan, dihargai dan menjadi bagian dalam keluarga.
2.2.3. Aspek-Aspek Dukungan Sosial.
Aspek-aspek dukungan sosial merupakan suatu cara yang mewujudkan bisa dalam bentuk ekspresi, ungkapan atau perwujudan bantuan dari individu yang satu ke individu yang membutuhkan. Weiss (Cutrona,1994), membagi dukungan sosial ke dalam 6 bagian yang berasal dari hubungan dengan individu lain, yaitu:
a. Reliable alliance (Hubungan yang dapat diandalkan)
b. Guidance (Bimbingan)
Dukungan sosial berupa nasehat dan informasi dari sumber yang dapat dipercaya.
c. Reassurance of worth (Adanya Pengakuan)
Dukungan sosial ini berbentuk pengakuan atau penghargaan terhadap kemampuan dan kualitas individu, dukungan ini akan membuat individu merasa dihargai dan diterima, misalnya memberikan pujian kepada individu karena telah melakukan sesuatu yang baik.
d. Attachment (kedekatan emosional)
Dukungan ini berupa pengekspresian dari kasih sayang dan cinta yang diterima individu, yang dpat memberikan rasa aman kepada individu yang menerimanya, kedekatan dapat memberikan rasa aman.
e. Sosial integration (integrasi sosial)
Dikaitkan dengan dukungan yang dapat menimbulkan perasaan memiliki pada individu karena menjadi anggota didalam kelompok dalam hal ini dapat membagi minat, serta aktivitas sosialnya sehingga individu merasa dirinya dapat diterima oleh kelompok tersebut.
f. Opportunity to nurturance (kesempatan untuk Mengasuh)
Dukungan ini berupa perasaan bahwa individu dibutuhkan oleh orang lain, jadi dalam hal ini subjek merupakan sumber dukungan bago orang yang mendukungnya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan emosional sangat berarti bagi seseorang apabila jika ia memang membutuhkannya. Kehadiran orang lain menjadi sangat penting karena secara umum individu tidak dapat menyediakan dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Dukungan sosial dapat berupa dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif.
2.2.4. Efek Dukungan Sosial Orangtua.
Sarason (dalam Kuntjoro, 2002) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, serta menghargai dan menyayanginya. Sarason berpendapat bahwa dukungan sosial selalu dipengaruhi oleh dua hal yaitu: 1. Jumlah dukungan sosial yang tersedia; merupakan persepsi individu
2. Tingkatan kepuasan akan dukungan sosial yang diterima; berkaitan dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya akan terpenuhi (pendekatan berdasarkan kualitas).
Hal tersebut di atas penting dipahami oleh orang tua yang ingin memberikan dukungan sosial, karena menyangkut persepsi tentang keberadaan (availibility) dan ketepatan (adequency) dukungan sosial bagi seseorang. Dukungan sosial bukan sekedar memberikan bantuan, tetapi yang penting adalah bagaimana persepsi si penerima terhadap makna dari bantuan itu. Hal tersebut, erat hubungannya dengan ketepatan dukungan sosial yang diberikan. Dalam arti bahwa orang yang menerima sangat merasakan manfaat bantuan bagi dirinya, karena sesuatu yang diterimanya adalah aktual dan memberikan kepuasan.
Hasil penelitian Sarason, dkk, (Cutrona, dkk, 1994) menemukan bahwa individu yang mendapatkan dukungan sosial yang tinggi akan mengalami hal-hal positif dalam hidupnya, selain itu kecerdasan emosi dan motivasinya akan lebih tinggi dari pada tingkat kecemasan. Individu akan memandang hidupnya dengan lebih optimis, penuh keyakinan dan mampu mengendalikan dan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya. Keadaan seperti ini tidak ditemukan pada orang-orang yang tidak mendapat atau sangat rendah tingkat dukungan sosial.
Sedangkan dampak dukungan sosial orangtua bagi motivasi belajar menurut Kwartarini,dkk (1992) adalah dukungan sosial orangtua merupakan fasilitator agar motivasi belajar dapat diperhatikan dengan baik. Pendapat tersebut diperkuat oleh Maqsud dan Coleman (1993), yang menunjukkan bahwa peranan orangtua dalam memberikan dukungan sosial terhadap anak mereka berhubungan positif dan signifikan dengan kecerdasan emosi pencapaian motivasi belajar pada anak mereka. Dalam pengertian bahwa makin besar dukungan sosial orangtua, makin tinggi motivasi belajar pada anak.
2.3 Kecerdasan Emosi
2.3.1. Pengertian kecerdasan Emosi
Istilah kecerdasan emosi pertama kali dikenalkan oleh Peter Salovey dan Jack Mayer pada tahun 1990. Mayer dan Salovey (dalam Arbadiati, 2007) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.
menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosi tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilih kepuasan, dan mengatur suasana hati. Menurut Hapsariyanti (2006), kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang dalam memahami, merasakan dan mengenali perasaan dirinya dan orang lain sehingga individu tersebut dapat mengendalikan perasaan yang ada dalam dirinya dan dapat memahami serta menjaga perasaan orang lain. Individu tersebut juga dapat memotivasi diri sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik dalam kehidupan yang dijalani. Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri, dan orang lain serta menanggapinya secara tepat dengan menerapkan secara selektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan Patton (1998) memberi definisi tentang kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk menggunakanemosi secara efektif untuk mencapai tujuan membangun dengan produktif dan meraih keberhasilan. Howes dan Herald (2002) mengemukakan kecerdasan emosi sebagai komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi, lebih lanjut dikatakan bahwa emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, akan menghadirkan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain. Dalam penelitian ini menggunakan pengertian kecerdasan emosi dari Goleman (2000) yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapai kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosi tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilih kepuasan, dan mengatur suasana hati.
2.3.2. Teori Kecerdasaan Emosi
emosi juga sebagai perasaan dan pikiran-pikiran khas, suatu keadaan biologis, dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak, oleh Goleman (2006). Sedangkan menurut Merda (2012) kecerdasan emosional adalah kemampuan mengindera, memahami dengan efektif menerapkan kekuatan dan ketajaman emosi sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh. Selain itu, Tsaosis (2008) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosional dan intelektual.
Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengerian kecerdasan emosi yaitu; kemampuan seseorang untuk mengenal, mengendalikan diri sendiri, dapat berinteraksi dengan orang lain secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi, mampu mengatur suasana hati dan mampu mengelola kecemasan, dan mampu mengelola kecemasan agat idak mengganggu kemampuan berpikir dan mengendalikan emosi
2.3.3. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi
Menurut Goleman (2000), aspek kecerdasan emosional terdiri dari lima, yaitu:
a. Pengenalan diri (self-awareness).
Mengenali perasaan sebagaimana yang terjadi adalah kunci dari kecerdasan emosi. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat individu berada dalam kekuasaan perasaan. Orang-orang yang memiliki keyakinan lebih tentang perasaannya dapat mengarahkan kehidupannya dengan lebih baik. Individu tersebut memiliki pengertian dan merasa mantap dalam mengambil keputusan terhadap kehidupan pribadinya, seperti dengan siapa akan menikah sampai ke pekerjaan apa yang akan dilakukan.
b. Mengelola emosi atau pengendalian diri (self regulations)
Mengelola perasaan secara tepat merupakan kemampuan yang diperlukan untuk mengendalikan diri. Orang-orang yang kurang dalam kemampuan ini terus menerus berada dalam perasaan menderita, sedangkan mereka yang dapat mengatasinya dapat merasa segar kembali jauh dari kemunduran dan ganggguan dalam kehidupan.
c. Memotivasi diri sendiri (motivating ownself).
memiliki ketrampilan ini cenderung lebih produktif dan efektif dalam melakukan berbagai aktivitas.
d. Mengenali emosi orang lain atau empati (Empathy).
Empati adalah dasar dari ketrampilan pribadi. Orang-orang yang empatik lebih peka dalam menangkap isyarat-isyarat sosial yang mengindikasikan apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh orang lain. e. Membina hubungan atau ketrampilan sosial (sosial skills).
Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan ketrampilan mengelola emosi orang lain. Orang-orang yang unggul dalam ketrampilan ini dapat melakukan segala sesuatu dengan baik. Mereka dapat melakukan interaksi dengan orang lain dengan lancar dalam pergaulan sosial. Dalam penelitian ini menggunakan lima aspek kecerdasan emosi menurut
Goleman (2000) yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi atau pengendalian diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain atau empati, dan membina hubungan dengan orang.
2.3.4. Efek atau peran Kecerdasan Emosi
2.4 Hasil-hasil Penelitian sebelumnya
2.4.1. Dukungan Sosial orangtua dan Prestasi Belajar
Siswa yang mempunyai kecerdasan emosional yang kuat dalam meningkatkan prestasi belajar, juga diikuti dengan faktor dukungan sosial orangtua. Penelitian yang dilakukan oleh Rensi dan Sugiarti (2010) menunjukkan dukungan sosial yang berpengaruh terhadap prestasi belajar dengan nilai probabilitas signifikansi untuk variable dukungan sosial terhadap prestasi belajar sebesar 0,04<0,05. Rosenfeld (2000) menemukan bahwa siswa dengan dukungan sosial yang tinggi dari teman sebaya, orangtua dan guru memikili nilai atau prestasi yang terbaik dibandingkan dengan siswa yang tidak memiliki dukungan sosial. Mackinnon (2008) menemukan bahwa dukungan sosial berpengaruh pada prestasi belajar siswa. Penelitian berbeda juga ditemukan oleh Taylor (1998) yang menyatakan bahwa secara tidak langsung dukungan sosial orangtua berpengaruh pada prestasi belajar. Dikatakan berpengaruh secara tidak langsung karena untuk mencapai sebuah prestasi belajar maka harus melalui persepsi dan pentngnya kemampuan akademis.
Sementara itu, Causce (1992) menyatakan bahwa dukungan orangtua memiliki hubungan yang negatif dengan kompetens di sekolah, yang dalam hal ini adalah kompetensi untuk berprestasi. Hal senada juga diteliti oleh Maassen & landseer (2000), menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara dukungan sosial orangtua denga prestasi belajar matematika. Kurniawati (2012), juga mengadakan penelitian tentang hubungan dukungan sosial terhadap prestasi belajar mahasiswa Kebidanan STIKes Kusuma Husada Surakarta menemukan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial dengan prestasi belajar dengan nilai signifikan 0,004 (p<0.05). sejalan dengan itu, puspasari (2013) dalam penelitiannya mengatakan bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan nilai signifikansi 0,000 (p<0,01). Novitasari (2013), juga mengatakan bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial orangtua dengan prestasi belajar siswa.
2.4.2. Kecerdasan Emosional dan Prestasi Belajar
menunjukkan ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar (p<0.05). Cherniss (dalam Nwadinigwe & Obieke, 2010) menyatakan pentingnya kecerdasan emosional yang diperlukan untuk meningkatkab kinerja dan kesejahteraan psikologis dalam prestasi di sekolah. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Azizi, dkk (2012) menunjukkan bahwa signifikan hubungan antara kesadaran diri (r=0,21), manajemen emosional (r=0,21) dan empati (r=0,21) pada tingkat p<0,05 dengan prestasi akademik. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Mishra (2012) menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara kecerdasan emosional dan prestasi belajar. Kelemahan emosional menyebabkan berbagai masalah kesehatan fisik dan mental yang secara langsung berdampak pada prestasi belajar. Menurutnya, pendidikan menyampaikan informasi dan pengetahuan untuk daerah tertentu yang berorientasi karir. Aspek emosional yang kurang dalam system pendidikan akan menyebabkan prestasi belajar yang buruk. Oleh karena itu mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dan prestasi akademik menjadi salah satu yang penting.
Maria (2004) juga dalam penelitiannya meunjukkan adanya hubungan negatif antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Mishra (2012), terhadap 100 siswa menengah atasdi Jaipur menyatakan ada korelasi positif antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar. Hal ini senada juga diungkapkan oleh Preeti (2013) terhadap 200 siswa di berbagai sekolah di India. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif signifikan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar. Wahyuningsih (2004), dalam penelitiannya juga menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan hasil belakar bioligi siswa keas II SMA Negeri Pamulang. Sejalan dengan itu Bhatiar (2009), juga menemukan adanya hasil positif pada penelitiannya tentang hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi signifikansi nilai 0,002 (p<0,05). Selanjutnya, Guna (2012) dalam penelitiannya di SMA Negeri 3 Salatiga menggunakan rank sperman nonparametik uji korelasi menemukan bahwa tidak ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.
2.5 Pengaruh dukungan sosial orangtua dan kecerdasan emosi terhadap prestasi belajar siswa
kwartarini,dkk (1992),dukungan sosial merupakan fasilitator agar prestasi belajar dapat diperhatikan dengan baik.
Dukungan sosial dapat diterima dari berbagai macam sumber, seperti teman, keluarga, pasangan atau kekasih, lingkungan atau organisasi masyarakat (sarafino,1990). Dari berbagai macam dukungan tersebut, dukungan yang paling efektif untuk meningkatkan prestasi belajar adalah dukungan keluarga. Menurut Suwarsiyah dan Haryanto (1989), dukungan sosial keluarga dapat menciptakan suasana yang hangat dan harmonis, saling menghargai kepentingan dan privasi anggota, saling membantu dan peka terhadap masalah yang mungkin dihadapi salah satu dari mereka. Bentuk kehangatan dan perhatian tersebut adalah berupa fasilitas atau sarana pendukung dalam bidang pendidikan. Fasilitas dan sarana pendukung yang diberikan akan berdampak besar bagi tercapainya prestasi belajar.
Dukungan sosial keluarga khususnya orangtua berperan penting sebagai aktualisasi diri pada anak dalam pencapaian prestasi belajarnya. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Masqud dan Coleman(1993), yang menunjukkan bahwa peranan orangtua dalam memberikan dukungan sosial terhadap anak mereka berhubungan positif dan signifikan dengan aktualisasi pencapaian prestasi belajar pada anak mereka. Dalam pengertian bahwa semakin besar dukungan sosialorangtua , makin tinggi aktualisasi diri pencapaian prestasi pada anak.
Verkuyten dkk (2001), menemukan bahwa dukungan sosial orangtua terhadap prestasi belajar pada anak lebih diperhatikan oleh keluarga-keluarga yang masih mempertahankan budaya kekerabatan. Dalam hubungan kekerabatan inilah dukungan sosial orangtua berperan penting terhadap tercapainya prestasi belajar anak mereka
Banyak usaha yang dilakukan para siswa untuk meraih prestasi belajar agar menjadi lebih baik. Usaha tersebut jelas positif, namun faktor lain yang terpenting adalah mencapai keberhasilan. Faktor tersebut adalah dukungan sosial orangtua dan kecerdasan emosi. Siswa dengan dukungan sosial orangtua dan kecerdasan emosi yang baik kemungkina besar akan berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa hubungan dukungan sosial orangtua dan kecerdasan emosi merupakan dua faktor yang penting bagi siswa untuk meraih prestasi yang lebih baik.
2.6 Model penelitian
2.7 Hipotesis
Berdasarkan latar belakang masalah dan landasan teori yang telah ditemukan, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
Ada pengaruh antara dukungan sosial orangtua dan kecerdasan emosi terhadap prestasi belajar siswa jurusan Keperawaatan di SMK PGRI I Salatiga
Dukungan Sosial Orangtua
Kecerdasan Emosi